Oleh: Ivan Efendi
Tugu Khatulistiwa[1] Pontianak berada di sisi jalan Khatulistiwa, Pontianak Utara.[2] Tugu bersejarah ini dibuat pada masa pemerintahan Hindia Belanda sebagai penanda letak nol derajat garis khatulistiwa. Sekarang tugu ini menjadi ciri khas Kota Pontianak, yang pada tengah hari 21–23 Maret dan 3 September setiap tahun diperingati hari kulminasi matahari di tempat ini. Kulminasi adalah saat matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa sehingga benda-benda tegak yang berada di sekitar Tugu Khatulistiwa tidak berbayang.
Sejarah
Tidak banyak data sejarah mengenai Tugu Khatulistiwa. Satu-satunya data yang dipakai penulis adalah uraian sejarah yang menjadi koleksi di dalam kubah Tugu Khatulistiwa. Data sejarah ini menjadi salah satu koleksi Tugu Khatulistiwa. Kalaupun ada di internet, acuannya tidak jauh dari data ini, bahkan sebagian besar mengutip apa adanya. Penulis mengambil gambar mengenai data ini pada Juni 2012.
Uraian sejarah Tugu Khatulistiwa Pontianak diambil dari catatan pada 1941 yang diperoleh dari V. en V oleh Opsiter Wiesse. Catata ini dikutip dari Bijdragentot De Geographe dan Chep Van den topographeschen dien in Nederlandsch Indie: Den 3 Sten Maart 1928. Dalam catatan itu dikatakan bahwa satu Ekspedisi Internasional yang dipimpin oleh seorang ahli geografi berkebangsaan Belanda tiba di Pontianak untuk menentukan titik/tonggak garis equator.
Pada 1928 mulai dibangun tugu equator ini dengan bentuk sederhana, yaitu dengan tonggak (mungkin sekarang lebih dikenal dengan nama ‘patok’) dengan tanda panah di atasnya. Tugu yang sederhana ini kemudian disempurnakan pada 1930 dengan mengganti tanda panah dengan lingkaran.
Pada 1938 penyempurnaan tugu dilakukan lagi oleh seorang opsiter/architech yang bernama Silaban, sehingga bentuknya menjadi lebih baik. Bangunan tugu hasil penyempurnaan menjadi lebih rumit, yang terdiri atas empat tonggak kayu belian. Masing-masing berukuran 0,30 m, dengan ketinggian tonggak bagian depan (dua tonggak) setinggi 3,05 m dari permukaan tanah. Tonggak bagian belakang tempat lingkaran dan anak panah petunjuk arah setinggi 4,40 m.
Deskripsi
Pada 1990 Tugu Khatulistiwa direnovasi dan dibangun kubah sebagai cungkup pelindung. Di atas kubah itu dibuat duplikat Tugu Khatulistiwa dengan ukuran lima kali lebih besar. Dua tonggk bagian depan berukuran 1,5 m dengan ketinggian 15,25 dari permukaan tanah. Dua tonggak bagian belakang (tempat lingkaran dan anak panah petunjuk arah) berukuran 1,5 m dengan ketinggian 22 m dari permukaan tanah. Panjang anak panah petunjuk arah adalah 10,75 m, dan pada plat di bawah anak panah tertera 109 20’ 00” OLVGR. Tullisan tersebut menunjukkan letak berdirinya Tugu Khatulistiwa pada garis Bujur Timur. Duplikat Tugu Khatulistiwa dan kubah diresmikan pada 21 September 1991 oleh Gubernur Kalimantan Barat, Parjoko Suryokusumo.
Pada Maret 2005, Tim Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) melakukan koreksi untuk menentukan lokasi titik nol garis khatulistiwa di Kota Pontianak. Koreksi dilakukan dengan menggunakan gabungan metoda terestrial dan ekstraterestrial, yaitu menggunakan global positioning system (GPS) dan stake-out. Hasil pengukuran oleh tim BPPT menunjukkan posisi tepat Tugu Khatulistiwa saat ini berada di 00 0’ 3,809” lintang utara; dan 1090 19’ 19,9” bujur timur. Sementara posisi 00 0’ 0” ada di luar taman, tepatnya 117 meter ke arah Sungai Kapuas. Di titik hasil koreksi itu dibuat patok baru yang terbuat dari pipa PVC dan belahan garis barat-timur ditandai dengan tali rafia. Sementara posisi yang tertera dalam tugu asli (00 0’ 0” lintang utara, dan 1090 20’ 00” bujur timur) berdasarkan hasil pelacakan tim BPPT, terletak di 1,2 km dari Tugu Khatulistiwa, tepatnya di belakang satu rumah di Jl Sungai Selamat, kelurahan Siantan Hilir.[3]
Dari hasil koreksi BPPT terlihat bahwa para ahli geografi Belanda saat itu sudah memiliki metode yang nyaris tepat dengan peralatan sederhana. Kesalahan penempatan titik tugu berbeda 117 meter dari lokasi hasil koreksi. Akan tetapi angka koordinat geografi yang tertera pada plat lingkaran di atas tugu memiliki perbedaan yang signifikan, yaitu 1,2 km dari titik tugu.
Koleksi Tugu Khatulistiwa
Di dalam kubah Tugu Khatulistiwa terdapat koleksi yang terdiri atas dua jenis, yaitu koleksi yang in situ, dan benda-benda yang memiliki konteks dengan tugu ini. Tugu Khatulistiwa yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda terbuat dari kayu besi/belian. Tugu asli ini berada di tengah ruang. Sementara koleksi lainnya adalah objek fotografi hasil reproduksi dan teks yang menguraikan sejarah berdirinya Tugu Khatulistiwa. Sebagian besar koleki-koleksi itu diletakan pada dinding bagian dalam kubah.
Memori kolektif ‘Pontianak’ dalam Tugu Khatulistiwa
Kota Pontianak dikenal sebagai kota khatulistiwa karena dilintasi garis lintang nol derajat bumi.[4] Hal itu mengandung makna sejarah dan dapat menjadi identitas. Kalimat “dilalui garis lintang nol derajat” mengantar kita pada Tugu Khatulistiwa yang dibangun pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Tugu Khatulistiwa adalah ikon Kota Pontianak yang dapat menjadi identitas, dan “Hindia Belanda” adalah bagian dari sejarah yang terjadi di kota ini.
Kota Pontianak selain dilintasi garis khatulistiwa, juga dialiri Sungai Kapuas yang merupakan sungai terpanjang di Indonesia.[5] Kalimat itu menunjukkan posisi Pontianak dalam konteks Indonesia. Jadi ‘Pontianak’ tidak hanya memiliki signifikansi bagi Kota Pontianak tetapi juga bagi Indonesia. Meskipun Tugu Khatulistiwa memiliki sejarah yang kental dengan kolonialisme dan kesakithatian masa lalu. Akan tetapi tetap dapat menumbuhkan memori kolektif dan identitas kepontianakan, bahkan keindonesiaan.
Tugu Khatulistiwa bisa menumbuhkan identitas komunitas, identitas kota, dan identitas nasional. Menurut Watson (2007:1631–65) identitas komunitas muncul dengan melihat, mengingat, dan mengalaminya, karena warisan budaya tidak selalu sampai pada suatu komunitas dalam bentuk materi budaya atau objek, tetapi melalui kehidupan sehari-hari yang di dalamnya teredapat interaksi dan ekspresi. Tugu Khatulistiwa sudah mengalami berbagai interaksi dengan masyarakat dari beberapa generasi. Sehingga identitas komunitas itu tumbuh dengan sendirinya.
Menurut Gorbacheva (2006:50) ada tiga aspek yang harus ada pada museum kota, yaitu hubungan antara museum dan lingkungan kota, perubahan atau perkembangan kota dari waktu ke waktu, dan hubungan antara museum dan masyarakatnya saat ini. Tugu Khatulistiwa memang bukanlah museum kota, karena tidak memenuhi aspek yang diuraikan oeh Gorbacheva. Akan tetapi dapat menjadi identitas kota karena adanya keberterimaan masyarakat atas tugu ini sebagai bagian dari Pontianak.
Tugu Khatulistiwa dapat menjadi identitas bangsa, karena menurut Watterson (2009) identitas bangsa dapat dibentuk dari museum dengan koleksinya, hasil penelitiannya, dan penyajiannya. Tugu ini adalah milik Pontianak, dan Pontianak adalah bagian dari Indonesia. Jadi identitas bangsa ada dalam Tugu Khatulistiwa karena merupakan bagian dari Indonesia.
Keontetikan Tugu Khatulistiwa dalam wujud museum situs
Pada akhir abad XIX di Eropa dikenal istilah open air museum[6] dan on-site museum. Open air museum kali pertama didirikan oleh King Oscar II di Norwegia, dan diresmikan pada 1881. Sebagai besar open air museum memfokuskan pada upaya merekonstruksi bangunan-bangunan tua di tempat terbuka; dan menata kembali lansekap masa lalu dan pemukiman etnis atau suku tertentu. Open air museum pada umumnya berada di lokasi aslinya, seperti Cradel of Humankind Museum, Afrika Selatan; The Mammonth Site Museum, Inggris; dan Goreme Open Air Museum, Turki. Sedangkan on-site museum berfungsi untuk melestarikan semua temuan arkeologis yang berbentuk struktur dan artefak yang masih berada dalam kontes aslinya. Contoh adalah museum of Terracotta Wariors and Horses di Cina.[7]
Museum situs berbeda dengan dua jenis museum tersebut. Museum situs[8] didirikan di kawasan situs[9] purbakala, sehingga keterkaitan koleksi[10] dengan situsnya mudah di pahami. Museum situs diarahkan untuk mengumpulkan, meneliti, merawat, mengamankan, menyebarluaskan informasi, dan menyajikan benda-benda (artefak) dari situs purbakala. Di Indonesia, istilah museum situs mulai dikenal pada 80-an.[11] Berawal dari dibangunnya bengkel kerja (werkeet) sebagai sarana penunjang kegiatan pemugaran bangunan purbakala yang dikembangkan pada 70-an. Bangunan ini juga berfungsi untuk menyelamatkan benda cagar budaya sebagai akibat dari maraknya pencurian, perusakan, dan penemuan benda cagar budaya oleh masyarakat.[12]
Kegiatan penelitian purbakala yang semakin meningkat, menyebabkan harus adanya bangunan untuk penyimpanan hasil temuan, sekaligus sebagai pusat informasi. Temuan yang semakin bertambah, baik yang berasal penemuan masyarakat maupun penelitian, memerlukan sistem penataan pameran/display dan pembuatan label informasi. Pusat informasi tersebut akhirnya berubah menjadi museum situs purbakala.[13] Tugu Khatulistiwa dalam konteks bangunan kubah dapat dikategorikan sebagai museum situs yang di dalamnya terdapat tinggalan bersejarah yang in situ. Di dalamnya terdapat pula koleksi yang memiliki konteks dengan Tugu Khatulistiwa yang dibuat pada masa Hindia Belanda, sehingga keotentikannya dapat dipertanggungjawabkan. Seperti yang dikatakan oleh Ouzman (2006:273–274) bahwa restorasi dan konservasi dapat mempengaruhi keaslian suatu benda. Akan tetapi di lain pihak, suatu benda tetap masih bisa diakui keotentikannya meskipun hasil duplikasi jika memiliki alasan kuat. Antara lain benda yang asli sudah tua atau usang, sangat bagus dan berharga, dan lain-lain.
Prinsip-prinsip keotentikan
Hal-hal prinsip yang terkait dengan pendirian, pengelolaan, dan pengembangan museum situs purbakala, harus didasarkan pada kajian ilmiah. Pendirian museum situs purbakala harus dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Masyarakat berbentuk non-profit, terbuka untuk umum, menitikberatkan pada bidang pendidikan-kultural, penelitian, dan rekreasi, serta mempunyai tugas untuk melestarikan dan menyajikan/menginformasikan koleksinya.[14]
Museum situs purbakala hanya dapat didirikan di situs atau kawasan yang memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Museum situs purbakala harus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ideologi, akademis, dan ekonomis. Koleksi museum situs purbakala harus berupa temuan, hasil penelitian, dan/benda-benda yang berasal dari situs tersebut, dan koleksi yang berasal dari situs lain harus berupa temuan yang memiliki hubungan dengan situs tempat didirikannya museum.[15]
Bangunan museum situs purbakala merupakan bangunan baru yang didahului dengan peneliti arkeologis.[16] Lokasinya harus berada di mintakat/zona pengembangan, dan pengelolaannya harus mendapat rekomendasi dari instansi yang berwenang. Situs purbakala yang layak untuk dijadikan museum situs, harus harus memiliki nilai penting dan informasi yang potensial bagi studi kebudayaan, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Juga situs purbakala yang sudah ditetapkan sebagai situs berskala nasional atau internasional didasarkan pada undang-undang yang berlaku.[17] Atas dasar itu Tugu Khatulistiwa sudah memenuhi kriteria tersebut untuk disebut sebagai museum situs, yang memiliki tugas melestarikan peninggalan benda cagar budaya yang menjadi koleksinya berserta situsnya, dengan pemeliharaan, perawatan, perlindungan, pemantauan, serta pengendalian suhu dan kelembaban udara ruang mikro.
Standard Museum Situs
Mendirikan bangunan baru yang akan difungsikan sebagai bangunan museum situs purbakala harus memenuhi standar teknis sebagai berikut.
Material
Material bangunan sangat menentukan kondisi lingkungan, baik di dalam maupun di luar museum situs purbakala. Oleh karena berbagai jenis material bangunan memberikan efek berbeda terhadap suhu dan kelembaban di dalam bangunan. Material bangunan yang digunakan harus sesuai dengan karakteristik benda cagar budaya dan kondisi lingkungan sekitar situs. Jika tidak sesuai, akan memberikan efek buruk terhadap bangunan dan lingkungan di sekitarnya. Kondisi lingkungan yang sangat asam dapat merusak bangunan yang menggunakan kayu. Kondisi lingkungan yang labil dan sering terjadi gempa, tidak kondusif untuk bangunan yang menggunakan semen.[18]
Arsitektur
Arsiktektur bangunan museum situs harus serasi dengan situs serta lingkungan sekitarnya. Bangunan yang baru dan berada di lokasi situs sebaiknya bersifat permanent. Gaya dan bentuk bangunannya sesuai dengan cagar budaya (koleksi) dan arsitektur tradisional lingkungan sekitarnya. Suatu bangunan museum situs purbakala yang memiliki terlalu banyak jendela menyebabkan intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam bangunan sangat tinggi. Intensitas cahaya yang tinggi dapat mengganggu kelestarian koleksi museum situs. Bangunan museum situs purbakala yang memiliki ventilasi terlalu banyak dapat mengakibatkan suhu dan kelembaban di dalam bangunan museum situs bersifat fluktuatif. Kondisi yang demikian sangat mengganggu kelestarian koleksi museum situs. Selain itu, perencanaan arsitektur harus mempertimbangkan pembagian antara zona publik dan zona tertutup, dan harus memiliki akses bagi penyandang cacat dan akses pada saat terjadi bencana.[19] Tugu Khatulistiwa sudah sesuai dengan kriteria ini. Salah satunya ada duplikasi tugu dengan perbandingan 1 : 5.
Penataan Lingkungan
Penataan lingkungan yang dibuat pada museum situs purbakala, sebaiknya tidak mengubah karakteristik dari lansekap situs tersebut, sehingga tidak mengubah lansekap aslinya. Penataan lingkungan museum situs harus di dahului dengan kajian tentang kelestarian lansekap situs tersebut.[20]
Aksesibilitas
Tugu Khatulistiwa sudah memiliki aksesibilitas yang memberikan kamudahan kepada pengunjung, tanpa mengabaikan keamanan dan kelestarian situs. Selain itu sudah ditunjang dengan infrastruktur yang memadai, seperti penunjuk arah, sanitasi, serta kamudahan memperoleh informasi tentang museum situs tersebut.[21]
Kesimpulan
Tugu Khatulistiwa seolah masa lalu yang hadir dalam kekinian. Murphy (2005:71) mengatakan bahwa Museums as machines of time and memory. sementara Chen (2007:182) mengutarakan bahwa memori kolektif dapat tumbuh melalui bangunan bersejarah dan koleksi museum. Tugu Khatulistiwa ada dalam pengertian itu, dan memiliki potensi luar biasa untuk dapat diwujudkan sebagai museum situs dengan konteks museologi baru. Namun tentu harus lebih ditingkatkan lagi dengan manajemen yang baik. Pengelola lebih aktif mendekati masyarakat agar menjadi bagian komunitas, dan sebaliknya, komunitas melakukan pemaknaan terhadap museum untuk membentuk identitasnya. Born (2006:7) mengatakan bahwa museum adalah lembaga yang sangat penting yang berperan menjadi “penjaga” komunitas sejarah, nilai-nilai, inovasi, bahkan ide-ide provokatif. Museum juga dapat menjadi partner dari suatu komunitas yang sebelumnya selalu menilai negatif pada museum. Museum dan komunitas harus melakukan dialog, karena keduanya memiliki sumber daya yang dapat mengubah, tidak hanya tatanan sosial di antaranya, tetapi lebih luas dari itu.
Indonesia memiliki banyak situs purbakala yang sangat potensial untuk di kembangkan dan di manfaatkan sebagai pusat keunggulan (center of excellence) dalam rangka menanamkan nilai-nilai budaya bangsa, meningkatkan kebanggan nasional, dan memperteguh jatidiri bangsa. Selain itu, situs purbakala juga dapat dikembangkan sebagai objek wisata budaya. Pada masa depan diharapkan akan semakin banyak lagi museum situs purbakala, yang menyajikan informasi tentang potensi dan interpretasi yang telah di lakukan di situs tersebut, sehingga dapat pula mendukung pelestarian situsnya.[22]
Pada dasarnya, pemanfaatan museum situs purbakala mengacu pada pemanfaatan museum pada umumnya, yaitu pelayanan kepada peneliti, akademis, dan masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat dapat dilakukan melalui kegiatan edukatif bersifat eksperimen dan interaktif, seperti kegiatan survai permukaan, penggalian arkeologis, dan penanganan temuan hasil penggalian. Pelayanan dapat juga berupa informasi, pelatihan, dan bantuan konsultasi yang berkaitan dengan pengelolaan museum situs purbakala. Pelayanan harus berwawasan pelestarian terhadap benda cagar budaya dan situsnya.[23]
[1] Disebut juga Monumen Ekuator (equator monument)
[2] Di Indonesia ada beberapa Tugu Khatulistiwa, yaitu Tugu Khatulistiwa di Pontianak (Kalimantan Barat) dan Sumatera Barat, yaitu di Kampung Jambak, Sunur, Pariaman; dan di Nagari (desa) Koto Alam di Kecamatan Pangkalan Koto Baru, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Jepang menamakan Koto Alam dengan Sakido Mura (Kampung Khatulistiwa).
[3] www.geografiana.com
[4] Dari berbagai sumber yang diunggah dari internet kemudian disarikan menjadi tiga kalimat singat. Alamat website: www.melayuonline.com; www.wikipedia.com; www.jongjava.com; www.dhokribo.blogspot.com; www.kesultanankadriyah.blogspot.com; www.wisata-kalbar.blogspot.com; www.indungsia.wordpress.com; www.khatulistiwa.brantah.com; www.indonesia-life.info; www.habebimam.multiply.com
[5] Ibid.
[6] Museum adalah lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda-benda bukti material hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya, guna menunjang upaya pelindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa.
[7] http://disbudpar.jatimprov.go.id/museum/117-pedoman-penyelenggaraan-museum-situs.html
[8] Museum situs purbakala adalah museum yang didirikan situs purbakala, merupakan lembaga tetap, bersifat non-profit, terbuka untuk umum yang berfungsi untuk memamerkan, dan memublikasikan serta meningkatkan pemahaman terhadap nilai penting benda cagar budaya dan situs tersebut, dengan menitikberatkan pada kepentingan penelitian, pendidikan, rekreasi, serta perdayaan masyarakat sekitar.
[9] Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya, termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya.
[10] Koleksi adalah benda-benda bukti material hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
[11] Hingga kini, museum situs yang dikenal di Indonesia, antralain museum situs Manusia Purbakala Sangiran (Sragen, Propinsi Jawa Tengah), Banten Lama (Propinsi Banten), Muara Jambi (Propinsi Jambi), dan Trowulan (Mojokerto, Propinsi Jawa Timur).
[12] http://disbudpar.jatimprov.go.id/museum/117-pedoman-penyelenggaraan-museum-situs.html
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Pada situs tertentu (benteng atau kota kuno) museum situs purbakala dapat memanfaatkan bangunan lama yang berada dalam situs tersebut. Dalam perencanaan fisik dan infrastrukturnya, bangunan museum situs purbakala harus mengikuti kaidah pelestarian benda cagar budaya sesuai peraturan perundang-undang yang berlaku.
[17] Prosedur pendirian museum situs purbakala mengacu pada prosedur pendirian museum pada umumnya, yaitu didasarkan pada Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata nomor KM.33/PL.303/MPK/2004 tentang Museum.
[18] http://disbudpar.jatimprov.go.id/museum/117-pedoman-penyelenggaraan-museum-situs.html
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid
[23] Ibid.
Referensi
Born, Paul. (2006), Community Collaboration: A New Conversation, dalam Journal of Museum Education, Vol. 31, No. 1,Spring 2006, hlm. 7–14.
Chen, Chia-Li (2007) “Museums and the Shaping of Cultural Identities. Visitors Recollectionns in Local Museums in Taiwan” dalam Simon J. Knell, et al. (eds.) Museum Revolutionn. London & New York. Hlm. 173–188
Murphy, Bernice (2005) Memfory, History and Museums”, dalam Museum International, No. 227, Vol. 57, No. 3, 2005, Oxford (UK), Malden (USA): Blackwell Publishing
Ouzman, Sven, 2006, “The Beauty of Letting Go: Fragmentary Museums and Archaeologies of Archive”, dalam Elizabets Edwards, Chris Gosden dan Ruth B Philllips (ed.) Sensible Objects: Colonialism, Museums and Material Culture: Berg-Oxford New York, hlm. 269-301
Watson, Sheila (2007) “History Museum, Community Identitas and a Sense of Place”, dalam Simon Knell (ed.) dalam Museum Revolution. London:Routledge, Hlm.160–172.
Watterson, Sally. 2009, “Mongolia’s National History Museum: The National Museum o Mongolia Reinvents itself” dalam The International Journal of the Inclusive Museum vol. 2, vo. 2, hal. 51–56
wisatamelayu.com; dalam: http://disbudpar.kalbarprov.go.id/where-to-go/pontianak/115-istana-kadriah.html diakses pada 15 Oktober 2012
www.kesultanankadriyah.blogspot.com