Revitalisasi Bangunan Cagar Budaya Rengasdenglok yang terbagi menjadi dua kegiatan, yaitu pemugaran dan panataan ruang pamer terus dimatangkan. Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (Dit. PCBM) menghadirkan narasumber yang sangat perhatian dengan sejarah Indonesia, yaitu Rushdy Hoesein; dan narasumber yang memiliki perhatian terhadap pelestarian arsitektur bersejarah di Indonesia, Bambang Eryudhawan.
Rushdy Hoesein menegaskan bahwa pemerintah berkewajiban meluruskan sejarah yang sesungguhnya benar-benar terjadi. Ia melanjutkan bahwa ada beberapa versi dari peristiwa Rengasdengklok yang harus dipaparkan secara sama dan tidak memihak. Versi Hatta harus ditampilkan seimbang dengan versi Sukarni, begitu juga dengan versi lainnya.
Bambang Eryudhawan mengingatkan kepada pemerintah dan masyarakat bahwa bangunan itu sudah tidak insitu, bentuk aslinya belum ada yang tahu, begitu juga dengan bahan bangunan yang asli, berapa persen yang masih asli, dsb. Jadi masalah keontentikan harus menjadi perhatian utama, dan harus dijelaskan sejelas-jelasnya kepada mayarakat agat tidak terjadi kesalahpahaman. Jangan sampai ada kesan bahwa pemerintah tidak memperhatikan aset sejarahnya. Padahal kondisi rumah rengasdengklok tidak sama dengan rumah sejarah yang masih insitu, yang jelas bentuk aslinya, sebagian besar bahan bangunannya masih asli, dlsb.
Ternyata Bambang Eryudhawan juga memahami detail peristiwa rengasdengklok, dan mendukung apa yang telah ditegaskan oleh Rushdy Hoesein mengenai beberapa versi yang harus dipaparkan secara seimbang. Pak Yudha, begitu ia biasa dipanggil, memberikan contoh bahwa Hatta tidak pernah sekalipun menyentuh peralatan minum, yang selama ini diyakini adalah peralatan minum yang telah digunakan oleh proklamator itu. Begitu juga dengan perlengkapan tidur. Memang dua kamar yang berada di kiri dan kanan disediakan oleh “kalangan muda” atau “penculik” disediakan untuk beristirahat Sukarno beserta keluarga, dan Hatta. Akan tetapi apakah memang mereka menggunakannya untuk tidur. Perlu diingatkan kembali bahwa Sukarno dan Hatta tiba pada pagi hari di Rengasdengklok dan sore hari sudah kembali ke Jakarta. Jadi kemungkinan besar mereka tidak sempat menggunakannya. Hal ini harus diteliti kembali, agar informasi yang sampai kepada masyarakat adalah informasi yang benar.
Pak Yudha juga mengomentari penggunaan kata “kalangan muda/tua”, “penculikan”, “penculik”, dan “pengamanan”. Kata-kata itu sebenarnya merujuk pada versi yang mana, Subarjo, Sukarni, atau Hatta. Jadi pekerjaan revitalisasi Bangunan Cagar Budaya Rengasdengklok ini harus dilakukan dengan hati-hati dan melalui kajian yang benar. “Jangan menipu anak bangsa” tegas Pak Yudha.
Mengingat bangunan tersebut bagian dari sejarah penting yang terkait Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, maka Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Kantor Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Serang setiap tahun memprogramkan kegiatan terkait dengan pemeliharaan dan perawatannya. Tidak hanya agar lestari, tetapi juga dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.
Sekali lagi ditekankan bahwa pemerintah sampai saat ini tidak pernah lepas untuk memperhatikan bangunan ini. Meskipun tidak insitu, bentuk asli bangunannya belum diketahui, begitu juga dengan bahannya, pemerintah tetap memberikan perhatian. Salah satu bentuk pemeliharaan dan perawatanya adalah melakukan konsolidasi dan rehabilitasi pada bagian yang rusak. Honor kepada juru pelihara rengasdengklok pun diberikan setiap bulan. Komunikasi juga selalu dilakukan dengan ahli waris dan juru pelihara. Salam Lestari. (Ivan Efendi)