Para Arkeolog Menghadiri Diskusi Ilmiah Arkeologi (DIA)

0
1530

IMG_20151005_095553 (2)Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komda Jabodetabek menyelenggarakan Diskusi ilmiah Arkeologi pada 5 Oktober 2015 di Hotel Sofyan Betawi, Jakarta Pusat. Acara yang dihadiri anggota IAAI ini berlangsung satu hari. Hadir dalam acara ini sesepuh arkeologi, Prof. Dr. Edi Sedyawati, yang juga pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Kebudayaan.

Ketua panitia, Karina Arifin, Phd. saat memberikan sambutannya mengatakan bahwa kegiatan ini adalah suatu moment untuk berbagi informasi kepada anggota IAAI mengenai hasil penelitian terkini, baik penelitian murni maupun penelitian terapan. Sementara Ketua Komda IAAI Jabodetabek, Titi Surtinastiti dalam sambutannya mengatakan bahwa kegiatan Diskusi Ilmiah Arkeologi adalah salah satu dari beberapa kegiatan yang dilakukan oleh IAAI Jabodetabek, di antaranya pameran dan seminar.

Dalam acara ini, Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman (PCBM) Dr. Harry Widianto menjadi keynote speaker. Ada tiga hal penting yang disampaikan dalam kesempatan ini. Pertama bahwa penelitian arkeologi selayaknya harus multidisipliner. Harus menggandeng para spesialis. Kedua, kita harus mengembangkan laboratorium, khususnya untuk mengetahui pertanggalan dari hasil penelitian. Oleh karena pertanggalan merupakan ‘jiwa’ dari suatu penelitian. Ketiga kita harus memublikasikan hasil penelitian besama-sama. Publikasi hasil penelitian ini melalui dua cara, yang pertama melalui penerbitan, dan kedua melalui museum. PCBM saat ini memiliki dua program yang berhubungan dengan museum, yaitu pembangunan  museum, dan revitalisasi museum. Syarat museum yang dibangun harus bersifat nasional dan spesifik (museum tematik). Museum jenis ini menjadi program Dit. PCBM, di antaranya Museum Goa Harimau di  Sumatera Selatan, Museum di Situs Semedo dan Museum di Situs Liyangan. Sedangkan Museum yang telah selesai dibangun adalah Museum di Situs Sangiran, yang terdiri atas empat museum. Museum-museum ini selain menjadi tempat untuk memublikasikan hasil penelitian, juga menjadi tempat riset. Di area museum ini terdapat mess peneliti, sehingga disebut juga sebagai museum riset.

Hasil penelitian yang dipublikasikan melalui penerbitan harus didesain dalam bentuk yang populer, baik foto atau gambar, maupun redaksinya (bahasanya). Seperti buku Candi-candi di Jawa dan Candi-candi di Sumatera, dan sebentar lagi akan terbit buku mengenai gambar cadas.

Di akhir sambutannya Dr. Harry Widianto mengingatkan bahwa perkembangan penelitian arkeologi di Indonesia saat ini selayaknya tidak lagi mandiri, tetapi harus melibatkan masyarakat. Dalam arti penelitian arkeologi bukan hanya untuk arkeolog, tetapi harus disampaikan kepada masyarakat, baik melalui museum atau penerbitan. (Ivan Efendi)