Warsad Darya: Maestro Wayang Cepak “Wong Dermayu”

0
1678

Tak usah heran jika sekali waktu saat menonton pertunjukkan wayang cepak dari Indramayu, secara tiba-tiba adegan tokoh-tokoh yang tengah dimainkan ki dalang ‘dipaksa’ undur diri. Lalu, yang muncul kemudian suara sinden menyanyikan lagu cirebonan atau beberapa nomor lagu dari musik campursari. Suara alat musik dari instrumen modern pun “bergemuruh”, mengambil alih ruang seni pertunjukan tradisi wayang cepak.

Itulah pasar seni pertunjukan tradisional wayang cepak hari ini. Selain berada di wilayah pinggiran, peran sentral sang dalam dalam sebuah pertunjukan juga ikut terpinggirkan. Tak terkecuali pada pementasan dalang wayang cepak kondang macam Ki Warsad Darya dari Desa Gadingan, Kecamatan Siliyeg, Kabupaten Indramayu.

Sekali waktu Warsad menghadirkan lakon pertarungan antara Nyi Hindang Darma dengan Pangeran Wiralodra dari Babat Dermayu terkait “sejarah” awal mula Indramayu. Saat cerita sedang seru-serunya, tiba-tiba masuk surat dari penonton yang minta agar segera dilantunkan beberapa lagu khas cirebonan. Warsad Darya tak berani menolak bisikan dari
belakang panggung, lalu ia pun menghentikan pertunjukan. Nyi Hindang Darma dan Pangeran Wiralodra pun harus ikut mengalah, dan terpaksa menunggu di gedebok pisang yang jadi tempat para tokoh wayang cepak “berdiam” selama pertunjukan.

“Kalau permintaan mereka diabaikan, penonton bisa ngamuk,” kata Warsad sedikit tertawa dalam nada getir. Begitulah nasib pertunjukan tradisi wayang cepak dari Indramayu. Dalang tak lagi jadi penentu “hitam-putih” pergelaran di atas panggung. Tuan rumah dan penonton kini sudah ikut ambil bagian. Setiap kali pentas wayang cepak— yang sejak tiga dekade terakhir kian berkurang—itu digelar, permintaan lagu dari penonton di luar urusan lakon yang dimainkan terus mengalir. Belum lagi dari pihak tuan rumah, yang tak jarang ikut menentukan arah cerita dari lakon yang mesti dimainkan.

Kalau kemudian ki dalang Warsad Darya masih bisa bertahan dengan berbagai kompromi yang terpaksa harus ia jalani, termasuk ‘investasi’—lewat anaknya yang juga mulai ikut mendalang—pada peralatan musik masa kini, hal itu tak lain karena semangat untuk bertahan hidup dalam pengertian yang sesungguhnya. Bahkan untuk itu, salah satu anaknya, Cas Oni (lahir, 1982), secara khusus “mengembangkan” model pementasan wayang cepak dalam format baru alias plus pertunjukan musik cirebonan. Adapun Warsad Darya tetap murni di jalur tradisi, meski anak dan bapak itu berada dalam satu payung: Sanggar Jaka Baru.

Wayang cepak sesungguhnya memiliki banyak kemiripan dengan wayang golek pada umumnya. Karena itu, namanya pun kerap disebut wayang golek cepak. Namun ada unsur pembeda. Pertama-tama tentu saja dari nama “cepak” atau disebut juga “pak-pak” itu sendiri. Jika bentuk kepala tokoh-tokoh wayang golek pada umum sedikit agak meruncing, pada wayang golek cepak, ya, berbentuk cepak pada bagian belakangnya.

Perbedaan lain ada pada lakon cerita yang ditampilkan. Jika wayang golek pada umumnya banyak mengambil kisah tokoh-tokoh dari cerita Ramayana atau Mahabrata, wayang cepak dari Indramayu lebih fokus pada cerita tentang tokoh sejarah atau mengambil karakter tokoh dari dunia nyata. Sebutlah kisah tentang Sunan Gunung Jati atau para sunan lainnya (baca: walisongo), Raden Kiang Santang, Pangeran Wiralodra, atau raja-raja dari Kerajaan Mataram. Bahkan cerita dengan tokoh-tokoh seperti gubernur dan bupati pun tidak dianggap sebagai kisah di luar pakem wayang cepak.

Bagi Warsad, wayang cepak adalah sejarah hidupnya. Jauh sebelum jadi dalang pada sekitar tahun 1962, Warsad muda hidup dalam keluarga berkekurangan. Bermacam pekerjaan ia lalui. Mulai dari membantu sang ibu berjual gorengan dari kampung ke kampung, mengurug tanah di kampung orang, menjadi perawat kuda di daerah Cirebon, hingga sempat jadi “juragan” tahu bermodalkan kepercayaan orang lain. Cerita sebagai “juragan” tahu ini ia ulang-ulang dalam nada penuh kebanggaan: dia sendiri yang membeli
bahan baku berupa kedelai di Jatibarang, membuatnya sendiri, lalu dia pula yang bertidak sebagai penjualnya.

“Pertama-tama saya beli satu kilo kedele, lalu dibuat tahu dan dijual. Besoknya bisa beli dua kilo, besoknya lagi tiga kilo, hingga bisa beli lima kilo. Pemilik toko di Jatibarang heran, untuk apa jauh-jauh mengayuh sepeda dari Gadingan hanya beli 1-2 kilo kedele. Setelah saya cerita, dia langsung bilang, ‘kamu mau tidak kalau saya utangi 15 kilo’. Sejak itu saya bisa bikin tahu lebih banyak, lebih banyak lagi, sampai diutangi hingga 100 kilo, dan saya bisa beli sendiri alat untuk membuat tahu,” tutur Warsad.

Terlahir sebagai anak pertama dari sembilan bersaudara, Warsad muda diakui oleh warga kampungnya sebagai pekerja yang rajin dan ulet. “Sampai-sampai ada seorang bapak yang ingin mengambil saya sebagai mantu. Tapi saya tidak mau, lalu untuk menghindar saya pergi merantau. Usaha jualan tahu saya tinggalkan,” katanya. Sekitar dua tahun meninggalkan kampung, Warsad pulang ketika mendapat berita salah satu adiknya meninggal dunia. Di sinilah titik balik sejarah hidup Warsad bergeser. Sepeninggal kepergian adik kesayangannya itu, ia lebih banyak termenung, lalu iseng-iseng mencoret-coret, menggambar tokoh-tokoh pewayangan. Di malam hari, di hadapan anak-anak kampung, gambar-gambar itu kemudian ia mainkan sebagai anak wayang. Hampir setiap malam. Anak-anak pun bertambah ramai menonton Warsad muda menirukan cara dalang tampil di pertunjukan wayang.

“Lalu ada orang tua datang melihat. Dia mengatakan kepada saya bahwa leluhur kita
punya pertunjukan wayang, namanya wayang cepak. Sejak itulah saya mencari tahu tentang wayang cepak. Saya belajar dengan tanya sana-sini. Tak ada guru. Setelah lebih setahun, baru berani mentas. Kalau tidak salah, itu sekitar tahun 1962,” ujar Warsad.

Tanpa disangka, pentas perdananya di kelurahan tersebut ternyata sekaligus menjadi tempat di mana Warsad diakui oleh warga kampung sebagai dalang wayang cepak. Sejak itu nama ki dalang Warsad mulai dikenal di luar kampung. Tak tanggung-tanggung, dia langsung dipesan untuk manggung pada musim panen berikutnya. Sebuah lompatan besar. Selama tahun 1960-an itu, kata Warsad, rata-rata per tahun tak kurang dari 80 pertunjukan wayang cepak yang ia tampilkan. Bahkan di tahun 1970-an menjadi tahun kejayaan pentas wayang cepak ki dalan Warsad. “Kalau dirata-ratakan, sepanjang tahun 1970-an bisa mentas 120-150 kali per tahun. Bahkan pernah dalam sehari saya harus mentas di empat kampung yang berbeda,” tuturnya. Pada tahun-tahun ini, nama Warsad semakin moncer. Ia pun mulai membuat sendiri karakter tokoh-tokoh wayang cepak-nya, tak lagi menyewa seperti di era 1960-an.

Namun memasuki era 1980-an, masa kejayaan itu perlahan meredup. Permintaan masih terus mengalir, tetapi tak sepadat di era 1970-an. Pertunjukan sandiwara dan tarling mulai menjadi saingan wayang cepak. Bahkan memasuki tahun 1990-an, peminat pertunjukan wayang cepak seperti menuju titik balik, seiring mulai menjamurnya seni pertunjukan baru yang berbasis perangkat musik modern seperti pertunjukan organ tunggal. Kini, di milenium ketiga yang ditandai dengan kehadiran anak-anak muda kampung yang serba terhubung dengan dunia digital berkat kemajuan teknologi informasi, wayang cepak pun kian ditinggalkan.

Dari enam dalang cepak yang sempat eksis di Indramayu pada era 1970-an hingga 1980 an, kini tingal dua orang yang masih bertahan. Selain Warsad Darya dengan Sanggar Seni Jaka Baru-nya di Desa Gadingan-Siliyeg, ada Ki Achmadi dari daerah Anjun, Paoman, Indramayu. “Hanya tinggal kami berdua,” kata Warsad.

Soal regenerasi dalang wayang cepak, Warsad tak khawatir. Dua dari tiga anak lelakinya, Suyatno dan Cas Oni, saat ini pun sudah berprofesi sebagai dalang wayang cepak. Kalau ada anak-anak muda tertarik untuk belajar menjadi dalang wayang cepak versi Indramayu, dengan lantang dan tegas Warsad berucap, “Saya siap, sanggup, mengajarkan.”