Maryam: Maestro Senandung Jolo dari Tepian Sungai Kumpeh

0
4563

Suara Wak Maryam terdengar lirih ketika melantunkan pantun pembuka pada setiap  pertunjukan senandung jolo. Ditingkahi suara “taktak tung… tak-tak tung-tak-tak tung… tak-tak tung” dalam irama monoton yang dihasilkan oleh instrumen musik dari bilah-bilah kayu dan kendang yang dipukul para pengiringnya, Wak Maryam terus mengulang-ulang sampiran dan isi pantun pembuka tersebut. //Kalulah tuan dik oii naek perahu/Jangan lupo dik membawa jalo/Kalu tuan dik oii ingin tau/Ikolah diok senandung jolo…//

Penduduk usia paruh baya di kampung itu umumnya memanggil dia dengan sapaan Wak
Maryam. Sementara di kalangan generasi muda di sana ia lebih dikenal dengan sebutan Nek Maryam si penyenandung jolo. Dan, sebagaimana seniman tradisi pada umumnya, Maryam alias Wak Maryam pun hidup dalam kesahajaan. Bahkan di saat musim bertanam padi, ia kerap tinggal sendirian di pondok ladang anaknya yang tak seberapa jauh dari kampungnya, menunggu sekaligus menjaga padi yang tengah menguning dari gangguan burung di pipit di siang hari dan ancaman babi hutan pada malam hari.

Meski serba kekurangan, ia tidak hidup dari seni tradisi yang membuat namanya terkenal hingga ke ibu kota provinsi. Apalagi menggantungkan hidup dari kesenian ini. Sebaliknya, kalau mau jujur, justru Wak Maryam bersama dua kerabatnya—Wak Zuhdi dan Wak Begam—lah yang menghidupi sekaligus menghidupkan seni tradisi senandung jolo. Dalam kaitan ini, Wak Maryam dan dua kerabatnya itu pulalah yang ikut mengangkat nama Jambi ke tingkat nasional, menyusul ditetapkannya senandung jolo sebagai Warisan Budaya Tak-Benda (WBTB) Indonesia pada 2014.

Dialah maestro seni tradisi dari Desa Tanjung, Kecamatan Kumpeh Ilir, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Bersama Zuhdi (lahir 2 Mei 1955) dan Alfian alias Wak Begam (lahir tahun 1950), Maryam tampil bahu-membahu sebagai trio senandung jolo dari tepian Sungai Kumpeh, yang di akhir September 2019 tengah dilanda bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan di sana. Mereka bertiga pula-lah yang kerap tampil dalam berbagai perhelatan seni budaya. Namun, seperti diakui Wak Zuhdi dan Wak Begam, selain paling dituakan, Wak Maryam-lah semacam sindennya dalam pertunjukan senandung jolo.

Maryam tidak tahu sejak kapan senandung jolo hadir menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Tanjung di Kumpeh Ilir. Alih-alih menelusuri sejarah keberadaan kesenian tradisi ini, dia sendiri bahkan tidak tahu tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya. Yang dia ingat, dulu orangtuanya menuliskan “akta kelahiran”-nya di dinding rumah mereka. Tapi rumah itu sudah lama dibongkar, tanpa ada yang mengingatkan akan pentingnya membuat salinan “akta kelahiran” tersebut.

Bertahun-tahun kemudian, hanya karena “akta” itu dibutuhkan untuk keperluan data kependudukan, usia sang seniman tradisi ini pun dikira-kira, hingga “ditemukan”-
lah tahun kelahirannya: 1950. Tanggal dan bulan? Lewat ‘rembuk kekeluargaan’ dengan pihak terkait, maka mengacu peraturan perundang-undangan terkait administrasi kependudukan, bahwa: “mereka yang tak ingat tanggal dan bulan kelahiran boleh memilih di awal (1 Januari), pertengahan (1 Juli) atau di akhir (31 Desember) tahun”. Akhirnya Maryam pun bisa “memilih” sendiri tanggal dan bulan kelahirannya: 1 Januari 1950, sebagaimana tertera di kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) miliknya. Tanggal dan bulan kelahiran yang kemudian dijadikan isu besar oleh pihak-pihak yang tidak paham tentang sistem administrasi kependudukan pada sengketa Pilpres 2019.

Namun, satu hal yang selalu Maryam ingat, jolo atau bajolo adalah kebiasaan yang telah ada sejak dulu, diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Ia ingat betul ketika beranjak dewasa, di saat setiap ikut menanam padi secara beramai-ramai di sawah tadah hujan milik penduduk Desa Tanjung, mereka pun saling bajolo, bersahut pantun secara spontan. Bahkan tak jarang saling mematahkan isi pantun “lawan”, sehingga yang tak mampu menjawab dianggap “kalah” dalam bajolo.

Tradisi bajolo, konon, pada awalnya lebih banyak bertumbuh di kalangan muda-mudi. Biasanya berawal dari seorang pemuda yang jatuh cinta pada seorang gadis. Sebagai bentuk ungkapan kasih, yang bersangkutan menggunakan pantun (jolo) sebagai media komunikasi. Pantun berisi maksud hati yang tersembunyi itu ia “bunyikan” secara berirama dalam bentuk nyanyian, kemudian disahut oleh sang calon kekasih, juga dalam bentuk pantun yang dinyanyikan (bajolo). Tradisi bajolo ini kemudian berkembang ke wilayah sosial yang lebih luas. Di sawah saat musim tanam dan merawat padi hingga panen, di sungai saat menangkap ikan, hingga ke acara seperti syukuran dan atau untuk memeriahkan pesta pernikahan.

Sebetulnya, jauh di masa lalu, tak ada nama khusus yang ditabalkan pada seni tradisi ini kecuali sebutan jolo atau bajolo, yang dalam bahasa Indonesia berarti pantun atau berpantun. “Orang-orang tua dulu hanya menyebutnya jolo atau bajolo. Cuma itu. Entah sejak kapan ia dinamakan senandung jolo. Kami ikut sajo-lah,” kata Maryam. Banyak kalangan menduga, munculnya kata senandung di depan sebutan jolo atau bajolo, sehingga nama “resmi”-nya kini menjadi senandung jolo, hal itu lebih karena ketika mereka bajolo, pantun tersebut disampaikan dalam bentuk nyanyian atau bersenandung.

Dengan kata lain, senandung jolo sebagai sebuah nama adalah sebutan baru yang datang dari luar, bukan dari pemilik tradisi untuk sendiri yang sejatinya hanya mengenal istilah jolo atau bajolo. Terlebih, kosa kata “senandung” itu sendiri baru pada beberapa dekade terakhir menjadi kosa kata umum yang akrab di telinga warga Desa Tanjung dan sekitarnya, yakni sejak seni tradisi jolo atau bajolo yang mereka warisi turun-temurun itu di-“baku”-kan namanya menjadi senandung jolo.

Kalau saat ini pentas senandung jolo selalu diiringi tabuhan musik, itu pun perkembangan kemudian. Pada mulanya ia hanya berupa “permainan” pantun yang disajikan dalam bentuk nyanyian. Sekadar pelepas lelah atau untuk menghibur hati duka-gembira. Belakangan muncul instrumen musik pengiring, terbuat dari bilah-bilah kayu, sejenis gambang. Dalam perkembangan berikutnya, sejak awal 2000-an ketika senandung jolo berkembang menjadi seni pertunjukan seperti sekarang, instrumen musik pengiring aktivitas seni bajolo ditambah kendang kayu dan gong.

Jolo atau bajolo berasal dari masa lalu yang belum terlacak awal mula kehadirannya. Ia berkembang lewat sistem pewarisan tradisional dalam arti tidak secara terstruktur, melainkan dengan cara melihat dan mendengar dari tradisi yang hidup (living traditions), kemudian menjadi semacam ingatan kolektif yang tersimpan di masyarakat bersangkutan tentang tradisi tersebut. Sebagai sebuah ingatan ia bersifat seperti cairan. Ketika ingatan akan tradisi itu dikukuhi, dihidupi, ia menjadi liat dan berkembang. Sebaliknya, ia pun begitu mudah dipengaruhi sumber “pengetahuan” baru dari luar sehingga ingatan kolektif itu gampang luluh. Artinya, kepunahan—atau paling tidak proses pelupaan, pengabaian dan atau peminggiran—selalu mengancam keberadaan seni tradisi.

Pada satu ketika, jolo atau bajolo juga mengalami masa-masa itu. Seperti diakui Wak Maryam—dan diiyakan oleh Wak Zuhdi dan Wak Begam, dua dekade di penghujung abad lalu tradisi bajolo sempat mati suri. Masuknya gambus dan calung ke Desa Tanjung pada tahun 1980-an disebut-sebut sebagai awal dari proses pelapukan yang menimpa tradisi bajolo. Perangkat alat musik itu disumbangkan oleh seorang pengurus salah satu partai politik menjelang pesta demokrasi Pemilu 1982. Dalam waktu singkat, kesenian dari tanah Sunda itu mulai mengisi sebagian ruang sosial masyarakat setempat, yang sebelumnya arena hiburan tersebut lebih banyak menampilkan pertunjukan bajolo.

Sejak itu senandung jolo mulai kehilangan panggung. Panggung hiburan untuk mengisi acara pernikahan, syukuran, khitanan dan lain sebagainya tak lagi menghadirkan senandung jolo. Yang tersisa hanya kenangan. Trio senandung jolo dari Sanggar Seni Mengorak Silo, Wak Maryam berserta Wak Zuhdi dan Wak Begum, pun banting setir: kembali ke khittah, menghidupi kembali tradisi bajolo. Meski tertatih-tatih, di awal abad ke-21 titik terang mulai terasa.

Setelah hampir 20 tahun dilupakan, secara perlahan seni bajolo mulai kembali ditoleh, meski sejauh ini apresiasi itu datang masih lebih banyak dari kalangan terdidik. Institusi kebudayaan mulai memanggungkan mereka, seperti dilakukan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Cabang Jambi bersama Balai Bahasa Jambi lewat Panggung Pertunjukan Seni Tradisi. Sejumlah mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi—sebutlah seperti dari Program Studi Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jambi, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang, hingga dari Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta—pun menjadikan senandung jolo sebagai objek penelitian untuk penulisan skripsi (S1) dan tesis (S2) mereka.

Walau tak banyak, anak-cucu dari trio senandung jolo Sanggar Seni Mengorak Silo kini mulai ada yang tertarik belajar seni bajolo. “Ado satu cucu sayo yang sedang belajar bajolo, tapi sekarang lagi mondok di pesantren,” ujar Wak Maryam. Meski tak rutin, Wak Maryam cukup terhibur dan berharap, kelak sang cucu mau meneruskan tradisi bajolo. “Agar seni moyang ini tidak mati. Sedih sayo kalau tak ado yang meneruskan tradisi bajolo ini,” tambahnya. Di akhir perjumpaan, seperti halnya di penghujung pertunjukan senandung jolo di atas pentas, selarik pantun (jolo) pun ia lantunkan: //Mangkuk sabun berisi minyak/Biji karanji bawa ke toko/Mintak ampun pado yang banyak/Kami bajolo sampai di siko…//

Sumber: Buku Profil Penerima Anugerah Kebudayaan 2019