Tari Sining, Tari Masyarakat Gayo (1)

Hampir semua tarian tradisional yang berbasis pada kearifan dan kekayaan budaya lokal di setiap daerah selalu dilatari dengan adat istiadat, sosio cultural, topografi alam dan sejarahnya sendiri. Justru karena itu eksistensi tari Sining dalam masyarakat Gayo pada pertengahan abad ke-18 atau sebelumnya hingga awal abad ke- 19 ketika tarian tersebut tidak berkembang dan kemudian menghilang, dapat digolongkan bagian dari salahsatu periodeisasi sejarah seni tari Indonesia (periode sebelum Masehi, pengaruh budaya Hindu mulai abad ke 1 Masehi, pengaruh budaya Islam mulai abad ke-13 Masehi, pengaruh budaya Eropa mulai abad ke- 15 Masehi, jaman pergerakan nasional mulai abad ke-20 Masehi atau periode masa kemerdekaan 1945). 

Seperti halnya tari Guel yang lahir pada tahun 417 H dari kisah perjalanan putra Sengeda Reje Linge yang mempersembahkan seekor gajah berwarna putih kepada Sultan Aceh Al-Qahar. Sebelumnya serombongan anak muda memainkan alat musik canang, teganing, gegedem, seruné sambil menari. Tarian tersebut bertahan dan berkembang hingga abad modern dan menjadi salah satu tarian Gayo yang cukup berkembang dan digemari.

Dilihat dari segi muatan, prosesi, isi syair serta bentuk-bentuk lainnya yang sepesifik, tari Sining dapat dikategorikan bagian dari periodeisasi yang ketiga. Meski berangkat dari latar belakang adat, dalam perjalanannya jenis tarian ini justru berbanding terbalik dengan tari Guel.

Tari Sining dalam kehidupan berbudaya masyarakat Gayo tempo dulu digelar dalam dua prosesi adat yang sakral. Kedua prosesi tersebut adalah; 

 

1. Sebagai tarian prosesi dalam rangka membangun tempat hunian (rumah) dan 

2. Sebagai tarian pengiring dalam upacara memandikan dalam rangka melantik pemimpin baru.

 

Pertama di atas kayu lintang (Bere ni Umah) sebuah bagian bangunan rumah adat atau umah naru. Yang ketinggiannya bisa mencapai antara 8 hingga 12 meter dari atas permukaan tanah (pondasi). Posisinya persis pada bagian tiang lintang utama yang menghubungkan antara satu tiang dengan tiang lainnya pada bagian depan bangunan. Sebelumnya hal yang sama dilakukan / ditarikan di atas dulang yang merapat ke tanah. 

Kedua tari Sining dipergelarkan ketika akan melantik/mengesahkan seorang pemimpin. Tempatnya di tanah lapang, atau di tempat yang dekat dengan sumber air atau pinggir danau. Dalam prosesi ini sang raja dimandikan oleh beberapa unsur sarakopat dengan prosesi tertentu dan diiringi dengan tari “Turun Köwih/Turun Ku Lut” yang di dalamnya juga inklut unsur tari Sining.

Tarian Sining sebagai prosesi adat dalam rangka melantik/mengesahkan seorang pemimpin biasanya dilakukan ketika sang raja terpilih akan melaksanakan tugas menggantikan raja sebelumnya. Tarian ini juga dilakukan secara berkala pada setiap tahunnya kepada raja yang sama, sebagai simbol pembersihan atas segala kekhilafan, kesewenang-wenangan selama setahun memimpin negeri untuk berbuat yang lebih baik pada tahun berikutnya. Terkait ini menurut Irwansyah Arita, salah seorang Bupati Kabupaten Aceh Tengah yang pernah menjabat pada periode 1982-1998 Bukhari Isaq, pernah dimandikan dalam sebuah prosesi tersebut di Kampung Isaq Kecamatan Linge.

Prosesi ini justru dilakukan oleh unsur petua adat dan rakyat secara bersama, sebuah prosesi yang dapat disebut sebagai auto kritik kearifan lokal terhadap pemimpinnya. Rakyat yang baik adalah rakyat yang mau mengingatkan pimpinannya jika keliru, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau memperbaiki kekeliruannya dengan tetap mengagungkan rakyatnya sebagai pemegang mandat.

Dalam hal ini Sining bukan menjadi tarian yang utuh sebagaimana sebuah prosesi dan ritual adat, melainkan hanya unsur-unsurnya saja dari bagian tarian yang berkenaan. Sedang nama tarian yang utuh dalam prosesi memandikan raja disebut dengan tari “Turun Köwih /Turun Ku Lut”. 

Tari “Turun Köwih/Turun Ku Lut”, menurut Ketua Majelis Adat Gayo (Mango) Kabupaten Aceh Tengah periode 2016-2020 juga bernasib sama dengan tari Sining. Tarian ini dianggap telah punah dari media ekspresi masyarakat seiring dengan perubahan sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi negara kesatuan (republik), yang tidak lagi menggunakan kearifan adat dalam melantik dan memandikan raja pada setiap tahunnya. Saran dan usulan Ketua Majelis Adat Gayo (Mango) Kabupaten Aceh Tengah, merekomendasikan agar tarian ini juga dapat direvitalisasi.

Mengingat objek penelitian kali ini hanya memfokuskan diri pada tari Sining, maka informasi tentang tari “Turun Köwih/Turun Ku Lut” adalah sisi kekayaan tari masyarakat Gayo lainnya yang perlu mendapat perhatian dikemudian hari. 

Prosesi pendirian/pembangunan rumah adat masyarakat biasanya didahului dengan mencari, memilih dan menebang kayu hutan yang dianggap terbaik. Untuk tiang penyangga ukuran panjangnya bisa mencapai antara 18 hingga 20 meter, dengan besar lingkaran dua sepelukan tangan orang dewasa. Sebelum ditebang sesepuh adat meminta ijin kepada lingkungan hutan dan kayu yang telah dipilih untuk dijadikan reje tiang. Ketika kayu-kayu yang akan dijadikan tiang tersebut sudah rebah, sekumpulan lelaki dewasa akan membersihkan batangnya dari cabang, ranting dan akar-akar kayu lain yang melilit di atasnya. Prosesi ini biasanya dilakukan pada pagi hari menjelang siang. 

Langkah berikutnya sekumpulan lelaki dewasa kemudian mengikat tali dari akar-akaran hutan di salah satu ujung kayu yang telah ditebang, untuk selanjutnya ditarik secara bersama-sama dari hutan menuju kampung atau lokasi pembangunan rumah. Sementara itu kaum ibu dan remaja putri dengan senang hati menyiapkan makanan secara bergotong royong. Saat menarik reje tiang tidak jarang diiringi dengan nyanyian-nyanyian, bebunyian serta sorak sorai. Dalam proses ini juga tidak jarang diiringi juga dengan bebuyian seperangkat canang oleh kaum wanita untuk memberi semangat.

 

Tegu kutegu

Ko le kayu ari uten baur ku paluh 

Mungéléh ku pematang sawah ku umah

Ko le kayu simalé kin reje tiang

Kupancang kin penumpu

Kupantik kin umah naru

Aaaa saaaluuu aaaléééééé

 

Tegu kutegu mununung loloten

Aru pematangbelang

Bergalah tali naru, lagu bergegiriten 

Aaaa saaaluuu aaalééé   

 

Ketika semua bahan bangunan kayu sudah siap dibersihkan dan dipahat dibagian-bagian tertentu yang kemudian disatukan dengan tiang bangunan lainnya. Tahapan berikutnya adalah ditegakkan dengan cara ditarik secara bersama-sama dari arah dalam, sementara dari arah luar mengikuti sebagai penyeimbang agar tiang tidak bergeser dari pondasi yang sudah ditentukan. Bagian akar kayu (perdu) harus tetap berada di bawah, dan bagian dari pucuk (ujung) kayu berada di bagian atas sebagaimana posisi dan bentuk aslinya bahan tiang yang digunakan sebelum ditebang. Jika hal ini terpasang terbalik dianggap sebagai sesuatu yang yang menyalahi hukum gravitasi, akibatnya kekuatan bahan bangunan akan berkurang dan sewaktu-waktu akan mengeluarkan bunyi seperti suara derik atau suara gesekan antara kayu dengan kayu.

Ketika tiang-tiang sudah berdiri tegak dan disatukan dengan kayu penghubung antar tiang lainnya yang disebut dengan bere, yang secara keseluruhan telah membentuk sebuah kerangka bangunan rumah. Penyatuan antar unsur bangunan dengan lainnya yang kesemuanya berbahan kayu-kayu pilihan tidak menggunakan material besi atau paku sebagai perekat. Antara komponen dari keseluruhan struktur bangunan digunakan pasak berbentuk bulat atau empat persegi (baji).

Setelah tahapan ini sudah selesai, baru kemudian dilanjutkan dengan prosesi adat berikutnya. Prosesi adat yang dimaksud adalah sebuah tahapan aturan menurut adat sebelum proses pengerjaan pembangunan rumah disempurnakan.   

Pada tahap ini seorang petua adat dengan beberapa pendamping melakukan tepung tawar ke seluruh tiang penyangga. Di tiang utama (reje tiang) yang berada di bagian depan bangunan rumah, sang petua melakukan semacam pemantauan akan keseimbangan bangunan, keharmonisan antar unsur kerangka bangunan dengan permukaan tanah dan lain-lainya.

Pemantauan ini dilakukan mulai dari permukaan tanah dan di atas dulang hingga ke atas bangunan dengan gerakkan-gerakan yang menyerupai gerakan burung ketika membangun sarang. Pertimbangan ketinggian, luas ideal dan kekuatan bangunan hingga perhitungan arah terbitnya matahari, kiblat shalat dan arah mata angin menjadi objek pada setiap pengamatan pandangan dan teknik gerakkannya.

Puncak pantauan sang petua adat terjadi ketika berada di atas bangunan, persis di atas kayu penghubung antar tiang dengan reje tiang yang disebut dengan bere. Gerakan tubuhnya seolah menari sambil berjalan dan melakukan loncatan kecil dari satu sudut ke sudut lainya, mengibas-ngibaskan kain seperti kibasan kepak sayap seekor burung mencari keseimbangan di ketinggian dahan. Memutar-mutar tak searah jarum jam, menghentak, melompat dan seterusnya. Diantara gerakan-gerakan itu semua sang petua adat adat juga seolah berguman mengucapkan sesuatu, beramanat kepada setiap kompenen bangunan dengan bahasa adat Gayo. 

Gerakan-gerakannya sangat dinamis dan heroik. Tidak sembarang orang yang dapat menari seperti itu di atas bere. Tidak jarang untuk seorang penari Sining harus melakukan puasa terlebih dahulu, baru kemudian baru dapat menari. Karena tarian ini adalah tarian ritual dan mengandung unsur mistis yang sangat kental, memerlukan konsentrasi dan keseimbangan diri yang tinggi karena berada di ketinggian, serta penjiwaan dari penarinya. 

Dari keseluruhan prosesi yang dilakukan oleh petua adat inilah yang disebut dengan tari Sining dalam prosesi pembangunan rumah dalam budaya Gayo. Sang penari Siningnya sendiri adalah sang petua yang melakukan semua aktivitas di atas bere ni umah.

Dalam kontek karya dan ekpresi ada karya seni yang lebih mengutamakan pesan budaya, yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal masyarakat. Hal ini mencerminkan bahwa masyarakat yang bersangkutan bermaksud menjawab atau menginterpretasikan permasalahan kehidupan sosialnya, mendambakan kemakmuran, kebahagiaan dan rasa aman dalam bentuk karya seni. Dengan demikian karya dan ekpresi seni tradisional sarat dengan berbagai makna yang tersirat di belakang sebuah objek, yang acapkali bersifat simbolis. Baik gerak atau benda.

Scroll to Top