MELESTARIKAN KEBUDAYAAN BETAWI DI TENGAH GEMPURAN GLOBALISME

0
1616

Notice: Trying to get property 'roles' of non-object in /home/website/web/kebudayaan.kemdikbud.go.id/public_html/wp-content/plugins/wp-user-frontend/wpuf-functions.php on line 4663

DSC_0664
Di tengah serbuan globalisasi yang luar biasa, Yahya Andi Saputra berjuang melestarikan kebudayaan Betawi dengan melakukan berbagai penelitian dan kemudian menuliskannya dalam sejumlah buku serta aktif dalam kegiatan sastra lisan. Kegiatan yang dipilih Yahya adalah jalan “sunyi.” Apa yang jadi perhatiannya jelas bukan “trending topic.” Kegiatan itu pun tidak begitu menjanjikan secara ekonomis. Bahkan untuk itu, ia tidak jarang merogoh sakunya dalam-dalam untuk membiayai kegiatan.

Yahya justru merasa harus berpacu dengan waktu untuk mencatat berbagai tradisi Betawi, mulai dari soal kuliner, kesenian, sampai berbagai ritual budaya yang terancam punah oleh gelombang globalisme yang menyerbu kota megapolitan Jakarta. Apalagi tidak banyak orang yang berminat menggeluti bidang ini. Rekan-rekan seangkatannya yang masih bertahan di bidang ini bisa dihitung dengan jari sebelah tangan.

“Saya mencintai budaya saya, khususnya kesenian dan kebudayaan Betawi pada umumnya. Saya tumbuh bersama itu. Sejak masih duduk di SD saya mengikuti pertunjukan rombongan kesenian tradisional, seperti lenong. Dan, hal itu membuat saya dari hari ke hari makin menyadari bahwa saya memiliki sesuatu yang khas. Saya terpanggil untuk mengenalnya lebih dalam dan memperkenalkannya kepada orang lain. Saya mempunyai niat untuk melakukan itu,” kata mantan wartawan di sejumlah media ini.

Dengan semangat yang bernyala-nyala, Yahya aktif mencatat tradisi Betawi yang masih bertahan sampai sekarang dan menggali dari ingatan para narasumber yang umumnya sudah sepuh. Dari ibunya yang sudah sepuh, ia mempelajari bagaimana memelihara obat-obat Betawi, teknik urut orang yang hamil tujuh bulan, anak yang tidak bisa jalan, dan bagaimana nyapi anak yang sudah berumur tiga tahun, dan kebiasaan menanam daun sirih, daun teleng, daun kelor, jambu, dan belimbing di sekitar halaman rumah.

“Itu bukan semata-mata ditanam oleh nenek moyang, tetapi memiliki makna sosial yang luar biasa. Ketika anak bengek, anak cukup diberi daun sirih. Kalau lagi kerja bakti, buah-buah yang kita tanam, seperti belimbing dan jambu bisa dipetik untuk orang-orang kerja bakti,” kata Yahya yang telah menulis banyak buku tentang budaya Betawi.

Demi pelestarian itu, tidak jarang Yahya harus bepergian jauh. Ia meneliti budaya Betawi di Depok, Bogor, dan komunitas Betawi lainnya, meskipun daerah-daerah tersebut sudah secara administratif tidak masuk Jakarta, namun secara kultural masih sebagai budaya Betawi. Bahkan ia pergi jauh sampai ke Pakis Jaya, di Kerawang, Jawa Barat, karena di sana terdapat kampung Melayu yang budayanya masih sama dengan budaya Betawi di Jakarta.

Kegiatan yang juga ia geluti adalah mengembangkan seni tutur Shohibul Hikayat, salah satu bentuk sastra lisan. Ia pernah mempunyai pengalaman buruk ketika harus bercerita di depan anak-anak di sebuah sekolah internasional di mana anak-anak biasa dicampur dengan anak-anak autis. Ia harus kerja keras untuk membangkitkan imajinasi anak-anak tersebut lewat kata-kata. Namun, pengalaman itu justru membuat Yahya semakin meningkatkan keterampilan bertuturnya. Saat ini ia menjabat Ketua Asosiasi Tradisi Lisan DKI Jakarta.

Berbagai hal yang telah dilakukan Yahya Andi Saputra itu berkaitan dengan upayanya melestarikan kebudayaan Betawi, pada 2015 ini Pemerintah RI melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan Penghargaan Kebudayaan untuk Kategori Pelestari kepadanya. Ia mengaku terkejut dengan penghargaan itu. “Saya berterima kasih kepada Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saya merasa belum melakukan apa-apa. Penghargaan ini bisa menjadi pelecut atau cambuk buat saya untuk lebih membuka hati, lebih bergairah memelihara milik kita,” katanya tentang penghargaan tersebut.

Mengenai globalisasi yang menyerbu Jakarta, dengan tegas ia mengatakan, “Saya nggak khawatir dengan datang menggebu-gebu seperti budaya popular, tetapi lebih pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada kebudayaan. Sejak 2011, kami mengupayakan adanya Perda untuk pelestarian Budaya Betawi. Namun hal itu belum menjadi fokus utama dalam sidang-sidang DPRD. Dalam struktur (Pemda DKI) belum ada bidang khusus budaya Betawi.”

Yahya yang aktif dalam berbagai organisasi, seperti Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) selalu optimistis dengan kehidupan budaya Betawi karena ia berpandangan bahwa kebudayaan memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya sendiri meski orang tidak mempedulikan.