MELESTARIKAN BUDAYA AIR HUJAN DENGAN PENELITIAN ILMIAH

0
1780

DSC_1656
Budaya menggunakan air hujan cukup banyak di Indonesia, seperti di Kalimantan, Papua, dan di Jawa, yaitu di sekitar Lereng Gunung Merapi dan Wonosari. Budaya menggunakan air hujan selama ini belum mendatangkan suatu bencana. Paling tidak, selama ini kita tidak mendengar orang yang menggunakan air hujan mengalami gangguan kesehatan. Budaya menggunakan air hujan itu umumnya dianggap rendah dan semakin diremehkan. Dari hal itu timbullah pertanyaan, seperti benarkah demikian? Apa memang harus ditinggalkan? Kalau diteruskan, bagaimana?

“Saya mengalami pengalaman yang sama di daerah Klaten, di tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Kemalang, Karangnongko, dan Jatinom. Sejauh pengamatan saya selama dua tahun sejak 2011 sampai 2012, masyarakatnya sehat. Timbul kecurigaan bagi saya, apakah salah satu faktornya penggunaan air hujan,” kata Romo Vincentius Kirjito, PR saat ditemui di Pusat Pastoral Sanjaya, Muntilan.

Kemudian Romo Kirjito berdiskusi dengan temannya, Agus Bimo, seorang seniman dari Klaten dan pecinta lingkungan. Agus Bimo juga sangat mengagumi air. Mereka berdua sama-sama menaruh perhatian terhadap masalah ini. Lantas mereka berkunjung ke sejumlah penduduk.

Dari data-data yang mereka peroleh, kesimpulannya bahwa orang-orangdi tiga kecamatan itu jarang kena stroke.Tubuh mereka kuat-kuat, sehat-sehat fisiknya. Dan ketika diajak berdiskusi atau berdialog “nyambung” dan mereka juga menemukan beberapa anak sekolah yang berprestasi dari daerah itu.

“Kami berdua bertekad untuk tidak membiarkan budaya mereka ini dipinggirkan. Tetapi bagaimana caranya? Tidak mungkin kami memakai kata agama yang mengatakan, “air itu suci,” atau“air itu sumber hidup.” Sudah terlalu biasa mengatakan itu. Kemudian, kami mempelajari bagaimana air sehat itu, baik menurut WHO maupun Kementerian Kesehatan,” kisah Romo Kirjito.

“Ternyata ada dua alat ukur yang sangat penting dalam dunia air, yaitu TDS (total dissolve solid, alat untuk mengukur kandungan mineral dalam air) dan alat untuk pengukur ph air, yaitu unsur basanya. Menurut kami berdua, masyarakat perlu diajak untuk meneliti air yang mereka minum dengan menggunakan kedua alat itu. Kami mencoba. Kemudian, kami mengambil satu dusun, yaitu Dusun Bunder, Jarakan, Desa Bandungan, Kecamatan Jatinom, sebagai pilot project. Kami mengadakan pertemuan dan mengukur air hujan yang ditampung di keluarga-keluarga sambil memproses ionisasi.Dengan bertambahnya pengetahuan mereka, kemudian mereka mencoba hasil-hasilnya bahwa TDS air hujan rendah, sedangkan unsur ph-nya tinggi. Hanya itu yang saya dan Pak Bimo lakukan. Itu bukan promosi, itu bukan iklan, tetapi mereka datang ke laboratorium untuk latihan. Kegiatan hanya itu,” ujarnya.

Romo Kirjito mengungkapkan, setelah masyarakat melakukan pengukuran sendiri air hujan yang mereka konsumsi dengan TDS dan alat pengukur ph, mereka mengambil kesimpulan sendiri: “mau pakai air hujan saja.” Itu keputusan mereka sendiri.

Budaya meneliti air hujan yang akan dikonsumsi muncul dalam kehidupan masyarakat pengguna air hujan. Putri, salah seorang pengguna air hujan di Muntilan, misalnya, menjadikan kegiatan meneliti air hujan secara ilmiah sebagai budayanya. Budaya menggunakan TDS dan ph itu juga tumbuh di keluarga Aleksius Ariskusnadi di Dusun Gemer, Desa Ngargomulio, Kecamatan Dukun, Magelang. Budaya mengukur dan meneliti itu telah tumbuh di tengah masyarakat Dusun Bunder, Jarakan, Desa Bandungan, Kecamatan Jatinom.

Romo Kirjito dan Agus Bimo selalu menekankan kepada masyarakat di kedua lokasi di Lereng Merapi itu untuk selalu mengukur unsur mineral dan ph air hujan, serta melakukan ionisasi air hujan yang mau dipakai. Budaya menggunakan air hujan dengan penelitian ilmiah telah tumbuh di tengah masyarakat yang sederhana seperti itu. Menurut Romo Kirjito, “Masyarakat seperti itu jarang-jarang berperilaku demikian. Biasanya masyarakat kecil percaya saja. Bagus, ya, diminum.”

Bersama Agus Bimo, ia telah melestarikan budaya menggunakan air hujan, yaitu membentuk atau mengajak pelan-pelan masyarakat untuk meneliti air. Soal hasilnya, tergantung masing-masing. Dalam kaitan dengan itulah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI memberi Penghargaan Kebudayaan sebagai Pelestari kepada Romo Kirjito.

Menurut dia, penilaian bukan pada hasil sehat tidak sehatatas penggunaan air itu, tetapi air hujan diteliti kembali. Penelitian tersebut tidak perlu dipercayakan kepada universitas, BMKG, LIPI, atau pada perusahaan, tetapi kepada masyarakat itu sendiri.

“Melakukan penelitian terhadap air hujan yang mau dipakai adalah hak azasi tiap orang. Kalau hasilnya baik, dipakai. Kalau tidak baik tak usah dipakai. Tapi rata-rata yang sudah melakukan penelitian, sudah tidak mau menggunakan air tanah lagi,” kata Romo Kirjito penerima penghargaan kebudayaan kategori pelestari..