Haji Abdul Chaer Meluruskan Persepsi Keliru terhadap Budaya Betawi

0
1362

Abdul Chaer adalah seorang linguis yang memberikan perhatian pada bahasa dan budaya Betawi. Ia menulis empat kamus dan 41 buku yang banyak mengupas bahasa dan budaya
Betawi, antara lain, Kamus Dialek Jakarta dan Folklor Betawi. Atas kepeduliannya tersebut, pensiunan lektor kepala mata kuliah lingustik pada Universitas Negeri Jakarta ini menerima penghargaan Anugerah Kebudayaan kategori Pelestari dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2019.

Abdul Chaer mendalami kebudayaan Betawi sejak ia menyusun kamus Kamus Dialek Melayu Jakarta-Bahasa Indonesia, yang diterbitkan oleh Nusa Indah pada 1976. Di masa itu, seorang teman sejawatnya dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menunjukkan kamus bahasa Betawi-Jerman yang disusun oleh warga Jerman. Kamus yang ditulis orang asing itu membuatnya—sebagai orang Betawi— tergerak untuk menyusun kamus bahasa ibunya.

Dalam perjalanannya menyusun kamus bahasa Betawi, ia kemudian menemukan varian yang kaya dari dialek Betawi. Dialek Betawi di Ciputat berbeda dengan dialek Betawi di Tanah Abang. Demikian juga dengan dialek Betawi di tempat asalnya, di Karet Kubur. Seperti ungkapan berapah (dialek Ciputat), berapeu (Tanah Abang) dan berape (Karet Kubur). Dengan banyaknya varian dialek tersebut, dalam penyusunan kamus dialek Betawi, Abdul Chaer memutuskan untuk menggunakan salah satu dialek, yaitu dialek Karet Kubur.

Sejak penyusunan kamus tersebut, guru dan dosen bahasa Indonesia ini banyak didatangi oleh perorangan atau lembaga untuk berkarya dalam bidang bahasa dan budaya Betawi. Antara lain, ia diminta oleh Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) untuk menjadi anggota pakar. Kepercayaan dari LKB tersebut mendorongnya untuk semakin menekuni budaya Betawi. Dorongan itu semakin tumbuh ketika Abdul Chaer berjumpa dengan Penerbit Komunitas Bambu di Depok, yang memberikan ruang terbitnya buku-buku mengenai
kebudayaan Betawi.

Semakin ia mendalami budaya Betawi, semakin banyak varian kebudayaan Betawi yang menurutnya berkaitan dengan penguasaan tanah-tanah di Jakarta dan sekitarnya di masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (era penjajahan Belanda). Ketika VOC dibubarkan karena korup dan digantikan Pemeritah Hindia Belanda (1799). Hindia Belanda yang saat itu tidak memiliki banyak uang, melalui Gubernur Jendral Daendels, menjual tanah di Batavia dan sekitarnya agar dapat membangun jalan dari Anyer sampai Panarukan. Ia menjual tanah-tanah kepada sesama orang Belanda, Tionghoa dan Arab, yang kemudian dapat menguasai tanah secara mutlak, termasuk pajak dari tanah-tanah tersebut.

Di Tangerang, Cengkareng, tanah-tanah banyak dibeli oleh tuan tanah Tionghoa. Para tuan tanah ini, dalam hal kesenian sering meminta orang Betawi setempat menyajikan hiburan yang juga dapat dinikmati oleh tuan tanah. Karena itu seni Betawi yang berkembang di daerah yang tuan tanahnya Tionghoa berakulturasi dengan seni Tionghoa, seperti tarian Cokek dan gambang kromong. Sementara di Cileungsi, yang tuan tanahnya orang Belanda, berkembang Tanjidor, seni Betawi yang menggunakan alat musik dari Eropa dan tarian Topeng yang disenangi orang Eropa. Di Karet dan Condet berkembang kesenian Betawi berupa gambus dan tari Japin, pengaruh dari tradisi bangsa Arab. Penelitian Abdul Chaer tersebut tertuang dalam bukubuku yang ia tulis.

Setelah pensiun dari pekerjaan mengajar, Abdul Chaer semakin produktif menulis buku-buku mengenai kebudayaan Betawi, antara lain buku Folklore Betawi yang sudah dua kali cetak. Buku ini mendokumentasikan kebudayaan Betawi yang diwariskan turun-temurun secara lisan, antara lain cerita-cerita Betawi, adat istiadat, hingga pembuatan obat-obat tradisional.

Dalam mendokumentasikan bahasa dan kebudayaan Betawi, banyak tantangan yang Abdul Chaer hadapi. Di antaranya persepsi keliru terhadap budaya Betawi. Misalnya terkait watak orang Betawi yang menyukai humor. Banyak film, lenong di teve, dan penampilan stand up komedi yang menyajikan humor Betawi dengan cara mengejek, merendahkan sesama dan menggambarkan orang Betawi yang bodoh. “Orang Betawi itu suka humor. Humor sudah menjadi ciri masyarakat Betawi, tetapi lucunya orang Betawi itu tidak menghina, melainkan membalikkan akal, agar kreatif berpikir,” jelas Abdul Chaer. Karena itu, ia terdorong untuk menulis buku yang mengupas humor Betawi. Tujuannya agar masyarakat lebih memahami hakikat humor Betawi, seperti buku Cekakak-Cekikik Betawi dan Ketawa-Ketiwi Betawi. Ia juga menulis buku humor Betawi yang mengkritisi keadaan masyarakat saat ini pada bukunyna Kebijakan dan Politik dalam Ketawaan.

Demikian juga dalam bahasa Betawi, masyarakat sering keliru bahwa satu-satunya bahasa Betawi itu bahasa percakapan lu-gue. Padahal, menurutnya, masyarakat Betawi hanya menggunakan bahasa tersebut dalam percakapan sehari-hari dan dengan lawan bicara yang setara. Seseorang yang lebih muda tidak menggunakan bahasa lu-gue kepada orang yang lebih tua. Demikian juga dalam acara resmi, seperti pernikahan atau sunatan, masyarakat Betawi menggunakan bahasa Melayu tinggi yang sekarang dikenal sebagai bahasa Indonesia.

Oleh karena itu, ia berharap pemerintah provinsi dan pemerintah pusat memberikan perhatian yang lebih baik untuk keberlanjutan bahasa dan budaya Betawi. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Gubernur Ali Sadikin, yang progresif mendirikan Taman Ismail Mardzuki, antara lain, untuk memberi ruang, menghidupkan kembali seni tradisi
Betawi. Pengajar bahasa ini juga berharap dukungan untuk kelestarian dan perkembangan budaya-budaya ini dilakukan di seluruh Indonesia. “Harapan saya, pemerintah pusat atau pemerintah di daerah lebih mengembangkan kebudayaan masing-masing daerah, sehingga kita satu jadi orang Indonesia. Tidak seperti sekarang, terpecah, sebagai bangsa Indonesia,” tuturnya.

Untuk mewariskan pengetahuan mengenai bahasa dan budaya Betawi, sejak menjadi dosen ia mendorong mahasiswanya untuk mendalami bahasa dan budaya Betawi. Hingga saat ini, ia juga terbuka dengan para peneliti yang ingin berdialog bersamanya mengenai bahasa dan budaya Betawi. Penulis 41 buku ini juga terus produktif untuk menuliskan pengetahuan bahasa dan budaya Betawi. Saat ini Abdul Chaer bersama penerbit Komunitas Bambu sedang menyelesaikan penerbitan buku yang berjudul Betawi dalam Perkembangan Kota dan Penduduk Jakarta.

Terkait penghargaan yang diterimanya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Abdul Chaer menyampaikan: “Alhamdulillah, dengan adanya penghargaan ini, pemerintah telah menaruh perhatian pada pelaku kebudayaan. Saya merasa gembira, bangga, bersyukur bahwa pemerintah memberikan pengharaan pada upaya-upaya untuk meningkatkan kebudayaan Indonesia. Semoga upaya ini dapat dilanjutkan oleh generasai selanjutnya,” ujarnya.

Sumber: Buku Profil Penerima Anugerah Kebudayaan 2019