I Wayan Mudita Adnyana: Pelestari Tulisan Daun Lontar

0
1876

Bertemu dengan sosok I Wayan Mudita Adnyana, seniman Bali yang dihormati dan ahli dalam penulisan daun lontar dan prasi, memperlihatkan umur hanya sekadar angka dan tidak dapat memudarkan semangat berkarya. Pada usia 88 tahun, keteguhan hatinya masih tergambar dari sorot mata dan intonasi suaranya. Sebuah semangat yang tidak redup dalam melestarikan kesenian Bali, khususnya penulisan daun lontar dan prasi.

I Wayan Mudita memiliki darah seni yang diwariskan oleh ayahnya yang juga seorang penulis daun lontar. Namun ia tidak pernah belajar pada ayahnya karena ayahnya meninggal ketika usianya baru empat tahun. Keahlian menulis aksara Bali di atas kertas dimilikinya dengan berguru pada I Gusti Bagus Sugriwa di Singaraja pada 1943.

Sekembalinya Ia dari Singaraja, I Wayan Mudita mulai mengembangkan teknik menulis daun lontarnya sendiri. Umumnya, penulis daun lontar menggunakan meja sebagai landasan menaruh daun lontar, akan tetapi ia menggunakan bantal untuk menopang lengan kanannya yang dijadikan landasan daun lontar.

Kecintaannya terhadap kitab-kitab kuno agama Hindu membuatnya ingin mengoleksi untuk dirinya sendiri. Suatu saat ia pernah meminjam kitab Sutasoma yang tertulis di daun lontar untuk ia salin karena ingin sekali memiliki sendiri kitab tersebut. Menurutnya, kitab Sutasoma mengandung ajaran yang lembut dan baik. Selama dua tahun ia menyalin kitab setebal 120 lembar itu.

Ia tidak pernah terburu-buru dalam menulis. “Sebelum pikiran tenang, tidak bisa menulis. Niat harus punya,” ungkapnya. Selama dua tahun menyalin sekaligus membuat kitab Sutasoma untuk dirinya, I Wayan Mudita juga memperbaiki lembar-lembar yang rusak dari kitab Sutasoma yang ia pinjam dari sesepuh di lingkungannya itu.

Selama 60 tahun berkarya, I Wayan Mudita sudah banyak menulis ulang atau memperbaiki tulisan dari kitab-kitab agama Hindu yang tertulis di daun lontar. Beberapa di antaranya adalah kitab Baratayudha, Sutasoma, Sarascamucaya, Bhagawad Gita, Tantri, Kakawin Lubdaka, Bomantaka, dan Gatotkacasraya. Ia juga akif dalam penulisan awig-awig desa adat, menyalin prasasti, babad, dan pemancangah. Tak hanya pandai menyalin tulisan kuno di daun lontar, I Wayan Mudita juga mengiasai seni pedalangan dan macapat.

Kecintaannya terhadap pelestarian seni dan budaya Bali ia ejahwantahkan dengan membina dan mengembangkan berbagai organisasi masyarakat dan perpustakaan setempat. Ia mulai membina perpustakaan desa bernama Widhi Sastra pada 1970. Ia juga memelopori pembuatan kakawin bergambar Bharata Yudha dan Ramayana di Desa Tenganan Pegringsingan pada 1972, serta membentuk sekaa wayang yang bernama Dharma Kusuma pada 1980.

Berkat kemampuan dan pribadinya yang ramah, I Wayan Mudita pernah dikunjungi
sekaligus mengembangkan jejaring dengan tokoh-tokoh dari Indonesia dan dunia internasional. Ada tiga kepala negara yang pernah mengunjunginya, yakni Presiden Italia Sandro Pertini pada 6 Juli 1983, Perdana Menteri Selandia Baru Hellene Clark pada 7 Januari 1988, dan Presiden RI Megawati Soekarnoputri pada 31 Desember 2001. Ia juga menjalin jejaring dengan A A Teeuw, ilmuwan Belanda yang berdedikasi tentang riset sastra di Indonesia. Jadi, tak usah heran bila I Wayan Mudita juga memiliki murid yang bekerja di perpustakaan di Belanda.

Kebesarannya sebagai seniman penulisan daun lontar tertua di Bali tidak membuatnya tinggi hati. I Wayan Mudita menyadari tidak ada daya yang ia miliki tanpa pertolongan Tuhan. Karena itu, setiap kali ingin memulai proses penulisan, ia selalu berdoa kepada Dewi Saraswati. Rasa baktinya itu ia wujudkan dengan mengawali setiap karyanya dengan ungkapan bahasa Bali yang artinya adalah “semoga tidak ada halangan”.

Beberapa tahun belakangan, I Wayan Mudita mulai sulit menulis di daun lontar. Kedua tangannya tidak semantap sewaktu beberapa tahun lalu. Tangannya mulai bergetar kala Ia harus memantapkan posisi agar dapat menggoreskan huruf-huruf di daun lontar dengan baik. Ia sangat berharap dapat mewariskan keahliannya kepada generasi muda. Jika ada calon murid atau lembaga yang mengajaknya mengajar teknik penulisan di daun lontar, ia membuka lebar pintu rumahnya untuk mengajar.

Sebagai tokoh yang sangat layak menerima Anugerah Kebudayaan 2019 untuk kategori Pelestari, I Wayan Mudita tidak pernah melandasi usahanya dengan harapan menerima berbagai penghargaan. Ketika ditanya apa rahasianya dapat melakukan itu, ia menyampaikan kutipan ajaran Maha Raja Khrisna kepada Arjuna, “Orang yang bekerja itu jangan memikirkan dalam hati kita bekerja. Orang yang tidak bekerja tetapi pikirannya bekerja.”

Sumber: Buku Profil Penerima Anugerah Kebudayaan 2019