Musik Keroncong Tugu: Kebudayaan Nasional yang Lahir di Kampung Tugu

0
16623

Musik keroncong Tugu dikreasi warga keturunan Portugis di Kampung Tugu, Jakarta Utara, sejak 1661. Meskipun alat musik yang digunakan mengadaptasi alat musik Portugis, jenis musiknya khas kreasi warga Kampung Tugu. Cikal bakal ragam aliran musik keroncong di Indonesia ini diwariskan dari generasi ke generasi. Beberapa grup yang melestarikan musik keroncong Tugu, antara lain grup Orkes Keroncong Cafrinho Tugu, Muda Mudi Cornelis dan Krontjong Toegoe.

Tahun 2015 musik keroncong Tugu dinobatkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Pemprov DKI Jakarta. Tahun 2019, musik yang memperkaya kebudayaan nasional ini menerima Anugerah Kebudayaan kategori Pelestari dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Seni musik keroncong Tugu lahir dari masyarakat keturunan Portugis yang tinggal di
kampung Tugu, Jakarta Utara. Menurut Guido Quiko—pemimpin Orkes Keroncong Cafrinho Tugu, ketika Malaka (yang dikuasai Portugis) jatuh ke tangan Belanda (1641), sekitar 800 tawanan Portugis diasingkan ke Batavia. Dari tawanan tersebut, pada tahun 1661, 23 keluarga dimerdekakan dan diberi kebebasan untuk tinggal tanpa membayar pajak di area seluas 20 hektar di Kampung Tugu, dengan persyaratan berpindah keyakinan dari Katolik ke Kristen Protestan. Sejak itu, banyak nama fam Portugis kemudian diubah menjadi nama fam Belanda seperti Andres, Cornelis, Mihils, Abraham dan Browne. Kecuali fam Quiko, karena saat itu sesepuh dari fam Quiko seorang penginjil.

Di Kampung Tugu, yang masa itu masih hutan lebat, 23 keluarga Portugis hidup dari bercocok tanam, berburu, dan memancing ikan. Di kawasan rawa-rawa Cilincing itulah eks orang buangan yang dijuluki kaum Mardikers ini membangun komunitas yang kini dikenal sebagai orang “Kampoeng Toegoe”.

Untuk menikmati hiburan, mereka harus berjalan kaki dengan jarak tempuh yang jauh dan melalui hutan lebat, ke area Kota Tua. Karena itu, mereka membuat alat musik sendiri yang dibuat dari batang kayu bulat, dari beberapa jenis pohon antara lain pohon nangka, kenanga dan waru. Mereka membuat gitar kecil menyerupai tapakkunyo—alat musik tradisi Portugis. Mereka menyebutnya alat kreasinya, macina. Terbuat dari kayu yang dibobok di bagian tengah dan diberi senar dari kulit pohon waru. Alat musik macina ini menghasilkan bunyi crong.. croong… crooong. Ketika mereka sedang memainkan macina, orang Betawi di masa itu menyebutnya “orang Tugu lagi crang crong”. Pada perkembangan selanjutnya, musik masyarakat Tugu itu disebut musik keroncong.

Musik keroncong itu pada mulanya dimainkan masyarakat Tugu untuk melepas lelah setelah berladang. Di waktu petang, mereka beristirahat minum kopi, bernyanyi sambil memainkan macina. Lama-kelamaan banyak orang Betawi dan orang Belanda yang menyukainya, datang ke Kampung Tugu untuk menikmati musik crang crong itu. Kemudian para pemusik Indies menyerap cara bermain musik masyarakat Kampung Tugu dengan menggunakan ukulele. Banyak orang Betawi juga yang memainkan musik crang crong ini ke Tugu sambil membawa alat musik mereka, seperti suling dan rebana. Musik tradisi Tugu yang kemudian dikenal sebagai musik keroncong ini belakangan dibawa ke beberapa wilayah oleh penggemarnya dan melahirkan musik keroncong dengan kekhasannya sendiri-sendiri. Seperti di Gambir berkembang musik keroncong Old Batavia, di Pasar Baru berkembang Life Java, di Kemayoran berkembang the Crocodile.

Di masyarakat Tugu sendiri mulai terbentuk kelompok keroncong yang dipimpin Yosep Quiko. Ia mengumpulkan para pemuda di Tugu untuk bergabung dalam Himpunan Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe, anno 1925. Menginjak tahun 1935, himpunan ini dikelola oleh adiknya, Jacobus Quiko. Mulai tahun 1950 himpunan keroncong ini semakin menunjukkan pakem, gaya permainan yang menjadi ciri khas keroncong Tugu.

Pada tahun kemerdekaan RI, 1945, banyak pemberontakan yang mengatasnamakan etnis, agama, suku, yang ingin menyerang masyarakat keturunan Portugis di Kampung Tugu. Bersyukur ada seorang tokoh masyarakat, Haji Nasrum, yang membela orang Kampung Tugu dan menyatakan bahwa keturunan Portugis di Kampung Tugu juga termasuk orang pribumi. Di masa itu, sebagian masyarakat Kampung Tugu eksodus ke Papua dan Belanda. Hal itu, sebagaimana juga dituturkan Arthur James Michiels—pemain bas dari grup Krontjong Toegoe. Ayahnya, Arend Juan Michiels, termasuk yang mengalami eksodus pada 31 Desember 1950. Pertama mereka eksodus ke Penjambon lalu ke Belanda. Sejak itu musik keroncong Tugu sempat mengalami vakum hingga tahun 1970-an.

Keadaan berubah setelah Gubernur DKI (saat itu) Ali Sadikin mengintruksikan masyarakat Tugu untuk menunjukkan kembali potensi yang ada di Kampung Tugu, termasuk musik keroncong Tugu. Tujuannya agar keberadaan masyarakat Tugu diakui pemerintah. Gereja Tugu yang dibangun sejak keturunan Portugis membuka lahan ini pun, oleh Ali Sadikin diangkat statusnya menjadi cagar budaya.

Di masa itu, Jacobus selaku pemimpin Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe, anno 1925 mengajak masyarakat Tugu untuk menghidupkan kembali seni mereka. Tahun 1978, Jacobus meninggal, kemudian digantikan anaknya selama dua tahun. Karena anaknya seorang pelaut, kepemimpinan grup keroncong ini dialihkan kepada Samuel Quiko. Di masa kepemimpinan Samuel Quiko ini banyak upaya dilakukan agar pemerintah semakin mengenali dan mendukung keberadaan musik keroncong Tugu. Upaya itu meraih pengharggaan budaya dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hingga saat ini keroncong Tugu mulai tampil di berbagai tempat, antara lain di Pasar Malam Besar (saat ini dikenal Tongtong Festival) di Belanda.

Namun, akibat kurangnya minat kaum muda terhadap musik keroncong, Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe, anno 1925 ini pun perlahan-lahan redup alias mati suri. Pada tahun 1988, Arend Michiels merasa terpanggil untuk mengangkat kembali kejayaan musik leluhur mereka itu. Ia pun lalu mendirikan Grup Kerontjong Toegoe, di mana seluruh anggota pemainnya adalah orang-orang muda. “Sejak itu, proses regenerasi dalam Grup Kerontjong Toegoe terus dipertahankan,” kata Adre Juan Michiels, yang pada akhir 1990-an mengambil alih kepemimpinan Grup Keroncong Toegoe sejak sang papa, Arend Michiels, meninggal dunia.

Empat Michiels bersaudara—Adre, Arthur James, Sartje Margaretta, dan Milton Augustino—menjadi motor Grup Kerontjong Toegoe bersama anak-anak “Kampoeng Toegoe” lainnya, termasuk mereka yang sudah bermukim di luar Kampung Tugu. Di penghunjung 1990-an hingga awal 2000-an, mereka berlatih tiap Rabu malam di rumah kontrakan Andre di kawasan Kampung Tugu.

Sementara itu, tahun 2006 Samuel Quiko selaku Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe, anno 1925 meninggal dunia. Kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya, Guido Quiko. “Sepeninggalan papa, saya menarik kembali orang-orang Tugu untuk mempertahankan tradisi agar tetap murni dan lestari,” tutur Guido. Hingga saat ini, di kediaman Guido diselenggarakan latihan rutin setiap Selasa malam dan terus merawat lagu-lagu yang diciptakan oleh generasi Tugu sebelumnya, untuk disajikan kepada masyarakat yang lebih luas. Himpunan Orkes Poesaka Kerontjong Morescho Toegoe – Anno 1661 kini bernama Orkes Keroncong Cafrinho Tugu, yang dikenal Keroncong Tugu.

Grup Orkes Keroncong Cafrinho Tugu mengeluarkan dua album yang memuat lagu-lagu ciptaan nenek moyang mereka, antara lain lagu KR Moresco. Pertunjukan Orkes Keroncong Cafrinho Tugu juga terus berjalan. Begitu pula Grup Kerontjong Toegoe, juga terus eksis. Di Indonesia, mereka memberikan pertunjukan hampir di setiap pulau. Mereka juga tampil hingga ke mancanegara, antara lain: Timor Leste, Malaka, Jepang dan Belanda. Pemerintah DKI memberikan dukungan pada musik keroncong Tugu sebagai salah satu kantong budaya di DKI dan menjadikan keroncong Tugu sebagai Warisan Cagar Budaya Tak Benda sejak tahun 2015.

Selain grup Orkes Keroncong Cafrinho Tugu terdapat beberapa grup musik keroncong yang turut menghidupkan kembali musik nasional ini, antara lain grup Kerontjong Toegoe yang digagas oleh Arend Michiels. Tahun 1963, Arend Michiels kembali ke Kampung Tugu dari negara tujuan eksodusnya –Belanda. Ia mengumpulkan anak muda di kampung Tugu dari fam Cornelis, Abraham, Michiels dan fam lainnya. Tahun 1988 mereka membuat grup yang diberi nama Krontjong Toegoe yang dikoordinir oleh Franky Abraham. Franky Abraham kemudian menyerahkan estafet kepemimpinan grup kepada Andre Juan Michiels. Banyak kota dan negara yang telah didatangi oleh grup ini dalam rangka memperkenalkan musik keroncong Tugu antara lain Bandung, Aceh, Sawah Lunto, Padang Panjang, Solo, Ternate, Tanjung Enim bahkan sampai ke negara Belanda, Portugal, Singapura, Tokyo dan Malaka.

Di tengah berkembangnya aliran musik keroncong, apakah yang menjadi kekhasan dari musik keroncong Tugu? Kedua grup ini menyampaikan pandangannya sebagai berikut: Menurut Guido dari Orkes Keroncong Cafrinho Tugu, kekhasan keroncong Tugu ada pada warna musiknya. “Musiknya tidak berlebihan, tidak harus bermain musik di kunci atau cord yang sulit. Karea itu, keroncong Tugu itu dikenal juga sebagai keroncong lugu,” tutur Guido. Namun demikian, mereka memainkannya dengan penjiwaan dan permainan yang memesona, sehingga para pendengar dapat menikmatinya. Kekhasan lainnya ada pada alat musik macina yang diciptakan nenek moyang mereka dan rebana, alat musik yang diserap dari kebudayaan Betawi. Tentu juga dengan lagu-lagu yang lahir di Kampung Tugu, antara lain Old Batavia dan Bunga Teratai. Selain itu, kekhasannya terletak pada kostum sadaria yang mereka kenakan.

Arthur dari Krontjong Toegoe juga menjelaskan keistimewaan musik keroncong Tugu, selain menggunakan alat musik rebana—yang tidak dimainkan pada keroncong gaya Soloan—juga minus alat musik tiup. Lagu-lagu yang mereka sajikan juga beragam: dari lagu yang berbahasa Portugis, Indonesia, hingga yang berbahasa kreol (bahasa Portugis yang sudah diadaptasi sedemikian rupa di masyarakat Tugu). Lagu berbahasa kreol ini, antara lain, yang berjudul Yan kaga leti (dalam penulisan bahasa Kreol) atau Jan Cagar Letie (dalam penulisan bahasa Portugis). Artinya Yan: nama seorang pendeta Belanda di Kampung Tugu; Kaga = buang air besar; leti = susu. Maksudnya lagu ini mengisahkan wabah kolera yang pernah menyerang masyarat Kampung Tugu di masa penjajahan Belanda. Untuk merawat kelestarian musik keroncong Tugu, kedua grup ini juga membina grup keroncong anak muda.

Orkes Keroncong Cafrinho Tugu membina grup Keroncong Tugu Junior. Keroncong Tugu Junior terdiri dari para pemusik dan penyanyi dari usia SD hingga SMA. Seniman-seniman yang terlatih di Keroncong Tugu Junior ini yang kelak diharapkan dapat melanjutkan estafet perjalanan Orkes Keroncong Cafrinho Tugu. Sementara Grup Kerontjong Toegoe membina grup anak muda De Mardijkers (dalam bahasa Belanda artinya orang-orang yang dimerdekakan). Grup Kerontjong Toegoe juga memberikan workshop musik keroncong pada generasi muda, dan ekstrakurikuler musik keroncong di sebuah sekolah katolik di Jakarta. Juga dukungan informasi dan konsultasi bagi mahasiswa yang melakukan tesis mengenai musik keroncong. Selain itu, mereka juga melahirkan empat album yaitu: Romantic Souvenir, Keroncong Tugu in Blue, Di Pesisir Utara, dan the Mardikers. Grup yang sudah 31 tahun dibentuk ini juga pernah diundang oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono dan Presiden RI Joko Widodo untuk menyajikan musik keroncong, terutama bila Indonesia dikunjungi tamu dari Portugal.

Atas anugerah budaya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap seni musik keroncong Tugu, Guido menyampaikan, “Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas penghargaan untuk pelestarian dan upaya pemerintah yang telah berbuat untuk seniman kecil seperti kami. Ini membuat saya terharu. Semoga anugerah kebudayaan ini dapat berguna buat kita semua, amin.” Hal senada disampaikan Arthur. “Kami akan sangat bersyukur karena perjuangan kami tidak sia-sia. Semoga, melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan seni keroncong misa masuk ke sekolah mulai dari SD hingga SMA. Karena, menurut saya, untuk membentuk seseorang yang mencintai negerinya melalui pendekatan budaya, bukan pendekatan politik atau agama,” kata Arthur.

Sumber: Buku Profil Penerima Anugerah Kebudayaan 2019