GOENAWAN SUSATYO MOHAMAD, Sastrawan/Jurnalis/Pendiri Majalah Berita Tempo Penerima Tanda Kehormatan Kelas Bintang Budaya Parama Dharma Tahun 2015

0
1758

Goenawan Mohamad
Goenawan Mohamad

Goenawan Soesatyo Mohamad atau lebih dikenal dengan Goenawan Mohamad adalah salah seorang penyair kelahiran Batang, 29 Juli 1941, yang terkemuka di tanah air, yang memiliki pemikiran kritis baik dalam bidang sastra maupun kebudayaan. Keluasan pengetahuan dan wawasannya dalam bidang sastra, seni, dan kebudayaan telah melahirkan wacana pemikiran yang bernas dan semua itu dapat kit abaca dalam kolom “Catatan Pinggir” di majalah mingguan Tempo.

Sikap konsistensi dalam memperjuangkan kebebasan berfikir dan berekspresi, menghormati perbedaan dan keragaman, serta menyebarkan kekayaan artistik dan intelektual, diujudkan Goenawan Mohamad dalam mendirikan komunitas senipertama di tanah air yang bersifat multidisiplin, yaitu Teater Utan Kayu (TUK). Menurutnya kebebasan berpikir dan berekspresi masih sering terancam dari atas (dari aparat Negara) maupun dari samping (dari sektor masyarakat sendiri, khususnya sejumlah kelompok yang mengatasnamakan agama atau suku.

Goenawan Mohamad sejak kelas 6 Sekolah Dasar sudah menyukai acara berbau sastra, seperti acara pembacaan puisi di RRI atau membaca majalah Kisah asuhan H.B Jassin. Bahkan sejak ia berusia 17 tahun, kira-kira tahun 1960-an, sudah pandai menulis dan menerjemahkan puisi karya penyair perempuan Amerika, Emily Dickinson. Sikap kritis sebagai penyair sudah terlihat sejak muda, karena pada tahun 1963 bersama para penyair angkatan 1960-an lainnya, antara lain TaufiqIsmail, Arief Budiman, Wiratmo Soekito menandatangani Manifesto Kebudayaan. Manifesto Kebudayaan adalah sebuah konsep kebudayaan nasional yang mengusung semangat humanisme universal.

Keluasan pengetahuan Goenawan Mohamad tak bisa dipisahkan dari latar belakang pendidikan akademis yang ditempuhnya. Ia belajar psikologi di Universitas Indonesia, dan memperdalam ilmu politik di Belgia,menjadi Nieman Fellow di Harvard University, Amerika Serikat.

Jenjang karir Goenawan Mohamad, yang juga dikenal dengan sebutan “GM”, dalam bidang jurnalistik dirintis sejak tahun 1969-an. Dimulai sebagai Redaktur Harian KAMI (1969-1970), Redaktur Majalah SastraHorison (1969-1974), Pemimpin Redaksi Majalah Ekspres (1970-1971), Pemimpin Redaksi Majalah Swasembada (1985).Sejak 1971, Goenawan bersama rekan-rekannya mendirikan majalah Mingguan Tempo, sebuah majalah yang mengusung karakter jurnalisme ala majalah Time. Di sana ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia. Jiwa kritisnya membawanya untuk mengkritik rezim Soeharto yang pada waktu itu menekan pertumbuhan demokrasi di Indonesia.

Lebih dari 40 tahun menyelami dunia sastra dan jurnalistik, Goenawan menghasilkan banyak tulisan yang sudah dipublikasikan, seperti kumpulan puisi Parikesit (1969) dan Interlude (1971), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), dan Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001). Banyak sudah kumpulan puisinya yang diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, seperti bahasa Belanda, Inggris, Jepang, dan Prancis. Terjemahan sajak-sajak pilihannya ke dalam bahasa Inggris, oleh Laksmi Pamuntjak, terbit dengan judul Goenawan Mohamad: Selected Poems (2004).

Selain menjadi penyair, ia juga bertindak sebagai kritikus sastra dan budaya. Berbagai pemikirannya dalam bentuk esai terhimpun dalam Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, dan Kita (1980). Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), Eksotopi (2002).

Tulisan Goenawan yang tak kalah populer adalah “Catatan Pinggir,” sebuah artikel pendek yang dimuat secara berkala pada halaman paling belakang majalah Tempo. Konsep dari “catatan pinggir” adalah sekadar sebagai sebuah komentar ataupun kritik terhadap fenomena sosial, budaya, seni, politik, lingkungan yang berkembang di sekelilingnya. Secara filosofis, “catatan pinggir” memposisikan diri di tepi atau di (garis) pinggir, bukan posisi sentral, sehingga terkesan “tidak penting.” Sejak kemunculannya pada akhir tahun 1970-an, rubric “Catatan Pinggir” telah menjadi ekspresi oposisi terhadap pemikiran yang picik, fanatik, dan kolot. Belakangan karena para pembaca Tempo merasa belum pas jika belum membaca “catatan pinggir”-nya Goenawan, maka untuk mendokumentasi sekaligus memenuhi kebutuhan para pembaca, tulisan “catatan pinggir” itu diterbitkan dengan tajuk Kumpulan Catatan Pinggirdan hingga saat ini sudah beberapa jilid dan menjadi bacaan yang mengasyikan sambil meneroka berbagai isu, persoalan, dan wacana kritis yang dikemukakan Goenawan Mohamad.

Setelah pembredelan majalah Tempo pada 1994, ia mendirikan ISAI (Institut Studi Arus Informasi), sebuah organisasi yang dibentuk bersama rekan-rekan dari Tempo dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), serta sejumlah cendekiawan yang memperjuangkan kebebasan berekspresi. Secara sistematis, di Jalan Utan Kayu 68H, ISAI menerbitkan serangkaian media dan buku perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Oleh sebab itu, di Utan Kayu 68H bertemu banyak elemen, seperti para aktivis pro-demokrasi, seniman, dan cendekiawan, yang bekerja bahu membahu dalam perlawanan itu.Dari ikatan inilah lahir Teater Utan Kayu, Radio 68H, Galeri Lontar, Kedai Tempo, Jaringan Islam Liberal, dan terakhir Sekolah Jurnalisme Penyiaran, yang meskipun tak tergabung dalam satu badan.Berbagai aktivitas diselenggarakan di tempat itu, sehingga muncullah sebutan “Komunitas Utan Kayu.” Aktivitas di Teater Utan Kayu dirasakan sangat padatdan tidak lagi mampu menampung masyarakat yang berminat dalam setiap kegiatan, maka lokasi komunitas ini pindah ke kawasan Jakarta Selatan, di bilangan Pasar Minggu. Seiring dengan perpindahan lokasi komunitas itu, kemudian berganti nama menjadi Komunitas Salihara pada tahun 2008. Komunitas Salihara adalah sebuah kantong seni-budaya Indonesia yang berlandaskan konsep kebebasan berekspresi dengan menekankan pada kesenian yang bersifat lintas bidangatau multidisiplin.

Salah satu kegelisahan Goenawan Mohamad dalam dunia sastra dewasa ini adalah, keprihatiannya terhadap telaah sastra yang dinilai kian jarang ditulis. Menurutnya hampir tak ada lagi media yang bersedia memuat kritik sastra berhalaman-halaman, seperti dalam majalah Budaya Jaya yang terbit antara 1968-1979; kini hanya berkala Kalam yang meneruskan tradisi itu, dalam bentuk majalah on-line. Meskipun tak mudah mendapatkan tulisan yang layak, media seperti itu menyimpan harapan akan bisa memelihara dialog kesusastraan yang bersungguh-sungguh tentang pokok-pokok yang mempersoalkan estetika, genre, pemikiran para sastrawan seperti di masa 1930-an sampai dengan 1970-an. Ketika gagasan dan bentuk ekspresi adalah topik yang dibahas, bukan sastrawan dan kehidupan pribadinya, bukan pula anekdotnya atau pertengakarannya (lewat media sosial) dengan sastrawan lain.

Sebagai sastrawan intelektual yang selalu mengusung kebebasan berekspresi tanpa meninggalkan kesejarahannnya, Goenawan memiliki keyakinan bahwa seni sastra sebagaimana halnya kesenian pada umumnya menurutnyadapat menjadi berarti, “Saya kira dengan itu, karya seni jadi berarti. Ia jadi bagian pembebasan dari kepungan yang dipaksakan oleh kekuatan-kekuatan yang bermain di hari ini, kekuatan yang menyebabkan seseorang tak bisa terketuk hati oleh “yang-lain” di luar dirinya.”