FRANZ MAGNIS-SUSENO, Berani Menghormati Perbedaan

0
4149

Franz Magnis Suseno
Franz Magnis Suseno

Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ. penerima Tanda Kehormatan Kelas Bintang Mahaputera Utama Tahun 2015. Beliau adalah rohaniawan dan budayawan yang turut mendirikan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Sekitar 600 tulisan populer dan imliahnya tersebar di berbagai media. Puluhan buku karyanya menjadi acuan akademisi dalam bidang filsafat etika dan politik. Pakar filsafat etika yang rajin mengirim surat kritik kepada presiden RI ini juga bekerja untuk perdamaian bersama tokoh-tokoh dari berbagai golongan dan agama/keyakinan. Franz yang optimis dengan kedalaman dan kemampuan berkembang budaya Indonesia mengajak bangsa Indonesia untuk berani menghormati perbedaan.

Franz Magnis-Suseno, SJ lahir di Eckersdorf, Jerman pada tahun 1936. Sesudah menyelesaikan Humanistisches Gymnasium(setingkat SMA) Franz masuk tarekat Katolik Ordo Jesuit yang mengabdi di berbagai negara, antara lain Indonesia. Saat Franz mengetahui para Jesuit yang bersemangat mengabarkan Indonesia, ia tergerak untuk membantu pelayanan gereja di Indonesia. Ia belajar bahasa Jawa dan Indonesia di Giri Sonta dan Bara. Selanjutnya 1962–1964 mengajar agama di SMA Knaisius di Jakarta dan mengurus asrama siswa. Pada tahun1964–1968 Franz melanjutkan studi teologi di Yogyakarta dan ditahbiskan menjadi imam (pastor) di Yogyakarta pada 1967.Franz merasakan perlakuan amat baik dan semakin tertarik deangn Indonesia, kemudian menjadi warga negara Indonesia pada tahun 1977.

Pada tahun 1969, Franz turut membuka Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Sekolah ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan para calon imam Katolik yang harus belajar filsafat. Saat itu para Jesuit di Indonesia harus belajar filsafat ke Pune, India di Ordo Fransiskan. Bersama Ordo Fransiskan, Franz dan Nicolos Driyarkara—profesor Filsafat Sanata Dharma Yogjakarta, guru besar Psikolog UI—dengan dukungan (alm) Prof. Dr. Slamet Imam Santoso, Wakil Rektor UI, pejabat kopertis saat itu, dan Prof. Dr. Fuad Hassan (saat itu menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) membuka STF Driyarkara. Sejak mula pedirian, sekolah ini terbuka menerima mahasiswa dari agama apapun karena bercita-cita ingin menyumbangkan warga intelektual untuk bangsa Indonesia.

Franz kemudian diminta mengajar etika filsafat di sekolah yang ia dirikan. Hal itu membuatnya semakin tertarik mendalami pandangan etis di Indonesia. Mengingat keluasan dan keragaman budaya Indonesia, Franz memilih budaya Jawa, sebagai pintu masuk pertama ia ke Indonesia. Untuk minatnya itu, iamendapat beasiswa penelitian dari suatu yayasan dari Jerman. Ia merancang penelitian yang menghasilkan buku Etika Jawa yang kemudian mendapat sambutan hangat di Indonesia, Jerman, dan Amerika Serikat. Beasiswa itu ia gunakan juga untuk pertumbuhan STF Driyarkara. Dari penelitian pertamanya, minatnya terus berkembang ke wayang dan menghasilkan puluhan buku mengenai wayang.
Franz yang dikenal sebagai budayawan memandang penting budaya dalam membangun Indonesia. Karena, menurutnya setiap orang belajar apa yang adil, picik, curang, jujur itu dari budaya. Yang akan ia bawa sejak dari rumah hingga keluar—bagaimana ia membawa diri. Budaya di Indonesia sedang berkembang karena masyarakat terus berubah, berinteraksi dengan modernisasi dan globalisasi.

“Di situ pemantapan dan ketangguhan budaya menjadi penting supaya tidak latah karena konsumerismeatau ekstrimis yang semuanya dapat mengakibatkan disintegrasi budaya,” tutur Franz.

Pakar filsafat etika ini juga memandang filsafat sebagai refleksi yang muncul belakangan setelah penghayatan pada budaya. Filsafat dibutuhkan di segala zaman agar manusia memahami bagaimana ia hidup danapa yang menjadi tantangan pemikiran di zamannya. Lebih jauh dikatakan Franz, bahwa universitas-universitas di Indonesia masih sangat kurang memberi tempat pada filsafat. Padahal filsafat dibutuhkan untuk menjernihkan pikiran bangsa. Berpikir secara bertanggung jawab,kritis, dan terbuka.

Franz yang mengamati dinamika politik Indonesia sejak kedatangannya (1961) memberikan beberapa refleksi. Sejak masa akhir Soekarno hingga Jokowi, Indonesia mengalami pasang surut dan beberapa peristiwa mengerikan. Dan saat ini bangsa Indonesia hidup dengan tantangan baru. Tetapi penerimaan Pancasila oleh bangsa Indonesia jauh lebih kuat.

“Waktu saya datang ada beberapa garis (1961). Ada yang kiri dengan komunis, ada yang anti komunis—saya termasuk, ada pemerintah otoriter, ada nasionalis dan islamis. Ini pembagian yang tidakbaik bagi masa depan,” kata Franz. Tetapi saat ini hadir blok NKRI—mereka yang mantap sebagai orang Indonesia dengan negara berdasar Pancasila dan mantap dalam perbedaan. Mereka berasal dari nasionalis, Islam arus utama, dan nonmuslim mungkin mencapai 90%. Blok ini solid tidak mau pecah, sehingga peristiwa 1998 tidak menimbulkan integrasi. Indonesia cukup solid, radikalisme mungkin 10% saja.

“Kami yang Katolik belum pernah memiliki hubungan sebaik sekarang dengan Muhammadiyah dan NU dibandingkan masa dulu,” tambah Franz.

Adapun tantangan bangsa yang perlu dikelola bersama, yang pertama kehidupan bangsa yang masih ada dalam budaya kekerasan. Misalnya karena dua sepeda motor bersentuhan dapat menimbukan perkelahian. Kita perlu lebih membawa diri beradab sebagaimanasila ke-2 Pancasila. Kedua, belum berhasilnya bangunan komunikasi antaretnik yang berbeda.Pada pilkada,orang masih memainkan identitas etnik dan agama, bukan program. Ketiga, tantangan yang dihadapi di seluruh dunia, yaitu konsumerisme global. Suatu ketertarikan, ketagihan pada tawaran kapitalisme internasional. Apa yang orang lihat di mal atau iklan yang dicapai dari pada bercita ia mau berbuat apa. Merasa minder bila tidak memiliki tigahp. Hal itu akan mengeringkan kesadaran nasional, solidaritas bangsa, dsb., dan selalu membutuhkan uang lebih banyak yang akan mendorong tindak korupsi. Keempat, ekstrimisme agamis, suatu reaksi terhadap kekacauan budaya atau identitas dengan pandangan sempit, merasa mendapatkan kepastian melalui pemaksaaan kehendak kepada orang lain. Namun demikian, Franz mengajak bangsa untuk tidak kehilangansemangat. Indonesia memiliki kekuatan besar, kedalaman budaya, dan kemampuan berkembang. Dan mesti berani saling menerima dalam keanekaan.

Menanggapi penghargaan yang diterimanya, Franz yang berani mengirim surat kritik pada presiden SBY dan Jokowi ini memberikan pernyataan berikut “Saya mau minta maaf kadang-kadang saya menyinggung perasaan. Saya menerima anugerah ini dengan gembira dan saya akan terus berkarya sebagai kewajiban yang harus berjalan terus selagi masih ada waktu.”