ELLY D. LUTAN, Tari adalah Ibadah

0
1202

“Alhamdulillah,” ucap Elly D. Lutan saat ditemui di rumahnya. Katanya, secara jujur, ia merasa belum berhak menerima penghargaan ini. Sambil terisak- isak, Elly yang masih berduka karena belum lama suaminya yang juga koreografer, Deddy Lutan, meninggal dunia, menyatakan bahwa yang patut mendapat penghargaan adalah suami dan senior-seniornya – karena mereka adalah orang-orang yang menjadikan dirinya seperti sekarang.
“Karena Elly bukan siapa-siapa dan tidak akan jadi apa-apa tanpa mereka,” ujar Elly.
Elly mengenal tari sejak usia empat tahun. Saat masih dituntun menulis “E l l y”, ia sudah belajar menari. Mula-mula terpaksa, lambat-laun Elly yang pada awalnya tidak memiliki motivasi menari dan sebetulnya ingin menjadi tentara, merasakan bahwa dengan menari, dirinya menjadi sehat dan bertambah saudara. Kerinduan untuk selalu berteman, bertemu, berdialog, saling berbagi energi, semua itu tidak bisa dihitung dengan waktu. Dari SD Elly senang berandai-andai dan ketika SMP sudah terkondisikan untuk mengajar.
Meskipun mengenyam pendidikan STM dan STTN, Elly lebih banyak menerima permintaan menjadi penata gerak tari.
Menurut Elly, dalam melatih tari, yang penting adalah “rasa”. Dalam setiap tarikan nafas, dan ketika kita merasakan kegelisahan, kondisi “merasakan” adalah sumber energi yang tidak habis. Jangankan habis, kita bahkan tidak pernah selesai mempelajari “sesuatu”.
Elly ingat, saat libur sekolah, diminta Bupati Jember untuk ke Padepokan Bagong Kussudiardjo di Yogyakarta dan dalam 1 minggu harus mempelajari 11 tarian. Sekembalinya, harus memberikan pengetahuan dan keterampilannya ke Kecamatan.
Belajar dari guru-gurunya, baik yang di Jember maupun Yogyakarta, juga hasil dialog dengan almarhum suaminya yang orang Minang, Elly yang dididik disiplin ala militer oleh orang tua juga menanamkan kedisiplinan kepada murid-muridnya. Pengalaman inilah yang menguatkan prinsip Elly bahwa menekuni profesi adalah ibadah.
Menurut Elly, tradisi merupakan sumber energi, sumber yang tidak pernah habis yang selalu memberikan energi dan inspirasi baru yang mungkin saja melahirkan hal yang kontemporer, sepanjang itu tetap bertemakan alam. Kita perlu menghargai alam.
Elly ingin menularkan kepada generasi muda bahwa kesenian tidak berdiri sendiri, tetapi menyatu dengan alam. Dengan berkesenian, tumbuh kesadaran bahwa kita sudah terlalu banyak diberi kemudahan, jadi kita patut memanfaatkan dan memeliharanya. “Untuk disebut sebagai ‘orang’ itu bukan dari ‘harta’ melainkan ‘hati’.
Bagaimana kita dengan dukungan keluarga menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri, Elly dan almarhum suaminya, belajar rendah hati dan jujur. Kita bukan siapa-siapa, tetapi kita menjadi bagian dari siapa-siapa tadi. Dalam kesendirian kita belajar itu.
Bagi Elly, kehadiran dirinya adalah untuk melengkapi. Untuk sampai pada titik tertentu pun kita belum mampu dan masih belajar terus, meskipun tidak punya duit. Dengan bersilaturahmi berarti itu berbagi. Setiap Elly masuk ke daerah mana pun acap berpesan, “Jangan jadikan saya tamu, tetapi anggap saya bagian dari rumah ini.”
Elly berharap kepada generasi berikut, untuk hidup bermasyarakat, cobalah menoleh pada diri kita sendiri – apa yang dapat kita kontribusikan, meskipun kecil. Jangan pernah takut menjalankan sesuatu dari yang kita mampu dan punyai.
“Membaca buku itu saja tidak cukup, tetapi bagaimana menerapkannya dalam hidup bermasyarakat. Kesenian itu tumbuh dari masyarakat bukan karena kita mampu terus dapat mengatur. Kita masuk ke dalam masyarakat itu sendiri dan memberikan kontribusi kecil dalam masyarakat.”
Menurut Elly, dukungan pemerintah yang penting adalah kepercayaan, bukan sebuah sertifikat. “Ketika saya diberikan kepercayaan membagikan ‘sesuatu’, itu adalah bentuk penghargaan,” ujar Elly yang sering diminta menjadi pembicara di Lampung, Yogya, ISI Solo, Malang untuk berbagi pengetahuan dan keterampilan. Artinya, kepercayaan yang diberikan itu sudah merupakan sebuah penghargaan.
Berdasarkan pengalaman Elly, ilmu yang didapat dari para seniornya, dari lingkungan pergaulan, adalah gratis. Itu sebabnya harus dibagi lagi. “Jangan mimpi dulu, ketika kita belum dapat menghargai sesuatu yang sederhana,” katanya. Dengan berkesenian Elly menjadi lebih sadar bahwa tari adalah ibadah.