JULIANTI LAKSMI PARANI, PENARI YANG SUKA SEJARAH

0
1022

Seni Pertunjukan Indonesia, Suatu Politik Budaya adalah buku yang sarat dengan kajian yang cukup kritis dari seorang Julianti Parani. Menurutnya, sejak lahirnya, nasionalisme memiliki kekuatan untuk mempersatukan sekaligus memisahkan. Ideologi ini mengikat beragam manusia dari latar belakang suku, etnik, agama, dan budaya ke dalam satu wilayah nasional. Sebaliknya, nasionalisme pula yang memisahkan suatu kesatuan budaya menjadi entitas politis yang berbeda.
Patut dicermati dalam kajian Julianti, bahwa geliat seni pertunjukan daerah dalam konteks kebudayaan Indonesia, kontinuitasnya, sejak awal abad 20 hingga menjelang awal abad ke-21 tarik-menarik dengan budaya nasional. Sebagai hal yang dinamis, dan terkait erat dengan ideologi seniman yang berhadapan dengan ideologi masyarakat dalam berbangsa, tampak adanya pertarungan atau pun persinggungan dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain, antara mengusung kelokalan atau identitas nasional, antara kepentingan estetis dan politis, antara yang religius dan yang komersial.
Julianti sehari-harinya menjadi peneliti independen dalam kebudayaan, sejarah, ilmu pengetahuan sosial-budaya. Di samping kesibukannya sebagai pengajar pada Institut Kesenian Jakarta Program Studi S-1 dan Program Studi S-2, serta pengajar luar biasa Pasca Sarjana FIB – UI Program Studi Budaya Pertunjukan. Ia juga seorang koreografer.
Sebagai seorang peneliti yang kritis, maka karya-karyanya yang mengangkat tari-tari daerah fokus pada karya yang perlu direvitalisasi, seperti Plesiran, Garong-Garong, Pendekar Perempuan, dan Siparnipi.
Julianti sangat mencintai kesenian Betawi. Itu sebabnya, sejak 1971 kerap melakukan penelitian dengan sentuhan yang kuat dari seni tradisi Betawi dalam garapan koreografinya. Kemudian Julianti pun aktif membina kesenian Betawi melalui berbagai program pembinaan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Ia pun dipercaya menggarap tari massal untuk keperluan upacara pembukaan Pekan Olahraga Nasional, Jakarta Fair, Sea Games, Hari Kebangkitan Nasional (1970-an dan 1980-an).
Karya nyata yang dilakukan secara cermat dan bersungguh-sungguh ini ternyata mengundang perhatian pemerintah daerah untuk memberikan penghargaan.
Pada tingkat internasional pun Julianti cukup aktif. Ia pernah menjadi wakil pemerintah antara lain dalam International Council on Archieves/ICA, Southeast Asia – Regional Branch ICA/SARBICA, SEAMEO, ASEAN – COCI.
Dengan berbagai kontribusi dan sumbangsihnya dalam bidang kebudayaan yang cukup besar ini, baik dalam tataran kelokalan maupun internasional, maka Edi Sedyawati, anggota tim penilai internal menyatakan bahwa sudah sepatutnya sosok Julianti Parani, tokoh sejarah Seni Pertunjukan Indonesia mendapatkan penghargaan dari Presiden, kelas Satyalancana Kebudayaan.
Julianti, penari yang suka sejarah ini mendapat gelar doktoranda sejarah dari Fakultas Sastra UI (1970) dan mempertahankan disertasinya di National University Singapore (2003). Ia juga memperdalam kearsipan pada Records Management – National Archieves & Record Service, Washington DC, USA dan memperoleh Diploma Kearsipan dari Belanda. Selain itu pada Syracuse University – USA, ia juga mempelajari Kajian Informasi (Information Studies).
Dalam perjalanan kariernya, selain pernah menjabat Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kearsipan Arsip Nasional RI (1980-1995), ia juga pernah menjabat Dekan Fakultas Seni Pertunjukan IKJ (1986-1997) dan menjadi anggota terpilih Dewan Kesenian Jakarta (1990-1998).
Kini, setelah pensiun dari PNS, ia justru terlibat aktif dalam perkembangan kesenian di Singapura. Antara lain, sebagai peneliti pada National Heritage Board, Singapura (2000-2003), pengajar pada Nanyang Academy of Fine Arts (2000-2004), peneliti pada National Archieves Singapore (2003-2006), dan Judge Singapore Youth Festival – Malay Dance (1999-2008). Ia pun masih aktif sebagai tim penilai Anugerah Kebudayaan dan Penghargaan Maestro Seni Tradisi sejak beberapa tahun yang lalu.