Atim Sulaeman, Main Debus Harus Shalat

0
1937

Penerima Anugerah Kebudayaan Kategori Maestro Seni Tradisi tahun 2016. Usia 70 tahun tentu saja sudah tak lagi tergolong muda. Bahkan tidak sedikit di antara mereka yang bertahan hidup hingga usia ini, secara fisik mulai kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari. Akan tetapi hal itu tidak berlaku pada Atim Sulaeman, lelaki kelahiran Serang, 10 Februari 1946, yang mendapat Anugerah Kebudayaan 2016 untuk Kategori Maestro Seni Tradisi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Atim Sulaeman adalah salah satu di antara pelaku debus Banten yang aktif mempertahankan, mengembangkan, dan mewariskan keahliannya kepada generasi muda di provinsi tersebut. Meski usia sudah memasuki “kepala” tujuh, Pak Atim—begitu orang-orang menyapanya—masih terlihat energik. Otot-otot lengannya pun tampak kekar berisi, jauh dari kesan lembek dan keriput. Dan, meski kesehariannya harus menghadapi beratnya tantangan hidup sebagai pekerja serabutan—penarik becak, kuli bangunan, atau sekadar mendapat upah membersihkan rumput dan saluran air di rumah warga penghuni perumahan tak jauh dari tempat tinggalnya—tetapi lewat sorot matanya terlihat bahwa Pak Atim tetap menampakkan semangat hidup yang menyala.

Sangat boleh jadi itu semua berkat tempaan latihan silat yang ia geluti sejak kecil, sejak ia masih di kelas-kelas awal sekolah rakyat. Memasuki masa remaja, persis di usia 17 tahun, sang guru silat pun memercayainya untuk ikut berlatih mewarisi (ilmu) debus Banten, salah satu bentuk seni tradisi yang mengandalkan kekuatan spiritual-supranatural (bukan mistik) berbasiskan permainan silat.

Saat disambangi di Padepokan Assyifa Banten milik keponakannya, tempat Atim melatih tunas-tunas muda belajar silat dan debus (meski yang disebut terakhir ini hanya dalam hitungan jari diantara ratusan ‘cantrik’ yang dipercaya bias melanjutkan ketingkat latihan untuk menguasai debus), ia tampak sumringah. Terlebih ketika mendapat kabar ia akan menerima anugerah kebudayaan kategori Maestro Tradisi pada 2016. Ungkapan rasa kaget, disusul ucapan terima kasih kepada pemerintah pun terucap.

Sejak belajar silat di usia muda dan mewarisi (ilmu) debus pada umur 17 tahun, hingga kini Atim memilki kemampuan olah tubuh yang terkadang sulit dicerna akal sehat. Sebutlah seperti kemampuan memanjat tangga dengan anak-anak tangganya berupa golok, berdiri di atas pecahan beling, berjalan di atas bara api,  tidur di atas duri pelepah salak atau papan berpaku, mampu berjalan dengan mata ditutup, tahan disiram air keras, perut ditusuk besi runcing dan dipukul dengan pasangannya yang disebut al-madad, serta banyak lagi kemampuan lainnya.

Atim yang sudah tidak muda lagi itu mendadak jadi seperti anak muda ketika kendang, gong dan gamelan ditabuh mengiringi ia bermain debus. Energinya bangkit dan ia berhasil mengeluarkan semua kemampuannya.

Saat ini ia bergabung dengan Padepokan Assyifa Banten sebagai pembina. Tidak kurang ada 500 murid yang belajar silat dan debus Banten di sana.  Ia tidak menyimpan ilmu untuk dirinya sendiri, tetapi membagikannya kepada murid-muridnya di padepokan tersebut. Menurut dia, ada dua hal dalam debus, yaitu  permainan dan kekebalan. Selama ingin bermain debus, katanya, orang harus selalu shalat lima waktu, berpuasa dan berzikir. Denganbegitu, seorang pemain debus atau silat Banten akan dapat menunjukkan kemampuannya.

“Debus—juga silat—melatih kepribadian kita agar jadi baik. Orang tidak bisa main debus kalau tak shalat. Sebelum berlatih, kami harus shalat dulu,” ujar Atim. Ia menjelaskan kata “assyfa” berarti pengobatan. “Di padepokan ini, kami berusaha membentuk kepribadian yang baikdari para peserta, termasuk menjauhkan mereka dari pengaruh narkoba dan minuman keras. Kalau ada yang bermasalah, bawa ke sini,” lanjutnya.

Dalam menjalankan kegiatan di padepokannya,  ia bersama anggota lain harus menggunakan dana swadaya. “Biasanya kami mendapat dana dari panggilan pentas,” katanya. Belakangan ini panggilan untuk pentas cukup banyak. Selain itu, ada juga satu dua orang yang mau membantu meringankan biaya padepokan itu untuk membiayai kegiatan rutinnya.

new-picture-1Sebelum bergabung dengan Padepokan Assyifa, Atim sempat bergabung dengan beberapa padepokan yang juga masih milik kerabatnya, tetapi padepokan-padepokan tersebut kini sudah tutup.  Di sana pun ketika itu ia tidak hanya melestarikan debus  yang menjadi kekhasan Banten, tetapi  mengajarkan murid-muridnya agar seni itu tidak punah. Atim yang mengaku tidak memiliki pekerjaan tetap itu mencurahkan seluruh perhatiannya untuk melestarikan dan mengembangkan debus dan silat Banten. Pendapatannya yang pas-pasan dan kadang tak menentu tak menghalanginya ikut memajukan debus, di Serang khususnya dan Banten umumnya. “Penghasilan saya cukuplah, dapat pagi buat makan sore,” ujarnya sembari tertawa.

Kini Atim merasa senang karena  dua dari tujuh anaknya  telah mengikuti jejaknya bermain debus bersama murid-muridnya yang lain. Menurut dia, kalau bukan dirinya dan orang sekitarnya, siapalagi yang akan melestarikan debus. yang pada masa kolonial dipakai untuk melawan penjajah.

Debus merupakan kesenian bela diri dari Banten yang mempertunjukkan kemampuan manusia yang luar biasa seperti kebal senjata tajam, dan  kebal air keras. Kesenian debus saat ini merupakan kombinasi antara seni tari dan suara. Sejarahnya, kesenian ini berawal pada abad ke-16, yakni pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570). Pada zaman Sultan AgengTirtayasa (1651-1692), debus dijadikan sarana untuk memompa semangat juang rakyat Banten melawan penjajah Belanda.  Debus dalam bahasa Arab berarti tongkat besi dengan ujung runcing berhulu bundar.

Biodata Atim Sulaiman

Lahir : Serang, 10 Februari 1946

Istri: Kamisah

Anak: 7 orang

Alamat: Jalan KH. Abd. Fatah Hasan No. 1 RT 03/01 Cijawa Masjid, Kel Cipare, Kec  Serang, Kota Serang

Pekerjaan

Tukang Becak, Kerja Bangunan

Keahlian

Debus dan Silat Banten

Penghargaan

2016: Anugerah Kebudayaan Kategori Maestro Seni Tradisi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan