Transportasi Tradisional Andong Yogyakarta

0
31984
Andong di Yogyakarta saat ini telah mengalami pergeseran fungsi dari yang dahulu untuk mengangkut barang dan saat ini untuk wisata.

Ditengah geliat modernisasi, masyarakat Yogyakarta hidup dengan mengikuti perkembangan zaman, tanpa meninggalkan akar budayanya. Salah satu contohnya tercermin dalam penggunaan alat transportasinya. Ditengah kendaraan bermotor yang hilir mudik, kita masih banyak menjumpai kendaraan tradisional peninggalan leluhur di kota Jogja. Sebuah kereta beroda empat yang ditarik kuda, yang kita kenal dengan andong.

Andong merupakan alat transportasi tradisional di Jawa, terutama di Yogyakarta. Sejarah andong ini tidak bisa lepas dari keberadaan raja-raja Mataram yang mempunyai kendaraan khusus, yaitu kereta yang ditarik oleh kuda dengan hiasan sedemikan rupa yang disebut kereto kencono. Di Kraton Jogjakarta, masih banyak kereta kerajaan yang disimpan di Museum Roto Jogja.

Dapat dikatakan andong adalah alat angkut yang digunakan oleh rakyat yang meniru kendaraan atau kereta yang dimiliki raja tetapi penampilan dan segala sesuatunya disesuaikan dengan kemampuan rakyat. Dalam hal ini andong tidak sama dengan kereto kencono. Pada zaman dahulu jika orang berkendara dengan andong akan menempati suatu kelas sosial tersendiri di masyarakat.

Cirikhas dari andong adalah memiliki 4 roda dengan ukuran roda depan lebih kecil daripada roda belakang.

Secara spesifikasi andong memiliki empat roda, dua roda dibagian depan dan dua roda di bagian belakang. Ukuran roda depan lebih kecil jika dibandingkan dengan dua roda di bagian belakang. Masing-masing roda memiliki jeruji yang berjumlah 12 batang untuk roda depan, dan 14 jeruji di bagian belakang. Penumpang duduk di belakang kusir (sopir andong) dengan tempat duduk dibuat saling berhadap-hadapan kedepan dan kebelakang. Penumpang dapat menaiki andong dari sisi sebelah kanan atau kiri. Jumlah roda inilah yang membedakan bendi, dokar, atau delman yang hanya memiliki 2 roda.

Adapun nama-nama bagian dari andong antara lain; buntutan, palangan, per, as roda, bos, mangkokan, gulungan, cincin, ruji, bengkok, pelah, ban karet, dan roda. Bahan utama dari andong adalah kayu dan besi. Jenis kayu yang digunakan biasanya kayu jati atau waru karena kayu tersebut memiliki kualitas yang baik dengan serat kayu yang halus. Waktu yang dibutuhkan untuk membuat sebuah andong antara 3-4 bulan.

Untuk membuat sebuah andong, sangat diperlukan ketelitian, karena banyak sekali komponen dan bagian yang harus dikerjakan satu-persatu. Membangun sebuah andong dapat dilakukan dengan langkah-langkah pokok, yaitu:
– Membuat bagian sasisnya terlebih dahulu
– Membuat roda
– Nyetel roda,
– Baru kemudian membuat bagian atapnya

Semua tahapan dalam pembuatan andong dilakukan secara manual. Untuk proses pewarnaan, biasanya didahului dengan proses ndempul terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk menutup atau meratakan pori-pori kayu, sehingga nantinya warna yang diperoleh lebih indah. Bagian yang telah selesai dicat, lalu dijemur dibawah matahari. Untuk warna cat andong di Jogjakarta adalah kuning, hijau, dan coklat tua. Salah satu bagian yang paling rumit dari pembuatan andong adalah pada bagian ban. Setelah semua jeruji ban terpasang, lalu bengkok dipasang mengitarinya. Ban yang berbahan kayu ini, kemudian dihaluskan dan dirapikan. Disisi lain, pelah yang berbahan besi dibentuk dengan cara ditempa. Ukuran pelah disesuaikan dengan ukuran bengkok. Setelah ukuran sesuai, pelah akan dibakar sampai berwarna merah. Kemudian, saat masih berwarna merah, harus segara dilekatkan pada bagian ban. Setelah melekat, barulah disiram air.

Proses untuk melekatkan antara pelah dari besi dan bengkok yang berbahan kayu, harus dilakukan sesegera mungkin. Besi yang dipanaskan akan memuai, kemudian dilekatkan pada bagian bengkok, harus segera disiram air, agar besi kembali menyusut, dengan begitu, besi pelah dapat mencengkram dengan kuat bagian bengkok. Proses ini terkadang tidak bisa sekali jadi, karena besi yang kembali menyusut, apabila tekanannya terlalu besar, dapat meretakkan bagian bengkok.

Bapak Paidi di rumah sekaligus bengkel kerjanya di Dusun Patalan, Jetis, Bantul, Yogyakarta.

Keberadaan andong di Yogyakarta tak lepas dari sang pembuat andong. Di Yogyakarta ada beberapa pembuat andhong, salah satunya Bapak Paidi, berasal dari Jetis Patalan Bantul, dan beliau adalah seorang abdi dalem kraton Yogyakarta khusus dalam membantu kraton untuk pembuatan dan perawatan kereta kencana. Keahlian membuat andong Pak Paidi yang diwariskan oleh sang ayah. Banyak pesanan andhong dari dalam maupun luar kota. Tidak hanya memperbaiki dan membuat andong, bengkel andong Pak Paidi juga sering mendapat pesanan untuk membuat kereta kencana.

Kusir andong, maupun pembuat andong biasanya memiliki bakat dari garis keturunan keluarga. Jika Pak Paidi membuat andong meneruskan bakat dari orang tua, begitu pula dengan Widi Rahmanto, seorang sosok muda yang melestarikan pembuatan andong di Dusun Gesikan, Sidomoyo, Godean, Sleman. Jika dahulu andong banyak dimanfaatkan sebagai alat transportasi yang mengantarkan masyarakat dari desa ke pasar, kini peran itu sedikit bergeser. Walaupun masih ada saja masyarakat Jogja yang menggunakan andong sabagai alat transportasi ke pasar. Kini kebanyakan ,andong pemanfaatannya di sektor wisata, hal inilah yang mempengaruhi perkembangan bentuk andong Yogyakarta. Jika dahulu andong mengedepankan kekuatan saat ini andong mengedepankan sisi keindahan guna menarik minat wisatawan.

Proses pembuatan roda andong.

Andong sebagai alat transportasi sangat membantu masyarakat untuk melakukan perjalanan. Alat transportasi ramah lingkungan ini sampai sekarang masih bisa diandalkan. Mendatangkan manfaat ekonomi bagi pembuat andong maupun kusir andong. Andong merupakan bagian dari budaya masyarakat Yogyakarta, yang kemudian menarik wisatawan. Berkeliling Jogja dengan menaiki andong, menikmati suasana kota yang nyaman. Sesuatu yang dibuat dan dibangun dengan tangan tentu memiliki nilai lebih. Memaknai andong bukan hanya sebagai alat transportasi, tetapi andong mampu menghadirkan nilai pengabdian, kesederhanaan, ketulusan dan keindahan.

Kontributor: Subiyantoro