Pendampingan Organisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang Berkarakter Jatidiri Indonesia

Makalah Dialog dan paparan Ajaran Nilai Budaya Spiritual oleh Dr. Abd. Latief Bustami diselenggarakan oleh BPNB D.I. Yogyakarta, tanggal 18-19 Juli 2018 di New Grand Park Hotel Surabaya

0
62

Oleh: Abd. Latief Bustmami

Pengantar: Ajaran Kepercayaan tentang Peringatan Dini Dampak Negatif Perubahan

Tulisan ini menjelaskan tentang memberdayakan organisasi kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa yang berkarakter jati diri Indonesia. Konsep memberdayakan menjadi keniscayaan setelah adanya revolusi industri yang berdampak pada berbagai aspek kehidupan.Revolusi itu melahirkan revolusi social, kolonialisme, kapitalisme, dan imperialisme. Dampak ikutan adalah muncul modernisme. Isme-isme ini menjadi rujukan karakter pada masanya dengan paradigma , yaitu kawan (in group feeling)dan lawan (out group feeling). Penguasa colonial sebaga pusat orientasi, pusat solisaritas sedangkan di luar itu sebagai penjajah (komplek terjajah). Pengekalan itu mendapatkan legitimasi dari ideology dari Rucyard Kipling bahwa the white men burden (kulit putih menjadi tanggung moral untuk menjadikan kulit berwarna menjadi lebih beradab), Bahkan, dalam tulisan Eric Wolf sebagai kritik terhadap realitas social yang a simteris, diskriminatif, dan segeragasi social, dinyatakan bahwa hanya orang Orang Eropa yang memiliki sejarah (Europe and the people without history). Antroplog Frazeepun terperosok pada stigma yang sama bahwa penulisan corpus, yaitu The Golden Bough yang terkenal ternyata hanya merupakan kumulan dokumen dari para informan yang hanya melihat masyarakat yang dikaji dari sudut pandang Eropa. Alasan dari Frazer tidak meneliti langsung ke lapangan adalah Tuhan Melarang (God for Bid).

Keberadaan memunculkan isme tandingan sebagai bentuk perjuangan, yaitu nasionalisme, revivalisme, dan post kolonialme, post modernism, dan lainnya.Malinowski melakukan perlawanan dengan meninggalkan Eropa langsung ke lokasi Kepulauan Trorinad Pasifi k alam rangka mengkaji masyarakat dari perspektif masyarakat ( to grasp native poinet of view). Yang hasilnya adalah masyarakat dengan stigma peyoratif adalah beradab, logis dan melampauai stigma (the noble savage). Maxim Radixon mengekalakan bahwa masyarakat yang katanya primitive itu sebagai Filosof.

Pemberdayaan yang dikekalkan oleh pemeneng perang dunia kedua, yaitu pemennag dan yang kalah. Pememnag memberdayaan yang kalah. Pemnenag sebagai penguasa dunia menciptakan ketergantungan baru sehingga pihak yang kalah dengan klasifikasi sedang berkembang, Negara terbelakang yang diperkuat dengan kebijakan Perserikatan bangsa-Bangsa, dengan teori pertumbuhan ekonomi dari Wait Whitman Rostow ,The Stages of Economic Growth, yaitu tradisional, transisi, tinggal landas, dewasa/matang, dan era konsumsi massal. Pemilik modal mengekalkan kepada masyarakat melalui perangkap hutang dan menerapkan economic hit men ala Perkin. Pendidikan mengekalan system pendidikan elit dan pendidikan keluar yang bertujuan untuk akumulasi modal dan pasar pemilik modal melalui mekanisme pasar, ekpsnasi pasar dan integrasi pasar.

Semua kondisi itu secara simbolik telah diajarkan dan diberi peringatan dini dalam wayang pada adegan goro-goro. Adegan ini disajikan pada sertiga malam terakhir yang dinyatakan oleh actor masyarakat biasa sebagai kritik social, yaitu kali ilang kedhunge, pasar ilang kuandangi, wong wadon ilang wirangi. Ela elo Wong Jowo kare sak jodho. Kearifan lokal sebagai konstruksi seolah-olah sebagai rekognisi yang serba positivism menjadi solusi tentang eksistensi pengetahuan masyarakat. Kendati, sejatinya keraifan lokal itu termasuk ilmu pengetahuan dan ilmu. Kalangan positivistik mengakuinya hanya sebatas etnossains.

Sementara, masyarakat mengamalkan ajaran yang beragam sehingga muncul pemikiran untuk mengelola perbedaan itu’ menuju kehidupan yang tata tentrem kerta raharja. Dalam kondisi itu, ada pemikiran ingin memberikan solusi dengan tidak menggunakan pemberdayaan, yaitu pemikiran post modern atau post colonial dengan menggunakan istilah yang non dikotomis, atas-bawah, a smiteris yang non diskriminatif dan setara dengan menggunakan istiah pendampingan. Kendati ujungnya sama, yaitu pendamping lebih tinggi dari yang didampingi. Belajar bersama untuk mengetahui, menerapkan dan menjadi menjadi tujuan gerakan setara ini.

 

Belajar dari Kehidupan sebagai Kitab Teles

Belajar dari kitab teles, pengelola oragnisasi yang berjati Indonesia adalah menggali, mengumulkan data, mengklasifikasikan, meregistrasi. merevitalisasi, metranformasi, merekacipta, dan mendokumentasikan serta mengnalan dalam kehidupan. Dalam Undnag-Undang Nomor 5 Tahun 2027 dinyatakan bahwa tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan dan teknologi tradisional, bahasa, seni, permaian tradisional dan olahraga dilindungi, dikembangkan, dimafaatkan, dan dibina.

Realitas kehidupan di masyarakat dinyataka dengan Desa mawa cara, Negara mawa tata adalah pitutur leluhur yang menyatakan sebuah nalar tentang realitas, yaitu keragaman dalam pemenuhan kebutuhan warganegara sebagai keniscayaan dan Negara berperan sebagai pelayan untuk menata keragaman itu sebagai kewajiban dan amanah. Pitutur itu penting dijadikan ancangan untuk menjelaskan tentang pengelolaan organisasi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Setidaknya terdapat 2 (dua) alasan pokok dari pitutur di atas, yaitu pengakuan keragaman subyek (mawa cara) dan kesepakatan untuk diatur dan mengatur (mawa tata). Pertama, keragaman subyek merujuk pada keyakinan yang mendasar, yaitu nalar teologis, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Nalar ini menghasilkan keyakinan adanya kekuatan yang menciptakan manusia, makhluk hidup dan lingkungan yang bersifat serba Maha, Kesadaran itu menghasilkan sebuah keyakinan keagamaan tentang hakikat Tuhan, relasi Tuhan sebagai Pencipta (Khalik) dengan yang diciptakan (makhluk), relasi manusia dengan manusia, relasi manusia dengan lingkungannya), relasi manusia dengan makluk gaib dan kosmologi, dan kehidupan setelah kehidupan yang bersifat eskatologis. Kedua, pengamalan laku ke-Penghayatan menimbulkan kesepakatan untuk diatur dan mengatur sehingga eksitensi lembaga dan ajarannya (sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula lan gusti, hamamyu hayuning bawana) dapat diamalkan dengan baik,rukun, dan harmonis. Pengaturan itu dilakukan oleh lembaga atau organisasi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Negara untuk menjamin esksitensi lembaga,penghayat, dan terlaksananya penghayatan dan pengamalan ajaran kepercayaan itu (Negara mawa tata).

Eksistensi Penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai keniscayaan[1]. Kendati subyek Penghayat adalah kepercayaan yang bedimensi teologis yang bersifat abstrak, tacit, dan transcendental, maka Penghayat dalam menjalankan ajarannya (laku, manembah, nglampahi) membutuhkan pengaturan (patrap,tata kelakuan) dalam rangka mendayagunakan sumber daya untuk mengoptimalkan ajaran itu. Penghayat dalam laku setidaknya memiliki, yaitu: (l) Guru Laku yang mengajarkan ajaran dengan legitimasi magis kepercayaan, (2) pengikut (kadang) yang menjadi subyek ajaran, (3) ajaran dan sumber ajaran baik tertulis maupun tidak tertulis (teles), (4) cara mengamalkan ajaran. Dengan sendirinya, Penghayat sejak awal sejatinya telah membentuk sebuah lembaga atau organisasi. Komponen kelembagaan Penghayat adalah kesepakatan untuk berkelompok, berkumpul, dan membentuk organisasi dan atau sebutan lainnya[2] dengan tujuan tertentu serta kesediaan untuk meluruhkan pemikiran, sikap dan kepentingan kepada organisasi yang dibentuk itu..Dalam mencapai tujuan pasti terdapat pengelola, tata cara, aturan (anjuran,larangan, dan sanksi), subyek yang dikelola, dan infrastruktur pendukung. Kehadiran organisasi dengan sendirinya beragam sesuai dengan tujuan masing-masing. Tujuan utama dari organisasi itu adalah untuk mengamalkan dan melestarikan ajaran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Di sisi lain, secara eskternal kewajiban pengaturan itu oleh lembaga maupun Negara (mawa tata) dibutuhkan untuk menjamin pengamalan ajaran Penghyat. Apalagi, keragaman Penghayat itu berada dalam kontek Negara maka Negara wajib hadir untuk mengelola keragaman itu dengan merayakan perbedaan sehingga antarpenghayat saling menghargai dan saling menghormati demi terciptanya keharmonisan sosial sebagaimana yang menjadi substansi ajaran kepercayaan. Boleh jadi, ketidakhadiran lembaga atau Negara dalam pengamalan ajaran berdampak pada penelantaran, pembiaran yang berujung pada tidak terlaksananya pengamalan kepenghayatan dengan baik dan optimal. Pengaturan itu dengan sendirinya sama pentingnya dengan laku atau manembah. Bahkan, pengaturan itu merupakan laku sosial yang sebenarnya.

Pitutur leluhur itu telah mengajarkan kepada kita untuk menghormati keragaman ke-Penghayatan yang wajib dikelola secara internal oleh organisasi. Jadi, pitutur itu merupakan kearifan lokal dalam pencerahan kemanusiaan yang adiluhung bersifat futuristic yang melampaui jamannya yang dalam perkembangannya dapat dijadikan pembinaan karakter bangsa dan jati diri bangsa Indonesia.

Pengaturan organisasi kepercayaan mengalami dinamika. Dinamika disebabkan oleh hasil interaksi antara factor internal dan eskternal yang berujung pada fluktuasi.            Hasil reinventarisasi menunjukkan bahwa jumlah organisasi Penghayat Kepercayaan terbanyak berdasarkan provinsi secara berurutan di Jawa Tengah (29,03%), Jawa Timur (26,45%), Daerah Istimewa Yogyakarta (11,61%), DKI Jakarta (7,74%), Sumatera Utara (7,09%), Bali (5,16%), Jawa Barat (4,52%), Lampung (3,22%), Nusa Tenggara Timur (1,93%), Sulawesi Utara (1,93%), Nusa Tenggara Barat (0,65%), dan Riau (0,65%) . Organisasi Kepercayaan tersebar di 73 (tujuh puluh tiga) daerah terdiri atas 51 kabupaten dan 22 kota[3].Data persebaran dan perkembangan organisasi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dari Tahun 2000 s.d. 2014 di atas memperlihatkan jumlah organisasi kepercayaan terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun.

Permasalahan itu disebabkan, yaitu (l) tidak adanya regenerasi dalam organisasi kepercayaan; (2) minimnya pembinaan yang dilakukan oleh pengurus/sesepuh organisasi kepercayaan terhadap anggotanya, (3) managemen organisasi kepercayaan umumnya belum tertata dengan baik, dan (4) kurangnya pengenalan nilai-nilai ajaran Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada masyarakat luas. Sementara, organisasi kepercayaan memiliki peluang, yaitu (l) peluang Pengurus organisasi kepercayaan secara aktif dan rutin melakukan pembinaan terhadap anggotanya/warganya, (2) memperbaiki managemen organisasi, (3) memanfaatkan nilai-nilai ajaran kepercayaan sebagai rujukan pembentukan karakter dan jati diri dalam rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan NKRI, (4) meningkatkan sosialisasi/pemahaman kepada instansi dan petugas yang terkait dan (5) payung hukum yang melindungi hak-hak penghayat kercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Rekomendasi dari setiap dialog, sarasehan,anggoro kasih adalah pentingnya memberdayakan, mendampingi, memfasilitasi pengelola organisasi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai bentuk desa mawa cara, Negara mawa tata yang bersifat dari Penghayat, oleh Penghayat, dan unt[4]uk Penghayat. Negara hadir berperan sebagai abdi, pelayan Penghayat Kepercayaan. Sementara, sampai saat ini manajemen selalu ilmiah dengan perspektif modern Barat yang positivistic, dan nilai tambah yang kapitalistik, bersifat material sehingga belum aplikatif untuk manajemen organisasi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berdimensi kepercayaan dan budaya spiritual (laku, urip utama, mati sampurna).

 

Jati Diri Bangsa Indonesia

Pengelolan organisasi kepercayaan terhadap Tuhan yang Maa Esa berbasis pada jati diri bangsa. Penghayat dijadikan sebagai jati diri.Jati diri itu sebagai amalan laku ajaran. Jati diri itu diamalkan oleh Penghayat sejak perjuangan nasional sampai dengan sekarang.Pengelolaan organisasi menggunakan kerangka pemikiran manajemen ilmiah[5] yang digagas oleh Henri Fayol terdiri dari atas 14, yaitu: pembagian kerja (division of work), wewenang dan tanggung jawab (authority and responsibility), disiplin (discipline), kesatuan perintah (unity of command), kesatuan pengarahan (unity of direction), mengutamakan kepentingan organisasi di atas kepentingan sendiri (subordination of individual interests to the general interests), pembayaran upah yang adil (renumeration), pemusatan (centralisation), hirarki (hierarchy), tata tertib (order), keadilan (equity), stabilitas kondisi pengurus (stability of tenure of personnel), inisiatif (Inisiative), semangat kesatuan (esprits de corps).

Keempat belas prinsip itu dikembangkan sesuai dengan konteks organisasi/perusahaan di Eropa yang berlatarbelakang industri, orientasinya bisnis sehingga tidak semuanya dapat diterapkan dalam manajemen organiasi kepercayaan. Prinsip-prinsip dalam manajemen bersifat lentur dan kondisional sesuai dengan dinamika masyarakat. Prinsip Fayol yang tidak cocok adalah prinsip ketujuh, yaitu pembayaran upah yang adil (renumeration) dan stabilitas kondisi pengurus (stability of tenure of personnel), karena organisasi penghayat kepercayaan didasarkan dari nalar teologis, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Model pemberdayaan berbasisi jati diri telah diamalkan oleh Wongsonagoro berhasil menghimpun kebatinan ke dalam Badan Kongres Kebatinan Seluruh Indonesia (BKKI) di Semarang yang dipimpin oleh Mr.Wongsonegoro, tanggal 21 Agustus 1955 yang saat ini berkembang menjadi Majleis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan YangMaha Esa[6].Saat ini kondisi masyarakat berada dalam situasi liminal teruatama generasi Jaman Now. Realitas itu memunculkan situasi liminal (krisis) multidimenasional yang akan menimbulkan perubahan social budaya. Formalisasi gerakan purifikasi keyakinan keagamaan, revivalisme, gerakan trans nasional yang sarat dengan isme-isme destruktif dalam suatu wilayah saling berinteraksi sehingga terjadi kontestasi perebutan sumber daya alam dan sumberdaya manusia. Kontestasi itu esensinya adalah perebutan masalah ekonomi, social, dan politik. Perebutan itu menjadi lebih herorik, massif, dan berkepanjangan berujung konflik dengan legitimasi aatas nama agama dan kepercayaan. Stigma peyoratif yang muncul yang dirasakan oleh masyarakat sebagai kelanjutan konflik masa lalu yang tidak pernah sudah.

Realitas itu sebagai keniscayaan yang membutuhkan solusi berterima. Solusi itu lebih efektif ditelusur sehingga ditemukan kristalisasi nilai Kepercayaan. Nilai Kepercayan memiliki ajaran untuk mengembangkan nilai-nilai luhur budaya, memperkaya keberagaman budaya, memperteguh jati diri, dan memperteguh persatuan dan kesatuan.Kristalisasi itu disepakati melalui musyawarah permufakatan yang selanjutnya diperkuat dengan legitimasi yuridis formal dalam bentuk konsensus nasional, yaitu Pancasila, Undang-Undang-dasar Negara Republik Indonesia Amandemen ke-4 Tahun 2002, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika[7].

Kepercayaan sebagai penguatan jati diri dan kesadaran tertinggi yang dijadikan rujukan pembinaan karakter dalam kehidupan, Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Sumatera dan sekitarnya berperan dalam menumbuhkembangkan pengamalan nilai Kepercayaan dalam rangka pembinaan budi luhur bangsa. Nilai Kepercayaan sebagaimana dalam Pemajuan Kebudayaan berazazkan sebagaimana dinyatakan pada Pasal 3, telah memuat ajaran mengenai toleransi, keberagaman, kelokalan, lintas wilayah, partisipatif, manfaat, keberlanjutan, kebebasan berekspresi, keterpaduan, kesederajatan, dan gotong royong. Keberadaan nilai Kepercayaan yang adiluhung yang terbukti secara empiris itu berfungsi sebagai control sosial, kritik social, resistensi, dan revivalisme.

Bentuk Pendampingan

Bentuk pendampingan berbasis jati diri adalah dalam pengelolaan organisasi kepercayaan. Pengelolaan itu m sebagai laku dengan menerapkan religiusitas berbasis ajaran Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, meneguhkan consensus nasional (nasionalisme), mengembangkan kemandirian, integritas, dan gotong royong. Pendampingan disesuaikan dengan karakteristik subyek (empan mapan). Pitutur itu terang benderang padanannya dalam komponen dan prinsip komunikasi, yaitu komunikator, pesan yang disampaikan, karakteristik subyek-komunikan, media yang digunakan dan hasil yang dicapai.

Kodifikasi ajaran penting untuk menghindari miskomunikasi dengan ekosistem kepercayaan. Kodifikasi ada kendala dengan ilmu tuwo sehingga diperthakan kesuciannya dan tak tersentuh sehingga pemilik elmu tuwo itu meninggal generasi beriktunta kesulitan mengamalkannya.

Pendampingan pengelola organisasi kepercayaan dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan rencana tindak lanjut. Pendampingan dilakukan dengan formalisasi legal formal bagi yang belum memenuhi aturan organisasi kemasyarakatanterorganisiagelolaan itu termasuk regenerasi pengelola dan penerapan menejemen yang efektif dan efisien dan ketersediaan dokumen. Selam ini cenderung mengamalkan dunia batin sehingga menjadi stigmatisasi. Publikasi yang saya namakan Penghayat Print Out menjadi penting seiring dengan munculnya publikasi dari penulis luar di antaranya Clifford Geertz tentang Agama Jawa dan Paul Stange tentang Sumarah serta publikasi Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan Balai Pelestaraian Nilai Budaya. Organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa baik pusat maupun cabang harus memiliki dokumen administratif [8]dan dokumen ajaran dan sumber ajaran[9].Dokumen itu dikelola dengan administrasi yang teratur (lumintu), mudah ditelesur dan dapat diperoleh dengan segera. Dokumen itu diklasifikasikan dengan sistem pengklasifikasian yang baku dan mudah dikerjakan oleh pengelola.

Publikasi dalam organisasi kepercayaan tidak harus melaui media massa melainkan dapat berupa pengamalan ajaran. Pengamalan ajaran itu sejatinya merupakan publikasi karena tujuannya adalah tak kenal maka tak sayang yang kemudian menimbulkan daya tarik bagi pemangku kepentingan untuk mengetahui, memahami, dan memberikan apresiasinya. Pendampinga diarahkan untuk membangkitkan generasi muda untuk menerapkan jati diri bangsa. Khusus, pendampingan perempuan Penghayat (Puan Hayati) diarahkan bukan hanya sebagai pengarusutmaaan jender melainkan adalah menciptakan pewaris ajaran Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dalam rumah tangga sebagai lembaga pendidikan pertama dna utama.

Pengamalan budi luhur organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang diungkap menyangkut pengamalan budi luhur dalam keluarga, masyarakat, ruang publik, dan negara. Eksistensi dan peran penghayat dalam kehidupan keluarga masyarakat dan negara meningkatkan kualitas pemahaman masyarakat. Aktifitas organisasi dan peran secara kelembagaan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jabatan-jabatan publik yang dipercayakan kepada Penghayat, inovasi dan kreatifitas Penghayat dalam menyelesaikan persoalan publik serta peran serta aktif dalam pembentukan opini publik dalam perjuangan ketidakadilan yang dialami masyarakat.

Keperansertaan organisasi dalam berbagai aktifitas dapat meningkatkan apresiasi dan pemahaman masyarakat terhadap penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Apresiasi masyarakat yang dinyatakan secara lisan dan tertulis perlu didokumentasikan. Pernyataan lisan dan tertulis dalam media massa maupun media tulis lainnya membantu penentuan peran Penghayat. Ada dimensi isoteris dalam diri Penghayat yang sleanjutnya memancar menjadi dimensi eksoteris yang dialami oleh masyarakat sekitar.

Di samping itu wajib berkomunikasi dengan lembaga swadaya masyarakat dan komponen masyarakat madani lainnya untuk memperkuat kelembagaan dna implementasi kegiatan. Jejaring dengan perusahaan menjadi strategis karena perushaan memiliki tanggungjwab social (corporate social responsibility-CSR) yang dapat didayagunakan untuk mencapai tujuan organisasi kepercayaan.

Penghayat yang mandiri berjati diri Indoenesia dengan mengamalkan Jer Basuki Mawa Bea dan Gotong Royong sehingga menjadi Penghayatpreneurship!

 Wasana Kata

Pendampingan organisasi kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa untuk membangun Indnesia yang Bekrarakter Jati Diri Indonesia menjadi tanggungjawab bersama. Ekosistem kepercayaan bekerja bersama bukan sama-sama bekerja mulai dari aspek substansi, pemenuhan hak sipil, pemenuhan hak sipil sampai dengan teknis. Bentuk pendampingan itu mampu meningkatkan kompetensi pengelola dalam pengelolaan organisasi, mandiri dalam ekomomi, sosial budaya dan politik. Pendampinagn mampu menciptakan Penghaya preneurship, regenerasi, dan kodifikasi ajaran serta formalisasi aspek legal sesuai dengan peraturan organisasi kemasyarakatan serta memperkuat jejaring dan publikasi Penghayat Print Out

Jati diri bangsa Indonesia yang dinyatakan dalam Pitutur luhur ternyata memiliki ajaran tentang pengelolaan organisasi telah dipraktikkan jauh sebeleum menajemen organisasi modern dan terbukti telah melampaui jamannya ‘desa mawa cara, Negara mawa tata!

 

Daftar Rujukan

Bustami, Abd. Latif.2005. ‘Tuhan, Agamamu Apa?: Relasi Kuasa Republik dan Keyakinan Keagamaan Publik dalam Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa .Kepercayaan Dalam Sebuah Realitas. Jakarta: Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni, dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, hlm. 1-50.

Bustami,Abd.latif, 2012. ‘Agama Ketujuh:Sebuah Kajian tentang Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam Masyarakat Majemuk. Makalah disajikan pada Kongres Nasional Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Komunitas Adat, dan Tradisi oleh Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Ditjen Kebudayaan Kemdikbud RI, tanggal 26 Nopember 2012.

Bustami, Abd.Latif, 2013. ‘Petunjuk Teknis Proses Reinventarisasi Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Pelaporannya’, Makalah disajikan pada Bimbingan Teknis Renventarisasi Organisasi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Eas yang diselenggarakan oleh Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tanggal 25 Oktober 2013 di Bogor.

Bustami,ABd.Latif. Mr.K.R.M.T.WONGSONAGORO: Presiden Alternatif Pilihan Presiden Soekarno Makalah Seminar Tindak Lanjut Kongres Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Komunitas Adat dan Tradisi Tahun 2012 oleh Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang aha Esa dan Tradisi Ditjen Kebudayaan,Kemendikbud di Hotel Red Top Jakarta,Tangal 24-27 September 2013

Bustami, Abd.Latif ‘Tolerance in Tolerance Religious Conflict in East Java Province’. International Workshop The Gender Dimensions of Social Conflict, Armed Violence, and Peace Building, 4 November 2014 di University of Gadjah Mada

—————–, Nilai Budaya Spiritual: Relasi Niskala-Sekala dalam Konsensus Nasional IndonesiaMakalah disajikan pada Bimbingan Teknis Peningkatan Kompetensi Peyuluh Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.tanggal 21 September 2016 di Hotel Horizon Semarang

————-, 2016.Marapu:Kajian tentang Kontestasi Kepercayaan Komunitas Adat Sumba dengan Formalisasi Agama dan Kuasa Negara Makalah disajikan pada Seminar Internasional dan Workshop’ Membangun dari Pinggir Menelaah Masyarakat Pinggiran sebagai Bagian dari Bangsa Indonesia’ yang diselenggarakan oleh Riset Unggulan Ketahanan Sosial LIPI, Pusat Studi Budaya dan Laman Batas (PSBLB) dan Pusat Studi Kebumian dan Kebencaan (PSKK ) Universitas Brwijaya, serta Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascarjana UGM, l 9 Nopember 2016 di Universitas Brawijaya.

———————, 2017.Eksistensi, Legitimasi, dan Rekognisi: Lembaga Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam Peneguhan Bhinneka Tunggal Ika, Makalah disajikan pada Dialog Nasional Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha esa dan Tradisi dalam rangka Pekan Budaya Indonesia 2017 oleh Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, tanggal 26 September 2017 di Swiss- Belhotel Palu

Bustami, Abdul Latif, 2017. ‘Berkumpul Tidak Bersatu, Berpencar Tidak Berpisah: Sebuah Kajian tentang Toleransi terhadap Orang Tidak Beragama di Indonesia’ Makalah disajikan pada Seminar Internasional Tradisi Lisan ke-10 tanggal 25 sd 28 Oktober 2017 di Hotel Santika, Lombok yang diselenggarakan oleh Asosiasi Tradisi Lisan, Ditjen Kebudayaan Kemendikbud dan Pemerintah Kota Mataram.

Hartini,Sri , 2014. ‘Peluang Pelestarian Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa’. Makalah disajikan pada Sarasehan Nasional Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Yogyakarta, tanggal 13-17 Oktober 2014

Salinan Putusan Mahkamah Konstiusi Nomor 97/PUU-XIV/2016

Tim Perumus Sarasehan Nasional Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.Rumusan dan Rekomendasi Sarasehan Nasional Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, tanggal 13-17 Oktober 2014

[1] Keniscayaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu merupakan kepastian adanya realitas atau kenyataan yang telah mendapatkan legitimasi kultural, social, politik, dan yuridis formal.

[2] Istilah untuk menyebut berkelompoknya Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia beragam, di antaranya Pakempalan, Pekadangan, Paguyuban, Padepokan, Perguruan, Organisasi, dan Lembaga atau ada lembaga yang menyebut nama lembaganya sesuai dengan inti ajarannya sebagaimana yang diwariskan oleh Guru Laku atau Guru Spiritualnya.

[3] Data itu disajikan pada Sarasehan Nasional Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Yogyakarta, tanggal 13-17 Oktober 2014 oleh Direktur Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bertajuk.Peluang Pelestarian Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

[4] Saya menjadi Ketua Tim Perumus dan membacakan hasil Sarasehan Nasional Kepercayaan terhadap tuhan Yang Maha Esa tanggal 13-17 oktober 2014 di Yogyakarta.

[5] Manajemen ilmiah, atau dalam bahasa Inggris disebut scientific management, dipopulerkan oleh Frederick Winslow Taylor dalam bukunya yang berjudul Principles of Scientific Management pada tahun 1911. Dalam bukunya itu, Taylor mendeskripsikan manajemen ilmiah adalah penggunaan metode ilmiah untuk menentukan cara terbaik dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Beberapa penulis seperti Stephen Robbins menganggap tahun terbitnya buku ini sebagai tahun lahirya teori manajemen modern

[6] Periksa Abdul Latif Bustami. Ibidem Sejarah Kepercayaan 2018.

[7] Bhinneka Tunggal Ika berasal dari Kitab Sotasoma karya Mpu Tantular’Rwaneka dhatu winuwus, Bhinneki rakwa ring apan kena perwonosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa Tunggal, Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa’ yang artinya Agama Budha dan agama Siwa merupakan zat yang berbeda, tetapi nilai-nilai kebenaran Jina (Budha) dan Siwa adalah Tunggal, tidak terpecah belah, tetapi satu jua atau Tiada Dharma yang Mendua. Istilah itu berasal dari Kerajaan Majapahit berkembang dua agama besar, yaitu agama Siwa dan Budha. Mpu Tantular sendiri beragama Budha Tantrayana. Agama Siwa mengajarkan Dharma Dyaksa ring Kasaiwan, sedangkan Budha mengajarkan Dharmadyaksa ring Kasogatan. Dinamika yang terjadi pada masa Hayam Wuruk cenderung berpihak pada agama Siwa sehingga menimbulkan resistensi kalangan Budha. Sejatinya, di samping agama Siwa dan Budha di Majapahit terdapat penganut Tantrayana sebagaimana yang disebarluaskan oleh Kertanegara[7].Majapahit yang menjadi pusat kekuasaan Hindu dan Tantrayana (Hindu-Budha) dengan luas wilayah kekuasaannya melampaui Indonesia sekarang sebagaimana dinyatakan dalam kitab Negarakretagama Pupuh XLII pada abad XIV..Semboyan itu menjadi pembicaraan terbatas antara Bung Karno, Muhammad Yamin, I Gusti Bagus Sugriwa dalam Sidang BPUPK.Bung Hatta menyatakan bahwa gagasan itu berasal dari pemikiran Soekarno atas usul Yamin.Pada saat merancang Lambang Negara semboyan Bhinneka Tunggal Ika dimasukkan di dalamnya.

[8] Dokumen administratif terdiri atas: nama kepercayaan/organisasi paguyuban/ perguruan, tempat dan waktu berdirinya organisasi, latar belakang pendiri organisasi, alamat organisasi, penjabaran organisasi, jumlah anggota organisasi (sebaran desa/ kecamatan/ kabupaten/kota dan provinsi), daftar nominatif anggota organisasi. Daftar nominatif terdiri atas: nama organisasi, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, pendidikan, pekerjaan,alamat, keanggotaan organisasi dalam instansi pemerintah dan kelengkapan data organisasi. Kelengkapan data meliputi lambang organisasi dan maknanya, Akta Notaris, AD/ART, notulen, surat menyurat, laporan pertanggungjawaban pengurus, laporan keuangan, laporan kegiatan, dan data dari media massa dan hasil-hasil penelitian tentang organisasi kepercayaan yang bersangkutan atau lintas organisasi

[9]Dokumen ajaran dan sumber ajaran organisasi penting untuk didokumentasikan dan dipublikasikan kepada pemangku kepentingan sesuai dengan kepercayaan dalam organisasi yang bersangkutan[9]. Ajaran tentang Tuhan dan sifat-sifat Ke Esa-an Tuhan, ajaran tentang hakikat relasi makhluk dan Khalik, konsep tentang alam (makrokosmos dan mikrokosmos), dunia gaib, dan pengamalan ajaran (tata cara manembah, laku, logika, etika, estetika, prosesi, anjuran dan pantangan, serta sanksi).

 

Unduh berkas selengkapnya: Abdul Latief Bustami