Beranda blog Halaman 9

Tungkek Mambaok Rabah

0

Penulis: Undri

Bagaimana kalau tungkek-tongkat yang kita pakai membuat kita rebah ? Tidak membuat kita berdiri dan tegak. Tempat kita berpegang. Rasanya lunglai juga persendian kalau itu yang terjadi. Tongkat yang ditakdirkan dan diamanahkan untuk menopang dan membawa kita berdiri tegap, namun kini tongkat itu pula yang membawa kita terjatuh dan bahkan terjerembab. Tungkek mambaok rabah (tongkat membawa rebah) muncul ungkapan akhirnya.

Tungkek atau tongkat sesungguhnya ada pada diri kita atau dengan kata lain kitalah tungkek itu. Dalam tingkatan terkecil kita sebagai tungkek pada diri kita, sebagai tungkek dalam keluarga, dan dalam masyarakat. Orang yang diberi amanah tungkek tersebut disebut dengan pemimpin. Pemimpin buat diri kita sendiri, keluarga dan masyarakat. Orang yang didahului salangkah dan ditinggikan seranting. Orang yang memiliki sikap arif dan bijaksana, tanggap, dan sabar.

Orang yang arif bijaksana adalah orang yang dapat memahami pandangan orang lain, dapat mengerti apa yang tersurat maupun tersirat. Tanggap artinya mampu menangkis setiap bahaya yang bakal datang. Sabar artinya mampu menerima segala cobaan dengan dada yang lapang dan mampu mencarikan jalan keluar dengan pikiran yang jernih. Dilirik lebih jauh sisi keimanan maka muncul sifat siddiq (benar dalam berbicara dan benar dalam bertindak), amanah (dapat dipercaya),  fatanah (cerdas), dan tabligh (menyampaikan).

Ungkapan ini sangatlah cocok untuk mengambarkan hal diatas, tahu dikilek baliuang nan ka kaki, kilek camin nan kamuko, tahu jo gabak di ulu tando ka hujan, cawang di langik tando ka paneh, ingek di rantiang ka mancucuak, tahu di dahan ka maimpok, tahu di unak kamanyangkuik, pandai maminteh sabalun anyuik. (Tahu dengan kilat beliung ke kaki, kilat cermin yang ke muka, tahu dengan mendung dihulu tanda akan hujan, mega dilangit tanda akan panas, ingat ranting yang akan menusuk, tahu dahan yang akan menimpa, tahu duri yang akan mengait, pandai memintas sebelum hanyut). Begitulah adat Minangkabau menggambarkan orang-orang yang arif, bijaksana dan tanggap terhadap masalah yang akan dihadapi.

Seiring dengan itu, seorang pemimpin-sebagai tungkek– merupakan orang yang sangat dekat dan mengerti akan nasib orang yang dipimpinnya. Sosok pemimpin yang fondasi kepemimpinannya dibingkai oleh kekuatan kepercayaan dan kejujuran. Seorang yang muncul tidak begitu saja (instant), namun mengalami suatu proses yang panjang. Sehingga menjadi pemimpin bagi generasinya dan generasi berikutnya.

Seorang pemimpin mempunyai sikap-sikap seperti tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi sangat berguna baginya untuk menjadikan dirinya sebagai seorang pemimpin yang baik bagi generasi yang akan datang maupun generasi pada saat itu. Pola tingkah lakunya tersebut merupakan pola tingkah laku yang murni bukan terbias dengan berbagai-macam bias apalagi bias-bias politik yang menguntungkan pribadi atau kelompoknya. Namun harus memperlihatkan suatu sikap yang jelas-jelas memperjuangkan kehidupan masyarakatnya dan orang-orang yang dipimpinnya.

Kikinian, seorang pemimpin otoriter tidaklah masuk dalam kategori ini. Kalaupun ada tidaklah laku, bahkan dicampak orang nantinya. Keputusan misalnya tidak diambil sendiri. Oleh karena itu, sikap otoriter tidak pernah disukai orang-orang Minangkabau. Pepatah Minangkabau menyebutkan, walau inggok mancakam, kuku na tajam ta baguno, walau ma macik tampuak alam, kato mufakek nan kuaso, elok diambiak jo mufakekburuak dibuang jo hetongan (walau hinggap ingin mencekam, kuku yang tajam tak berguna, walau memegang tampuk alam, kata mufakat yang kuasa, yang baik diambil dengan mufakat, yang buruk dibuang dengan rundingan).

Melahirkan pemimpin yang baik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu proses panjang menuju arah itu. Pondasi kepercayaan, kejujuran dan dekat secara emosional bathiniah dengan rakyat atau orang yang dipimpinnya adalah kunci utama untuk membingkainya.

Pemimpin akan merasakan apa-apa yang dirasakan oleh pengikutnya, begitu juga sebaliknya. Mereka telah merasa satu jiwa, satu tekad dan satu tujuan. Ketika kesemuanya itu terpadu kedalam sebuah kebulatan maka nantinya akan terbentuk suatu kekuatan yang mendukung seorang pemimpin, seperti telah direntang pada bagian diatas.

Namun penting juga diingat ada ungkapan dalam masyarakat Minangkabau. Tungkek mambaok rabah, singgarik mambaok jatuah, piawai nan mamacah timbo. Artinya tongkat membawa rebah, singgarik membawa jatuh, piawai yang memecah timba. Berisi anjuran atau peringatan agar berhati-hati dalam kehidupan ini khususnya bagi seorang pemimpin, sebab tidak jarang apa yang diharapkan membantu malahan sebaliknya. Misalnya, seorang pemimpin yang salah memilih pegawai, orang kepercayaan kadang malah menimbulkan permasalahan fatal kelak kemudian hari, manuhuak kawan sairiang, mangguntiang dalam lipatan, musang babulu ayam, musuah dalam salimuik -namanya untuk menyebutkan perihal diatas.

Seorang pemimpin juga memiliki prinsip, tak ado karuah nan tak ka janiah, tak ado kusuik nan tak ka salasai. Setiap persoalan maka ada jalan keluarnya untuk menyelesaikannya. Demikian pula dalam mengambil suatu keputusan harus bijaksana, sehingga ibarat maambiak rambuik dalam tapuang, nan rambuik indak putuih, tapuang indak taserak.

Akhirnya, tungkek bana nan mambaok rabah– tongkat malah yang membawa jatuh-rebah tidaklah terjadi dalam kehidupan kita. Namun tungkek sebagai panutan, pemimpin yang membuat kita tegap berdiri dengan baik dan itulah sesungguhnya pemimpin yang sejati. Dikenang sampai akhir hayat nantinya.[Penulis adalah Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah

Basilang Kayu dalam Tungku Mangko Api ka Hiduik

0
Undri

Penulis: Undri

Keunikan orang Minangkabau bahwa setiap persoalan justru dapat terpecahkan dengan adanya silang pendapat dalam setiap musyawarah. Segala persoalan akan selalu dirembukkan dan dimusyawarahkan sehingga tidak ada persoalan yang tidak bisa dipecahkan- basilang kayu dalam tungku mangko api ka hiduik (bersilang kayu dalam tungku makanya api akan hidup).

Pepatah ini mengandung makna bahwa setiap persoalan yang akan dimusyawarahkan akan selalu dipecahkan sesuai dengan bentuk persoalan dan besaran persoalan itu sendiri. Artinya ada pemilihan antara siapa aktor yang boleh terlibat dan dilibatkan serta siapa aktor yang tidak boleh terlibat dan dilibatkan sesuai dengan persoalan yang dimusyawarahkan. Diungkapkan dengan istilah biliak ketek-biliak gadang (ruang kecil-ruang besar). Meskipun mufakat itu sendirinya telah menurut garis yang pantas untuk dibicarakan bersama, mufakat itu mempunyai rukun, yakni kebulatan pendapat, sebagaimana yang dimaksud petitih : bulek aia dek pambuluh, bulek kato dek mufakeik (bulat air oleh pembuluh, bulat kata oleh mufakat).

Bulek aia ka pambuluah, bulek kato jo mufakek, tuah sapakek, cilakonyo dek basilang-bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat, tuah hasil sepakat, celaka karena ngotot bersilang pendapat. Menggambarkan nilai kedaulatan rakyat serta adat. Bahwa suara (sikap) rakyat melalui musyawarah mufakat merupakan keputusan tertinggi dalam masyarakat, dan berbahayalah apabila mufakat tersebut tidak menghasilkan keputusan. Karena silang pendapat hanya mengakibatkan kekisruhan.

Nan bana kato saiyo, nan rajo kato mufakat-yang benar kata seiya, yang raja kata mufakat. Kebenaran peribadi seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara bersama oleh masyarakat. Maka yang benar adalah kesepakatan bersama karena dapat dipertanggungjawabkan bersama. Jadi, dalam kehidupan bermasyarakat hendaklah mengutamakan musyawarah dalam menyelesaikan suatu perkara atau nan kusuik.

Kebulatan kata itulah yang dimaksud dengan sakato, yang dapat ditafsirkan apa yang diungkapkan mamangan dan diperkuat oleh petitih itu, bahwa mufakat, yang juga berarti beriya-iya, melahirkan kata yang bulat karena orang yang beriya-iya itu telah melahirkan kesatuan kata dan juga kesamaan kata. Oleh karena itu, pengertian kato di sini, bukanlah merupakan ucapan atau kalimat, melainkan merupakan keputusan mufakat, baik berbentuk peraturan, undang-undang maupun hukum.

            Bagi orang Minangkabau dalam berdemokrasi sering memunculkan perdebatan yang mengarah kepada perdebatan intelektual. Perdebatan intelektual yang dimaksud merupakan upaya perumusan dan penyampaian pemikiran kritis tentang berbagai hal dan aspek kehidupan daerah dan bangsa. Pemikiran-pemikiran kritis tersebut lazimnya disampaikan secara terbuka dan terus terang diberbagai kesempatan, baik secara lisan pada saat dilangsungkan rapat, kongres dan seminar maupun secara tertulis di surat kabar dan majalah. Orang Minangkabau selalu memperdebatkan ide, dan tidak menelan mentah-mentah segala sesuatu yang berhubung dengan perihal kehidupan mereka, baik yang berasal dari rantau maupun dari ranah sendiri yang terdiri atas kelompok-kelompok kecil yang mandiri dan otonom.

Penyampaian pemikiran kritis tersebut selain telah menyebabkan terjadinya konflik (silang pandapek) juga memungkinkan terbentuknya konsensus. Dengan kata lain, naluri berkonflik diimbangi dengan kemauan berkonsensus. Seiring dengan hal tersebut, kebebasan berekspresi tinggi di Minangkabau. Orang dapat mengatakan apa saja. Orang boleh saja marah. Jengkel juga tidak dilarang. Mengkritik, mengingatkan, menasehati, menolak, dan bentuk ekspresi lainnya tidak dilarang, dan bahkan dianjurkan, itulah wajah orang Minangkabau dalam berdemokrasi. Berdemokrasi bagi orang Minangkabau terutama dalam pengambilan keputusan harus dibuat melalui proses musyawarah menuju mufakat.

Keputusan yang benar hanya terjadi apabila sakato atau mufakat telah dicapai oleh semua yang terlibat dalam persoalan-persoalan yang harus diselesaikan. Bahkan ungkapan ”musyawarah untuk mufakat” dianggap sebagai dasar dari bentuk khusus demokrasi di Indonesia.  Kata mufakat hanya bisa dicapai apabila orang-orang menerima nilai-nilai abstrak tertentu, misalnya akal sehat dan kepatutan, apa yang mungkin, dan akhirnya kebenaran. Jadi, kekuasaan mamak, dan penghulu, yang menjadi elemen penting dalam proses berdemokrasi sama sekali bukan mutlak, melainkan tunduk pada pelaksanaan kepemimpinan di bawah syarat-syarat tertentu.  Orang-orang yang memegang kekuasaan lebih dilihat sebagai wakil-wakil kelompok untuk menghadapi dunia luar, dan sebagai penyelenggara musyawarah-musyawarah yang harus berujung dengan mufakat.

Kedepannya, budaya demokrasi yang telah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat Minangkabau harus mendapat tempat dan dilestarikan oleh kaumnya, dan menjadi fondasi kearah dalam penyelesaian persoalan yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Segala persoalan selalu dirembukkan dan dimusyawarahkan sehingga tidak ada persoalan yang tidak bisa dipecahkan- basilang kayu dalam tungku mangko api ka hiduik, mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah pada Minggu, 7 April 2019

Ronggeng Pasaman; Potret Perpaduan Beda Budaya

0

Penulis: Firdaus Marbun

Salah satu kesenian tradisional Sumatera Barat yang eksis hingga kini adalah Ronggeng Pasaman. Kesenian ini merupakan kegiatan berbalas pantun dalam bentuk nyanyian dengan iringan musik dan tarian. Alat musik pendukung kesenian ini diantaranya biola, gitar, rebana, dan tamburin. Seperti namanya, kesenian ini berkembang di sekitar Kabupaten Pasaman dan Pasaman Barat.

Ronggeng Pasaman dimainkan oleh minimal sembilan orang yang terdiri dari satu orang ronggeng, tiga orang penampil pria dan lima pemain musik. Seorang ronggeng berperan mendendangkan pantun-pantun dalam pertunjukan. Sehingga, seorang ronggeng adalah orang yang mahir dan ahli dalam berpantun. Selain itu, dia juga harus bersedia berpenampilan seperti perempuan dan biasanya memiliki paga diri (ilmu batin penjaga diri). Paga diri diperlukan untuk memastikan keamanan ketika sedang tampil dimanapun.

Dalam pertunjukannya, seorang ronggeng didampingi setidaknya tiga penampil pria. Satu dari tiga penampil bertugas membalas pantun yang dilontarkan ronggeng, sementara dua orang lainnya mendampingi sambil menari. Penampil pria ini bebas dari mana saja, termasuk dari kalangan penonton, tidak harus ahli dalam berpantun dan biasanya bertugas secara bergiliran. Bahkan, seorang penampil tidak masalah ketika harus bertanya ke orang lain bahkan ke penonton untuk dapat membalas pantun-pantung ronggeng.

Pemain musik terdiri dari lima orang yakni satu orang pemain biola, dua orang pemain gitar, satu orang pemain rebana dan satu orang pemain tamburin. Pemain musik bertanggung jawab pada iringan musik selama pertunjukan berlangsung.

Kesenian ini berfungsi sebagai hiburan dan pelipur lara. Rongggeng termasuk tradisi lisan (Pratama, 2015). Pantun-pantun yang didendangkan dalam ronggeng pasaman umumnya bebas dan lepas dan tidak membentuk suatu kesatuan cerita (Takari dan Zafar, 2014). Beberapa nyanyian yang kerap didendangkan dalam kesenian ronggeng adalah pantun yang berisi sindiran, nasehat, kritik yang seringkali ide-idenya muncul secara spontan kala pertunjukan. Percintaan, kesedihan, harapan dan kerinduan. Jenis pantun yang dibawakan adalah pantun muda-mudi seperti cerai kasih, kaparinyo, buah sempaya, tari payung, mainang, alah sayang, sinambang, di kambang baruih.

Pertunjukan ronggeng pasaman biasanya dimainkan pada malam hari hingga pagi menjelang subuh dalam pesta perkawinan maupun acara-acara keagamaan. Kesenian ini dilakukan dengan berpasangan atau berkelompok. Suasana pertunjukan berlangsung cair dimana antar pelaku dan penonton tidak berjarak. Penonton senantiasa diajak terlibat selama pertunjukan berlangsung secara spontan seperti berdialog.

Sejarah Ronggeng Pasaman

Kesenian ronggeng adalah kesenian nusantara yang telah eksis sejak zaman kerajaan. Kesenian ini hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia walau dengan nama yang berbeda. Beberapa contoh seperti lengger di Jogya, ronggeng/topeng babakan, doger, taledek, di Sunda, dendang sayang di Aceh, dondang sayang di Melaka, Kapri di Barus, Tarian Ronggeng di Pasaman, Katumbak di Pariaman dan Gamat di Kota Padang, Pelanduk di Palembang, gandot di kalimantan, Pajoge di Sulawesi.

Pada masa lalu, kesenian ini ditampilkan di istana-istana kerajaan untuk menghibur raja dan keluarganya. Bahkan, pada abad ke-20 penari ronggeng biasa dikirim ke keraton-keraton khusus untuk menghibur. Sementara di desa-desa, ronggeng digunakan sebagai media penyampaian pesan dalam berbagai ritual sebagai ucapan syukur atas hasil panen.

Munculnya ronggeng di Pasaman tidak lepas dari migrasi penduduk pada masa lalu. Beberapa dugaan menyatakan bahwa ronggeng pasaman berasal dari masyarakat Jawa yang migrasi ke Pasaman. Masyarakat Jawa ini dibawa oleh penjajah Jepang untuk memenuhi tenaga kerja pada perkebunan karet disana. Kedatangan orang Jawa sekaligus membawa adat kebiasaan mereka, termasuk kesenian ronggeng.

Perkembangan ronggeng di pasaman juga tidak lepas dari adanya kelonggaran pertunjukan ronggeng pada waktu itu. Walau sedikit dibatasi, namun pertunjukan tidak dilarang untuk kalangan masyarakat pemiliknya. Sehingga lama-kelamaan ronggeng juga diminati oleh masyarakat asli. Seiring berjalannya waktu, ronggeng kemudian diadaptasi sesuai dengan adat dan kepercayaan yang ada di Pasaman.

Ronggengpun kemudian mengalami modifikasi sesuai adat masyarakat setempat seperti bahasa syair yang umum menggunakan bahasa Minangkabau dan Mandailing, pemainnya yang berganti menjadi pria yang didandani seperti perempuan dan pertunjukannya hanya dimaksudkan sebagai hiburan. Kesenian ini juga menjadi marak ditampilkan pada acara-acara adat dan agama.

Perpaduan Beda Budaya

Ronggeng pasaman merupakan salah satu bentuk ronggeng yang berkembang di Sumatera yang berbeda dengan daerah lain. Pemakaian kata ‘ronggeng’ mengindikasikan bahwa kesenian ini bukan produk asli, tapi berasal dari daerah lain. Jika kita merujuk pada nama tersebut, besar kemungkinan bahwa rongggeng dari daerah jawa. Migrasi orang jawa ke sumatera telah berperan sebagai awal kemunculan ronggeng pasaman.

Ronggeng pasaman merupakan adaptasi seni sesuai kekhasan daerah pasaman yang mayoritas dihuni oleh suku Minangkabau dan Mandailing. Pertama dari pantun-pantun yang seringkali menggunakan bahasa minangkabau dan bahasa Mandailing. Ronggeng yang ditampilkan juga adalah pria yang dimake up seperti layaknya perempuan. Hal itu untuk menyesuaikan dengan keyakinan masyarakat yang beragama Islam. Dimana tidak menampilkan perempuan di muka umum.

Tujuan penampilan ronggeng juga diperluas. Walau sifatnya hanya hiburan, tapi dilaksanakan tidak hanya pada acara-acara pesta saja, tapi juga pada acara-acara keagamaan. Ronggeng ini juga telah sering ditampilkan pada acara-acara adat lainnya seperti acara turun mandi dengan tetap menampilkannya sebagai hiburan semata.

Berkembangnya kesenian ronggeng di Pasaman jelas menunjukkan adanya toleransi antara budaya yang berbeda di daerah Pasaman. Sehingga ronggeng yang pada awalnya hanya terbatas dipertontonkan pada komunitas pemiliknya, kemudian berkembang ke masyarakat asli. Selanjutnya keberadaan ronggeng pasaman menjadi tradisi yang dimiliki bersama dengan mengadaptasi adat kebiasaan masyarakat setempat.

Keberadaan ronggeng pasaman pada masa kini sesungguhnya tidak lagi sebagaimana jayanya pada masa lampau. Namun nilai toleransi yang diwariskan telah memberikan kita pencerahan yang penting untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 3 Februari 2019

Belajar Bersama Maestro Ronggeng Pasaman

0

Pasaman – Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat menggelar kegiatan Belajar Bersama Maestro di Kabupaten Pasaman Sumatera Barat. Kepala BPNB Sumatera Barat Drs. Suarman membuka secara resmi kegiatan ini pada Senin, 15 Juli 2019 di Nagari Kumpulan, Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman. Lokasi pembukaan dilaksanakan di Balai Pemuda Kampung Melayu, Nagari Kumpulan. Adapun karya budaya yang diangkat dalam kegiatan ini adalah Kesenian Ronggeng Pasaman.

Kegiatan Belajar Bersama Maestro merupakan kegiatan unggulan BPNB Sumatera Barat yang digelar sebagai wadah menggali karya-karya budaya yang hampir punah. Penggalian ini bermaksud untuk menghidupkan dan mewariskan nilai karya-karya budaya kepada generasi muda. Sehingga kegiatan BBM ini melibatkan maestro-maestro karya budaya untuk dapat mentransfer ilmunya kepada peserta BBM.

Peserta kegiatan ini merupakan para pemuda yang tertarik mempelajari karya-karya tradisi. Melalui kegiatan BBM ini, para pemuda yang terlibat diharapkan dapat diandalkan untuk menghidupkan dan mentransfer pengetahuannya kelak kepada orang lain. Sehingga, dengan pola seperti itu, karya-karya tradisional dapat bertahan dan berkembang maju.

Kesenian ronggeng pasaman merupakan kesenian tradisional yang berkembang di daerah Pasaman dan Pasaman Barat. Hingga kini, kesenian Ronggeng Pasaman sudah semakin langka. Jika upaya pelestarian tidak segera dilakukan, maka kesenian ini akan segera mengalami kepunahan. Melalui kegiatan BBM, BPNB Sumatera Barat mencoba memulai upaya pelestarian untuk merangsang masyarakat mempertahankan kesenian tersebut.

Harapannya melalui kegiatan BBM, warga khususnya generasi muda lebih mengetahui arti penting kesenian ronggeng dalam konteks kekinian. Dengan mengetahui arti penting tersebut, warga juga lebih mencintai dan berkeinginan mempelajari kesenian tersebut. Sehingga lama kelamaan kesenian tersebut dapat berkembang di kemudian hari. Demikian disampaikan Firdaus Marbun sebagai nara sumber dalam kegiatan tersebut.

Kegiatan pembukaan Belajar Bersama Maestro diawali dengan laporan ketua panitia, kata sambutan ninik mamak, kata sambutan dari walinagari, kata sambutan sekaligus pembukaan dari Kepala BPNB Sumbar serta penyampaian materi dari narasumber. Pada akhir acara, para peserta BBM memulai latihan perdana yang dipandu oleh seorang pelatih tari dan seorang pelatih biola. (FM)

Runciang jan nan Mancucuak, Sandiang jan nan Maluko

0

Penulis: Undri

Berbuat kebaikan mestilah kita lakukan dalam hidup ini. Bila kita memiliki kepandaian atau mempunyai ilmu, jangalah sampilik kariang– tidak mau berbagi pula. Janganlah digunakan untuk merusak atau menimbulkan bencana bagi orang lain. Hendaklah kita membawa berkah dan keuntungan bagi orang lain atau sikap kita tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan orang lain. Nasehat telah diungkapkan- runciang jan nan mancucuak, sandiang jan nan malukoi (runcing jangan yang menusuk, sanding jangan yang melukai).

Obat dari semua itu adalah rendah hati, sifat ini yang paling ideal dalam hidup. Sifat rendah hati menjauhkan kita dari sifat sombong, congkak, angkuh, acuh tak acuh kepada orang lain. Perhatikan pantun berikut : kacak langan bak langan, kacak batih lah bak batih, bajalan dirusuak labuah, tagak sarupo urang mambali, duduak sarupo urang manjua, sarupo lonjak labu dibanam, sarupo kacang diabuih ciek.

Berkenaan dengan sifat rendah hati itu sendiri, ada beberapa tanda seseorang itu mempunyai sifat tersebut, antara lain dia selalu minta maaf kalau bersalah, dan selalu minta ampun dan bertobat kalau berdosa. Dingkapkan dalam kato pusako, salah catok malantiangkan, salah ambiak mangambalikan, salah makan mamuntahkan, salah pado manusia minta maaf, salah pado Allah minta taubat.

Untuk itu perlu kiranya mencontoh dan belajar dari ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Semakin banyak ilmu pengetahuan yang kita miliki, semakin tinggi pula sifat rendah hati yang kita miliki. Tidaklah angkuh dan sombong. Apalagi kepandaian dengan ilmu yang kita miliki terkadang untuk memperdayakan orang lain, guna keuntungan kita sendiri. Sebuah perihal yang penting kita hindari dalam hidup ini. Jangan ditiru sifat ayam, bertelur satu rebut sekandang, artinya berilmu sedikit sudah menyombongkan diri. Kita renungkanlah- kok mandi di ilia-ilia, kok mangecek dibawah-bawah (jika mandi di hilir-hilir, jika berbicara di bawah-bawah)- menadakan orang rendah hati, menunjukkan bahwa ia tidak sombong dan tidak angkuh.

Kemudian setiap orang harus sadar pada kekurangannya. Jadi, tidak ada yang akan disombongkan karena alam pemberian Allah SWT kepada hamba-Nya, makin kaya atau makin banyak ilmu, kita harus rendah hati.  Tidak berhenti disitu saja orang yang memiliki pengetahuan yang tinggi, dalam berbicara janganlah sampai menyinggung perasaan orang lain. Janganlah suka menonjolkan diri meskipun kita orang yang berada dan berpengetahuan.

Dalam hidup ini janganlah menyombongkan diri-pandai menempatkan diri dalam kehidupan masyarakat, tidak boleh bersikap atau bertindak lebih tinggi atau lebih pintar-sok pintar, sok pandai-orang sekarang menyebutnya. Ungkapan mengungkapkan berupa nasehat kok mandi di ilia-ilia, kok mangecek dibawah-bawah tersebut. Artinya hendaklah kalau berbicara jangan meninggi, kalau mandi di sungai hendaklah disebelah hilir dari orang lain. Tentu maksudnya jangan menyombong diri, baik dalam berkata-kata, maupun dalam perbuatan.

Cadiak indak mambuang kawan, gapuak indak mambuang lamak-cerdik tak membuang kawan, gemuk (banyak makan) tak membuang lemak (yang enak). Pepatah yang mengemukakan nilai-nilai prikemanusiaan. Meskipun dirinya telah memiliki kelebihan tetap memperhatikan dan tidak menjauhkan diri dengan orang lain.

Tidak itu saja, diungkapkan panjang jan malindih, gadang jan malendo– besar jangan menindas, besar jangan menyenggol. Jika berkuasa janganlah bersikap semena-mena dengan menekan atau memaksa kehendak pada yang lebih kecil (bawahan) karena mereka pasti akan kalah. Sebab sebagai pemimpin itu hanyalah amanah. Bila kita memegang amanah dengan baik maka orang hormat kepada kita, namun bila tidak buktikanlah bahwa  setelah tidak berkuasa orang mengindar dari kita- tidak menghormati kita.

Ungkapan runciang jan nan mancucuak, sandiang jan nan malukoi (runcing jangan yang menusuk, sanding jangan yang melukai) mengkehendaki sifat yang kita tunduk kepada nilai kemanusiaan, menghargai sesama manusia, atau diistilahkan juga memanusiakan manusia itu sendiri, menghargai sesama manusia, tidak merasa benar dan berilmu sendiri namun kita melihat sesuatu potensi bagi kita sebagai kemuliaan dan kemaslahatan yang bisa menguntungkan bagi manusia lainnya. Kita menghindari perihal tindakan dan perbuatan kita yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Akhirnya pentinglah sifat rendah hati kita tanamkan dalam diri kita. Bila kita memiliki kepandaian atau mempunyai ilmu, mulailah berbagi kepandaian kita kepada orang lain. Jangan dijadikan kepandaian dan pengetahuan yang kita miliki untuk merusak atau menimbulkan bencana bagi orang lain namun kita menjadi berkah dan kemuliaan ditengah masyarakat. Mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai  Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah

Meneroka dan Konflik: Orang Jawa di Tanjung Pati (2/habis)

0

Setelah berakhirnya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI), S.M Djoko Bupati Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat berupaya keras memindahkan orang Jawa –terutama yang bermukim di Halaban–ke kawasan yang belum terjamah. Dan, daerah yang dituju adalah Nagari Sarilamak.

Setelah menerima seluruh dokumen penyerahan tanah dari Jawatan Agraria, S.M Djoko mengabarkan kepada eks buruh teh Halaban, untuk sesegera mungkin membuka hutan rawa tersebut. Bertempat di rumah Amat Salem, 32 (tigapuluh dua) orang eks buruh Halaban menyepakati untuk membuka lahan yang terdapat di Sarilamak.

Adapun ketigapuluh dua orang Jawa tersebut adalah Amat Salem, Marto Rejo, Wahab, Suwandi, Wongso Rejo, Ngalimi, Saal, Jayahadi, Tukiman, Daswan, Karso, Sutiman, Mukiren, Parno, Amat Sawo, Sujak, Rawen, Waryo Suwito, Dukut, Karyo Jenggot, Harjo Munarah, Cokro, Katmo, Daem, Amat Rejo, Amat Saniah, Munaji, Karto Cenguk, Rasmani, Miso, Sumarto Seneng, dan Karyo Rejo.

Dan, awal lahan yang digarap oleh para transmigran dari Halaban, kemudian dinamakan Sido Dadi (kini: Purwajaya) seluas 130,9 Ha yang kini terletak dari Km.8 hingga Km. 10.  Sedangkan 269,1 Ha lainnya berada di Padang Semut (Kubu Gadang), Kubang Gajah, dan Anak Kubang Nagari Koto Tuo(RPJM Nagari Sarilamak tahun 2011-2015: 1).

Adapun batas-batas daerah transmigrasi yang diserahkan ninik mamak Sarilamak adalah di sebelah utara berbatasan dengan hutan rawa basah, bukit Pauah Sarilamak. Di selatan berbatasan dengan bandar besar Nagari Tigo Batur Padang Barangan. Untuk kawasan timur dengan jalan negara (kini: samping Kodim 0306 Kabupaten Limapuluh Kota), dan sebelah barat dengan Bukit Sarilamak dan Nagari Tigo Batur Padang Barangan.

Masing-masing eks buruh perkebunan yang menginginkan tinggal di lokasi yang telah disediakan, harus mengajukan surat permintaan tanah kepada Kepala Agraria. Tjokromiardjo dalam surat permohonannya pada 19 September 1963. Dalam surat permohonannya, ia meminta tanah di Anak Kubang Sarilamak, seluas 60 x 50 meter dan 100×30 m2.

Surat permohonan Tjokromiardjo kemudian direalisasikan oleh Kantor Agraria Daerah 50 Kota melalui Keputusan Menteri Agraria No.SI/112/Isa/61 Nomor X tahun 1963. Di luar perkiraan, tanah yang diminta Tjokroamiardjo bertambah luas dari permohonannya, yakni 71 x 55,5  meter + 116,5 x 31 m2. Dalam suratnya, Kepala Agraria meminta pada calon transmigran segera membuka lahan dalam waktu satu tahun dan membuat sendiri kediamannya (Keputusan Menteri Agraria No.SI/112/Isa/61 Nomor X tahun 1963).

Setelah selesai menentukan batas-batas daerah dan peruntukkan tanah, tigapuluh dua orang eks buruh teh Halaban mengerjakan jalan poros dan selokan. Setelah pekerjaan rampung, Amat Salem membagi kaplingan tanah untuk 200 KK dan menyerahkan pengerjaannya kepada masing-masing dari eks buruh tersebut.

Kisah membuka hutan berawa di Tanjung Pati pun menarik untuk dicermati. Rombongan peneroka itu tidak seluruhnya memakai kendaraan yang hanya disediakan satu saja oleh Pemda Kabupaten Daerah Limapuluh Kota. Sebagian dari mereka ada yang berjalan kaki di bawah koordinator Amat Salem. “…, ada yang membawa gerobak kayu untuk membawa kayu bakar, untuk dijual pada sorenya ke Payakumbuh dengan membawa kayu api, untuk mereka jual di Payakumbuh dan hasilnya mereka belikan perbekalan untuk keesokan harinya. Begitulah setiap hari mereka lakukan” (Tumirah, wawancara, tanggal 28 Maret 2018 di Jorong Purwajaya Kabupaten Limapuluh Kota).

Setelah lahan di Anak Kubang kering, para transmigran tersebut mendirikan pondok-pondok untuk tempat tinggal. Dengan berbekal ubi, keladi, dan ganyong, para peneroka dengan alat seadanya menantang maut, untuk membuka hutan berawa. Mereka saling bergotong royong menimbun rawa-rawa dan membuat pematang sawah, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

“Lahan yang sudah dibuka, ada yang ditanami singkong, keladi, ganyong untuk dijadikan makanan setiap hari. Pada kesempatan lain, Pak Amat Salem dan beberapa orang lainnya menemui Bupati S.M Djoko, untuk melaporkan perkembangan pekerjaan dan meminta bantuan ransum makanan.” (Ngatmi, wawancara, tanggal 28 Maret 2018 di Jorong Purwajaya Kabupaten Limapuluh Kota).

Permintaan dari peneroka itu segera dipenuhi Bupati S.M Djoko. Mereka diberi beras, gula, minyak goreng, sabun, dan lainnya. Kisah lainnya dituturkan  Samiliyono mengenai semangat para peneroka yang berjalan sampai puluhan kilometer dari Payakumbuh menuju Tanjung Pati. “Dirasa terlalu capek berulang setiap hari, puluhan kilometer dengan berjalan kaki dari Payakumbuh. Sebagian dari mereka membuat gubuk untuk ditempati, apabila sore hari hujan dan tidak mungkin kembali ke Payakumbuh.”. ungkap Samanjono.

Pada tahun 1964 Amat Salem ditemani sepuluh orang peneroka, menemui Bupati Limapuluh Kota, untuk melaporkan hasil pekerjaannya, dan meminta S.M Djoko datang ke Sido Dadi. Dalam kunjungannya pada Juli 1964, SM. Djoko meminta transmigran lokal itu mengganti nama Sido Dadi, menjadi Purwajaya [Penulis adalah Peneliti di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 17 Maret 2019

Buruak Muko Camin Dibalah

0

Penulis: Undri

Penyakit kita terlalu sibuk mencari-cari kesalahan dan kekurangan orang lain, sehingga kesalahan dan kekurangan diri sendiri terlupakan. Mencari kesalahan orang lain, tak tahunya kesalahan kita berjibun pula, sibuk mencari aib orang lain. Rasa-rasanya hidup hanya dipenuhi dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain, berlelah-lelah mencari aib orang lain. Wajah kita sendiri yang jelek, cermin yang dibelah. Orang yang berbuat keburukan atau kejahatan namun menyalahkan orang lain atas apa yang ia lakukan- buruak muko camin dibalah (buruk muka cermin dibelah).

Kita tidak dapat menafikan bahwa beberapa manusia ada yang hobinya hanya mencari-cari kesalahan dari orang lain, kemudian membicarakannya dengan temannya, kerabatnya, bahkan dibicarakan dipublik, lewat media sosial di facebook, tweeter misalnya, dan lain. Jika kesalahan ia dapatkan, ia besakan pula. Bergelora semangat untuk mencari kesalahan orang lain. Kadang kala kekhilafan dalam urusan kecil yang wajar terjadi dan sepatutnya dimaafkan, namun ditampak-tampakkan sebagai kejahatan teramat besar. Begitulah ritme kehidupan dihari ini.

Selain itu, ada penyakit mengada-ada yang lebih buruk lagi. Mengada-adakan kesalahan yang ia mengetahui betul bahwa tidak ada kesalahan pada orang lain, tetapi ia menisbahkan kesalahan kepada orang tersebut, mengesankan kepada orang tersebut bahwa ia berbuat kesalahan yang sangat besar. Ini semua termasuk kepada perihal fitnah yang keji, dan haruslah kita hindari dalam hidup ini.

Buruak muko camin di balah bermakna juga orang yang tidak mau intropeksi diri. Seseorang yang tidak mau menerima akibat buruk dari perbuatannya dan menimpakan kesalahannya pada pihak orang lain. Tersirat bahwa kita dianjurkan mencari penyebab sesuatu itu dengan teliti dan cermat sesuai dengan apa yang terjadi. Jangan sampai kita menjadi seperti orang yang memecahkan kacanya lantaran wajahnya buruk ketika dia lihat di cermin. Serta janganlah menjadi orang yang tidak bertanggung jawab dengan perbuatan sendiri apalagi menyalahkan orang lain.

 Kita sibuk mencari-cari kesalahan orang lain, menunjukkan jika dia merupakan seseorang yang tidak memiliki kesibukan yang berarti. Waktu yang ia miliki tidaklah penting sampai akhirnya waktunya dihabiskan untuk sibuk mencari kesalahan orang lain. Orang baik tidak akan mengumbar aib orang lain, bahkan jika dia tahu akan hal itu maka dia akan menutup-nutupinya. Namun berbeda lagi dengan orang yang dalam hatinya terdapat penyakit hati seperti iri dan dengki, ia akan sibuk mencari kejelekan orang lain dan akan mengumbarnya kepada orang lain pula.

Persoalan mengenai jangan mencari-cari kesalahan orang lain sudah ada dalam kitab suci Al-quran yakni melalui Surat Al-Hujurat ayat 12, Allah SWT berfirman : “Janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain”. (Q.S. Al-Hujurat 12). Begitulah pentingnya ajaran untuk jangan mencari-cari kesalahan orang lain, namun berbuat kebaikan diantara kita di muka bumi ini.

Dalam hal ini pentinglah kiranya introspeksi diri, menyadari akan diri sendiri. Introspeksi diri dapat membantu seseorang untuk bercermin tentang diri dan kehidupannya selama ini. Melalui introspeksi diri, kita akan lebih mudah menentukan tujuan hidup ke depan. Tentunya, tujuan hidup yang kita dapatkan melalui introspeksi diri ini akan mampu membawa kita sebagai manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik lagi. Atau dengan kata lain bahwa introspeksi diri merupakan peninjauan atau koreksi terhadap perbuatan, sikap, kelemahan, serta kesalahan dari diri sendiri.

Ungkapan yang sejalan dengan buruak muko camin dibalah (buruk muka cermin dibelah) yakni mancabiak baju di dado, manapuak aia di dulang (merobek baju di dada, menepuk air di dulang). Mengandung makna akan sesuatu perbuatan yang merugikan diri sendiri, sesuatu pekerjaan yang tidak baik atau tidak layak dilakukan. Tersirat sebuah makna bahwa bagi kita agar menasehati seseorang agar dalam pergaulan hidup, bertutur kata harus hati-hati, janganlah menjelek-jelekkan orang lain, keluarga atau membukakan aib orang lain, keluarga sendiri kepada orang lain karena yang akan merasa atau menanggung malu bukan hanya keluarga saja tetapi juga diri sendiri- mancabiak baju di dado, manapuak aia di dulang (merobek baju di dada, menepuk air di dulang).

Akhirnya, penting bagi kita dalam hidup ini agar tidak mencari-cari kesalahan yang dimiliki orang lain, melakukan introspeksi diri bahwa diri kita juga penuh dengan kekurangan dan kesalahan. Selama persoalan ini kita maknai dalam hidup maka hidup telah kita retas dengan baik dan mulia- dan janganlah buruak muko camin dibalah (buruk muka cermin dibelah). Mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah

Jejak Tradisi Daerah 2019 Resmi Berakhir

0

Ogan Ilir – Jejak Tradisi Daerah 2019 secara resmi berakhir. Hal ini ditandai dengan acara penutupan yang diadakan pada Jumat, 5 Juli 2019 di Aula Pondok Pesantren Miftahul Ulum, Desa Tanjung Pinang, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Penutupan secara resmi dilakukan oleh Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ogan Ilir Zulkarnain, S.Pd.

Baca juga: Laseda 2019 Resmi Ditutup: Anik Dwi Utami Raih Peserta Terbaik

Rangkaian acara penutupan dimulai dengan pembacaan ayat suci Alquran, dan beberapa penampilan kesenian dari peserta. Selanjutnya kata sambutan dari ketua panitia Hasanadi, SS, kesan dan pesan dari peserta didik, kesan dan pesan dari guru pendamping, pengumuman peserta terbaik untuk semua kategori, penyerahan cenderamata dan hadiah serta terakhir penutupan secara resmi oleh Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Ogan Ilir.

Pada kesempatan tersebut, Zulkarnain, S.Pd menyampaikan penghargaan kepada Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumaterea Barat yang memberi kesempatan kepada Bumi Ogan Ilir melaksanakan kegiatan Jejak Tradisi Daerah 2019.

Dia juga berpesan agar setiap peserta dan yang terlibat dalam Jetrada 2019 tetap menjaga persatuan dan Bhinneka Tunggal Ika. ‘lain lubuk lain ikan, lain padang lain belalang. Tapi jangan jadikan perbedaan sebagai pemisah karena kita sudah punya Bhinneka Tunggal Ika sebagai pemersatu’. Ucapnya

Di akhir sambutannya, Zulkarnain menyampaikan harapannya agar kegiatan-kegiatan pelestarian budaya  tetap berkesinambungan di masa mendatang dan kerjasama antar lembaga bisa lebih dieratkan.

Pada kesempatan penutupan tersebut, panitia mengumumkan empat kategori peserta terbaik yakni: guru pendamping terbaik, penampilan kesenian terbaik, kelompok observasi dan presentasi terbaik serta peserta siswa terbaik. Khusus peserta siswa terbaik nantinya akan diutus mewakili BPNB Sumatera Barat pada acara Jejak Tradisi Nasional yang rencananya akan diadakan di Bali pada Agustus mendatang.

Adapun peserta siswa terbaik Jetrada 2019 diraih oleh:

  1. Supran Amar dari SMA N.1 Indralaya Selatan, Provinsi Sumatera Selatan
  2. Diva Augusti Edel dari SMA N.1 Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat
  3. Celina Niria De Dazza dari SMA N.4 Lahat, Provinsi Sumatera Selatan
  4. Anisa Lestari dari SMA N.1 Pagaralam, Provinsi Sumatera Selatan
  5. Ayunni Niza Syafifah dari SMA N.1 Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu
  6. Aditya Saputra dari SMA N.1 Tanjung Batu, Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan
  7. Feni Putri Anjani dari SMA N.1 Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu
  8. Rahmat Kurnia dari SMK N.7 Padang, Provinsi Sumatera Barat

Panitia juga memberikan trophy dan hadiah pembinaan kepada peserta terbaik tersebut.(FM)

Meneroka dan Konflik: Orang Jawa di Tanjung Pati (1)

0

Penulis: Zusneli Zubir

Menelusuri daerah Tanjung Pati Kabupaten Limapuluhkota, Sumatera Barat yang kini kian padat, akan berbeda situasinya pada lima puluh enam tahun silam. Kondisi dulu dan kini jelas berbeda. Dulu, Tanjung Pati hanyalah hutan belantara dengan jalan yang bisa dilalui kendaraan kecil saja. Kini, tentu kawasan padat penduduk itu selalu ramai dilalui kendaraan yang menuju dan keluar Payakumbuh.

Peristiwa pergolakan, atau yang dikenal dalam ingatan orang Minangkabau sebagai Peri-peri (PRRI-Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) merupakan awal dari migrasi lokal orang Jawa dari Halaban dan sekitarnya membuka lahan baru. Pada tahun 1958, seiring memuncaknya konflik antara pemerintah pusat dengan Dewan Banteng, telah berdampak luas terhadap orang Jawa di Sumatera Barat. Sebagaimana di Halaban, para buruh pemetik teh asal Jawa, mulai merasakan intimidasi dan ancaman pembunuhan dari orang-orang pro PRRI.

Pada tahun 1960, sembilan kepala keluarga eks buruh Halaban yang merasa terancam jiwanya, memutuskan untuk eksodus ke daerah yang lebih aman dan belum dikuasai tentara APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia). Mereka kemudian meneroka lahan yang masih berupa hutan rawa, terutama di Anak Kubang dan Sarilamak.

Di pengujung 1960, Bupati Kepala Daerah 50 Kota Inspektur Polisi S.M. Djoko–yang menggantikan posisi Bupati Darwis–berupaya untuk memindahkan orang Jawa ke permukiman yang masih kosong. S.M Djoko kemudian memilih Nagari Sarilamak sebagai tujuan transmigrasi lokal 40 KK orang Jawa.

Berdirinya Jorong Purwajaya mengisahkan, awal peruntukkan tanah untuk transmigran asal Halaban bermula dari pertemuan Amat Salem yang bermukim di Parak Getah Payakumbuh dengan S.M Djoko. Ia menawarkan untuk eks buruh Halaban yang menganggur dua lokasi tanah, yakni di Padang Semut dan Anak Kubang Sarilamak. Dan, Amat pun memilih lokasi di Anak Kubang.

Tanah yang diperuntukkan untuk transmigran itu, bermula dari putusan Kerapatan Nagari Sarilamak dalam Surat No.8/SLM/1961, yang menyerahkan tanah nagari seluas 400 Ha. Tidak ada keterangan khusus, sebab-sebab mudahnya petinggi Nagari Sarilamak menyerahkan tanahnya secara sukarela kepada S.M Djoko, apakah karena terkait motif politik, atau keamanan. Dalam versi Berdirinya Jorong Purwajaya, dikisahkan sebagai berikut.

…, setelah menunggu beberapa bulan dapat persetujuan dari KAN Sarilamak dan KAN Tigo Batur Padang Barangan, bahwa kedua KAN mengadakan rapat di nagari masing-masing terdapat kesepa-katan tentang Nagari Sarilamak dan Tigo Batur Padang Barangan sepakat ditunjuk sebagai lokasi transmigrasi lokal. Maka beberapa bulan berselang, pengurus KAN dan ninik mamak Sarilamak de-ngan sukarela menghibahkan tanahnya kepada Pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota, kemudian diikuti KAN dan ninik mamak nagari Tigo Batur Padang Barangan (Tim Penulis Buku Sejarah Berdirinya Jorong Purwajaya, 2017: 4).

Gambar 1 Surat Bupati Kepala Daerah 50 Kota  No.HB/520/2/61 tanggal 3 Agustus 1961, untuk Kepala Jawatan Agraria Daerah 50 Kota.

Sumber:     Koleksi Kantor Jorong Purwajaya Nagari Sarilamak Kabupaten Limapuluh Kota.

Untuk menindaklanjuti pemindahan eks buruh kebun teh Halaban, SM. Djoko segera segera menyurati Kepala Jawatan Agraria Daerah 50 Kota. Dalam suratnya S.M Djoko menulis, bahwa pemerintah memperoleh tanah seluas 400 Ha atas kebulatan Kerapatan Adat Nagari tanggal 12 Juni 1961 (Surat No.8/SLM/1961 tentang kebulatan Kerapatan Adat Nagari Sarilamak menyerahkan tanah seluas 400 Ha.)

Adapun lahan yang diserahkan terdiri dari tanah kering dan basah yang dimanfaatkan transmigran lokal. Untuk menempati areal seluas 400 Ha, S.M Djoko menulis dibutuhkan sekitar 200 keluarga, atau setara dengan 1050 jiwa. Selain itu, SM. Djoko juga memberi penekanan dalam suratnya: (1). Para transmigran tersebut terdiri dari bekas pekerja kebun teh Halaban yang sedang menganggur.  (2). Bersama ini dikirim kepada saudara 1 helai salinan dari Kebulatan Kerapatan Negeri Sarilamak tersebut di atas, serta 1 helai peta ringkas dari tanah yang diserahkan itu, dan (3). Sekarang para transmigran itu telah merambah/membersihkan tanah tersebut, dan dimaksudkan dalam waktu yang singkat dapat didirikan perumahan (pondok2) bagi mereka (Surat Bupati Kepala Daerah 50 Kota  No.HB/520/2/61 tanggal 3 Agustus 1961, untuk Kepala Jawatan Agraria Daerah 50 Kota).

Transmigran lokal yang dimaksud S.M Djoko, dijelaskan lebih lanjut dalam suratnya, bahwa mereka terdiri dari eks buruh kebun teh Halaban yang sedang menganggur. Mereka yang akan dipindahkan, nantinya meneroka daerah yang masih berbentuk hutan, untuk dibersihkan dan dijadikan areal permukiman dan pertanian. Di samping itu, untuk menyokong produktivitas peneroka selama mem-bersihkan lahan, S.M Djoko meminta bawahannya untuk membantu kebutuhan pangan. Bersambung. [Penulis adalah Peneliti Madya di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 3 Maret 2019

Panjang Karek Mangarek, Senteang Bilai Mambilai

0

Penulis: Undri

Kerapuhan sikap tolong menolong, bekerja sama dengan orang lain dan saling hormat menghormati bermuara pada lunturnya rasa persaudaraan dan persatuan diantara kita. Tersirat sebuah perumpamaan ketika kita mempunyai seutas tali yang cukup panjang, maka potonglah dan berikan lebihnya itu kepada orang yang membutuhkan- panjang karek mangarek, senteng bilai mambilai  (panjang potong memotong, senteng tambah menambah).

Ketika kita  mempunyai sesuatu yang berlebih, maka berikanlah kepada  mereka yang kekurangan dan sangat membutuhkannya. Sebaliknya apabila kita mengalami sesuatu kekurangan, maka tiba pula giliran meminta bantuan kepada orang lain. Dasar yang akan diusahakan berdasarkan prinsip gotong royong itu adalah melaksanakan sesuatu yang merupakan kepentingan umum, kepentingan bersama.

Kita menyadari bahwa orang yang memberi pertolongan kepada orang membutuhkan jauh lebih mulia daripada orang yang meminta pertolongan. Sebab manusia hidup berkelompok. Hidup berkelompok itu disebut bermasyarakat. Dalam kelompok, manusia diikat oleh kebersamaan. Kebersamaan itu mengikat hubungan yang erat sesamanya. Hubungan yang erat dapat terjadi karena adanya persamaan kepentingan, keinginan, dan cita-cita bersama pula.

Dalam adat juga mengajarkan, diungkapkan di dalam ajarannya yakni hiduik dikanduang adat, adat hiduik tolong manolong, adat mati janguak-manjanguak, adat lai bari mambari, adat indak basalang-tenggang. Adat hiduik tolong manolong, maksudnya setiap orang yang hidup harus saling menolong. Kita menolong orang yang sedang membutuhkan. Kita membantu teman-teman yang sedang kesulitan, kita member orang yang tidak punya, dan kita mengulurkan tangan kepada orang yang berharap. Kita menolong tidak memandang suku, tidak memandang bangsa dan sebagainya. Pokoknya, setiap orang yang memerlukan pertolongan kita tolong sebisa kita. Tandanya kita orang beragama dan orang beradat.

Gotong royong yang sejatinya tumbuh atas dan berdasarkan keinsyafan masyarakat akan kepentingan umum, kepentingan bersama. Gotong royong di Minangkabau adalah tumbuh dari bawah dan tidak atas perintah dari atas. Gotong royong tumbuh berdasarkan fatwa adat yakni : ko indak titiak dari ateh, basuitan dari bawah  (kalau tidak titik dari atas, basuitan dari bawah). Suatu pernyataan dari demokrasi sejati, dalam mana inisiatif dan kesanggupan itu berada dalam tangan rakyat.

Beberapa ungkapan yang berkaitan dengan hal ini yakni barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang- berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Sebagai bagian dari masyarakat, maka seharusnya tiap-tiap individu memiliki semangat untuk bekerjasama dan mempertanggungjawabkan secara bersama-sama segala kepentingan bersama.

Duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang lapang-duduk sendirian sempit, duduk bersama terasa lapang. Dalam hidup bermasyarakat, sendirian tak berarti. Baik dalam bersuara maupun dalam berbuat. Berbeda ketika di tengah keluarga atau orang banyak (dalam komunitasnya), suara dan sikapnya akan berguna dalam banyak hal, dan misalnya menemui kesulitan akan mudah mendapatkan bantuan mereka.

Kok hanyuik bapintasi, tabanam basilami, tatilantang samo minum ambun, tatungkuik samo makan tanah, tarapuang samo hanyuik, tarandam samo basah– kalau hanyut dipintasi, terbenam diselami, terlentang sama minum embun, terlungkup sama makan tanah, terapung sama hanyut, terendam sama basah. Gambaran mengenai semangat hidup, tenggang rasa, senasib sepenaggungan dalam masyarakat Minangkabau dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Kahilia sarangkuah dayuang, kamudiak saantak galah- ke hilir serangkuh dayung,  ke mudik sehentak galah. Nasihat agar kita harus ikut serta ambil bagian dalam melakukan kegiatan kemanusiaan.  Jangan hanya menjadi penonton, apalagi jika itu untuk kepentingan bersama.

Tatangguak diudang samo mengaruntuangkan, tatangguak di luluak samo mangiraikan-tertangguk udang sama-sama mengeruntungkan, tertangguk lunau (lumpur) sama-sama mengiraikan. Dalam bermasyarakat ada pekerjaan yang harus  dilakukan bersama-sama demi kepentingan bersama. Di sini kalau ada hasil maka sama-sama menikmati, kalau tak membawa hasil juga menjadi resiko bersama.

Dikelampauan sikap bergotong royong telah kita tumbuhkan dengan baik, mengerjakan balai adat, mesjid, jalan-jalan dikerjakan dengan sikap gotong royong. Bukan itu saja membuka kepala bandar hulu irigasi yang tiap tahun harus dikerjakan, dilangsungkan dengan secara bergotong royong.

Dalam sikap gotong royong ini perlu juga sikap arif. Orang arif itu pandai memandang, pandai membaca, pandai menduga suatu keadaan- tahu jo ereng dengan gendeng. Kita mesti pandai membaca keadaan lingkungan kita. Walaupun orang disekeliling kita tidak minta tolong, tapi kita harus yakin dia membutuhkan pertolongan dan harus kita tolong pula.

Ungkapan panjang karek mangarek, senteng bilai mambilai (panjang potong memotong, senteng tambah menambah) harus mendapat tempat terbaik bagi kita, khususnya bagi orang Minangkabau, serta ungkapan ini digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berkorong berkampung. Sebuah nilai yang bermakna kemanusiaan yang hakiki dalam sandaran hidup kita ini. Mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah