Penulis: Undri
Bagaimana kalau tungkek-tongkat yang kita pakai membuat kita rebah ? Tidak membuat kita berdiri dan tegak. Tempat kita berpegang. Rasanya lunglai juga persendian kalau itu yang terjadi. Tongkat yang ditakdirkan dan diamanahkan untuk menopang dan membawa kita berdiri tegap, namun kini tongkat itu pula yang membawa kita terjatuh dan bahkan terjerembab. Tungkek mambaok rabah (tongkat membawa rebah) muncul ungkapan akhirnya.
Tungkek atau tongkat sesungguhnya ada pada diri kita atau dengan kata lain kitalah tungkek itu. Dalam tingkatan terkecil kita sebagai tungkek pada diri kita, sebagai tungkek dalam keluarga, dan dalam masyarakat. Orang yang diberi amanah tungkek tersebut disebut dengan pemimpin. Pemimpin buat diri kita sendiri, keluarga dan masyarakat. Orang yang didahului salangkah dan ditinggikan seranting. Orang yang memiliki sikap arif dan bijaksana, tanggap, dan sabar.
Orang yang arif bijaksana adalah orang yang dapat memahami pandangan orang lain, dapat mengerti apa yang tersurat maupun tersirat. Tanggap artinya mampu menangkis setiap bahaya yang bakal datang. Sabar artinya mampu menerima segala cobaan dengan dada yang lapang dan mampu mencarikan jalan keluar dengan pikiran yang jernih. Dilirik lebih jauh sisi keimanan maka muncul sifat siddiq (benar dalam berbicara dan benar dalam bertindak), amanah (dapat dipercaya), fatanah (cerdas), dan tabligh (menyampaikan).
Ungkapan ini sangatlah cocok untuk mengambarkan hal diatas, tahu dikilek baliuang nan ka kaki, kilek camin nan kamuko, tahu jo gabak di ulu tando ka hujan, cawang di langik tando ka paneh, ingek di rantiang ka mancucuak, tahu di dahan ka maimpok, tahu di unak kamanyangkuik, pandai maminteh sabalun anyuik. (Tahu dengan kilat beliung ke kaki, kilat cermin yang ke muka, tahu dengan mendung dihulu tanda akan hujan, mega dilangit tanda akan panas, ingat ranting yang akan menusuk, tahu dahan yang akan menimpa, tahu duri yang akan mengait, pandai memintas sebelum hanyut). Begitulah adat Minangkabau menggambarkan orang-orang yang arif, bijaksana dan tanggap terhadap masalah yang akan dihadapi.
Seiring dengan itu, seorang pemimpin-sebagai tungkek– merupakan orang yang sangat dekat dan mengerti akan nasib orang yang dipimpinnya. Sosok pemimpin yang fondasi kepemimpinannya dibingkai oleh kekuatan kepercayaan dan kejujuran. Seorang yang muncul tidak begitu saja (instant), namun mengalami suatu proses yang panjang. Sehingga menjadi pemimpin bagi generasinya dan generasi berikutnya.
Seorang pemimpin mempunyai sikap-sikap seperti tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi sangat berguna baginya untuk menjadikan dirinya sebagai seorang pemimpin yang baik bagi generasi yang akan datang maupun generasi pada saat itu. Pola tingkah lakunya tersebut merupakan pola tingkah laku yang murni bukan terbias dengan berbagai-macam bias apalagi bias-bias politik yang menguntungkan pribadi atau kelompoknya. Namun harus memperlihatkan suatu sikap yang jelas-jelas memperjuangkan kehidupan masyarakatnya dan orang-orang yang dipimpinnya.
Kikinian, seorang pemimpin otoriter tidaklah masuk dalam kategori ini. Kalaupun ada tidaklah laku, bahkan dicampak orang nantinya. Keputusan misalnya tidak diambil sendiri. Oleh karena itu, sikap otoriter tidak pernah disukai orang-orang Minangkabau. Pepatah Minangkabau menyebutkan, walau inggok mancakam, kuku na tajam ta baguno, walau ma macik tampuak alam, kato mufakek nan kuaso, elok diambiak jo mufakek, buruak dibuang jo hetongan (walau hinggap ingin mencekam, kuku yang tajam tak berguna, walau memegang tampuk alam, kata mufakat yang kuasa, yang baik diambil dengan mufakat, yang buruk dibuang dengan rundingan).
Melahirkan pemimpin yang baik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu proses panjang menuju arah itu. Pondasi kepercayaan, kejujuran dan dekat secara emosional bathiniah dengan rakyat atau orang yang dipimpinnya adalah kunci utama untuk membingkainya.
Pemimpin akan merasakan apa-apa yang dirasakan oleh pengikutnya, begitu juga sebaliknya. Mereka telah merasa satu jiwa, satu tekad dan satu tujuan. Ketika kesemuanya itu terpadu kedalam sebuah kebulatan maka nantinya akan terbentuk suatu kekuatan yang mendukung seorang pemimpin, seperti telah direntang pada bagian diatas.
Namun penting juga diingat ada ungkapan dalam masyarakat Minangkabau. Tungkek mambaok rabah, singgarik mambaok jatuah, piawai nan mamacah timbo. Artinya tongkat membawa rebah, singgarik membawa jatuh, piawai yang memecah timba. Berisi anjuran atau peringatan agar berhati-hati dalam kehidupan ini khususnya bagi seorang pemimpin, sebab tidak jarang apa yang diharapkan membantu malahan sebaliknya. Misalnya, seorang pemimpin yang salah memilih pegawai, orang kepercayaan kadang malah menimbulkan permasalahan fatal kelak kemudian hari, manuhuak kawan sairiang, mangguntiang dalam lipatan, musang babulu ayam, musuah dalam salimuik -namanya untuk menyebutkan perihal diatas.
Seorang pemimpin juga memiliki prinsip, tak ado karuah nan tak ka janiah, tak ado kusuik nan tak ka salasai. Setiap persoalan maka ada jalan keluarnya untuk menyelesaikannya. Demikian pula dalam mengambil suatu keputusan harus bijaksana, sehingga ibarat maambiak rambuik dalam tapuang, nan rambuik indak putuih, tapuang indak taserak.
Akhirnya, tungkek bana nan mambaok rabah– tongkat malah yang membawa jatuh-rebah tidaklah terjadi dalam kehidupan kita. Namun tungkek sebagai panutan, pemimpin yang membuat kita tegap berdiri dengan baik dan itulah sesungguhnya pemimpin yang sejati. Dikenang sampai akhir hayat nantinya.[Penulis adalah Peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]
Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah