Beranda blog Halaman 8

KONTRUKSI PEREMPUAN DALAM FILM HANTU SUNDEL BOLONG

0
Penulis: Ani Rostiyati

 

Abstract

Penelitian ini mengkaji film-film horor yang mengangkat mitos mengenai hantu Sundel Bolong sebagai tema cerita. Empat film yang menjadi objek penelitian ini yaitu: Sundel Bolong (1981), Malam Jumat Kliwon (1986), Legenda Sundel Bolong (2007), dan Sundel Bolong 2 (2008). Keempat film tersebut mengisahkan tentang perempuan yang menjadi sundel bolong. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengafirmasi kekerasan seksual yang dialami perempuan. Penelitian ini menggunakan sudut pandang feminisme yang mencakup pembahasan mengenai hubungan seksual, femme fatale, dan teori film feminis. Kajian ini menggunakan metodologi interpretatif yakni suatu pendekatan tafsir yang menggunakan ”teks” sebagai analogi atau model yang memandang, memahami, dan menafsirkan suatu kebudayaan atau gejala sosial budaya tertentu. Kesimpulan dari penelitian ini adalah perempuan dalam film sundel bolong merupakan objek dalam hubungan seksual dan kematiannya merupakan kebangkitannya dalam wujud hantu. Sundel Bolong yang kecewa terhadap laki-laki dan frustrasi muncul sebagai sosok femme fatale dan membalas dendam dengan menggunakan tipu muslihat feminin seperti kecantikan, pesona, dan daya tarik seksual. Penindasan seksualitas perempuan adalah subteks penting dari film horor bertema Sundel Bolong.

Selengkapnya baca: https://jurnalbpnbsumbar.kemdikbud.go.id/index.php/penelitian/article/view/25

Papek di lua runciang di dalam, talunjuak luruih kalingkiang bakaik

0
Undri

Penulis: Undri

Jujur, semua orang paham akan kata dan maknanya, tetapi begitu mudah mengabaikannya dan sulit dikerjakan. Tidaklah salah, banyak diantara kita berkata bila jujur semakin langka dan telah terkubur, dan tidak lagi menarik bagi kebanyakan orang. Coba saja bila kita tidak jujur satu kali saja, seumur hidup orang tidak akan percaya. Orang yang tidak jujur biasanya memiliki sifat yang tercela, mulut manis tapi hati jahat dan berbisa, suka menipu- papek di lua runciang di dalam, talunjuak luruih kalingkiang bakaik.

Bagaimana dengan perihal jujur itu sendiri ?. Jujur adalah sifat yang baik. Orang yang jujur selalu disenangi dan disukai dalam pergaulan. Salah-satu sifat manusia yang mulia, biasanya mendapat kepercayaan dari orang lain. Orang jujur akan mengatakan sesuatu apa adanya. Tidak menyembunyikan sesuatu dan tidak pula melebih-lebihkan atau mengurangi. Menyampaikan sesuatu dengan kenyataan atau menyampaikan sesuatu yang benar. Itulah jujur.

Kita tidak dapat menafikan bahwa seseorang yang diberi untuk memegang amanah adalah orang yang jujur maka amanah tersebut tidak akan terabaikan dan dapat terjaga atau terlaksana dengan baik. Konsekuensi terbalik bahwa amanah tersebut jatuh ke tangan orang yang tidak jujur, berakibat keselamatan amanah tersebut pasti tidak akan terjaga dengan baik.

Orang yang tidak jujur biasanya selalu mancari muko, supaya mendapat perhatian dari orang lain. Orang tersebut disebut juga tukang cari muko. Tukang cari  muko ada disekitar kita, muncul dilingkungan kerja, perkantoran, perusahaan, komunitas, organisasi dan lainnya. Bisa teman dekat kita, dia hidup berkeliaran setiap hari di sekitar kita, dan juga berteman dengan rekan-rekan kita yang lain, atau diri kita sendiri. Dikantor-kantor birokrasi misalnya, ketika ada pimpinan baru berduyun-duyunlah –kasak kusuak si pegawai bawahan cari muko kepada pimpinan baru tersebut,- sibuk cari perhatian dan ingin menunjukkan sikap yang menurut takarannya benar tapi menurut orang lain belum tentu benar.

Secara prinsip munculnya tukang cari muka tidak terlepas dari unsur persaingan yang tidak professional, yang kadang kala merugikan orang lain. Umumnya mereka yang suka cari muka karena dalam hatinya selalu memiliki ambisi yang tinggi tapi tidak diiringi dengan kemampuan yang mumpuni. Semua itu untuk menutupi kekurangannya. Tak peduli ulah mereka merugikan orang lain, yang penting atasan senang. Tidak dapat kita pungkiri hal seperti ini terkadang dalam sebuah kinerja akan menguras emosi kita dan tidak menghasilkan kerja yang baik pula.

Tidak berhenti disitu saja, seorang tukang cari muka sering menjadi corong penyampaian tanpa diminta, apalagi tentang  hal-hal yang  mengenai  kesalahan rekan kerjanya, berapi-api memberikan informasi yang buruk tentang rekan kerjanya tersebut kepada semua orang, bahkan juga kepada atasannya, tak peduli apakah laporan itu sesuai fakta, ataupun hanya rekayasa. Begitulah kodrati, bila seorang tukang cari muka diperbincangkan.

Sifat jujur merupakan salah-satu rahasia diri seseorang untuk menarik kepercayaan umum karena orang yang jujur senantiasa berusaha untuk menjaga amanah. Amanah, sesuatu yang berat karena harus menjaga dan merawat dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab titipan orang. Sudah fatwa alam bahwa berhasil atau tidaknya suatu amanat sangat tergantung pada kejujuran orang yang memegang amanat tersebut.

Kejujuran dalam perkataan, sangat penting dalam pergaulan manusia. Karena itun sifat jujur harus kita biasakan dan menjadi milik kita. Orang yang tidak jujur dalam perkataannya disebut pembohong. Sifat yang harus kita jauhi dalam hidup ini, sebab  orang pembohong tidak disenangi, bahkan dibenci dalam pergaulan. Orang yang jujur adalah orang yang lurus, mengatakan yang sebenarnya. Setiap perbuatan dilakukan secara tulus dan ikhlas, tidak mudah tergoda dengan imbalan yang membuat rusaknya sifat ikhlas itu sendiri. Ia tidak pernah berlaku curang. Pituah urang tuo-tuo kita – satali pambali kumayan, sakupang pambali katayo, sakali lancuang ka ujian, saumua hiduik urang indak picayo. Begitu indahnya jujur bila kita terapkan dalam hidup ini, dengan adanya jujur tersebut rasa saling curiga mencurigai diantara kita tidak terjadi apalagi ada orang yang berprilaku sebagai tukang cari muko tersebut.

Jadi, jujur merupakan perinsip hidup yang harus kita tanamkan dalam diri kita.  Nukilan sabda Muhammad Rasulullah SAW “katakanlah yang benar meskipun terasa pahit”, senanada dengan itu pituah orang tua-tua kita mematrikan : hitam tahan tapo, putiah tahan sasah, putiah kapeh dapek dilihek, putiah hati bakaadaan, dan terakhir jujur itu hebat.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah pada Minggu, 5 Mei 2019

Pusat Data Matrilineal Sebagai Sumber Sejarah dan Budaya Minangkabau

0
Mardoni

Penulis: Mardoni

Kebesaran sistem matrilineal di Minangkabau tidak bisa dibantahkan lagi. Sistem ini, hanya dianut beberapa suku bangsa di Indonesia, diantaranya yakni suku bangsa Minangkabau di Sumatera Barat dan suku bangsa Flores di Nusa Tengara Timur. Khusus di Minangkabau idealisme ini sangat dibanggakan oleh penganutnya. Sistem matrilineal diartikan sebagai sistem kekerabatan matrilineal dimana anggota masyarakatnya menarik garis keturunan ke atas melalui ibu, ibu dari ibu, terus ke atas sehingga dijumpai seorang perempuan sebagai moyangnya. Akibat hukum yang ditimbulkannya semua keluarga adalah keluarga ibu, anak-anak adalah masuk keluarga ibu, serta mewarisi dari keluarga ibu. Sistem kewarisannya disebut dengan cara berfikir komunal atau kebersamaan sehingga sistem ini menitikberatkan garis keturunan kepada  ibu.

Usaha pelestarian terhadap sistem matrilineal ini menjadi penting untuk dilakukan. Mengingat hanya beberapa saja suku bangsa yang memakai sistem ini. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan, menegaskan bahwa ada beberapa usaha yang bisa dilakukan dalam pelestarian kebudayaan, berupa inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, penyelematan. publikasi, pengembangan, pemamfaatan, dan pembinaan. Salah satu usaha tersebut adalah usaha dalam mempublikasikan kebudayaan. Dalam pasal 28 Undang-Undang kebudayaan ini menerangkan bahwa publiksasi kebudayaan dapat dilakukan untuk penyebarluasan informasi kepada publik baik di dalam negeri maupun di luar negeri dengan mengunakan berbagai bentuk media.

Mempublikasi data dan informasi dapat dilakukan dengan mengunakan berbabagi media, melalui media elektronik seperti televise dan radio, media sosial, dan sebagainya. Juga melalu media cetak seperti buku, majalah, koran, dan sebagainya. Ada media lain yang mungkin terlupakan oleh kita selama ini yaitu melalui perpustakaan. Dimanakah ada peprustakaan yang mengkhususkan koleksinya tentang kebudayaan. Itu sangat dan sangat jarang kita temui.

Dalam rangka mendukung usaha pelestarian nilai budaya di Sumatera Barat, dan khususnya melestarikan sistem matrilineal di Minangkabau, di kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat sudah dibangun Pusat Data Matrilineal BPNB Sumatera Barat. Wadah ini merupakan pengelolaan berbagai data-data baik dalam bentuk cetak dan digital yang berhubungan dengan sitem matrilineal di Minangkabau. Pusat Data Matrilineal nantinya dikelola dalam bentuk perpustakaan yang khsusus mengelola data dan informasi  tersebut. Perpustakaan khusus ini mencoba menembus ruang batas dan menjawab tantangan terhadap minimnya minat publik dalam hal koleksi sejrah dan budaya Minangkabau.

Publikasi kebudayaan yang dilakukan oleh perpustakaan khusus ini ada beberapa bentuk, yaitu publikasi secara cetak, dan publikasi secara daring (digital). Pertama, publikasi cetak, dilakukan dalam bentuk pengelolaan koleksi-koleksi cetak yang berkaitan dengan sejarah dan budaya matrilineal. Koleksi yang berhubungan dengan sistem matrilineal yang dimiliki oleh perpustakaan banyak berkaitan dengan kebudayaan Minangkabau, seperti Peran Bundo Kandunag, peran mamak dalam pendidikan, pantun Minang, permainan tradisional anak Minanggkabau, Inventarisasi warisan budaya tak benda Minangkabau, berbagai kuliner khas Minangkabau (rendang, sala lauk, dan lain-lain), maha karya rumah gadang, dan masih banyak koleksi cetak lainnya. Masyarakat dapat berkunjung ke perpustakaan khusus sejarah dan budaya Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat setiap hari kerja dari jam 08.00-16.00 yang berada di Jalan raya Belimbing Nomor 16 A Kuranji Padang.

Kedua, Publikasi daring, (digital/online). Publikasi secara daring dapat diakses melalui dua buah web. resmi perpustakaan yaitu di www.perpusbpnbsumbar.kemdikbud.go.id  dan di repositori.kemdikbud.go.id. Pusat data Matrilineal atau disebut juga dengan perpustakaan khusus sejarah dan budaya BPNB Sumatera Barat, dalam rangka meningkatkan publikasi dan pelayanannya, saat ini sudah dapat diakses secara daring/digital/online. Beragam koleksi perpustakaan dapat diakses melalui web. tersebut. Saat ini sudah hampir 2700 judul dengan 3000 eksemplar koleksi yang bisa diakses disini. Pelayanan sirkulasi koleksi ini sudah dapat diakses sejak setahun yang lalu (2018) sampai saat ini.

Layanan sirkulasi koleksi juga didukung dengan repositori institusi BPNB Sumatera Barat. Repositori institusi merupakan layanan perpustakaan yang menyediakann koleksi secara digital  (format pdf) sehingga masyaraat luas dapat dan bisa memiliki  koleksi tersebut secara gratis. Caranya mudah, cukup dengan mengases web diatas, dan mengunduh koleksi sesuai dengan tema yang diinginkan. Repositori ini merupakan peyimpanan koleksi terbitan BPNB Sumatera Barat, diantaranya Perjuangan Sultan Alam Bagagarsyah, Bagindo Tan Labiah, koleksi jurnal suluah, dan sebagainya [Penulis adalah Staf Pegawai Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

PEMBERANTASAN BUTA AKSARA AL-QUR’AN PADA SUKU ANAK DALAM (SAD) (Studi Kasus di Desa Dwi Karya Bhakti Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi)

0
Penulis: Muklisin Muklis Mukidi

 

Abstract

Era reformasi telah membawa perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai bidang kehidupan termasuk bidang pendidikan. Salah satu program yang dicanankan pemerintah yaitu pemberantasan buta aksara termasuk di dalamnya aksara Al-Qur’an. Program pemberantasan buta aksara Al-Qur’an adalah rancangan yang akan dilaksanakan dalam memusnahkan atau membasmi kebutaan sistem penulisan dan cara membaca Al-Qur’an. Bagi Suku Anak Dalam di Desa Dwi Karya Bhakti yang baru masuk dan mengenal Islam, menulis dan membaca Al-Quran tentu menjadi kendala atau masalah. Bagaimana metode dalam memberantas buta aksara Al-Qur’an pada Suku Anak Dalam di Desa Dwi Karya Bhakti dan apa saja kendalanya?. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui metode dan kendala dalam pemberantasan buta aksara Al-Qur’an pada Suku Anak Dalam di Desa Dwi Karya Bhakti. Pada penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah menggunakan penelitian kualitatif deskriptif. Dalam penelitian ini bahwa pada Suku Anak Dalam khususnya dalam pemberantasan buta aksara Al-Qur’an, masih belum maksimal karena Suku Anak Dalam mayoritas baru menjadi mualaaf, dan jarak tempuh untuk belajar mengaji juga sangat jauh serta kurangnya guru untuk mengajar mengaji masih sangat minim.

Selengkapnya baca: https://jurnalbpnbsumbar.kemdikbud.go.id/index.php/penelitian/article/view/22

Gadang Tungkuih Tak Barisi, Gadang Galogok Tak Bamalu

0
Undri

Penulis: Undri

Apa yang kita sombongkan dimuka bumi ini ?. Tiba saatnya kekayaan berupa harta benda yang kita miliki akan habis, paras wajah nan elok akan keriput diusia senja. Belajarlah seperti padi, makin berisi makin merunduk, artinya makin kaya dan makin banyak ilmu kita harus makin rendah hati. Jangan pula ditiru sifat ayam, bertelur satu ribut sekandang- tahu pula orang sekampung, berilmu sedikit sudah menyombongkan diri.

Sifat sombong adalah memandang dirinya berada di atas kebenaran dan merasa lebih di atas orang lain. Orang yang sombong merasa dirinya sempurna dan memandang dirinya berada di atas orang lain. Seseorang yang berlagak sombong dan angkuh biasanya kurang mempunyai perasaan malu. Selaras dengan itulah diperlukan orang yang memiliki sifat rendah hati.

Bagaimana dengan orang yang memiliki sifat rendah hati ?. Orang yang mempunyai sifat rendah hati akan disenangi orang, ketika dia tidak ada orang merasa kehilangan. Orang yang memiliki sifat rendah hati mudah bergaul dengan siapa saja, tidak memilih teman baginya manusia itu sama saja. Kaya atau miskin, apakah cantik atau jelek, anak pejabat atau rakyat badarai. Semuanya itu tetap dijadikan teman bagi orang yang rendah hati tersebut. Diretas dalam ungkapan : anggang nan datang dari lawuik, tabang sarato jo mangkuto, dek baik budi nan manyambuik, pumpun kuku patah pauahnyo– seseorang yang disambut dengan budi yang baik dan tingkah laku yang sopan, musuh sekalipun tidak akan menjadi ganas, semuanya jadi sahabatnya dalam hidup ini.

Bagaimana kita bisa menentukan dan menilai seseorang memiliki sifat rendah hati. Tentu mudah, sebab seseorang yang memiliki sifat rendah hati memiliki sifat yakni : ia selalu minta maaf kalau bersalah, dan selalu minta ampun dan bertobat kalau berdosa- salah cotok malantiangkan, salah ambiak mangambalikan, salah makan mamuntahkan, salah pado manusia minta maaf, salah pado Allah minta tobat.

Hal ini dilakukan oleh manusia sebab yang ditinggalkan oleh manusia setelah mati itu adalah kepribadian yang baik. Fatwa adat  harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Sebab itu seseorang harus berusaha agar dia meninggalkan nama baik, pada saat dia mati. Ini tentu mengandung pengertian bahwa dia selama hidupnya harus berbuat baik. Begitu juga hendaknya- nan katuju diawak itu, rancak diurang handaknyo (yang kita sukai itu, hendaknya pula bagus bagi orang lain).

Bukan itu saja dalam adat Minangkabau mengutamakan sopan santun dalam pergaulan. Budi pekerti yang tinggi menjadi salah-satu ukuran martabat seseorang- nan kuriak iyolah kundi, nan sirah iyolah sago, nan baiak iyolah budi, nan indah iyolah baso (yang kuriak ialah kundi, yang merah ialah saga, yang baik ialah budi, yang indah ialah basa).

Menurut Ermaleli (2013 :48-49), seluruhnya itu bertujuan untuk membentuk pribadi yang berbudi luhur, manusia yang berbudaya, dan manusia yang beradab. Sebab dari manusia yang beradab itulah akhirnya diharapkan akan melahirkan suatu masyarakat yang aman dan damai, sehingga memungkinkan suatu kehidupan yang sejahtera dan bahagia, dunia dan akhirat- baldatun tayyibatun wa rabbun gafuur– masyarakat yang aman, damai dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Sebuah keinginan luhur yang amat mulia dalam hidup ini.

Untuk mencapai masyarakat yang demikian, diperlukan manusia yang memiliki sifat rendah hati. Sifat rendah hati menjauhkan diri kita dari sifat sombong, congkak, angkuh, acuh tak acuh kepada orang lain. Ungkapannya yakni kacak langan lah bak langan, kacak batih lah bak batih, bajalan dirusuak labuah, tagak sarupo urang mambali, duduak sarupo urang manjua, sarupo lonjak labu dibanam, sarupo kacang diabuih ciek.

Disinilah sebetulnya letak akhlak yang luhur dan mulia. Sebuah fondasi yang diajarkan kepada kita dalam hidup ini. Sebuah kewajiban bagi kita untuk memiliki akhlak yang terpuji, mulia dan menjauhi diri dari akhlak yang tercela. Salah-satu akhlak yang buruk tersebut adalah sikap sombong tersebut. Kato pusako-kok mandi di ilie-ilie, kok bakato di bawah-bawah, sifat sombong usah dipakai, budi baiak nan kapaguno.

Jadi kita tidak boleh mempunyai sifat sombong apalagi sifat tinggi hati sebab manusia itu banyak kekurangan dan kelemahannya. Pupuklah sifat rendah hati, tapi jangan memakai sifat rendah diri. Sebab sifat rendah diri itu adalah sifat yang tidak baik karena akan merugikan kita dan orang lain. Mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah pada Minggu, 28 April 2019.

Upacara Bekeu Malekbuk: Nilai-Nilai Budaya dalam Pengadilan Tradisional

0
bunga Hibiscus

Penulis: Mardoni

Bunga ibiscus, begitulah masyarakat Mentawai menamakannya. Dari berbagai sumber bunga ini bernama Hibiscus (kembang sepatu). Bunga ini memiliki klasifikasi ilmiah Kingdom : Plantae (Tumbuhan), Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh), Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji), Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga), Subdivisi : Angiospermae, Kelas : Magnoliopsida, Sub Kelas : Dilleniidae, Ordo : Malvales, Famili : Malvaceae (suku kapas-kapasan), Genus : Hibiscus
Spesies : Hibiscus rosa-sinensis.

Hebatnya, didaerah pedalaman Desa Madobag Pulau Siberut Selatan Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, bunga ini dipakai untuk mencari pencuri. Di berbagai masyarakat lain di Sumatera Barat, bunga ini dijadikan sebagai pengobatan tradisional, baik daun atau bunganya. Dengan cara dihaluskan dan dioleskan pada dada atau punggung si sakit. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia bunga ini dijadikan teh, dengan cara dikeringkan. Di India, bunga ini digunakan untuk menyemir sepatu, sedangkan sebagian masyarakat di Tiongkok bunga hibiscus merah digunakan sebagai bahan pewarna makanan alami. Di pedalaman mentawai bunga ini digunakan untuk upacara bekeu malekbuk

Masyarakat pedalaman di daerah Desa Madobag pedalaman Pulau Siberut Selatan Kepulauan Mentawai Sumatera Barat mencari pencuri atau orang yang melakukan kejahatan (kecil) melalui upacara tradisinal bekeu malekbuk. Upacara bekeu malekbuk adalah pengadilan masyarakat adat terhadap kejahatan kecil. Pengadilan ini ada dan hanya digunakan untuk kejahatan kecil dan bukan merupakan kriminal berat..

Pengadilan ini merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat Mantawai dalam hal pelaksanaan hukum adat terhadap masyarakat yang melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap norma di daerahnya. Pengadilan ini dipimpin oleh seorang Sikerei sebagai wali hakim. Sikerei merupakan pemimpin adat dalam masyarakat Mentawai. Kasus yang sering dipecahkan dalam pengadilan ini adalah pencurian, dan kasus-kasus lainnya yang bersifat kejahatan kecil. Kalau terjadi pencurian kecil, sebut saja mencuri makanan, maka kasusnya diselesaikan oleh Sikerei dengan melakukan upacara bekeu malekbuk. Upacara dilaksanakan dengan mengunakan bunga ibiscus. Bunga dipakai sebagai alat untuk mengarahkan siapa pencurinya. Pemilihan bunga ini untuk memudahkan dalam melakukan upacara, dan bunga ini tumbuh subur di perkampungannya.

Tata cara pelaksaan upacara bekeu malekbuk adalah dengan mengumpulkan orang-orang yang dicurigai sebagai pelaku. Mereka disuruh duduk berkeliling menghadapi sebuah wadah yang berisi air. Didalamnya diapungkan bunga ibiscus (warnanya tidak jadi ukuran) dengan tangkainya yang pendek. Bunga didorong oleh Sikerei dengan mencelupkan jari telunjuk ke cawan dan airnya diputar searah jarum Jam, sehingga bunga berputar mengitari orang-orang yang duduk berkeliling tadi.

Kemudian sekali lagi sambil menyuruh bunga untuk mencari siapa yang bersalah atau yang mencuri. Bila usaha yang dilakukan untuk memutarkan bunga sudah mencapai tiga kali dan bunga selalu berhenti pada orang yang sama, maka orang itulah yang dianggap sebagai pencurinya. Tetapi kalau bunga itu tidak berhenti pada orang yang sama, hal semacam ini disebut sengan Taiteukenia, artinya bunga enggan disuruh atau tidak mau menunjukkan pencurinya.

Sekarang sebutlah, bunga itu telah menunjukkan seseorang sebagai pelakunya. Maka semua orang akan arif dan diam-diam bangkit dari duduk dan pergi meninggalkan tempat tersebut dengan aman dan tertib. Semua orang tidak boleh memberikan komentar apapun karena tidak sopan dan tidak mematuhi tata upacara. Orang yang tertuduh kalau benar-benar pencurinya, akan berusaha mengembalikan barang curian tersebut dengan diam-diam pada malam hari agar tidak diketahui orang lain. (Data ini diperoleh dari laporan pencatatan Warisan Budaya Tak Benda di Pulau Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2013 oleh BPNB Sumatera Barat).

Upacara adat ini masih bertahan dan dijalankan oleh masyarakat adat di Desa Madobag Mentawai sampai saat ini. Pengadilan tradisional ini sangat sederhana. Kesederhanaan ini masih dihormati oleh masyarakatnya sebagai milik dan kekayaan pengetahuan lokalnya. Terdapat banyak nilai-nilai budaya yang masih dipertahankan dalam upacara ini oleh Masyarakat Madobog.

Pertama, nilai menjaga alam. Tidak hanya menebang hutan, mengotori air juga merupakan suatu tindakan yang tidak bisa dibenarkan, bahkan bisa mendatangkan hukuman berupa denda adat. Denda itu setara dengan seekor babi, yang termasuk harta berharga bagi masyarakat Mentawai. Di sungai, buang air kecil saja dilarang, apalagi buang air besar, sangat tidak diperbolehkan karena air adalah sumber kehidupan. Dengan demikian, kelestarian hutan dan air di Mentawai tetap terjaga. Begitu selektif mereka terhadap alam dan lingkungannya.

Kedua, nilai praduga tidak bersalah dalam hukum, dalam hukum formal dikenal dengan azas praduga tak bersalah. Hukum adat mentawai juga mengenal azas tersebut. Penerapan nilai ini dilakukan pada saat pemanggilan individu yang diduga bersalah. Mereka dikumpulkan dan dihadapkan dalam pengadilan adatnya.

Ketiga, nilai kesadaran hukum. Kesadaran akan hukum bagi mereka sangatlah mulia. Mereka menghormati dan menghargai orang yang ditetapkan sebagai bersalah. Semua orang yang hadir dalam pengadilan tersebut tidak memberikan komentar apa-apa ketika seseorang diberi sanksi hukum. Komentar terhadap orang yang bersalah dianggap sebagai perilaku yang tidak sopan dan tidak mematuhi tata upacara adat ini.

Keempat, nilai kepastian hukum. Kepastian terhadap hukum perlu dipertegas dalam kehidupan bermasyrakat. Nilai kepastian hukum ini diperoleh oleh masyarakat dengan pengadilan adat bekeu malekbuk. Orang yang sudah ditetapkan bersalah dalam pengadilan ini, dengan sadar akan melakukan sanksi adat yang ditetapkan. Jika dia mencuri, maka ia akan berusaha untuk mengembalikan barang yang diambilnya dengan cara diam-diam pada malam hari agar tidak diketahui oleh orang lain.

Nilai-nilai ini masih dijalankan dan dipelihara oleh masyarakat adat Mentawai dengan mengutamakan prinsip-prinsip nilai diatas [Penulis adalah Staf Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

bunga Hibiscus

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 21 April 2019

RINTISAN AWAL PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH DI SUMATERA BARAT TAHUN 1925-1939

0
Penulis: Fandy Aprianto Rohman, Mulyati Mulyati

 

Abstract

Muhammadiyah pada awalnya hanya berkembang di wilayah Pulau Jawa saja, namun dalam waktu cepat dapat menyebar ke seluruh Indonesia, termasuk ke Sumatera Barat. Pada tahun 1925, Syekh Abdul Karim Amrullah membawa perserikatan ini ke Sumatera, tepatnya di Maninjau, Sungai Batang, Sumatera Barat. Dari sinilah Muhammadiyah semakin berkembang ke seluruh Sumatera. Penelitian ini menganalisis dan mendeskripsikan proses awal mula Muhammadiyah muncul di Sumatera Barat hingga usaha-usaha yang dilakukan Muhammadiyah untuk mengembangkan gagasan pembaruan. Adapun penelitian ini menggunakan teknik analisa kualitatif, yaitu analisa yang didasarkan pada hubungan sebab-akibat dari fenomena historis pada cakupan waktu dan tempat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya tarik Muhammadiyah di Sumatera Barat terletak pada gerakan pemurnian Islam, terutama dalam bidang pendidikan. Muhammadiyah memperbarui sistem pendidikan Islam di Sumatera Barat dengan tujuan mendidik masyarakat agar menghindari hal-hal yang bertentangan dan menyimpang dari akidah Islam.

Selengkapnya baca: https://jurnalbpnbsumbar.kemdikbud.go.id/index.php/penelitian/article/view/20

Sayang di anak dilacuti, sayang di kampuang ditinggakan

0

Penulis: Undri

Sayang kepada anak bukan berarti semua kehendak anak harus dikabulkan. Segala tingkah lakunya yang kurang baik harus ditegur dan diajari. Sayang itu punya batas-batas tertentu, kalau dia bersalah orang tua harus memarahi bila perlu dilacuti. Begitu juga dengan sayang pada kampung, bukan pula berarti ditinggalkan buat selamanya. Pergilah menuntut ilmu, carilah penghidupan dan timbalah pengalaman ke negeri orang namun kampung halaman jangan dilupakan- sayang di anak dilacuti, sayang di kampuang ditinggakan (sayang di anak dilacuti, sayang dikampung ditinggalkan).

Sayang sebagai sebuah kata memiliki makna luas, namun seringkali disalahgunakan dan disia-siakan hanya untuk untuk terlihat romantis tanpa mengetahui arti yang sebenarnya namun jauh lebih dari itu, yakni perasaan yang cenderung bersifat memberi tanpa berharap mendapatkan balasan. Makna kata sayang sesungguhnya adalah perasaan ikhlas. Perasaan ikhlas itu baik si pelaku maupun si penerima dari sayang itu sendiri.

Sayang di anak dilacuti, bermakna begitu sayangnya orang tua kepada si anaknya, agar anak menjadi anak yang baik. Membingkai kearah tersebut maka perlu komunikasi. Komunikasi yang baik antara orang tua dengan anak merupakan jembatan kearah menjalin kasih sayang. Ini bisa dimulai dari makan bersama.  Makan bersama, tidak hanya sekedar makan saja namun terkandung nilai yang maha dahsyat bila dilakukan dengan baik. Makan bersama tersebut bisa mengajari anak kita cara makan yang baik, cara duduk sampai cara berucap yang baik. Ketika anak kita duduk tidak sopan kita dapat mengajarinya cara duduk yang baik. Ketika anak kita duduk tidak sopan kita dapat menegur dan mempraktekkan cara duduk waktu makan yang baik pula. Ketika anak kita makan diselingi dengan ngobrol kita bisa memberitahukan bahwa hal tersebut tidaklah baik. Kita bisa menjelaskan bahwa ketika makan sambil ngobrol aliran makanan dalam perut tidak sempurna dan akan menganggu pencernaan. Waktu makan bersama, anak kita bisa didik cara makan dengan baik, berucap sampai kepada perihal cara berbagi cerita tentang pengalaman hidup kita.

Begitu juga dengan anak kita yang sudah akil baliq, bila tidak melaksanakan sholat dan kewajiban lainnya yang diwajibkan oleh Allah SWT maka kita sebagai orang tua untuk menegur, dan bila tidak juga kita harus melucutinya. Melucuti si anak bukan karena kita marah, namun kita sayang agar dikemudian hari kehidupan si anak menjadi lebih baik, baik untuk orang tuanya dan dirinya sendiri.

Sayang di kampuang ditinggakan, bermakna ketika si anak sudah dewasa, bagi laki-laki diajari untuk memahami dunia luar yakni menyuruh untuk merantau, merantau dalam arti kata meninggalkan kampung halaman juga meninggalkan pemikiran kekanak-kanakan menuju pemikiran kedewasaan.

Bagi orang Minangkabau mereka telah diajarkan untuk selalu tangkas baik dikampung halaman maupun dirantau. Di rantau misalnya pijakan hal ini adalah  karakatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu di kampuang baguno balun (karatau (morus indica) tumbuh di hulu, berbuah berbunga belum, merantau bujang  dahulu di kampung berguna belum). Ketangkasan dan kegigihannya dirantau juga diasah dengan baik agar kelak menjadi perantau yang berhasil.  Filosofi kerantauan orang Minangkabau, yaitu sebaiknya dilakukan pada masa muda, untuk mendapatkan ilmu dan pengalaman sebagai bekal hidup kelak dikemudian hari.

Nasehat bagi orang yang merantau juga agar jangan lupa kampung halaman namun jangan sampai rasa cinta pada kampung halaman membuatnya enggan mencari nafkah atau menuntut ilmu di rantau. Ungkapannya kapai madok kapulang, kapulang madok kapai-akan pergi menghadap pulang, akan pulang menghadap pergi. Begitulah besitan bagi kita memahami rantau yang sesungguhnya. Ungkapan ini digunakan oleh masyarakat Minangkabau untuk menasehati seseorang yang akan pergi merantau ke negeri orang, agar jangan sampai lupa pada kampung halaman dan dirantau mencari dunsanak dan induk semang tempat bergantung hidup di rantau orang-kalau jadi nak kapakan, iyo beli belanak beli,ikan panjang beli dahulu, kalau jadi nak berjalan ibu cari dunsanak cari, induk semang cari dahulu– begitulah hasrat bila seseorang merantau, yang memiliki misi yang amat baik dalam membangun silaturahmi dan penghidupan yang baik untuk masa depannya.

Jadi, begitu pentingnya pemahaman kita untuk memahami persoalan sayang itu sendiri. Khususnya sayang pada anak dan sayang pada kampung- sayang di anak dilacuti, sayang di kampuang ditinggakan (sayang di anak dilacuti, sayang dikampung ditinggalkan), mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah

Perempuan Politik dalam Perspektif Budaya Minangkabau

0
Silvia Devi

Penulis: Silvia Devi

Peran perempuan dalam berpolitik yang lebih dikenal dengan sebutan berdemokrasi sebenarnya bukan hal baru. Keterlibatan perempuan Minangkabau dalam politik kekuasaan dapat kita ketahui dari berbagai cerita di kaba. Salah satunya kaba Cindua Mato seperti yang diungkapkan oleh Edy Utomo (2014) bahwa kekuasaan perempuan Minangkabau  sangat besar tidak hanya karena sistem matrilinealnya tetapi karena memiliki kekuasaan memerintah. Begitu juga halnya perkembangan nagari-nagari semenjak dikeluarkannya Perda No 9 Tahun 2000 tentang sistem kembali ke nagari. Peran perempuan bundo kanduang tidak bisa dinafikkan karena perannya sejajar dengan keberadaan ninik mamak. Oleh karena itu jika dilihat dari sejarah begitu besar peran perempuan Minangkabau pada masa lalu, tentunya ini dapat dipahami bahwa perannya tidak melanggar adat. Justru sebaliknya malah memperkuat posisinya ditengah pentingnya sebuah kekuasaan dalam usaha menyelamatkan pemerintahan daerah.

Jika kita telusuri bahwa sistem matrilineal yang dimiliki masyarakat Minangkabau yakni menarik garis keturunan dari garis ibu, namun begitu kekuasaan tetap terletak ditangan laki-laki. Kekuasaan perempuan ada batasnya, begitu juga laki-laki memiliki kewajiban dan tanggungjawabnya yang jelas. Tidak ada tumpang tindih antara keduanya. Sistem egaliter yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau menempatkan kedudukan antara laki-laki sama dimata adat dan agama. Begitu juga dalam hal berpolitik, Ranny Emilia (2014) seorang pakar politik Universitas Andalas mengungkapkan bahwa peranan politik perempuan Minangkabau tidak berlaku hukum jender melainkan dilihat dari kemampuan dan pengalaman seseorang menyediakan perlindungan serta pengawasan dari kerusakan kultural dan material kelompok yang diwakilinya.

Hal ini senada yang diungkapkan oleh Raudha Thaib (2014) jika melihat kedudukan perempuan dan laki-laki Minangkabau dalam adat. Posisi laki-laki dan perempuan Minangkabau memiliki posisi yang sama, sama-sama memiliki kedudukan. Keduanya saling pengaruh mempengaruhi, adanya perimbangan dan kesimbangan dalam semua aspek kehidupan. Menurutnya institusi ibu dan institusi mamak terikat dan berimbang yakni institusi ibu melembaga dalam rumah gadang dan isntitusi mamak melembaga di balai adat.  Laki-laki memperoleh “kekuasaan”  dalam bentuk organisasi pemerintahan dan kepemimpinan baik bidang adat maupun dalam masyarakat. Sedangkan perempuan  memperoleh “kepemilikan” dalam bentuk seluruh harta baik rumah, tanah, sawah dan ladang serta anak-anak. Meski kepemimpinan ada ditangan laki-laki tetapi wajib menghormati kehendak kaum ibu sebelum mencapai keputusan.

Minangkabau memiliki falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabulah, maka segala norma adat dan agama semua telah diatur dan tidak saling tumpang tindih. Antara laki-laki dan perempuan minangkabau telah diatur dalam adat bagaimana cara berperilaku baik didalam rumah ataupun keluar rumah. Seorang perempuan minangkabau tidak mau sebebasnya bersikap, karena sesungguhnya perempuan minnagkabau memiliki sumbang. Sumbag duabelas yang dimiliki oleh perempuan Minangkabau sesungguhnya tidak mengecillkan perannya dimanapun, termasuk dalam hal berpolitik.

Posisi kaum perempuan menurut adat Minangkabau adalah sebagai tokoh sentral. Oleh karena itu ia harus menjalankan peran dan fungsinya sekaligus. Peran tersebut berlaku baik di sektor domestik maupun publik. Petatah petitih Minangkabau yang menggambarkan figur ideal perempuan yakni bundo kanduang sebagai limpapeh rumah nan gadang, umbun puruik pagangan kunci, pusek jalo kumpulan tali, sumarak dalam nagari dan sebagai nan gadang basa batuah, ka undang  undang ka Madinah, ka payuang panji ka sarugo.  Figur tersebut tentu memiliki berbagai tugas dan kewajiban yang harus ditaati antara lain manuruik alua nan luruih (mengikuti aturan), manampuah jalan nan pasa (mengikuti cara yang benar), mamaliharo harato pusako (memelihara harta pusaka), mamaliharo anak kamanakan (memelihara anak kemenakan). Oleh karena itu, Idrus Hakimy (1978) menyimpulkan bahwa  tak salah kiranya bundo kanduang yakni perempuan minangkabau dipandang mulia dan memegang fungsi  yang penting dalam masyarakat.

Bila dikaitkan dengan peran perempuan dalam berpolitik wujudnya adalah peran dalam demokrasi. Peran dalam demokrasi tersebut tercermin dalam bermufakat. Seperti yang ungkapan adat “ kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo kamufakat, mufakat barajo ka nan bana, bana badiri sendiri. Ini artinya kita sebagai masyarakat Minangkabau sangat menjunjung tinggi demokrasi, artinya tidak ada pembedaan jenis kelamin disini.

Keterlibatan perempuan dalam demokrasi terwadahi sejak adanya kewajiban kuota 30 persen caleg perempuan. UU No.2 Tahun 2008 mengamanahkan pada parpol untuk menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun kepengurusan di tingkat pusat. Namun sayangnya sampai saat ini keterwakilan itu belum maksimal. Inilah yang menjadi permasalahan terbesar yang dihadapi perempuan dalam politik. Sehingga kepentingan-kepentingan perempuan dalam kehidupan tidak terwakili. Keberadaan mereka yang dibawah 30 % tidak memudahkan mereka dalam memperjuangkan kepentingan ditengah dominasi laki-laki.

Rendahnya keterwakilan ini sebenarnya harus menjadi introspeksi diri bagi kaum perempuan. Mengapa ini terjadi, padahal kuota tersebut sudah diberikan, namun kenyataannya tak pernah tercapai. Oleh karena itu banyak upaya yang harus dilakukan oleh para kaum perempuan agar kepentingan mereka terwakili dalam berdemokrasi. Salah satunya yakni dengan terus meningkatkan pendidikan dan pengetahuan agar bisa sejajar dengan laki-laki. Apalagi jika dilihat dari paham masyarakat Minangkabau yang egaliter. Tak ada dibedakan secara jender, bahkan sesungguhnya perempuan Minangkabau memiliki kesempatan yang lebih untuk berkarya.

Terkait dengan demokrasi ini, peran perempuan sebagai pemilih lebih harus ditingkatkan. Jika tidak perempuan yang meningkatkannya maka siapa lagi. Adapun beberapa caranya yakni dengan meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dalam dunia informatika. Hal ini dikarenakan ilmu pengetahuan terus berkembang pesat. Jika pada masa lalu kita tidak bisa mengetahui traderecord calon yang akan mewakili kita di parlemen baik daerah maupun pusat, maka saat ini berbeda zamannya. Teknologi memberikan kemudahan bagi kita untuk menggali lebih jauh siapa dan bagaimana calon tersebut. Dengan begitu diharapkan kepentingan para perempuan bisa terwakili oleh calon-calon perempuan di parlemen. Sehingga perempuan tidak lagi dimarginalkan dari berbagai sisi.

Seharusnya kita sebagai perempuan Minangkabau memiliki kesempatan berperan lebih luas, dikarenakan dalam pepatah dikatakan merupakan figur ideal. Namun, tentu saja semua itu tidak mudah. Banyak usaha keras yang harus dilakukan bagi semua perempuan Minangkabau agar benar-benar bisa wakil kaumnya di tengah demokrasi. Salah satu keunggulan perempuan Minangkabau yang dikenal memiliki sifat bijaksana, seperti ungkapan bak maelo rambuik dalam tapuang, rambuik nda putuih tapuang nda taserak. Artinya bahwa dalam mengambil sebuah keputusan tidak dilakukan secara grasa-grusu melainkan dengan hati-hati dan tidak melukai siapapun. Hal yang sulit tetapi itu bisa dilakukan dengan terus mengasah kemampuan untuk bisa bijaksana. [Penulis adalah Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 7 April 2019

ISLAMISASI DI KAWASAN LAUT SULAWESI PADA ABAD KE-19

0
Penulis: Muhammad Nur Ichsan Azis

 

Abstract

Islamisasi yang terjadi di Nusantara pada abad ke-19  tidak terlepas dari peran dan pengaruh para pedagang sekaligus ulama dari Timur Tengah yang membawa ajaran Islam. Proses Islamisasi dan konversi agama membutuhkan waktu dan proses panjang, hingga sampai  diterima oleh masyarakat setempat. Penerimaan ajaran Islam dilakukan melalui beberapa saluran, terutama dalam jaringan perdagangan. Kawasan Laut Sulawesi, sebagai entrepot, merupakan salah satu jalur Islamisasi karena perkembangan perdagangan rempah-rempah  di Maluku sebagai wilayah penghasil rempah-rempah.Tulisan ini bertujuan mengungkap proses Islamisasi di sekitar Kawasan Laut Sulawesi pada abad XIX. Tulisan ini merupakan tulisan sejarah, dengan menggunakan metode sejarah; heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi yang bersifat analisis-kualitatif dan mampu menunjukkan satu rangkaian proses Islamisasi yang terjadi di Nusantara sekitar abad XIX. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa pengaruh Islam diawali dari proses perdagangan, di kawasan Laut Sulawesi, bagi pedagang yang menghubungkan ke Maluku sebagai satu pola Islamisasi, sehingga di masa berikutnya komunitas Muslim mampu menciptakan Moslemen clave di Semenanjung Laut Sulawesi.

Selengkapnya baca: https://jurnalbpnbsumbar.kemdikbud.go.id/index.php/penelitian/article/view/14