Kunjungan Kabid Kebudayaan Seluma ke BPNB Sumbar
Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat pada hari Kamis Tanggal 30 Januari 2020 mendapat kunjungan dari Kabid Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu, Yanda SE. Beliau didampingi oleh Kasi Kesenian dan dua orang staf Bidang Kebudayaan.
Kunjungan Kabid Kebudayaan Seluma beserta rombongan ini dalam rangka silaturahmi sekaligus menjajaki kemungkinan sinergitas antara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Seluma dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat, khusunya dalam hal pelestarian sejarah dan budaya. Rombongan berdiskusi dengan staf fungsional peneliti BPNB Sumatera Barat.
Kabid Kebudayaan Kabupaten Seluma menyampaikan bahwa di Kabupaten Seluma yang mayoritas penduduknya adalah Suku Serawai terdapat banyak warisan budaya daerah yang mempunyai potensi untuk bisa diusulkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nasional, diantaranya Rejung, Sekujang, Tari Ulu/Andun, Seni Dendang, Ngebat Padi, Basua Benih dan lainnya, namun terkendala karena belum ada kajian ilmiah tentang warisan budaya tersebut sehingga belum bisa disulkan menjadi WBTB Nasional. Oleh sebab itulah beliau mengharapkan kepada Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat, khususnya kepada para staf peneliti untuk melakukan kajian ilmiah tentang aspek-aspek budaya tersebut. Selain itu beliau juga mengharapkan kepada Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat untuk dapat menjadikan Kabupaten Seluma sebagai salah satu daerah untuk kegiatan internalisasi nilai budaya pada tahun 2020 ini.
Pada kesempatan ini juga Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Seluma, Yanda, SE menyerahkan daftar usulan penelitian tradisi masyarakat Suku Serawai Kabupaten Seluma kepada Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat yang diterima oleh perwakilan fungsional peneliti BPNB Sumatera Barat, Rois Leonard Arios. (erric)
Ayam Bernama
Penulis: Ernatip
Diantara sekian banyak binatang ternak, ayam termasuk binatang ternak yang banyak di sukai oleh manusia. Banyak orang beternak ayam apalagi yang masih tinggal di kampung-kampung. Memelihara ayam dapat dilakukan secara sambilan, berbeda dengan hewan peliharaan lainnya seperti kambing, kerbau atau sapi. Hewan peliharaan ini perlu dicarikan makanannya (rumput) atau dibawa ketengah padang lazim disebut dengan istilah bagubalo. Memelihara ayam tidak menyita waktu dan hasilnya cepat dirasakan. Orang memelihara ayam ada untuk dikembangbiakan dan hanya untuk diambil telurnya. Ayam dikembangbiakan menjadi banyak dan setelah cukup besar (pantas untuk dipotong) bisa dijual atau dijadikan sebagai sajian dalam keluarga. Daging ayam dan telurnya dibutuhkan oleh manusia dalam keseharian sebagai sumber protein.
Boleh dikatakan hampir semua orang mengenal ayam sekaligus telurnya. Daging ayam banyak disukai orang terutama dikalangan anak-anak – remaja, begitu juga orang tua-tua. Masa dahulu daging ayam termasuk sajian istimewa adanya dikala ada perhelatan atau hari besar keagamaan. Dikala itu sulit mendapatkan ayam padahal kebanyakan orang memelihara ayam. Ayam baru bisa dipotong setelah berumur 4 – 6 bulan (besar secara alami) dan itupun beratnya belum mencapai satu kilo. Kondisi seperti ini membuat orang jarang makan daging ayam dan kalau ada dalam keshariannya berarti mereka itu termasuk orang berada.
Kubutuhan terhadap daging ayam dan telur ayam dari hari kehari terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk. Tingkat pendidikan masyarakat sudah mulai maju dan didukung oleh perekonomian yang mulai membaik. Pandangan masyarakat sudah berorientasi pada kecukupan gizi bagi anak-anaknya. Salah satu sumber protein yang mudah didapatkan adalah telur, daging ayam sehingga bahan ini terus diburu oleh masyarakat di samping bahan lainnya. Kebutuhan terus meningkat sedangkan produksi sumber protein “ayam, telur” belum bisa dipacu.
Kondisi ini tidak berlalu begitu saja, berbagai upaya terus dilakukan terutama oleh para pakar teknologi. Akhirnya ditemukan teknologi baru yang bisa menghasilkan daging ayam dan telur dalam waktu singkat. Rentang waktu 30 -40 hari ayam sudah bisa dipasarkan. Teknologi modern itu menghasilkan ayam yang dikenal dengan ayam buras dan ayam petelur. Ayam buras dikenal juga dengan sebutan ayam potong karena khusus untuk dipotong menjadi konsumsi sehari-hari bagi kebanyakan orang. Sedangkan ayam petelur hanya khusus untuk menghasilkan telur. Ayam ini baru dipotong bila sudah tua atau produksi telurnya mulai menurun/berkurang.
Semenjak ditemukannya teknologi ini muncul istilah baru terhadap penyebutan nama ayam yakni adanya istilah ayam kampung, ayam potong, ayam ras, ayam petelur. Ayam kampung adalah penyebutan terhadap ayam yang selama ini diperlihara oleh masyarakat secara tradisional. Maksudnya ayam dipelihara dengan cara dilepaskan mencari makan sendiri. Pagi hari ayam dilepas kealam terbuka dan sorenya masuk kandang. Berbeda dengan ayam potong – ayam petelur yang terkurung dalam kandang makan diatur oleh pemiliknya. Penyebutan nama ayam kampung tidak mengacu kepada wilayah/daerah tempat ayam itu dipelihara. Penyebutan nama itu lebih kepada untuk membedakan dengan ayam hasil olahan teknologi.
Ayam kampung dan ayam buras/petelur ada perbedaannya, pertama dari segi bulunya. Bulu ayam buras/ayam potong umumnya berwarna putih dan bulu ayam petelur umumnya berwarna kemerah-merahan. Sedangkan ayam kampung warna bulunya beragam ada hitam, putih, kuning, merah. Satu ekor ayam memiliki bulu 2 – 4 warna dan bahkan ada yang hanya satu warna yakni warna hitam, putih. Keanekaragaman warna bulu ayam itu mempunyai filosopi bagi masyarakat, sehingga ada yang menyebutnya dengan istilah ayam bernama. Maksud bernama tersebut ada kaitannya dengan kepercayaan masyarakat terutama yang berkaitan dengan mistik (alam gaib).
Peninggalan kepercayaan animisme dan dinamisme masih dipercayai oleh masyarakat hingga saat ini. Kelompok masyarakat ini memang tidak banyak tetapi masih ada pada daerah-daerah tertentu salah satunya di Kota Prabumulih yakni masyarakat Suku Rambang. Masyarakat Suku Rambang masih ada yang melaksanakan ritual-ritual yang diwarisi dari para leluhur misalnya ritual sedekah bumi. Ritual ini dilakukan dalam suatu upacara besar dalam artian memotong hewan berkaki empat (kambing, kerbau atau sapi). Waktu pelaksanaan ritual berdasarkan petunjuk yang diterima oleh “tua menyan” selaku pemimpin upacara tersebut. Selain itu kelompok masyarakat ini masih mempercayai bahwa setiap anak yang lahir itu ada “ayam bawaannnya”, misalnya ayam burek emas, ayam putih kuning dan lainnya. Ini merupakan istilah karena setiap orang itu sepanjang hidupnya ada sedekahan/sesajen untuk persembahan kepada leluhurnya. Untuk sedekahan/sesajen itu ia menggunakan ayam sesuai dengan ayam bawaannnya sejak lahir. Penentuan ayam bawaan itu oleh “tua menyan” melalui petunjuk yang ia terima.
Menurut mereka ayam bernama terbagi dalam 6 kelompok dengan istilanya tersendiri yakni (1) ayam putih kuning, ayam ini bulunya berwarna putih, kakinya berwarna kuning, (2) ayam putih pucat, ayam ini bulunya berwarna putih kakinya pucat. (3) ayam kumbang, ayam ini bulunya berwarna hitam selalu, (4) ayam bulu cahu, ayam ini bulunya 3 warna yakni kuning, hitam dan putih. (5) ayam burek emas yakni ayam jago dan (6) ayam biriang. Masing-masing ayam ini merupakan simbol atau peruntukan khusus untuk hal tertentu. Ayam putih kuning simbol kemakmuran, digunakan untuk mendarahi rumah. Sebelum rumah dibanggun terlebih dahulu lokasinya didarahi dengan darah ayam sebagai bentuk komunikasi dengan makhluk yang ada dilokasi itu agar tidak mengganggu pembangunan tersebut. Ayam putih pucat simbol kekayaan. Ayam kumbang digunakan untuk mengusir makhluk halus (setan) berupa sesajen. Ayam bulu cahu digunakan untuk pengobatan tradisional terhadap penyakit yang berbahaya seperti santet dan lainnnya. Ayam burek emas atau ayam jago simbol karisma atau panutan bagi orang banyak. Ayam biriang simbol kepatuhan, digunakan untuk menutup kesalahan.
Perbedaan kedua antara ayam kampung dan ayam potong/petelur adalah cita rasa dagingnya. Olahan daging ayam bisa menghasilkan beraneka sajian dengan berbagai cita rasa. Saat ini daging ayam termasuk sajian harian karena ayam mudah mendapatkannya seperti ayam potong. Berkaitan dengan rasa ada orang yang mengatakan lebih enak daging ayam kampung dari pada daging ayam potong. Tetapi dalam kenyataan sehari-hari orang lebih banyak mengkonsumsi ayam potong karena harganya terjangkau. Sedangkan ayam kampung populasinya terbatas dan harganya lebih tinggi.
Untuk konsumsi sehari-hari posisi ayam kampung bisa tergantikan oleh ayam potong tetapi untuk keperluan tertentu tidak bisa. Misalnya untuk pengobatan tradisional seperti orang terkena penyakit diganggu oleh makhluk halus, biasanya menggunakan ayam berbulu hitam, disebut juga dengan ayam hitam. Jenis ayam seperti ini termasuk langka, oleh sebab itu harganya mahal. Sekalipun harganya mahal masih saja dibeli orang karena dipercayai mempunyai kekuatan tersendiri sehingga menjadi syarat pengobatan. Selain itu ada lagi untuk mendarahi rumah, biasanya sebelum mendirikan rumah terlebih dahulu lokasi itu didarahi. Darah yang digunakan adalah darah ayam yakni ayam putih kuning. Jenis ayam yang digunakan terhadap hal seperti ini berbeda-beda setiap daerah, tergantung pada permintaan melalui orang pintar (dukun).
Perbedaan ketiga, ayam kampung ada yang namanya ayam jago, disebut juga ayam jantan, apak ayam. Ayam jago mempunyai kelebihan yakni bisa berkokok dan dijadikan sebagai sarana bermain yakni bermain adu ayam atau sabung ayam. Ayam berkokok pertanda hari telah pagi, sebelum masuk waktu subuh kokok ayam sudah mulai terdengar membangunkan orang. Permainan adu ayam cukup terkenal dimasyarakat terutama dikalangan kaum laki-laki. Pada masa dahulu hingga saat ini permainan adu ayam masih dilakukukan orang. Oleh sebab itu harga ayam jago sangat mahal. Selain permainan adu ayam, kokok ayam pun menjadi ajang permainan. Setiap ayam jago mempunyai kokok yang berbeda-beda menghasilkan bunyi yang merdu enak didengar.
Terlepas dari kegunaan ayam untuk kesenangan dan cita rasa, ayam juga sebagai atribut adat oleh kelompok masyarakat tertentu seperti Minangkabau. Di dalam adat Minangkabau sajian yang bersumber dari ayam termasuk adat seperti singgang ayam. Singgang ayam yang dipasangkan dengan nasi lamak adalah bawaan pada prosesi adat bertunangan (di Kota Padang), prosesi adat manjalang mintuo di Kabupaten Lima Puluh Kota (Pangkalan Koto Baru). Hal ini jelas bahwa ayam yang menjadi barang bawaan telah diolah dan siap untuk dinikamti bersama. Berbeda halnya dengan ayam bawaan yang masih hidup seperti pada acara mancaliak anak yang dilakukan oleh pihak bako. Barang bawaan itu selain ayam yang masih hidup juga disertai dengan kain panjang, emas, dan bahan makanan lainnya. Barang bawaan berupa ayam hidup pada prosesi adat ini mempunyai makna, ayam untuk dipelihara, dikembangbiakan sehingga menjadi banyak. Hasilnya bisa untuk keperluan sehari-hari. Dalam hal ini sudah jelas bahwa ayam yang dibawa adalah ayam kampung karena untuk dikembangbiakan.
Mencermati kegunaan ayam bagi manusia sepanjang perjalanan hidupnya, ayam terus digunakan. Dalam keseharian maupun dalam aktivitas yang berkaitan dengan adat ayam pun masih menempati posisi yang dipentingkan. Lebih khusus lagi ayam kampung merupakan media bagi manusia untuk kepentingan tertentu seperti pengobatan tradisional. Di sini, ayam yang digunakan tidak bisa diganti dengan ayam potong, seberapapun sulit mendapatkannya tetap diusahakan oleh orang yang berkepentingan [Penulis adalah peneliti di kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].
Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 28 April 2019
Undang-Undang Nan Salapan
Penulis: Mardoni
Mari kita lirik tentang penerapan hukum adat era sekarang. Hukum adat di negeri kita, baik eksistensinya dan penerapannya dalam masyarakat hampir terkalahkan oleh hukum formal. Sebut saja hukum adat di Minangkabau. Di Minangkabau masih dikenal adanya aturan tentang hukum (pidana) adat, yang terdapat dalam Undang-Undang Nan Duopuluah. Undang-Undang Nan Duopuluah ini terbagi atas dua bagian, yaitu Undang-Undang Nan Salapan dan Undang-Undang Nan Duobaleh. Undang-Undang Nan Salapan menentukan perbuatan kejahatan, dan Undang-Undang Nan Duobaleh menjelaskan tanda bukti yang melanggar Undang-Undang Nan Salapan. Terdapat 8 (delapan) bentuk perilaku yang disebutkan sebagai delik adat dalam Undang-Undang Nan Salapan, yakni: 1. dago-dagi; 2. sumbang-salah; 3. samun-sakal; 4. maling-curi; 5. tikam-bunuh; 6. kicuh-kecong dan tipu-tepok; 7. upeh-racun; dan 8. siar-bakar. Dari kedelapan bentuk delik adat dalam Undang-Undang Nan Salapan itu, yang cenderung masih mendapatkan perhatian dari para penguasa adat hanyalah “sumbang salah” dan “dago dagi”(Datoek Toeah, Tambo Alam Minangkabau, Bukit Tinggi : Penerbit Pustaka Indonesia, 1956).
Dalam Undang-Undang Nan Salapan mengatur delapan jenis perbuatan yang melanggar hukum. Pertama dago-dagi, Dago ialah perbuatan pengacauan dengan desas-desus sehingga terjadi kehebohan, sedangkan dagi ialah perbuatan menyebarkan fitnah sehingga merugikan orang lain. Kedua, sumbang-salah, Sumbang ialah perbuatan yang melakukan sesuatu tidak pada tempatnya atau bersalahan menurut pandangan mata orang banyak, sedangkan salah ialah perbuatan yang melakukan zina. Sumbah-salah masih banyak terjadi di masyarakat. Baik anak muda, dewasa bahkan yang tua juga melakukannya. Zina dalam islam tidak sekedar diartikan sebagai ‘hubungan seksual’ saja. Akan tetapi lebih sempit dari itu perbuatan mendekatinya saja juga disebut zina, seperti zina mata, zina hati, zina tangan , dan sebagainya. Contohnya perbuatan yang banyak dilakukan oleh muda mudi sekarang yang tidak malu lagi naik motor berduaan sambil berangkulan, dan sebagian orang tuanya, atau ‘mamak-nya pun’ tak sanggup untuk melarangnya. Apalagi memberi sanksi kepadanya.
Ketiga, samun-sakal, Samun ialah perbuatan merampok milik orang dengan cara melakukan pembunuhan, sedangkan yang dimaksud dengan sakal ialah perbuatan merampok milik orang dengan kekerasan atau aniaya. Pasal ini mempunyai sampirannya, yakni rabuik rampeh. Rabuik (rebut) adalah perbuatan mengambil barang yang dipegang pemiliknya lalu melarikannya, sedangkan rampeh (rampas) ialah perbuatan mengambil milik orang dengan cara melakukan ancaman. Contoh perbuatan ini yang banyak terjadi adalah begal, pencopetan, penodongan, dan sebagainya.
Keempat, maliang-curi. Maliang (maling) ialah perbuatan mengambil milik orang dengan melakukan perusakan atas tempat menyimpanannya, sedangkan curi ialah perbuatan mengambil milik orang lain pada waktu pemiliknya sedang lengah. Kelima, tikam-bunuh, Tikam ialah perbuatan yang melukai orang dan bunuh ialah perbutan yang menghilangkan nyawa orang dengan menggunakan kekerasan.
Keenam, kicuh-kecong dan tipu-tepok, kicuah ialah perbuatan penipuan yang mengakibatkan kerugian orang lain, sedangkan kicang ialah perbuatan pemalsuan yang dapat merugikan orang lain. Pasal ini mempunyai sampirannya, yakni umbuak umbai, umbuak ialah perbuatan penyuapan pada seseorang yang dapat merugikan orang lain, sedangkan umbai ialah perbuatan membujuk seseorang agar sama-sama melakukan kejahatan.
Ketujuh, upeh-racun, Upeh ialah perbuatan yang menyebabkan seseorang menderita sakit setelah menelan makanan atau minuman yang telah diberi ramuan yang berbisa atau beracun, sedangkan racun adalah sejenis obat makanan atau minuman yang telah diberi ramuan berbisa atau beracun yang bisa menyebabkan orang menderita sakit atau bisa sampai meninggal.
Kedelapan, siar-bakar, Siar adalah perbuatan membuat api yang mengakibatkan milik orang lain sampai terbakar, sedangkan baka adalah perbuatan membakar barang orang yang sampai hangus dan habis dengan api yang besar.
Pertanyaannya dimanakah hukum adat ini berlaku sekarang, dan bagaimana pengadilan adatnya dijalankan? Pada hakikatnya hukum adat dan pengadilan adat dilaksanakan dibawah Lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai lembaga paling rendah. Namun persoalannya masyarakat kekinian (modern) ada yang kurang yakin dengan penyelesaian secara hukum adat. Sehingga persoalan tersebut telah diambil alih penyelesaiannnya oleh Kepolisian dan hukum formal melalui pengadilan negeri.
Lantas bagaiman eksistensi hukum adat Kita? Seharusnya kedua hukum itu saling mendukung satu sama lainnya. Setelah diberi sanksi hukum formal, maka hukum adat juga dilaksanakan. Seyogyanya, kedelapan macam perbuatan yang diatur oleh UU Nansalapan hendaknya berperan memberikan sanksinya terhadap pelakunya. Sanksi ini merupakan sebuah bentuk eksistensi hukum dan pengadilan adat tersebut bisa dikatakan masih bertahan. Namun jika hukum adat sudah mengalah demi pelaksanaan hukum formal, maka eksistensinya akan dipertanyakan. Seseorang yang sudah mendapatkan sanksi pada hukum formal, maka ada baiknya masih mendapatkan sanksi hukum adat. Sehingga tujuan pemberian sanksi untuk menimbulkan efek jera tercapai.
Secara Sosiologis, sanksi dikenal dengan berbagai bentuk, seperti dicemooh, dicela, dikucilkan, didenda, dan diusir, bahkan ada sebagian masyarakat memakai hukum cambuk, dan pancung (misalnya di Provinsi Nangroe Aceh Darusalam). Dalam masyarakat Minangkabau yang komunal, pertama sekali yang berhak memberi hukuman kepada seseorang adalah kaum atau sukunya. Jadi setiap suku harus bertanggung jawab terhadap tingkah laku anggotanya.
Apabila salah seorang anggota kaum melakukan pelanggaran maka pihak yang pertama memikul hukuman adalah kaum kerabatnya sendiri, sedangkan sipelaku kejahatan diberi hukuman oleh kaum kerabatnya sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan berdasarkan kemufakatan anggota kaum secara bersama (Navis, 1984). Sanksi setelah pelaksanaan hukum formal dapat berupa sanksi yang paling ringan (dicemooh) sampai sanksi yang paling berat (diusir) tergantung jenis pelanggarannya.
Bersatunya hukum formal dan hukum adat dalam hal pencegahan perbuatan yang melanggar hukum tersebut, berefek positif kepada keharmonisan hidup dalam masyarakat. Bagaimana tidak, seseorang akan takut dan enggan untuk melawan (melanggar) hukum. Baik melawan hukum formal maupun hukum adat. Sebab ada hukum yang berlapis yang akan menindak pelangar tersebut. Jika ini dilaksnakan kemungkinan keharmonisasn dalam nagari akan terjaga. Pepatah adat mengatakan “bumi sanang padi manjadi, padi masak jaguang maupiah, taranak bakambang biak, antimun mangarang bungo, nagari aman santoso”Semoga saja ini terwujud [Penulis adalah staf di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].
Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah pada Minggu, 5 Mei 2019
Uniknya Tato Mentawai
Penulis: Risma Dona
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia, tato berarti gambar atau lukisan pada bagian atau anggota tubuh. Tato hampir kita temukan di berbagai tempat sesuai dengan fungsi adat yang berlaku, seperti mentawai. Tato Mentawai merupakan bagian dari tradisi dan budaya yang berlaku sebagai penanda profesi yang dipegangnya seperti ahli pemanah, ahli pengobatan, pangkat dan lain sebagainya. Artinya tato berfungsi sebagai simbol, tanda pengenal, atau hiasan berupa suatu sistem penandaan atau sistem tanda-tanda visual, antara lain melalui simbol yang merupakan gambaran prinsip hidup.
Bagi sebagian orang, motif yang digunakan syarat dengan simbol dan makna yang diartikulasikan oleh masyarakat pengguna tato itu sendiri. Namun tato saat ini terjadi pergesseran nilai dan menjadi gaya hidup yang ngetren di kalangan anak-anak muda saat ini. Tato saat ini lebih cenderung tentang para pecinta seni keindahan yang ditorehkan pada tubuhnya. Tato mengandung makna yang dapat ditangkap oleh penikmat lukisan rajah tubuh. Begitulah ritme perjalanan tato. Namun tato Mentawai memiliki keunikan tersendiri, dan telah menghiasi kehidupan masyarakat Mentawai itu sendiri.
Orang Mentawai, pada prinsipnya tinggal tersebar dengan jarak yang tidak beraturan disepanjang tepian sungai di daerah pedalaman. Mereka terkelompok dalam organisasi sosial yang disebut uma, yang biasanya terdiri dari beberapa keluarga inti. Organisasi sosial dalam bentuk uma ini lebih bersifat egaliter tanpa hirarki politik atau kepemimpinan yang teroganisir, sehingga pengambilan keputusan politik cenderung lebih bersifat kolektif.
Menurut Adi Rosa (2011), pakar/ahli yang banyak melakukan penelitian tentang tato Mentawai menjelaskan bahwa tato masyarakat adat Mentawai berfungsi sebagai alat komunikasi bagi kelompok suku adat, melalui tergambar (visual) pada tubuh masyarakat adat Mentawai. Alat komunikasi bahasa rupa terwujud melalui unsur-unsur gambar-bahasa rupa, motif tato tradisional, sebagai symbol, tanda kenal dan hiasan. Tato masyarakat adat Mentawai ditemui pada budaya tato di wilayah Austronesia dan Polynesia, pada wilayah Cina, Laos (Indocina), Jepang, Rapa Nui (Kepulauan Easter), Hawaii, Kepulauan Marquesas dan Maori (New Zealand). Tato merupakan identifikasi dengan bahasa rupa sebagai wahana komunikasi melalui ragam motif-gambar.
Tato sebagai simbol jati diri suku, menjelaskan dari mana seseorang berasal. Tato sebagai tanda kenal privasi, menunjukkan tanda kenal kepiawaian masing-masing wilayah kekuasaan suku terdapat perbedaan dalam bentuk motif tato. Tato sebagai tanda kenal pribadi (privasi), menyiratkan kemahiran atau kepiawaian seorang (murourou) pemburu sejati mudah dikenali melalui mtif-motif tato binatang. Tato masyarakat adat Mentawai memiliki fungsi sebagai simbol dan tanda kenal motif tato yang dianggap baku. Tetapi masih tersisa ruang gerak bagi kebebasan privasi kreatif, bilamana tato berfungsi sebagai hiasan. Umumnya manusia adalah mahluk pesolek, tidak terkecuali masyarakat adat Mentawai yang memanfaatkan sejumlah motif tato sebagai hiasan tubuhnya. Tato masyarakat adat dengan sejumlah ragam motif memiliki makna, syarat dengan ajaran kearifan lokal. Karena itu masing-masing motif tato, memberi arahan sebagai pandangan dan pedoman hidup bagi masyarat pengguna. Motif-motif tato masyarakat adat, sekaligus sebagai bagian dari ajaran keyakinan dari kepercayaan Sabulungan Mentawai.
Lebih lanjut Ady Rosa (2011) menjelaskan bahwa tato tidak saja sebagai pakaian abadi, juga sebagai suluh (obor) penerang dalam perjalanan abadi menuju surgawi. Tato masyarakat adat, diyakini sebagai pedoman hidupnya yang sudah melembaga dalam institusi tradisional-masyarakat adat, lahir atas dasar konvensi. Tato melalui ragam motif, merupakan “buku pintar” berisi tentang ajaran berisi kebenaran, kebaikan, dan pendidikan rasa. Motif-motif tato masyarakat adat, merupakan bahasa rupa sebagai wahana komunikasi yang berisi tentang: (a) eksistensi masyarakat adat, sebagai penanda asal usul seseorang berasal, (b) status sosial seseorang sebagai dukun, pemburu, dan pengayau, (c) tanda kenal batas-batas wilayah, (d) feminim dan maskulin, dan (d) kepiawaian seseorang. Keberagaman pada gambar tato setiap pengguna tato, diyakini tato itu sendiri memiliki pesan tersendiri. Pesan yang dibuat untuk dapat menjadi bahan pengingat dirinya atau pun orang lain. Pesan yang dengan sengaja dibuat melalui ukiran gambar tato pada tubuh penggunanya, sangat memiliki esensi dalam menyampaikan sesuatu atau makna simbolik personal dan komunal.
Kekinian, budaya tato masyarakat adat di Indonesia, sudah terpinggirkan dengan berbagai permasalahan, diantaranya: (a) dianggap oleh masyarakat sebagai tanda kenal kriminal, (b) identitas geng, dan (c) penggemar dan pengguna tato masyarakat adat Mentawai dengan motif-motif tato yang memiliki muatan kearifan lokal, sampai saat ini masih berjalan, terutama nilai-nilai estetik motif tato Mentawai kekinian. Tato sekarang menjadi bagian dari gaya hidup urban sub culture dan trend. Banyak studio tato dari kelas bawah sampai kelas atas, dari puluhan ribu rupiah sampai jutaan rupiah. Dari kalangan biasa sampai kalangan artis dan ibu rumahtangga, semuanya ingin di tato karena satu hal yaitu membuat dekorasi tubuh.
Akhirnya, untuk memahami tato tersebut maka kita harus melihat tato sebagai bagian dari persoalan budaya yang melingkupinya [Penulis adalah peneliti di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].
Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 12 Mei 2019
Runciang Jan Mancucuak, Sandiang Jan Maluko
Penulis: Kadril
Saat sekarang ditilik dalam kehidupan sehari-hari ada sebagian remaja di Minangkabau ketika berbicara dalam acara formal dan informal sudah jarang memikirkan dengan siapa mereka berbicara dan boleh dikatakan tidak mempergunakan kata – kata yang santun dan baik di dengar oleh lawan berbicaranya.
Seperti ungakapan runciang jan mancucuk, sandiang jan maluko, (runcing jangan menusuk, sanding jangan melukai) artinya adalah suatu perkataan yang melukai atau menyakiti hati seseorang.
Ironisnya lagi seorang anak yang sudah dewasa memaki-maki orang tua dengan kata-kata yang kasar dan kemanakan leluasa berkata kasar kepada mamaknya seperti perkataan, guno mamak tu indak adoh, kini lai doh, nan jadi mamak tu kini pitih (mamak sekarang tidak berfungsi yang berfungsi sekarang itu uang).
Salah-satu makna yang tersirat dari ungkapan tradisional ini adalah : jika seseorang memiliki kepandaian dan mempunyai ilmu, ketika berbicara pelihara mulut dan berkata peliharalah lidah. Sehingga seseorang yang mempunyai ilmu dapat mempergunakan dengan ilmu dengan baik dan membawa keuntungan atau kemaslahatan bagi khalayak ramai dan masyarakat.
Sebagai obat yang mujarab untuk menyikapi fenomena sosial yang terjadi dalam kehidupan sebagian remaja-remaja di masyarakat, ini, kita perlu kembali memahami norma adat dan nilai etika atau sopan santun dalam berbicara, serperti ungkapan tradisional : harimau dalam paruik kambing juo nan musti kalua, (sungguhpun harimau dalam perut kambing juga yang mesti di keluarkan). Biasanya ungkapan ini sering diucapkan oleh orang tua-tua dulu kepada anak dan kemanakannya, bagi yang tidak tahu sopan santun dalam berbicara.
Disamping itu, tidak kalah pentingnya perlu kita mengingat kembali pada norma adat sopan santun ketika berbicara. Norma adat atau sopan santun inilah sebagai sendi-sendi nilai kearifan lokal yang diwariskan oleh leluhur kepada kita seperti kato nan ampek (kata yang empat). Kato nan ampek merupakan adat berbicara di Minangkabau.
Setiap orang dituntut paham perbedaan cara berbicara dengan orang berbeda. Indak ka pernah samo datanyo sawah jo pamatang, (tidak akan sama datar sawah dengan pematang). Maksunya setiap orang punya tingkatan-tingkatan tertentu di masyarakat.
Kato mandaki
Kato mandaki merupakan adat berbicara dengan orang yang lebih dituakan, misalnya dengan ayah dan ibu, mamak dan lain sebagainya. Berbicara dengan orang yang lebih tua haruslah dengan lemah lembut dan penuh sopan santun. Tidak boleh memotong pembicaraan orang lain, apalagi membantah.
Selagi yang dikatannya benar dan demi kebaikan, kita tidak boleh melawan perkataan orang yang lebih dituakan. Sedangkan untuk kata sapaan sendiri juga di bedakan, biasanya mengunakan awak, ambo.
Kato manurun
Kato manurun digunakan saat berbicara dengan lawan bicara yang lebih kecil, misalnya dengan adik. Sebagai saudara yang lebih tua hendaknya berbicara dengan kasih sayang, mengajarkan dengan baik. Bukan membentak-bentak, atau menyuruh dengan kata kasar dan biasakan dengan mengunakan kata tolong dan terimakasih. Sedangkan untuk kata panggilan terhadap diri sendiri mengunakan kata uda, uwan, atau uni, dan lain sebagainya.
Kato mandata
Kata mendata biasanya digunakan untuk berkelakar dengan teman seumuran. Biasanya kata yang digunakan lebih bebas dan kadang juga kasar. Apalagi dalam pertemanan anak laki-laki. Dengan demikian justru pertemanan mereka nampak lebih akrab dan tidak kaku. Aden,deyen biasa digunakan untuk panggilan diri sendiri. Sedangkan untuk panggilan orang lain digunakan waang,angkau,mandan,andan,ndan dan sebagainya.
Kato malereng
Kato malereng biasanya digunakan untuk berbicara antara orang yang segan menyegani. Misalnya antara mertua dan menantu, sumando,ipa jo bisan. Pembicaraan mengunakan kata kiasan yang sifatnya tidak langsung. Kok lai dapek mancari bareh dek sutan sagantang sahari, ambo ndak baa sajo anak ambo sutan pabini. Secara logika mungkin tidak masuk akal, bagaimana mungkin dengan sagantang beras bisa cukup untuk dimakan sekeluarga.
Tentulah harus ada lauk pauk, sayur, dan lain-lain. Jadi maksud mertua adalah orang tersebut haruslah memiliki mata pencarian sehingga bisa memenuhi semua kebutuhan keluarga tidak hanya makan tapi juga nafkah lainnya.
Oleh karena itu bagi kita generasi muda yang memiliki kepandaian dan mempunyai ilmu, ketika berbicaralah dengan sopan santun dan berpegang kepada kato nan ampek, pertama kato mandata, kedua kato manurunn ketiga kato mandaki dan keempat malereng. Jadi, hendaknya perkataan-perkataan yang keluar dari mulut seseorang terpelihara dan membawa berkah atau kemaslahatan bagi masyarakat [Penulis adalah Pengelola Data Budaya Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].
Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Bendang pada Minggu, 10 Februari 2019
FUNGSI DAN PELESTARIAN ALAT MUSIK SUNAI DI KABUPATEN MUKOMUKO PROPINSI BENGKULU
Abstract
Sunai merupakan alat musik utama pengiring tari gandai. Dalam mitologi suku bangsa Pekal mengenal tokoh Malin Deman yang menciptakan sunai untuk mengiringi tari gandai yang ditarikan oleh dayang-dayang. Walaupun berasal dari suku bangsa Pekal, masyarakat Kabupaten Mukomuko yang multi etnis menjadikan alat musik sunai sebagai bagian dari kesenian mereka. Pertanyaannya adalah bagaimana fungsi sunai bagi masyarakat dan upaya pelestariannya hingga tetap eksis. Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan wawancara, pengamatan, dan studi pustaka sebagai alat pengumpul data. Hasil penelitian menggambarkan bahwa sunai menjadi pemersatu masyarakat yang beraneka ragam budaya dan menjadi milik bersama masyarakat Kabupaten Mukomuko. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya pemain sunai dan tampil mengiringi tari gandai. Pemerintah Kabupaten Mukomuko juga melakukan berbagai kegiatan agar sunai semakin dikenal oleh masyarakat.
Perkembangan Bioskop di Kota Prabumulih 1950 – 2000
Bioskop merupakan sarana hiburan rakyat yang populer dan dinikmati oleh masyarakat dari berbagai lapisan dan kelas ekonomi. Hal ini yang menyebabkan bioskop tumbuh dan berkembang ke berbagai daerah di Indonesia. Kota Prabumulih yang memiliki luas 421,6 Km2 dalam sejarahnya pernah memiliki 5 gedung bioskop. Hal ini jelas menggambarkan bioskop memiliki kenangan tersendiri dalam kehidupan masyarakat di Prabumulih. Tulisan ini mencoba mengungkapkan tentang bioskop di Prabumulih dan kenangan masyarakat ketika menonton di gedung bioskop. Untuk menjawab tujuan penulisan diatas digunakan motede sejarah yang terdiri dari terdiri dari heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Untuk heuristik diperoleh melalui wawancara, observasi, dokumentasi, dan studi pustaka dengan mengunakan teknis analisis data model interaktif, setelah itu dilanjutkan kritik sumber, interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa bioskop telah lama hadir di Prabumulih dan setiap gedung bioskop memiliki fasilitas sarana dan prasarana yang berbeda antara gedung bioskop. Perbedaan ini meninggalkan kenangan tersendiri bagai masyarakat di Prabumulih.
Selengkapnya baca: https://jurnalbpnbsumbar.kemdikbud.go.id/index.php/penelitian/article/view/36
REFLEKSI NILAI BUDAYA DALAM UNGKAPAN TRADISIONAL MASYARAKAT LUBUKLINGGAU SUMATERA SELATAN
Penulis: Hasanadi
Abstrak
Penelitian ini menelaah nilai budaya masyarakat Lubuklinggau Sumatera Selatan melalui berbagai ungkapan tradisional. Ungkapan tradisional dimaksud adalah : (1) Ungkapan payu ponga nilek ngelup. Jengan melawan wang tue nilek meresak; (2) Ungkapan awak tue betunak dǝak hiyang melam kire nak ngelong; (3) Ungkapan lah ngidar lah baputar lom dǝpat jelan hatuju; (4) Ungkapan makan ati nenggung sedingan rube abis resan urung; (5) Ungkapan lambat bekat gǝcang dǝpat. Dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra serta diperkuat dengan analisis hermeneutik peneliti menyimpulkan bahwa bahwa kelima ungkapan dimaksud merefleksikan nilai budaya masyarakat Lubuklinggau, terutama terkait dengan beberapa hal, yaitu : (1) Perlunya komitmen untuk senentiasa berbakti dan patuh kepada orang tua; (2) Pentingnya isteri sebagai pasangan hidup serta kesungguhan menjaga keutuhan keluarga; (3) Perlunya pengetahuan dalam memahami dinamika dialog yang berkembang di tengah masyarakat; (4) Perlunya kompromi dalam menjaga jalinan silaturahim antar warga masyarakat; dan (5) Pentingnya kecermatan sekaligus kecepatan dalam setiap bidang usaha yang ditekuni.
Kok Jauah Cinto Mancinto, Dakek Jalang Manjalang
Penulis: Undri
Ironi, terkadang kita bertetangga saja tidak saling kenal, tegur sapa dan tidak ada rasa berempati kebaikan. Begitu juga dengan orang dirantau, tidak mau pulang kampung membangun kampungnya-tidak ada saling merindukan datangnya waktu untuk berkumpul bersama orang rantau dengan orang yang tinggal dikampung. Sebuah fenomena yang jauh dari nilai kebaikan yang mestinya harus kita hindari. Tidakkah kita belajar ungkapan kok jauah cinto mancinto, dakek jalang manjalang (bila jauh cinta mencinta, dekat jelang menjelang).
Sebuah ungkapan yang syarat makna, bermakna bila berjauhan harus ditanamkan rasa saling cinta mencintai, rasa ingin saling bertemu atau saling merindukan datangnya waktu untuk dapat kembali berkumpul bersama. Meskipun tempat berjauhan, kalau dalam diri masing-masing telah tertanam rasa saling cinta mencintai maka akan selalu terasa dekat.
Baca juga: Papek di Lua, Runciang di Dalam – Talunjuak Luruih Kalingkiang Bakaik
Perihal ini tidak terlepas dari prinsip hidup orang Minangkabau dengan merantaunya. Pijakannya adalah karakatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu di kampuang baguno balun (karatau (morus indica) tumbuh di hulu, berbuah berbunga belum, merantau bujang dahulu di kampung berguna belum). Dirantau haruslah tangkas dan gigih, agar pulang dapat membantu orang dikampung. Ketika sang Minang merantau, dan ketika kembali dari daerah rantau, mereka harus membawa sesuatu, harta atau pengetahuan, sebagai simbol keberhasilan.. Kalau tidak, orang kampung akan menyebut mereka bagaikan “seekor siput pulang ke rumahnya” (pulang langkitang) atau menyebut mereka “begitu perginya, begitu pulangnya) (baitu pai, baitu pulang).
Jika pergi merantau sudah berpunya kemampuan secara ekonomi dan ilmu pengetahuan baliklah pulang. Kita tidak dapat menafikan dibeberapa kampung masih ada orang miskin, perlu dibantu jua. Adakah misi budaya yang seperti itu masih tertanam dipikiran sang perantau Minang kini? Jangan-jangan pulang ke kampung hanya ingin pamer kekayaan kepada orang kampung, bahwa si Minang telah berhasil di rantau, setelah dipamerkan kepada orang kampung langsung pergi tanpa peduli dengan nasib orang kampung. Walaupun begitu halnya, yang lebih parah lagi banyak orang dari rantau yang pulang kampung bila ada maunya. Jangankan untuk menolong, mengais reski pula dari orang kampung tersebut. Orang Minang memiliki filantropi yang sangat besar. Coba bayangkan bila roda ini dijalankan-satu orang perantau saja membantu sanak keluarga dan kampung halamannya. Tidak terbayangkan apa yang akan terjadi? Yang jelas persoalan di kampung halaman kita akan teratasi, seperti masalah kemiskinan.
Perasaan lain yang menjadi dasar seorang Minangkabau menyenangi kampung asalnya tidak selalu disimpan dalam hati namun diungkapkan dalam bentuk kata-kata puitis, seperti sebuah ungkapan dalam bentuk sebuah puisi tentang Batang Sinamar berikut ini : jika ku pandang permaimu dalam lukisan, terdengar gemuruh deru airmu, disertai siamang berbalas-balas, teringat kampung halaman di tepi lembahmu, penuh kenangan masa yang lampau, yang kurindukan jauh di rantau (Bahasa disesuaikan dengan EYD, sumber Hanafiah, 1970).
Sebaliknya bila tinggal berdekatan, usahakanlah agar supaya dapat jelang –menjelang, saling kunjung mengunjungi antara yang satu dengan yang lain. Dengan adanya rasa saling cinta mencintai baik bagi yang tinggal berdekatan maupun berjauhan tempatnya, maka akan lebih terjalin serta akan lebih mendalam rasa kekeluargaan, rasa saling hormat menghormati, rasa persatuan dan kesatuan. Prinsipnya adalah kalau ada sesuatu kejadian dirumah kita, yang pertama kali kita minta tolong adalah tetangga kita sendiri. Maka berbaik-baiklah dengan sesama tetangga kita.
Perihal ini tidak terlepas bahwa sesama individu berada dalam posisi yang sederajat, sebagaimana diungkapkan dalam petatah ini: tagak sapamatang duduak sahamparan; duduak samo randah tagak samo tinggi. Masing-masing berhak mempertahankan eksistensinya dalam prosesi kehidupan dan berkewajiban untuk memelihara kelanggengan harmoni sosial diantara sesama manusia, dan jangan ditonjolkan ego masing-masing, saling hormat dan menghormati. Sebab dalam hidup bermasyarakat kita harus selalu menjunjung tinggi nilai kebersamaan. Begitu juga dalam lingkungan pergaulan, berlaku ketentuan yang berlandaskan pada rasa kebersamaan, dan memilihara sikap menjaga perasaan orang lain khususnya tetangga agar tidak tersinggung.
Jadi, ungkapan ini terkandung makna agar supaya dalam setiap diri kita merasakan seakan-akan kita satu keluarga, yang satu merupakan bahagian dari yang lain. Muaranya akan tumbuh sikap saling hormat menghormati serta dapat bekerja sama dalam bentuk apapun dalam kehidupan ini, baik yang berada di rantau maupun dikampung. Mudah-mudahan.[Penulis adalah peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]
Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah pada Minggu, 12 Mei 2019