Oleh: Ferawati
Industri
Semen Padang tidak hanya identik dengan Indarung, Teluk Bayur, jalur kereta api,
dan perkembangan perusahaan tambang batu bara Ombilin-Sawahlunto. Indarung, daerah
di Kecamatan dan Kenagarian Lubuk Kilangan, banyak memiliki deposit karang putih
berkualitas di Indonesia. Karang putih itu merupakan bahan baku utama pabrik
semen tertua di Asia Tenggara ini (1910). Teluk Bayur (Emmahaven, dibangun1888-1893),
menjadi pelabuhan tertua dan pintu keluar-masuk bagi barang dan manusia di
wilayah Sumatera Barat. Jalur kereta apinya menghubungkan pabrik semen Padang
dengan Teluk Bayur, dan dengan tambang tua batu bara Ombilin-Sawahlunto (1892).
Aktivitas penambangan legal sudah tidak beroperasi lagi di Sawahlunto. Namun kota
ini sudah berhasil menyabet penghargaan tertinggi The United Nations Educational, Scientific and
Cultural Organization (UNESCO)
dengan predikat World Heritage (warisan
dunia) kota tambang tua pada 6 Juli 2019, bebarengan dengan kota tua “Pink City” Jaipur, India. Penghargaan
ini sebagai bentuk nyata keberhasilan melaksanakan amanat UU No 05, Tahun 2017
tentang Pemajuan Kebudayaan.
Industri
semen Padang, sebaliknya, diasumsikan memberi efek yang lebih luas dan mendalam
terhadap upaya-upaya mengembalikan harga diri urang Minang-Sumatera Barat. Efek itu berasal dari keberadaan fisik
pabrik tinggalan Belanda itu sendiri, yang kemudian menjadi P.T. Semen Padang; atau
dari produksinya yang berkualitas tinggi sehingga menjadi rujukan perusahaan
semen yang berdiri setelahnya; dan dari kiprahnya bagi pembinaan pembangunan
manusia di sekitarnya. Namun yang menjadi perhatian kita di sini, dan barang
kali cukup kontroversial, yang belum begitu disinggung oleh penulis lainnya,
justru dari keberadaan pabrik semen Padang dan efek produksinya. Selain kedua
hal itu, kiprahnya sudah sering dibahas.
Soal kiprah P.T. Semen Padang sudah
tidak asing lagi dan sudah sering dibahas oleh penulis terkemuka. Mestika Zed,
dkk., (2001) menyorot aspek sejarahnya. Suryadi (Singgalang, 9 Februari 2020 dan 4
Februari 2010) tentang fluktuasi modal awal perusahaan dan perkembangan
produksinya dari tahun ke tahun. Gusti Asnan (2000) dan Asrinaldi A., (Singgalang. 29 Februari 2020) dari aspek
sosial-ekonomi terkait kedermawanan perusahaan ini. Afrizal dkk., (2002 ) dan
Israr Iskandar (2007) terkait aspek politik otonomi daerah dan hukum
privatisasi. Ganda Cipta (Singgalang. 9
Februari 2020) dan Suryadi tentang persepakbolaan asuhannya (Persatuan
Sepak Bola Semen Padang-PSSP). Masih banyak lagi kiprah P.T. Semen Padang,
seperti bidang kewirausahaan, olahraga, seni-budaya, literasi, informasi
(radio), agama, kesehatan, energi listrik, lingkungan, irigasi, pendidikan, kemanusiaan,
dan kedepannya barang kali aspek wisata.
***
Keberadaan
pabrik semen Padang di Indarung, Lubuk Kilangan, Kota Padang, Sumatera Barat dikenal
dan tersebar luas di berbagai wilayah. Hal ini sangat penting artinya, baik
bagi urak awak, bangsa Indonesia, dan
tentu saja bagi perusahaan kebanggaan masyarakat Sumatera Barat ini. Secara garis besar, keberadaan pabrik semen
Padang berikut manajerial perusahaan, pada mulanya memang tidak terkait dengan
penguatan harga diri urang awak,
melainkan bagi kolonial Belanda. Mulanya, pabrik semen Padang didirikan oleh
pemerintah Kolonial Belanda tahun 1907 di Indarung namun berproduksi tahun
1913. Statuta pendiriannya 18 Maret 1910 dan terdaftar di Amsterdam 23 Maret
1910 dengan Besluit Ratu Wilhelmina keluar
pada 8 April 1918, yang berarti
proses pengurusan kekuatan hukumnya kurang dari dua bulan. Sejak itulah 10
pendiri sekaligus pemodal yang berbeda-beda besarannya mulai mengoperasikannya
(Suryadi, 2010, 2020). Awalnya pabrik ini bernama Nederlandsch-Indische Portland Cement Maatschappij (NV NI-CPM). Pabrik ini kini dikenal
dengan nama P.T. Semen Padang.
Namun
pabrik semen Padang, bagaimanapun juga, sudah menjadi modal kapital dan modal
sosial-budaya terbesar “yang terbayangkan” oleh urang awak saisuak. Perusahaan ini menjadi aset “yang terbayangkan”
agar menjadi “tuan di negeri sendiri.” Akhirnya, setelah melalui proses yang
panjang, angan-angan itu terwujud juga. Pemerintah Indonesia mendesak Kolonial
Belanda merespon permintaan Pemerintah Republik Indonesia untuk melepas seluruh
perusahaan eks-Kolonial Belanda di Indonesia melalui program rasionalisasi dan
nasionalisasi, termasuk semen Padang. Momentumnya ditandai dengan rapat luar
biasa perusahaan semen Padang pada 2 Oktober 1958. Perusahaan semen Padang kiranya
di ambang kebangkrutan pula.
Pemerintah
Republik Indonesia resmi mengambil alih perusahaan ini pada 5 Juli 1958 dan
dikuasai tahun 1959. Hal ini menarik, karena pada waktu itu Sumatera Barat
dalam konflik vertikal. Ketika itu pula Pemerintah Republik Indonesia mewarisi hutang
Belanda sebesar ƒ2,5 juta, dan berangsur-angsur pulih dari ancaman bangkrut.
Hutang itu baru lunas pada tahun 2003. Namun modalnya terus meningkat menjadi
“ƒ3 miljoen” pada 1970, dari modal awal berdirinya cuma ƒ1.350.000 (Padang Ekspres, Minggu, 9 Februari 2020).
Setelah itu, pabrik ini mulai relatif stabil beroperasi.
Namun
dewasa ini, masyarakat Sumatera Barat apalagi Kenagarian Lubuk Kilangan mulai menyadari
untuk ‘memiliki’ hak atas sebagian aset pabrik semen Padang ini. Puncaknya
ketika sistem otonomi daerah menguat dalam gerakan reformasi 1997/1998, dan
ketika beberapa pabrik baru perusahaan ini dibangun dan melibatkan modal lain.
Sejak saat itu mulai menguat isu hak
ulayat nagari, yang menuntut agar keuntungannya disisihkan untuk anak-kamanakan dan nagari setempat. Pemerintah Daerah Sumatera Barat tidak banyak bergeming.
Gelombang tuntutan ini sudah beberapa kali muncul hingga mengganggu kelancaran
produksi, yang terbaru pada 7 Januari 2020.
Barangkali gelombang protes di
Indarung yang kerap terjadi merupakan wujud dari rasa identitas urang awak dan ekspresi harga dirinya yang
terkekang selama itu. Lalu bagaimanakah wujud kebanggaan urang awak memiliki pabrik semen Padang ini? Jawabnya ada pada kualitas
produksinya yang terlihat dari tinggalan produk budaya, hasil cipta dan karsa
manusia dalam bentuk bangunan-bangunan tua, monumen-monumen bersejarah, sarana
dan prasarana pembangunan, yang tersebar dan dikenal sampai manca negara.
Bangunan-bangunan tertentu bisa menjadi suatu ikon yang membanggakan dan
menjadi sumber kasat mata bagi harga diri urang
awak. Bangunan apa sajakah itu?
***
Sebelum
mengidentifikasi bangunan-bangunan tua yang terbuat dari semen Padang, perlu
diketahui bahwa pabrik semen Padang memang bukan pabrik tertua dan bukan pula dengan
ekspansi terluas pertama di dunia. Pabrik ini pada mula berdirinya juga belum mampu
menguasai pasar Asia apalagi dunia, karena awal berdirinya hanya ada satu
pabrik. Adapun produsen semen raksasa pertama di dunia adalah perusahaan bernama
Lafarge, berada di Desa Teil, Algeria. Lafarge mampu menguasai pasar Asia dan
Timur Tengah sejak berdiri tahun 1833. Perusahaan itu dikendalikan dari Paris,
Perancis. Pabrik itu menyuplai semen konstruksi monumental dunia, Terusan Suez
yang membangun kanal antara Laut Tengah dan Laut Merah pada tahun 1864 (Rizkydanti,
2014). Arus manusia dan budaya bertransformasi siknifikan, dengan terpinggirkan
dan ditinggalkannya jalur sutra-jalur rempah sebelumnya di kawasan Tanjung
Harapan-Afrika Selatan.
Bagian
yang paling penting dari kemunculan perusahaan semen seperti Lafarge adalah
bukti bahwa sejak adanya semen, sejak itu pula peradaban dunia kembali berubah,
setelah fase penemuan energi listrik dan tenaga uap. Semen yang digunakan juga
teruji kekuatannya, dan diakui dunia. Pabrik semen Padang yang berjarak 77
tahun lebih muda dari perusahaan Lafarge, kiranya masih dalam fase yang sama,
yaitu ikut membawa perubahan peradaban baru dunia.
Adapun sejumlah bangunan tua yang sementara ini terindikasi menggunakan semen Padang (berdasarkan tahun berdiri, bentuk, dan kekuatannya), dan perlu dicek ulang, misalnya sejumlah bangunan tua peninggalan Belanda yang tersebar di Sumatera dan Jawa. Kota Padang, Bukittinggi, hingga kota tambang batu bara Ombilin-Sawahlunto yang berada di kawasan Sumatera, memilki sejumlah bangunan tua dan menjadi ikon setempat. Misalnya di Padang, ada bangunan De Javasche Bank (Museum Bank Indonesia; berdiri 31 Maret 1921) di Batang Arau; gedung Balai Kota lama yang dirancang oleh arsitek Belanda, Thomas Karsten (1936), Masjid Muhammadan, Mesjid Ganting yang masih mempertahankan keramik salinya. Contoh lainnya di kota tua tambang Ombilin-Sawahlunto, sangat banyak mewarisi bangunan tua yang terbuat dari semen, dan kemungkinan besar produksi semen Padang. Ada “goedang ransoem”, penjara, silo, rumah sakit, masjid, bangker tua di bawah masjid, gereja, sekolah, jembatan, terowongan rel, dan stasiun tua, dan masih banyak lagi. P.T. Semen Padang yang sudah berusia 110 tahun ini kiranya dapat secara konkrit mendata bangunan tua yang monumental yang menggunakan semen Padang. Hal ini perlu pengkajian ulang dengan serius dan mendalam, untuk itu pula perlu kerja sama P.T. Semen Padang dengan instansi terkait. Upaya ini akan melegitimasi kinerja dan kualitas semen Padang agar dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan semen besar lainnya, sebagaimana dunia mengenal kinerja Lafarge untuk Terusan Suez. Semoga sukses!
Ferawati (Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat, Dirjenbud, Kemdikbud)