Beranda blog Halaman 6

PELIPUTAN WAYANG SAWAHLUNTO OLEH BPNB SUMATERA BARAT

0
Oleh : Tim Publikasi BPNB Sumatera Barat

Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto, ditetapkan menjadi warisan dunia oleh UNESCO sebagai Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto pada sidang ke 43, tanggal 6 Juli 2019 di Kota Baku, Azerbaijan. Sebagai situs warisan budaya dunia, Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto tidak saja menjadi kebanggaan Sumatera Barat dan Indonesia, tetapi juga menjadi warisan budaya kebanggaan dunia. Setelah genap satu tahun menjadi warisan budaya dunia, perlu upaya dan dukungan dari berbagai pihak untuk menjaga kelestariannya. Tidak hanya situs tambangnya tapi juga pelestarian warisan budaya tak bendanya.

            Sebagai bentuk dukungan terhadap perayaan satu tahun ditetapkannya Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto oleh UNESCO, Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat turut serta dalam pelestarian budaya Sawahlunto, khususnya dalam aspek warisan budaya tak benda. Salah satu kegiatan yang dilakukan adalah peliputan Wayang Sawahlunto. Wayang sawahlunto merupakan salah satu jejak budaya yang ada akibat pembukaan industri tambang di daerah ini. Para pekerja tambang yang sebagian besar didatangkan dari Jawa, maka serta merta budaya merekapun ikut terbawa hingga melewati pulau daerah asalnya. Pada Mulanya, Wayang Sawahlunto adalah wayang kulit yang merupakan kesenian tradisional dari Jawa yang dibawa oleh para pekerja tambang yang ada di kota ini. Cerita yang disampaikan adalah cerita yang sama dengan di Jawa. Namun karena masyarakat Jawa yang ada di Sawahlunto merasa bahwa mereka juga perlu mempunyai identitas yang membedakan Wayang Jawa dengan Wayang Sawahlunto, maka mereka kemudian menciptakan Wayang Sawahlunto.

Wayang Sawahlunto terbentuk karena adanya akulturasi budaya Jawa dengan budaya masyarakat lokal yaitu budaya Minang. Akulturasi tersebut sangat nyata terlihat dari para pendukung pagelaran wayang seperti pesinden dan pemain gamelan yang tidak hanya etnis Jawa atau keturunan Jawa yang ada di Sawahlunto, tetapi juga penduduk lokal yang merupakan etnis Minang. Musik pengiringpun tidak hanya gamelan Jawa, tetapi juga sudah disisipkan alunan musik saluang yang merupakan alat musik tiup khas Minangkabau.

Ciri khas Wayang Sawahlunto yang paling jelas terlihat dan sangat berbeda dengan Wayang kulit yang ada di daerah asalnya, adalah dari segi bahasa yang digunakan oleh dalang dalam menyampaikan cerita. Bahasa yang digunakan bukanlah Bahasa Jawa tetapi adalah Bahasa Tangsi, yang tercipta akibat adanya akulturasi Bahasa Jawa dengan Bahasa Minangkabau. Bahasa Tangsi sendiri merupakan warisan budaya tak benda milik Kota Sawahlunto. Disamping itu, cerita yang disajikan dalam Wayang Sawahlunto ini adalah cerita tentang sejarah berdirinya kota Sawahlunto dan cerita-cerita dongeng ataupun mitos yang terjadi selama berlangsungnya kegiatan penambangan di Sawahlunto. Tokoh-tokoh dalam pewayangan ini adalah tokoh-tokoh yang tersebut dalam sejarah ataupun dongeng yang berkembang di masyarakat Sawahlunto.

Media atau alat yang digunakan dalam pertujukan ini sama dengan Wayang Jawa, yaitu seperangkat gamelan, kelir, gedebog pisang dan wayang yang terbuat dari kulit sapi yang ditatah untuk menggembarkan karakter dalam lakon wayang tersebut, disamping dipadukan juga dengan saluang dan beberapa tokoh atau lakon yang ditambahkan berdasarkan karakter lakon yang ada dalam sejarah tambang Sawahlunto. Dalah segi prosesi atau ritual pelaksanaan pagelaran, Wayang Sawahlunto tetap mempertahankan tradisi aslinya seperti disertai dengan prosesi potong tumpeng dan doa bersama, sehingga tidak mengurangi nilai kesakralan pertunjukan wayang itu sendiri.

Peliputan Wayang Sawahlunto yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat, dilaksanakan pada tanggal 6 Juli 2020 bertepatan dengan peringatan satu tahun penetapan Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto oleh UNESCO. Peliputan ini dilaksanakan di sanggar karawitan Bina Laras pimpinan Bapak Sajiman yang pada tahun 2015 mendapat bantuan FKBM dari Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Perfilman Indonesia: Hobbi, Industri, dan Konten Budaya

0

Memposisikan film sebagai sebuah hobbi, industri dan akarnya ditarik dari konten budaya sangatlah menarik untuk diperbincangkan. Sebab ketiga posisi tersebut memiliki makna dasar bagi seseorang sineas untuk membuat film itu sendiri. Fondasi alasannya, mulai dari sekedar hobbi, industri-tujuan komersil sampai kepada mengakarnya konten budaya pada sisi film itu sendiri. Atau dengan kata lain film itu dipahami sebagai representasi budaya. Film digunakan sebagai cerminan untuk mengaca atau untuk melihat bagaimana budaya bekerja atau hidup di dalam suatu masyarakat.
Semua itu akan disigi dalam kegiatan Dialog Pelestarian Nilai Budaya, kegiatan yang diselenggarakan oleh Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui live Zoom dan Youtube pada Hari Rabu, 8 Juli 2020 Pukul 10.00-12.00 Wib.
Kupasan dari materi tersebut akan didiskusikan oleh narasumber yang sangat dikenal didunia perfilman Indonesia, yakni pertama, Garin Nugroho. Pria kelahiran 6 Juni 1961 ini lebih dari 65 penghargaan film diraihnya dari berbagai festival internasional dan Indonesia. Bukan itu saja, karyanya meluas dari film, teater, dance hingga instalasi art.
Kedua, Muhammad Arief atau lebih dikenal dengan Arief Malinmudo, pria yang lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat 28 September 1990 seorang sutradara dan penulis naskah film. Namanya melekat dan kemudian dikenal luas saat debut film panjang pertamanya, Surau dan Silek (2017). Ketiga, Aria Kusumadewa, pria yang lahir 27 September 1963 ini adalah sutradara Indonesia. Ia dikenal luas sebagai sutradara film-film indie, seperti Beth dan Novel Tanpa Huruf R. Penggalan dialog tersebut disimpulkan oleh Drs. Suarman (Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat), serta dimoderatori oleh S. Metron Masdison (sutradara Ranah PAC dan Penyuluh Budaya Kemendikbud RI).
Harapannya, dengan kegiatan ini dapat melihat posisi perfilman Indonesia, baik sebagai hobbi, industri maupun pijakan dasar film itu sendiri dari konten budaya. Film dapat dikatakan sebagai salah-satu media hiburan yang paling populer, selain televisi tentunya. Melalui film sebenarnya kita banyak belajar tentang budaya. Baik itu budaya masyarakat di mana kita hidup di dalamnya, atau bahkan budaya yang sama sekali asing buat kita sendiri. Semuanya tidak lain untuk pemajuan kebudayaan kedepannya. Selamat mengikuti !

Tradisi Doro

0

Oleh : Sefiani Rozalina

Doro, sebagian dari kita asing mendengar kata tersebut. Namun tidak halnya dengan masyarakat di Nagari Sialang Kecamatan Kapur IX Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat sebagai pemiliknya. Doro itu sendiri merupakan  sebuah kearifan lokal masyarakat yang sudah ada sejak lama di nagari tersebut. Tradisi doro adalah sebuah tradisi untuk memberikan hukuman cambuk bagi masyarakat yang melakukan hubungan badan sebelum menikah atau berzina. Tradisi ini dilaksanakan dengan tujuan untuk membersihkan nagari dari perbuatan – perbuatan tidak baik dan biasanya dilakukan sebelum bulan Ramadhan.

Pelaku yang ketahuan berbuat aib akan diproses untuk melaksanakan tradisi doro ini oleh mamak mamak mereka dan pemangku adat. Pelaksanaan doro sendiri dilihat dari kondisi pelaku. Apabila ketika pasangan yang sudah menikah setelah melakukan aib tersebut dan ketika anak pelaku telah lahir dan berusia enam bulan atau lebih. Sedangkan kalau si pelaku tertangkap basah, maka doro akan dilaksanakan dalam jangka waktu yang singkat.

Mamak yang mengetahui bahwa si pelaku atau keponakannya berbuat salah atau berzina, maka mamak akan melaporkannya ke ninik mamak. Kemudian mereka akan memproses si pelaku untuk melakukan tradisi doro. Si pelaku diwajibkan untuk memenuhi syarat untuk memperlancar proses berlangsungnya doro tersebut. Syarat pertama adalah lidi sebanyak 10 batang dan diikat menjadi satu yang nantinya dipakai untuk mencambuk. Lidi yang digunakan adalah lidi yang terbuat dari pohon aren. Dimana lidi tersebut mempunyai tekstur yang kuat dan tidak mudah patah. Syarat kedua, si pelaku harus mengisi tepak atau denda adat dengan membayar seukuran 1 (satu) ekor kambing yang sekarang diganti dengan uang sejumlah Rp. 1.000.000. Syarat ketiga adalah si pelaku harus menyerahkan keris sebagai simbol untuk memberitahu orang adat suku mana yang terkena sanksi doro. Keris ini harus diserahakan jauh hari sebelum pelaksanaan doro. Sedangkan syarat pertama dan kedua diserahkan ketika di hari pelaksanaan doro dilangsungkan.

Setelah ketiga syarat tersebut dipenuhi, maka ninik mamak akan melakukan musyawarah untuk menetapkan jadwal pelaksanaan tradisi ini. Musyawarah ini biasanya dilakukan setelah Sholat Isya karena kesibukan para mamak dari pagi hingga sore hari yang sebagian besar bekerja sebagai petani. Setelah tanggal ditetapkan, kemudian khatib nagari atau imam masjid akan memberitahu masyarakat bahwasanya akan ada pelaksanaan doro. Pengumuman ini diumumkan di mesjid 2 – 3 kali  setelah sholat Jum’at atau pemberitahuan dari mulut ke mulut.

 Doro dilaksanakan didalam mesjid dan dihadiri oleh ninik mamak dan keluarga kedua pelaku, wali hakim, imam, khatib nagari, wali nagari dan masyarakat yang menyaksikan kegiatan tersebut yang merupakan masyarakat Nagari Sialang. Tahapan pertama pelaksanaan doro adalah pemberian nasehat oleh wali hakim kepada pelaku. Biasanya wali hakim akan memberikan ceramah atau siraman rohani dan menuntun mereka untuk membaca ayat – ayat Al-qur’an. Pada saat proses pelaksanaan doro ini, kedua pelaku harus memakai berakaian sopan. Si Pria memakai celana panjang dan baju yang sopan serta memakai peci, sedangkan si wanita memakai kain sarung serta harus menggunakan jilbab.

Setelah pemberian nasehat, wali hakim akan memanggil imam mesjid untuk proses pencambukan. Pada proses pencambukan, kedua pelaku disuruh duduk bersimpuh menghadap kedepan wali hakim. Pencambukan dilakukan sebanyak sepuluh kali kepada masing – masing pelaku. Alat cambuk yang digunakan yaitu sepuluh buah lidi yang telah diikat menjadi satu. Pada proses pencambukan ini, yang dicambuk adalah bagian pinggang pelaku. Meskipun pelaku memakai baju, namun baju pelaku bagian belakang diangkat sedikit keatas agar ketika dicambuk, lidi yang digunakan akan menyentuh langsung bagian kulit sipelaku.

Setelah proses doro dilaksanakan, tahapan terakhir adalah doa bersama. Doa bersama dipimpin oleh khatib nagari dan melibatkan seluruh masyarakat yang ada didalam mesjid. Doa bersama ini merupakan wujud syukur atas kelancaran proses doro yang telah dilakukan. Namun tidak jarang pula, penutup dari tradisi doro ini adalah makan bersama. Pada tahapan acara makan bersama ini berarti acara pelaksanaan doro telah selesai. Acara makan bersama dilaksanakan dirumah pelaku perempuan. Makan bersama ini tidak ada dalam persyaratan doro, namun wajib dilaksanakan karena sudah merupakan kebiasaan atau tradisi setelah acara doro dilaksanakan, para mamak dan orang adat akan dijamu makan bersama.

Jadi tradisi doro sendiri merupakan sebuah kearifan lokal masyarakat yang hidup dan menghiasi kehidupan masyarakat dengan penuh makna. Makna yang ada dalam tradisi tersebut sampai hari ini mereka pegang teguh, untuk mengindari nagari mereka dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Tentu, semuanya ini mereka lakukan untuk menuju kehidupan yang baik kedepannya [Penulis adalah Pamong Budaya di Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

“Maandugh Anak” Sebuah Nyanyian Kelonan Tradisional Muara Paiti

0

Oleh: Sefiani Rozalina

Maandugh anak adalah sebuah tradisi lisan yang unik yang berasal dari Muara Paiti, Kecamatan Kapur IX Kabupaten 50 Kota Provinsi Sumatera Barat. Tradisi ini adalah suatu kegiatan untuk menidurkan atau meninabobokkan (kelonan) anak di atas boyan atau ayunan sambil didendangkan. Anak bayi atau anak yang masih kecil ditidurkan disebuah ayunan rotan atau ayunan kain. Kemudian ayunan tersebut diayun – ayunkan oleh sang Ibu sambil didendangkan.

Dendangan tersebut terdengar seperti syair – syair lagu, dendangan yang disuarakan oleh si ibu kebanyakan berisi tentang nasehat – nasehat untuk sang anak. Kadang-kala, dendangan tersebut juga berisikan tentang pahit manisnya hidup. Tidak jarang juga sang ibu maandugh anaknya sambil meratap sedih menceritakan susahnya hidup yang sedang dijalani.

Dendangan ini dinyanyikan dengan menggunakan bahasa asli Muaro Paiti yaitu bahasa Minang. Umur anak yang biasanya ditidurkan di ayunan tersebut berkisar 1 bulan sampai dengan 2 tahun. Pada dahulunya, karena susahnya kehidupan, kebanyakan perempuan Muaro Paiti bekerja di ladang. Sambil bekerja, mereka juga menjaga sang anak. Agar sang anak tidak rewel, si ibu maandugh anaknya di sebuah ayunan yang dipasangkan kesebuah pohon. Ketika si anak sudah tidur, si ibu bisa melanjutkan kerjanya di ladang. Sesekali si anak menangis, si ibu akan maandugh anaknya lagi sampai si anak tenang.  Tidak hanya di ladang, kegiatan maandugh anak ini juga  dilakukan oleh Ibu – Ibu Muara Paiti di rumah mereka.

Contoh isi dendangan maandugh anak yang diambil dari rekaman narasumber yaitu Ibu Yusmatati pada tanggal 27 Februari 2020 :

Babuai nak…Babuai…..

Tidughlah mu nak bujang den, n’tidugh saying

Usah manangih khanianglah nak ghang bujang

Mamak nak oi

Manangih bujang suak nak bongihnyo

Oi ughang saying

Elok laku do nyo nak oi nan kadis

Dibuek sayang

TIdugh daulu muah nak rang bujang …

Mamak nak oi

Sajak kociak nyo nak den cilak padi nak oi

Nan lah godang coyang barobah

padang sayang oi

Sajak kociak suaknyo bujang duduak omah mangaji

Nan lah godang duduak nak togaksi

sumbayang saying

Godang lah rueh muah nak godanglah…lah godang

Jan manangih sayang..elok laku buek mu yang..mak banyak kojo

Loloklah lolok nak rang bujang mamak nak oi

Sarikayo suaknyo nak makan jo tapai

Makanan anak suak punai tanah nak oi

Duo nyo anak suak nak tiuang lampai

Urang kayo dunia nak makosuik sampai saying

Awak miskin suaknyo bujang karambia ditonga nak oi

Tidugh jang den dunia ndak mahalok

Lolokkan sayang

Kegiatan maandugh anak ini merupakan sebuah kegiatan untuk mewariskan dan menanamkan pendidikan nilai karakter dari seorang ibu kepada anaknya. Hal itu bisa dilihat dari syair dendangan yang dinyanyikan si Ibu ketika meninabobokkan anaknya. Syair lagu dalam dendangan maandugh anak ini mengandung banyak arti. Pendidikan karakter tentang kasih sayang terlihat jelas dari bagaimana sang Ibu memberikan nasehat kepada sang anak untuk tidak cengeng, harus menjadi manusia yang kuat dan berbudi baik.

Cerita tentang ketangguhan seorang ibu untuk mencari nafkah dan bekerja keras untuk membesarkan anaknya juga tergambarkan dalam syair diatas. Pendidikan karakter tentang keimanan kepada Tuhan YME juga tersirat dalam syair maandugh anak ini (Sajak kociak suaknyo bujang duduak omah mangaji, Nan lah godang duduak nak togaksi, sumbayang sayang). Dalam penggalan syair ini mengajarkan bahwa sang anak sejak kecil dituntun untuk membaca Al-qur’an dan melaksanakan Sholat. Mandugh anak tidak hanya bermanfaat bagi anak yang ditidurkan, tetapi juga bermanfaat bagi anggota keluarga yang lain yang mendengarkan senandung syairnya. Maandugh anak dengan melantunkan dendangan yang berisi syair – syair lagu menjadi media untuk menyampaikan pesan – pesan kehidupan kepada seseorang atau kelompok dengan cara yang berbeda. Syair maandugh anak diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan dan tradisional. Namun seiring berjalannya waktu, tradisi maandugh anak ini sudah sangat jarang ditemukan sekarang karena para pelaku maandugh anak ini adalah orang orang tua/ibu – ibu yang sudah tua [Pamong Budaya Muda di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat]

Maminteh Sabalun Anyuik, Malantai Sabalun Lapuak, Ingek-Ingek Sabalun Kanai

0

Oleh: Undri

Mengawali tahun 2020 sampai saat ini, kita dikejutkan dengan virus jenis baru yang disebut Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Virus tersebut telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa,  terinfeksi masih dalam pengawasan dan perawatan intensif. Penyebaran virus corona berkembang pesat dan membuat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengimbau negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, untuk harus selalu waspada. Sifat kewaspadaan yang harus kita utamakanberhati-hati dan berjaga-jaga; bersiap siaga. Di ungkapkan-maminteh sabalun anyuik, malantai sabalun lapuak, ingek-ingek sabalun kanai (memintas sebelum hanyut, dibuat lantai baru sebelum lapuk, siaga sebelum kena bahaya).

Tuntutan untuk selalu hati-hati dan waspada dalam hidup ini kita tumbuh kembangkan. Apakah itu terhadap bahaya dari alam ataupun ancaman dari lawan. Selain itu kita juga perlu waspada terhadap akibat dari tindakan-tindakan yang akan membahayakan hidup kita. Jadi sebelum sebuah keputusan diambil perlu dipertimbangkan akibatnya. Sifat waspada dan siaga termasuk sifat yang dianjurkan adat Minangkabau, diungkapkan- maminteh sabalun anyuik (memintas sebelum hanyut), malantai sabalun lapuak (dibuat lantai baru sebelum lapuk), ingek-ingek sabalun kanai (siaga sebelum kena (bahaya), sio-sio nagari kalah (sia-sia negeri akan kalah), sio-sio utang tumbuah (sia-sia hutang timbul), siang dicaliak-caliak (siang dilihat-lihat (waspada), malam didanga-danga (malam didengar-dengar)

Kewaspadaan dan kesiapan, kok tagak maninjau jarak, kok duduak marauik ranjau (kalau berdiri meninjau jarak, kalau duduk meraut ranjau), ingek-ingek sabalun kanai, sadio payuang sabalun hujan (ingat sebelum kena, sedia payung sebelum hujan), ingek-ingek nan diateh, nan dibawah kok maimpok (ingat yang diatas, tapi jangan lengah yang dibawah akan menimpa), tirih kok datang dari lantai, galodo kok datang dari ilia (tiris mungkin datang dari lantai, air bah mungkin dari hilir).

Dalam pepatah diatas terlihat bagaimana kewaspadaan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan mencontohkan kepada seseorang yang sedang berdiri atau duduk sendirian harus tetap siaga, jangan membuang waktu sia-sia. Sebab waktu itu sangat berharga. Kalau berdiri dilapangan atau dimedan yang terbuka maka pandanglah jauh kedepan, amati alam sekeliling, ambil manfaat untuk meninjau jarak dan mengawasi keadaan dan situasi, tapi kalau duduk sendirian gunakanlah waktu untuk menyiapkan diri. Siap siaga dengan kewaspadaan itulah kuncinya.

Diwaktu hujan bahaya ketirisan biasanya datang dari atap, tetapi jangan lupa bahwa kebocoran mungkin saja datang dari lantai atau bawah. Galodo atau air bah biasanya datang dari hulu, tetapi orang Minangkabau harus tetap waspada bahwa galodo itu mungkin saja datangnya dari hilir. Begitulah irama hidup yang diajarkan untuk mengingatkan kepada kita sifat kehati-hatian dan kewaspadaan.

Tidak itu saja –baban sakiro tasandang dek bahu, manjujuang sakiro tapikua dek kapalo (beban sekira tersandang oleh bahu, menjunjung sekira terpikul oleh kepala)- seumpama orang membawa sesuatu beban itu ada yang ringan dan cukup dijinjing saja dan ada pula yang berat. Bila berat biasanya beban itu ada yang disandang dibahu atau menjunjung di atas kepala. Daya dan kekuatan manusia tentu terbatas, adakalanya tidak mampu bahu menyandang atau kepala tidak sanggup menjunjung beban tersebut, maka kepada yang membawa beban berat itu diingatkan jangan sampai runtuh bahu menyandang dan jangan sampai sulah (botak) kepala menjunjungnya. Begitulah kita dianjurkan dalam adat Minangkabau. Dalam hal ini, kita juga tetap waspada juga.

Begitu juga dengan  sifat kehati-hatian dalam hidup, perlu kita pikirkan sebelum melakukan suatu pekerjaan baik dan buruknya. Jangan melakukan sesuatu kalau mencelakakan diri, keluarga kita pula, dan lakukan bila bermanfaat buat diri, keluarga dan orang banyak.

Kewaspadaan terhadap sesuatu hal yang harus kita lakukan dalam hidup ini, agar kita tidak terjerumus kepada hal-hal yang tidak kita inginkan. Gunakan akal sehat kita untuk melakukan sesuatu. Hilangkan sifat egois, mau menang sendiri saja. Kita harus patuh dan taat terhadap aturan yang ada. Bila semua itu kita lakukan maka dalam hidup kita ini akan bahagia. Bahagia dengan diri kita dan bahagia dengan orang lain.  Terkadang dengan sifat egois kita sendiri, kita tidak membuat orang lain jadi celaka dibuatnya. Hindarilah sifat yang seperti itu kedepannya, agar diri kita, keluarga dan masyarakat lainnya bisa hidup dengan tenang. Jadi  sifat  berhati-hati dan berjaga-jaga; bersiap siaga terhadap kondisi apa saja seperti halnya atas penyebaran virus Covid 19 merupakan sebuah keharusan. Sembari berdoa kepada Allah SWT agar kita semua terhindar dari penyakit tersebut. Serta taat dan patuh atas putusan pemerintah dan ulama terhadap kebijakan yang akan diambil dalam penyebaran penyakit tersebut kedepannya. Mudah-mudahan. (Undri)

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang Kolom Kurenah pada Minggu, 5 April 2020

KAJIAN TRADISI MANJALANG RUMAH GADANG MANDE RUBIAH

0

Oleh: Undri

Salah-satu kajian yang dilaksanakan oleh kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun ini yakni Tradisi Manjalang Rumah Gadang Mande Rubiah di Kenagarian Lunang Kecamatan Lunang Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat. Kegiatan pengumpulan data dilapangan dalam kajian ini dilaksanakan oleh Undri, Ajisman dan Yulisman, mulai dari tanggal 12 sampai 20 Maret 2020.

Pengumpulan data lapangan dilaksanakan dalam bentuk studi perpustakaan, observasi lapangan dan wawancara dengan narasumber. Studi perpustakaan dilaksanakan di Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat. Observasi lapangan yakni mengunjungi bukti-bukti arkeologis berkenaan dengan keberadaan dari sejarah Mande Rubiah di Nagari Lunang Kecamatan Lunang Kabupaten Pesisir Selatan. Wawancara dengan narasumber yakni orang -orang yang mengetahui, dan ikutserta dalam kegiatan tradisi Manjalang Rumah Gadang Mande Rubiah. Adapun narasumber dalam kegiatan ini yakni Mande Rubiah yang ke VII, Maradis Dt. Rh. Setia (Ketua Kerapatan Adat Nagari) Nagari Lunang, M. Arasum Dt. Batuah (Tokoh adat Lunang), Sumawir Tuanku Sholeh (Tokoh masyarakat), Nurhasni (Bamus Nagari Lunang), M. Syahab (tokoh aliran Syatariah), Kasan Syaih Palitio  (orang tuo nagari), Marsyim (tokoh masyarakat), dan Bachtiar (tokoh masyarakat, mantan kepala seksi bidang kebudayaan Pemerintah Daerah Kabupaten Pesisir Selatan).

Dilapangan diperoleh data bahwa Nagari Lunang identik dengan Mande Rubiah sebagai simbol kekuasaan elite tradisional di nagari tersebut. Melihat realitas yang ada, dapat dikatakan bahwa poros kehidupan masyarakat Lunang dan sekitarnya berada pada Rumah Gadang Mande Rubiah. Bahkan datang ke daerah tersebut, bagi wisatawan bukanlah semata-mata sebagai bentuk dari rekreasi seperti pengunjung yang datang ke rumah adat lainnya, melainkan para pengunjung pada umumnya untuk melepaskan hajatnya seperti berkaul, membayar nazar, meminta obat dan rasa ingin tahu tentang keberadaan rumah gadang Mande Rubiah tersebut.

Bagi masyarakat Lunang kehidupan sehari-hari mereka tidak terlepas dari rumah gadang Mande Rubiah itu sendiri, seperti penyelenggaraan adat dan agama tetap berhubungan dengan rumah gadang tersebut. Bahkan kehidupan di rumah gadang Mande Rubiah adalah pusat dari kehidupan yang ada di dalam nagari. Untuk itu, kegiatan masyarakat tidak terlepas dari rumah gadang, seperti penyelenggaraan Shalat Tarawih empat malam di rumah gadang tersebut, takbiran Idul Fitri, Maulid Nabi pada hari kedua setelah Maulid Nabi di mesjid nagari, rapat nagari, upacara perkawinan, dan sebagainya.

Itu pula sebabnya, poros adat Lunang lebih mengarah pada kekuasaan adat rumah gadang Mande Rubiah, sehingga keputusan rumah gadang lebih kuat dari keputusan nagari. Seperti halnya, setiap tahun pada hari kedua setelah hari Raya Idul Fitri di Lunang berlangsung rapat nagari di rumah gadang Mande Rubiah. Keputusan diambil oleh para ninik mamak, penghulu, alim ulama, orang tua dan tokoh masyarakat. Kemudian hasil keputusan tersebut disampaikan kepada Mande Rubiah untuk disahkan.

Rumah Gadang Mande Rubiah yang menjadi sakral dan dianggap keramat, tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan yang ada di Lunang maupun daerah luar sekitarnya. Rumah gadang dikenal sebagai tempat tua yang menjadi pelindung bagi masyarakat. Maksudnya rumah gadang adalah tempat yang agung dan berkah bagi orang yang menghormatinya. Kepercayaan ini merupakan suatu bentuk semangat kepercayaan lama yang tidak hilang dimakan zaman, walaupun jumlahnya tidak dapat diperkirakan. Pengikut kepercayaan ini menganggap tidak melanggar norma-norma agama yang telah ada karena berbagai bentuk tradisi ini menuntun mereka dan tidak terlepas dari cara mereka melaksanakan ibadah agama. Hanya saja pelaksanaannya bisa dilakukan rumah gadang, mengingat rumah gadang juga difungsikan sebagai tempat ibadah agama. Jadi maksudnya rumah gadang selain sebagai rumah adat tempat yang sakral, juga merupakan rumah ibadah.

Tradisi manjalang (menjelang) atau istilah di daerah tersebut nyalang adalah prosesi adat bercampur agama yang telah mentradisi di Nagari Lunang. Prosesi adat tersebut seperti menyambut hari raya Idul Fitri yang dilangsungkan di rumah gadang Mandeh Rubiah. Manjalang diartikan dengan mengunjungi rumah gadang Mandeh Rubiah dalam rangka silaturahmi (halal bi halal atau bermaaf-maafan) antar seluruh unsur masyarakat, mulai dari unsur adat, alim ulama dan masyarakat dengan Mandeh Rubiah.

Tradisi manjalang rumah gadang Mande Rubiah sendiri tidak terlepas dari pengaruh aliran syatariah yang berkembang di daerah Lunang, bahkan Mande Rubiah sendiri serta keturunannnya pengikut dari aliran syatariah itu sendiri.

Sebagai ungkapan rasa hormat masyarakat Lunang kepada pewaris rumah gadang yang telah mentradisi dari dahulu hingga sekarang maka dilangsungkan setiap tahunnya upacara manjalang atau mengunjungi rumah gadang. Tradisi itu ampai saat ini terus dilaksanakan. Proses adat manjalang rumah gadang Mandeh Rubiah ini cukup menarik ribuan pasang mata masyarakat, menyaksikan prosesi manjalang rumah gadang Mandeh Rubiah yang ada di sepanjang jalan dilalui arak-arakan.

Harapan kedepannya tradisi manjalang atau nyalang rumah gadang Mande Rubiah dapat dilestarikan dengan baik, perlu kerjasama semua lini kearah tersebut (Undri).

110 TAHUN SEMEN PADANG MEMBANGUN NEGERI, MEMAJUKAN KEBUDAYAAN

0

Oleh: Ferawati

Industri Semen Padang tidak hanya identik dengan Indarung, Teluk Bayur, jalur kereta api, dan perkembangan perusahaan tambang batu bara Ombilin-Sawahlunto. Indarung, daerah di Kecamatan dan Kenagarian Lubuk Kilangan, banyak memiliki deposit karang putih berkualitas di Indonesia. Karang putih itu merupakan bahan baku utama pabrik semen tertua di Asia Tenggara ini (1910). Teluk Bayur (Emmahaven, dibangun1888-1893), menjadi pelabuhan tertua dan pintu keluar-masuk bagi barang dan manusia di wilayah Sumatera Barat. Jalur kereta apinya menghubungkan pabrik semen Padang dengan Teluk Bayur, dan dengan tambang tua batu bara Ombilin-Sawahlunto (1892). Aktivitas penambangan legal sudah tidak beroperasi lagi di Sawahlunto. Namun kota ini sudah berhasil menyabet penghargaan tertinggi The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dengan predikat World Heritage (warisan dunia) kota tambang tua pada 6 Juli 2019, bebarengan dengan kota tua “Pink City” Jaipur, India. Penghargaan ini sebagai bentuk nyata keberhasilan melaksanakan amanat UU No 05, Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Industri semen Padang, sebaliknya, diasumsikan memberi efek yang lebih luas dan mendalam terhadap upaya-upaya mengembalikan harga diri urang Minang-Sumatera Barat. Efek itu berasal dari keberadaan fisik pabrik tinggalan Belanda itu sendiri, yang kemudian menjadi P.T. Semen Padang; atau dari produksinya yang berkualitas tinggi sehingga menjadi rujukan perusahaan semen yang berdiri setelahnya; dan dari kiprahnya bagi pembinaan pembangunan manusia di sekitarnya. Namun yang menjadi perhatian kita di sini, dan barang kali cukup kontroversial, yang belum begitu disinggung oleh penulis lainnya, justru dari keberadaan pabrik semen Padang dan efek produksinya. Selain kedua hal itu, kiprahnya sudah sering dibahas.

Soal kiprah P.T. Semen Padang sudah tidak asing lagi dan sudah sering dibahas oleh penulis terkemuka. Mestika Zed, dkk., (2001) menyorot aspek sejarahnya. Suryadi (Singgalang, 9 Februari 2020 dan 4 Februari 2010) tentang fluktuasi modal awal perusahaan dan perkembangan produksinya dari tahun ke tahun. Gusti Asnan (2000) dan Asrinaldi A., (Singgalang. 29 Februari 2020) dari aspek sosial-ekonomi terkait kedermawanan perusahaan ini. Afrizal dkk., (2002 ) dan Israr Iskandar (2007) terkait aspek politik otonomi daerah dan hukum privatisasi. Ganda Cipta (Singgalang. 9 Februari 2020) dan Suryadi tentang persepakbolaan asuhannya (Persatuan Sepak Bola Semen Padang-PSSP). Masih banyak lagi kiprah P.T. Semen Padang, seperti bidang kewirausahaan, olahraga, seni-budaya, literasi, informasi (radio), agama, kesehatan, energi listrik, lingkungan, irigasi, pendidikan, kemanusiaan, dan kedepannya barang kali aspek wisata.

***

Keberadaan pabrik semen Padang di Indarung, Lubuk Kilangan, Kota Padang, Sumatera Barat dikenal dan tersebar luas di berbagai wilayah. Hal ini sangat penting artinya, baik bagi urak awak, bangsa Indonesia, dan tentu saja bagi perusahaan kebanggaan masyarakat Sumatera Barat ini.  Secara garis besar, keberadaan pabrik semen Padang berikut manajerial perusahaan, pada mulanya memang tidak terkait dengan penguatan harga diri urang awak, melainkan bagi kolonial Belanda. Mulanya, pabrik semen Padang didirikan oleh pemerintah Kolonial Belanda tahun 1907 di Indarung namun berproduksi tahun 1913. Statuta pendiriannya 18 Maret 1910 dan terdaftar di Amsterdam 23 Maret 1910 dengan Besluit Ratu Wilhelmina keluar pada 8 April 1918, yang berarti proses pengurusan kekuatan hukumnya kurang dari dua bulan. Sejak itulah 10 pendiri sekaligus pemodal yang berbeda-beda besarannya mulai mengoperasikannya (Suryadi, 2010, 2020). Awalnya pabrik ini bernama Nederlandsch-Indische Portland Cement Maatschappij (NV NI-CPM). Pabrik ini kini dikenal dengan nama P.T. Semen Padang.

Namun pabrik semen Padang, bagaimanapun juga, sudah menjadi modal kapital dan modal sosial-budaya terbesar “yang terbayangkan” oleh urang awak saisuak. Perusahaan ini menjadi aset “yang terbayangkan” agar menjadi “tuan di negeri sendiri.” Akhirnya, setelah melalui proses yang panjang, angan-angan itu terwujud juga. Pemerintah Indonesia mendesak Kolonial Belanda merespon permintaan Pemerintah Republik Indonesia untuk melepas seluruh perusahaan eks-Kolonial Belanda di Indonesia melalui program rasionalisasi dan nasionalisasi, termasuk semen Padang. Momentumnya ditandai dengan rapat luar biasa perusahaan semen Padang pada 2 Oktober 1958. Perusahaan semen Padang kiranya di ambang kebangkrutan pula.

Pemerintah Republik Indonesia resmi mengambil alih perusahaan ini pada 5 Juli 1958 dan dikuasai tahun 1959. Hal ini menarik, karena pada waktu itu Sumatera Barat dalam konflik vertikal. Ketika itu pula Pemerintah Republik Indonesia mewarisi hutang Belanda sebesar ƒ2,5 juta, dan berangsur-angsur pulih dari ancaman bangkrut. Hutang itu baru lunas pada tahun 2003. Namun modalnya terus meningkat menjadi “ƒ3 miljoen” pada 1970, dari modal awal berdirinya cuma ƒ1.350.000 (Padang Ekspres, Minggu, 9 Februari 2020). Setelah itu, pabrik ini mulai relatif stabil beroperasi.

Namun dewasa ini, masyarakat Sumatera Barat apalagi Kenagarian Lubuk Kilangan mulai menyadari untuk ‘memiliki’ hak atas sebagian aset pabrik semen Padang ini. Puncaknya ketika sistem otonomi daerah menguat dalam gerakan reformasi 1997/1998, dan ketika beberapa pabrik baru perusahaan ini dibangun dan melibatkan modal lain. Sejak saat itu mulai menguat isu hak ulayat nagari, yang menuntut agar keuntungannya disisihkan untuk anak-kamanakan dan nagari setempat. Pemerintah Daerah Sumatera Barat tidak banyak bergeming. Gelombang tuntutan ini sudah beberapa kali muncul hingga mengganggu kelancaran produksi, yang terbaru pada 7 Januari 2020.

Barangkali gelombang protes di Indarung yang kerap terjadi merupakan wujud dari rasa identitas urang awak dan ekspresi harga dirinya yang terkekang selama itu. Lalu bagaimanakah wujud kebanggaan urang awak memiliki pabrik semen Padang ini? Jawabnya ada pada kualitas produksinya yang terlihat dari tinggalan produk budaya, hasil cipta dan karsa manusia dalam bentuk bangunan-bangunan tua, monumen-monumen bersejarah, sarana dan prasarana pembangunan, yang tersebar dan dikenal sampai manca negara. Bangunan-bangunan tertentu bisa menjadi suatu ikon yang membanggakan dan menjadi sumber kasat mata bagi harga diri urang awak. Bangunan apa sajakah itu?

***

Sebelum mengidentifikasi bangunan-bangunan tua yang terbuat dari semen Padang, perlu diketahui bahwa pabrik semen Padang memang bukan pabrik tertua dan bukan pula dengan ekspansi terluas pertama di dunia. Pabrik ini pada mula berdirinya juga belum mampu menguasai pasar Asia apalagi dunia, karena awal berdirinya hanya ada satu pabrik. Adapun produsen semen raksasa pertama di dunia adalah perusahaan bernama Lafarge, berada di Desa Teil, Algeria. Lafarge mampu menguasai pasar Asia dan Timur Tengah sejak berdiri tahun 1833. Perusahaan itu dikendalikan dari Paris, Perancis. Pabrik itu menyuplai semen konstruksi monumental dunia, Terusan Suez yang membangun kanal antara Laut Tengah dan Laut Merah pada tahun 1864 (Rizkydanti, 2014). Arus manusia dan budaya bertransformasi siknifikan, dengan terpinggirkan dan ditinggalkannya jalur sutra-jalur rempah sebelumnya di kawasan Tanjung Harapan-Afrika Selatan.

Bagian yang paling penting dari kemunculan perusahaan semen seperti Lafarge adalah bukti bahwa sejak adanya semen, sejak itu pula peradaban dunia kembali berubah, setelah fase penemuan energi listrik dan tenaga uap. Semen yang digunakan juga teruji kekuatannya, dan diakui dunia. Pabrik semen Padang yang berjarak 77 tahun lebih muda dari perusahaan Lafarge, kiranya masih dalam fase yang sama, yaitu ikut membawa perubahan peradaban baru dunia.

Adapun sejumlah bangunan tua yang sementara ini terindikasi menggunakan semen Padang (berdasarkan tahun berdiri, bentuk, dan kekuatannya), dan perlu dicek ulang, misalnya sejumlah bangunan tua peninggalan Belanda yang tersebar di Sumatera dan Jawa. Kota Padang, Bukittinggi, hingga kota tambang batu bara Ombilin-Sawahlunto yang berada di kawasan Sumatera, memilki sejumlah bangunan tua dan menjadi ikon setempat. Misalnya di Padang, ada  bangunan De Javasche Bank (Museum Bank Indonesia; berdiri 31 Maret 1921) di Batang Arau; gedung Balai Kota lama yang dirancang oleh arsitek Belanda, Thomas Karsten (1936), Masjid Muhammadan, Mesjid Ganting yang masih mempertahankan keramik salinya. Contoh lainnya di kota tua tambang Ombilin-Sawahlunto, sangat banyak mewarisi bangunan tua yang terbuat dari semen, dan kemungkinan besar produksi semen Padang. Ada “goedang ransoem”, penjara, silo, rumah sakit, masjid, bangker tua di bawah masjid, gereja, sekolah, jembatan, terowongan rel, dan stasiun tua, dan masih banyak lagi. P.T. Semen Padang yang sudah berusia 110 tahun ini kiranya dapat secara konkrit mendata bangunan tua yang monumental yang menggunakan semen Padang. Hal ini perlu pengkajian ulang dengan serius dan mendalam, untuk itu pula perlu kerja sama P.T. Semen Padang dengan instansi terkait. Upaya ini akan melegitimasi kinerja dan kualitas semen Padang agar dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan semen besar lainnya, sebagaimana dunia mengenal kinerja Lafarge untuk Terusan Suez. Semoga sukses!

Ferawati (Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat, Dirjenbud, Kemdikbud)

Workshop Penyusunan KAK, Program dan Anggaran Tahun 2021 BPNB Sumbar DARI PELESTARIAN KE PEMAJUAN KEBUDAYAAN

0

Oleh: Ferawati, SS

Kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun 2020 ini menyelenggarakan lokakarya, salah-satunya Workshop Penyusunan KAK (Kerangka Acuan Kerja), Program dan Anggaran Tahun 2021. Kegiatan yang memfasilitasi tiga kali Kegiatan dalam tahun yang sama. Kegiatan pertama dilangsungkan pada Senin, 9 Maret 2020 di Whiz Prime Hotel, Jl. Khatib Sulaiman, Padang, dari pukul 08.00 hingga 16.00 Wib. Tema kali ini membahas Program dan Anggaran Tahun 2021 yang telah dirancang tahun 2020 ini.
Narasumber yang kompeten di bidang ini ada tiga orang, yang didatangkan dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Salah satunya, yang didapuk sebagai pembuka wawasan karyawan / i BPNB Sumatera Barat di bidang ini, disampaikan oleh Aulia Rahim, SE, MPPM Dia mengingatkan bahwa “setiap anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) informasi kinerja yang disetujui dalam Sistem Kinerja Pegawai (SKP). Gaji pokok dan tunjangan yang dinaikkan oleh negara kepada ASN juga melalui pertimbangan efisiensi, karena hal ini terkait dengan kenaikan / deflasi dengan naik-turunnya harga barang di pasaran ”. Kepala Seksi Pembinaan Pelaksanaan Anggaran IA, Kanwil DJPB Sumbar yang pernah mengajar di Sekolah Tinggi Administrasi Negara (STAN) ini lebih banyak memaparkan cara kerja lembaga keuangan pemerintah yang berbasis kompetensi dan sistem aplikasi berani. Tujuannya untuk mendukung daya serap anggaran dan meningkatkan put-nya. Dia mengkritisi dan memberi solusi terhadap daya serap kantor BPNB Sumbar agar grafik program ini tidak lagi datar atau stabil untuk program tertentu, namun harus terus naik dari bulan ke bulan. Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh dua narasumber lainnya dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Kota Padang, yang menitikberatkan pada teknis pertanggungjawaban anggaran yang dibelanjakan oleh negara melalui masing-masing unit pelaksana teknis, seperti BPNB Sumbar ini. Tujuannya untuk mendukung daya serap anggaran dan meningkatkan put-nya. Dia mengkritisi dan memberi solusi terhadap daya serap kantor BPNB Sumbar agar grafik program ini tidak lagi datar atau stabil untuk program tertentu, namun harus terus naik dari bulan ke bulan. Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh dua narasumber lainnya dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Kota Padang, yang menitikberatkan pada teknis pertanggungjawaban anggaran yang dibelanjakan oleh negara melalui masing-masing unit pelaksana teknis, seperti BPNB Sumbar ini. Tujuannya untuk mendukung daya serap anggaran dan meningkatkan put-nya. Dia mengkritisi dan memberi solusi terhadap daya serap kantor BPNB Sumbar agar grafik program ini tidak lagi datar atau stabil untuk program tertentu, namun harus terus naik dari bulan ke bulan. Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh dua narasumber lainnya dari Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Kota Padang, yang menitikberatkan pada teknis pertanggungjawaban anggaran yang dibelanjakan oleh negara melalui masing-masing unit pelaksana teknis, seperti BPNB Sumbar ini.
Bagian ketiga berlangsung siang hari, diisi oleh kantor BPNB Sumbar, dalam hal ini disampaikan oleh Titit Lestari, S.Si. MP, selaku Kasubag TU. Dalam kesempatan ini, Kasubag TU yang baru kembali dari rapat koordinasi di Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Dirjenbud, Kemdikbud), menyampaikan pesan dari Direktur Jenderal, Hilmar Farid, Ph.D. Pesan pertama, Dirjenbud, Kemdikbud RI pada tahun 2021 mendatang memfokuskan tugas utama dan fungsi (Tupoksi) hingga ke masing-masing unit pelaksana teknis (UPT) untuk menggeser paradigma dari fungsi pelestarian hingga fungsi pemajuan perjanjian. Hal ini berlaku pada Undang-undang No. 05 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Pesan ini tidak mengutip keberadaan perubahan nama pertemuan di tingkat UPT. Namun pesan tersiratnya adalah agar masing-masing UPT dan lembaga pemerintah daerah lebih mengutamakan upaya-upaya Pemulihan Kebudayaan dengan menggenjot dukungan dan ketertarikan generasi milineal pada budaya lokal dan bagi para pemangku kepentingan budaya yang sudah tua-tua. Sistim berani menjadi alternatifnya. Hal ini untuk mencegah khasanah budaya dari tautan yang hilang atau kepunahan.
Pesan kedua, dihitung program yang sifatnya buttom up (dari perwakilan di daerah-daerah) yang sudah muncul selama ini dianggap sudah berhasil. Beberapa program yang dimunculkan oleh UPT seperti oleh BPNB Sumatera Barat telah digunakan dan dikembangkan oleh lembaga lain, bahkan diadopsi oleh pemerintah daerah, seperti Jejak Tradisi Daerah (Jetrada) dan Lawatan Sejarah Daerah (Laseda).
Program itu sudah bulat sekitar puluhan tahun. Sudah selama itu pula kantor ini tidak disetujui ide-ide kreatif baru. Program baru diharapkan untuk mengakselerasi transformasi budaya menuju generasi muda melalui kegiatan yang meningkatkan Pemajuan Kebudayaan. Terkait dengan hal itu, peserta workshop ini dituntut untuk memunculkan ide-ide kreatifnya melalui rembuk masing-masing Kelompok Kerja (Pokja) agar disampaikan ke kantor BPNB Sumbar, dan kemudian dikoordinasikan ke tingkat Dirjenbud, Kemdikbud.
Kegiatan workshop ini dihadiri oleh tiga puluh sembilan peserta, yang dibuka langsung oleh Kepala BPNB Sumbar dan ditutup oleh Kasubag TU. Kegiatan lokakarya sesi kedua dan ketiga akan dilangsungkan pada pertengahan dan akhir tahun 2020.
(Ferawati, SS, Pamong Budaya Muda)

UJI PETIK BEBAN KERJA JABATAN FUNGSIONAL PAMONG BUDAYA DI BPNB SUMATERA BARAT

0

Oleh: Sefiani Rozalina

Pada hari Kamis tanggal 20 Februari 2020, Bagian Tata Laksana Sekretariat Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melaksanakan Uji Petik Beban Kerja Jabatan Fungsional Pamong Budaya di Ruang Rapat Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat.  Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat, Museum Nagari Adityawarman, dan Taman Budaya Provinsi Sumatera Barat. Kegiatan ini dibuka oleh Titit Lestari selaku Kasubbag Tata Usaha BPNB Sumatera Barat didampingi oleh Muasri, Kepala Taman Budaya Provinsi Sumatera Barat dan Efin Jelmia Putra, dari Bagian Tata Laksana Laksana Sekretariat Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Diawal kegiatan, Titit Lestari mengucapkan terima kasih kepada Bagian Tata Laksana Sekretariat Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan karena telah memilih BPNB Sumatera Barat untuk melakukan kegiatan ini. Uji petik beban kerja jabatan pamong budaya ini baru pertama kali diadakan di Sumatera Barat. Beliau berharap kegiatan uji petik ini dapat memberikan gambaran khususnya untuk Provinsi Sumatera Barat tentang keberadaan pamong budaya ini seperti apa dan begitu juga dengan kebutuhan pamong budayanya.

Dalam pertemuan ini, Efin Jelmia Putra menjelaskan bahwa untuk pelaksanaan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara tentang Jabatan Fungsional Pamong Budaya dan angka areditnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Instansi Pembina bertugas untuk menyusun Pedoman Formasi Jabatan Fungsional Pamong Budaya. Setelah dikaji oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan dan Biro Sumber Daya Manusia Kementrian Pendidikan  dan Kebudayaan, perlu dilakukan perubahan pada peraturan tersebut terkait dengan perubahan perubahan nomenklatur yang ada seperti Undang-Undang Perfilman, Undang-Undang Cagar Budaya, Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan dan perubahan nomenklatur Purbakala Menjadi Cagar Budaya. Hal ini juga didasari oleh meningkatnya kebutuhan beban pekerjaan pembinaan bidang kebudayaan. Sebelumnya, para tamu undangan sudah diberikan beberapa form terkait dengan pamong budaya bidang nilai budaya, kesenian, cagar budaya dan sejarah. Didalam fom ini, para undangan bisa mengisi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada sesuai dengan kondisi yang mereka alami di bidang dan tempat mereka bekerja. Form yang telah diisi diharapkan dapat menjadi masukan dan referensi bagi pemerintah pusat untuk perubahan nomenklatur tersebut. Kegiatan ini juga diharapkan bisa memetakan tugas-tugas pamong budaya di Sumatera Barat sehingga Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan bisa segera terlaksana di Provinsi Sumatera Barat.

DISKUSI PETUNJUK TEKNIS KEGIATAN BPNB SUMATERA BARAT TAHUN 2020

0

Oleh: Sefiani Rozalina

foto : Erric Syah dan Sefiani Rozalina
foto : Erric Syah dan Sefiani Rozalina

Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat melaksanakan Diskusi Kegiatan Non Kajian Tahun 2020, bertempat di ruang sidang BPNB Sumatera Barat. Kegiatan ini berlangsung selama 3 hari mulai dari tanggal 17 sampai 19 Februari 2020. Diskusi ini bertujuan untuk mensosialisasikan Petunjuk Teknis Kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahun ini serta menerima masukan dari seluruh pegawai BPNB Sumatera Barat tentang bentuk dan format kegiatan yang baik. Di tahun 2020, BPNB Sumatera Barat akan melaksanakan beberapa kegiatan, baik kegiatan yang tergolong baru maupun kegiatan rutin. Beberapa kegiatan baru seperti Kemah Budaya Kaum Muda, Lomba Foto Budaya, Dialog Tata Kelola Pemajuan Kebudayaan, Workshop Penguatan Karakter Bangsa dan BPNB Menyapa Nagari.  Kegiatan-kegiatan ini diharapkan dapat menjangkau daerah-daerah yang terjauh dan terpencil serta daerah-daerah yang belum pernah disentuh oleh BPNB Sumatera Barat.

Beberapa kegiatan yang bersifat annual atau rutin dilaksanakan seperti Pengkajian Pelestarian Nilai Budaya, Penginventarisasian dan Pencatatan Karya Budaya, Bedah Proposal Kajian, Seminar Hasil Kajian, Pameran Hasil Kajian dan Inventarisasi, Bioskop Keliling, Perekaman Peristiwa Sejarah dan Budaya, Jejak Tradisi Daerah dan Lawatan Sejarah Daerah. Untuk kegiatan Pengkajian Pelestarian Nilai Budaya,  pesebarannya terdiri dari  4 Kajian di Provinsi Sumatera Barat, 3 Kajian di Provinsi Bengkulu dan 3 Kajian di Provinsi Sumatera Selatan. Kegiatan kajian ini akan dilaksanakan oleh Fungsional Peneliti BPNB Sumatera Barat. Kegiatan Penginventarisasian dan Pencatatan Karya Budaya juga akan dilaksanakan di 3 wilayah kerja BPNB Sumatera Barat yang akan dilaksanakan oleh Fungsional Pamong Budaya dan Pengolah Data Budaya.

Selain Kajian dan Inventarisasi, BPNB Sumatera Barat tahun ini juga akan melaksanakan beberapa kegiatan rutin lainnya. Kegiatan Pameran, Bioskop keliling dan Perekaman Peristiwa Sejarah dan Budaya dirancang untuk bersinergi dengan Pemerintah Daerah atau stakeholder bidang kebudayaan. Jejak Tradisi Daerah (Jetrada), tahun ini akan dilaksanakan di Provinsi Bengkulu sedangkan Lawatan Sejarah Daerah (Laseda) akan digelar di Provinsi Sumatera Selatan. Kegiatan lain yang akan digelar oleh BPNB Sumatera Barat adalah Lomba Foto Budaya. Kegiatan ini terbuka untuk masyarakat umum dan pelajar setingkat SLTA yang akan dilaksanakan di Provinsi Sumatera Barat.

Beberapa usulan yang disepakati, diantaranya untuk beberapa kegiatan besar seperti Lomba Foto Budaya, Kemah Kaum Muda, Jejak Tradisi Daerah dan Lawatan Sejarah Daerah, sistem penjaringan peserta akan dibuka dengan cara open call. Kemudian untuk pelaksanaan seluruh kegiatan, harus merujuk kepada SOP dan petunjuk teknis yang telah disepakati.

Disamping membahas kegiatan-kegiatan BPNB Sumatera Barat tahun 2020, diskusi ini juga membahas tentang penerbitan Jurnal Suluah, Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya BPNB Sumatera Barat, Bunga Rampai, publikasi, pencetakan booklet, pencetakan leaflet dan kalender. Harapannya dengan terlaksananya kegiatan ini akan dapat mencapai hasil kerja kantor Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat dengan baik, dan dapat mendukung pemajuan kebudayaan kedepannya. (lina)