Beranda blog Halaman 16

Mahakarya Silek Minangkabau

0

Sejak dahulu, adat Minangkabau menjadikan silek merupakan warisan dari ninik mamak kepada anak kemenakan dalam kaumnya. Hal ini berkaitan dengan persoalan bahwa di dalam tatanan adat Minangkabau sangat rentan terjadi perkelahian baik dalam soal perebutan waris pusaka, maupun tapal batas antar nagari, sehingga penghulu  pucuk pimpinan adat, para datuk  dan ninik mamak  Minangkabau pada umumnya menguasai silek  sebagai tradisi yang senantiasa dilestarikan untuk keberlangsungan kehidupan mereka.

Silek juga merupakan pengetahuan dan keterampilan yang menjadi kekayaan lahir dan batin dalam berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam lingkungan. Ajaran silek meliputi silik dan suluk. Silek adalah ilmu mempelajari/ mengenal diri lahiriah, silik adalah Ilmu mempelajari/mengenal diri batiniah, dan suluk adalah Ilmu mempelajari/mengenal diri lahir batin.

Baca: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/menggairahkan-kembali-silek-tradisi-solok-selatan/

Silek Minangkabau terepresentasi dalam dua wujud, yang merupakan dua sisi mata uang, yaitu silek duduak ‘silat duduk’ dan silek tagak ‘silat berdiri’. Silek duduak disebut juga silek kato atau silat lidah.  Dalam silek kato, sebagaimana dalam tradisi pasambahan, seseorang dituntut untuk arif dan bijaksana. Silek tagak disebut juga silek fisik, yakni keterampilan membela diri (harga diri, kehormatan, kebenaran dan keadilan) atau menjalankan amanah untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kejahatan.

Beberapa prinsip dalam Silek Minangkabau dinyatakan dalam ungkapan-ungkapan filosofis sebagai seperti musuah indak dicari, batamu pantang diilakkan  (musuh tidak dicari, bertemu pantang dielakkan), rumah gadang indak bapintu, mancik saikue bapantang lalu (rumah gadang tidak berpintu, tikus seekor berpantang lalu-tidak bisa masuk), garak garik pandang kutiko, dimintak baru dibari, sia mulai sia kanai (gerak (batin) gerik (gerak fisik), pandang ketika, siapa memulai dialah yang dikenai), mengutamakan elakan dari pada serangan, bagantuang ka tali nan indak kaputuih, bapagang ka raso nan indak kahilang, jago tali jan putuih, awasi raso jan ilang, basiang sabalun tumbuah, malantai sabalun luluih, lahie silek mancari kawan, batin silek mancari Tuhan, (bergantuk ke tali yang tidak akan putus, berpegang kepada perasaan yang tidak akan hilang, jaga tali jangan putus, awasi rasa agar jangan hilang, menyiang sebelum tumbuh, melantai sebelum lulus/ terjerumus, lahirnya silat mencari kawan, batinnya silat mencari Tuhan), digantuang tinggi dibuang jauh, mambunuah maiduik i, mahampang malapehkan (digantung tinggi dibuang jauh, membunuh menghidupi, menghambat melepaskan),  lawan tajilapak, indak dihadoki jo balabek, tapi dijambauan tangan mambao tagak (lawan terjerembab, jangan dihadapi dengan kuda-kuda serangan susulan, tapi ulurkan tangan membawa tegak), dan dima bumi dipijak disitu langik dijunjuang, dima rantiang dipatah disitu sumua digali (dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimana ranting dipatah disitu sumur digali).

Berkenaan dengan fungsi silek yakni sebagai pakaian diri bagi pelakunya, parik paga dalam nagari, jihad (bela Negara dan agama), amar makruf nahi mungkar, dan resolusi konflik. Oleh sebab itu semuanya menjadi silek sebagai mahakarya dalam khasanah adat dan budaya Minangkabau. Sehingga, kedepannya silek tersebut dapat kita lestarikan dan merupakan bagian yang berurat berakar dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. [Penulis: Undri, Peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat].

Artikel ini telah terbit di Harian Umum Singgalang pada 9 September 2018

Belajar Memilah dan Memperluas Wawasan dari Indang

0
Anak-anak TK Bundo Kanduang

Pelajaran untuk memilah mana yang baik dan mana yang buruk sesungguhnya telah ada dalam kebudayaan kita. Hal itu bisa kita lihat dalam berbagai ungkapan serta kesenian yang sering ditampilkan dalam berbagai perayaan. Namun, menjadi ironi kemudian ketika kita menghadapkan nilai filosofis tersebut dengan merebaknya berita bohong atau hoaks. Pertanyaannya adalah apa yang salah dengan tampilan ungkapan dan kesenian yang mempunyai nilai filosofis tersebut?. Untuk itu, kita bisa belajar dari indang.

Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan indang ditampilkan dalam berbagai perhelatan seperti baralek/pesta perkawinan, batagak penghulu dan berbagai acara seremonial seperti penyambutan tamu-tamu besar atau pejabat. Kepopuleran kesenian ini juga telah mendorong semua kalangan untuk tidak hanya menyaksikan tapi juga memainkan. Bahkan, indang sudah dimainkan oleh kalangan anak-anak hingga orang tua. Kita yang menyaksikan juga sering tertarik dan mengagumi keindahan kesenian tersebut.

Bagi masyarakat awam, menyaksikan indang mungkin hanya dimaknai sebagai hiburan semata. Tentu tidak sepenuhnya salah, mengingat indang yang berkembang sekarang lebih ditampilkan sebagai hiburan dan disajikan dengan iringan instrumen yang menarik. Tapi, acapkali kondisi ini mengakibatkan kaburnya nilai yang terkandung dalam indang atau bahkan tidak tersampaikan sama sekali. Padahal jika kita mempelajari lebih mendalam, indang merupakan kesenian tradisional yang sarat pengetahuan dan masih relevan untuk dijadikan dalam ragam pembelajaran masa kini.

Baca juga: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/belajar-gotong-royong-dari-tradisi-batobo/

Indang bagi masyarakat Minangkabau merupakan permainan anak nagari. Maryetti (2010) dalam bukunya menjelaskan bahwa indang adalah pertunjukan sastra lisan Minangkabau dalam bentuk dendangan dengan instrumen pengiring rapa’i. Secara asal bahasa indang berasal dari kata ‘ma-indang’ (maindang beras dengan nyiru untuk menyisihkan beras dengan atah). Seperti diungkapkan dalam mamangan, ‘diindang ditampi tareh, dipiliah atah ciek-ciek” (ditampi beras, untuk memilih atah satu demi satu). Secara filosofis, arti dari indang itu adalah memisahkan hal-hal yang sah dengan yang batal, yang halal dengan yang haram, yang benar dan yang salah.

Sementara menurut Suryadi (dalam Amir 2006:100), Indang adalah bersilat lidah: tanya jawab, saling menjelekkan, menyindir, mencemooh, mengukur kemampuan lawan mengenai suatu bidang pengetahuan yang disampaikan dalam teks lirik yang didendangkan dengan bahasa yang sangat konotatif, penuh kiasan dan ibarat khas Minangkabau. Kedua definisi ini menjelaskan kepada kita bahwa untuk memisahkan hal-hal yang sah dengan yang batal dilakukan dengan silat lidah, menjelekkan, menyindir dan mengukur kemampuan lawan.

Pada masa lampau, indang hanya digunakan sebagai media dakwah atau media penyampaian syiar Islam. Sekarang indang mulai dikembangkan tidak saja sebagai media dakwah tapi juga hiburan bagi masyarakat luas (Maryetti 2010:4). Kesenian inipun dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tampilannya lebih menarik. Tempat pelaksanaannya juga berubah, yang awalnya ditampilkan di surau-surau, tapi sekrang sudah di laga-laga. Ini juga ditampilkan dalam berbagai perayaan alek nagari seperti penyambutan tamu, batagak pangulu, dan acara-acara hiburan lainnya.

Dalam pelaksanaannya, indang melibatkan beberapa unsur yakni tukang dikia, anak indang dan tuo indang. Masing-masing memiliki peran dan tugas yang berbeda. Tukang dikia misalnya bertugas menyampaikan dendang atau syair-syair. Anak indang mempunyai tugas-tugas memimpin dan memberi komando tentang gerak dan penutup gerak (tukang aliah), menyusun bait dan meningkah permainan rapai (tukang apik), mengulangi baris tertentu dalam pantun (tukang pangga), meramaikan bunyi baik vokal maupun instrumen (bungo salapan) serta pengikut (tukang kalang). Tuo indang bertugas menjaga keselamatan seluruh personil lahir maupun batin.

Umumnya jumlah pemain indang terdiri dari 9 hingga 15 orang. Jumlah tersebut di bagi dalam pembagian tugas sesuai dengan keahlian masing-masing. Satu orang diantaranya bertugas sebagai pendendang, satu orang yang mengatur gerak, dua orang sebagai penulis teks dan bait-bait pantun, dua orang memperindah vokal dan instrumen serta sisanya bertugas meramaikan. Sementara itu ada satu tuo indang yang bertanggung jawab pada keselamatan seluruh tim.

Poin penting yang hendak disampaikan dalam tulisan ini adalah berkaitan dengan cara dan tujuannya. Disini kita telah diajarkan untuk dapat memilah antara yang benar dan salah. Jika merunut pada definisi Maryetti dan Suryadi maka cara yang digunakan adalah melalui silat lidah, menjelekkan, menyindir, mencemooh, dan mengukur kemampuan lawan. Silat lidah tidak selalu dipandang negatif mengingat dapat menjadi cara efektif mengklarifikasi kesahihan dan kebenaran informasi. Tentu dilakukan dengan bahasa konotasi yang tidak menyinggung secara langsung lawan main.

Pelajaran penting lainnya adalah bahwa menyajikan sejumlah fakta dan data menjadi keharusan untuk memastikan kemenangan argumen. Mengungkap kebenaran tidak bisa dilakukan hanya dengan cuap-cuap atau omong kosong belaka. Seseorang yang terlibat di dalamnya terlebih dahulu harus mempersiapkan diri dengan segala informasi, fakta dan data yang akan memperkuat argumennya. Sehingga seseorang tidak lagi berkelit atas pendapatnya. Pada intinya, seseorang harus berwawasan luas, punya referensi dan sarat pengalaman.

Selanjutnya bagaimana kita menghubungkannya dengan kondisi masa kini? Kondisi saat ini menunjukkan perkembangan teknologi informasi yang pesat. Perkembangan tersebut telah mendorong akses informasi yang semakin mudah bagi semua orang. Hal ini seharusnya dapat bernilai positif karena mudahnya seseorang mencari referensi dalam belajar dan menambah wawasan. Namun disaat yang sama keterbukaan informasi yang tidak terbatas menjadi tantangan sendiri bagi masyarakat kita. Keterbukaan informasi malah telah mendorong masyarakat lebih mudah menyebar informasi bohong (hoaks), fitnah tanpa memilah mana yang baik dan buruk atau benar dan salah.

Memahami fungsi filosofis indang tentu dapat dipahami sebagai penyaringan informasi. Penyaringan informasi dengan mengklarifikasi satu informasi dengan informasi lain. Menghadapkan antara argumen dengan argumen yang lain. Selain itu, kecakapan dalam meyampaikan buah pikiran secara cepat dan tepat sangat dituntut di dalam keterbukaan sekarang. Seseorang dituntut harus membekali dirinya dengan berbagai macam ilmu, juga dengan pengalaman yang luas. Jika seseorang tidak memiliki dua kecakapan ini, bisa dipastikan akan menjadi korban dan pelaku berita bohong. Bisa dipastikan, ketika hal ini tidak dilakukan maka akibatnya akan semakin buruk.

Pelajaran ini sesungguhnya sangat relevan ketika dihadapkan pada kondisi persebaran berita hoaks belakangan ini. Tentu saja, tidak harus mengembalikan kesenian indang pada bentuk lamanya agar dapat mempelajari nilai-nilainya. Mungkin melalui setiap pertunjukan indang, para pelaku bisa menjelaskan makna filosofis yang terkandung di dalamnya. Setidaknya itu dapat mengingatkan masyarakat untuk senantiasa menyaring informasi dan memperluas wawasan.

Artikel ini telah tebit di Harian Singgalang.

Menggairahkan Kembali Silek di Solok Selatan

0

Kondisi silek tradisi akhir-akhir ini sudah semakin memprihatinkan. Untuk itu perlu digairahkan kembali, tidak saja untuk lebih dikenal tapi juga diajarkan kepada generasi muda. Hal ini penting mengingat silek tradisi sarat nilai yang masih relevan dalam pembangunan karakter. Seperti silek tradisi di Kabupaten Solok Selatan.

Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat baru-baru ini mengadakan pendataan silek tradisi di Kabupaten Solok Selatan. Dari hasil pendataan tersebut terdapat sekitar 12 aliran silek tradisi yang masih eksis dan puluhan sasaran sebagai wadah pengembangan silek. Kedua belas aliran tersebut yakni silek pedang abai, silek pangian, silek taralak, silek colau, silek katiani, silek luncu, silek koto anau, silek kumango, silek tuo lubuk gadang yang juga dikenal silek langkah ampek, silek paninjauan atau junjung sirih, silek harimau (termasuk silek kucing putiah), silek tuo sungai pagu.

Silek tradisi tersebut mempunyai pertemuan rutin dan melibatkan semua aliran. Pada tiap pertemuan, para anak sasian menampilkan silek yang diperolehnya dari sasaran dimana mereka belajar. Uniknya, pertemuan rutin tersebut setiap aliran menampilkan masing-masing gerakan tanpa ada rasa bersaing antar aliran atau antar sasaran. Semua menampilkan geraknya hanya untuk menunjukkan sekaligus belajar menghargai perbedaan masing-masing. Tidak ada persaingan maupun konflik antar aliran, juga tidak ada adu kekuatan diantara mereka.

Hal ini bisa dikatakan sebagai praktek yang jauh lebih maju karena pada masa lampau silek tradisi identik dengan persaingan dan saling unjuk kekuatan. Pada masa lalu, silek memang tidak lepas dari upaya membela diri dari berbagai macam ancaman seperti perang suku, kehidupan alam liar dan berbagai hal lain. Sehingga penguasaan silek pada masa lalu tidak lebih sebagai pertahanan diri maupun sebagai paga parik nagari Lama kelamaan gengsi antar aliran juga timbul seiring berkembangnya aliran silek. Sehingga sering timbul persaingan antar aliran untuk memastikan siapa yang lebih kuat.

Baca juga: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/silek-pusako-nagari-abai/

Munculnya pahimpunan tuo silek tradisi Minangkabau ditengarai sebagai tunas awal munculnya pemikiran baru mengenai silek tradisi. Memang, melalui aktivitas yang ditunjukkan pahimpunan, aliran-aliran silek tidak lagi unjuk kekuatan ketika bertemu satu sama lain. Pahimpunan malah mencoba menyatukan sileksilek tradisi dalam satu wadah silaturahmi yang satu sama lain dapat saling melengkapi. Selain itu, pahimpunan juga bermaksud untuk menggaungkan silek tradisi sebagai warisan budaya yang dikenal hingga ke manca negara.

Pahimpunan lalu mengubah mindset bersaing menjadi bersilaturahmi. Ajang silaturahmi ini diimplementasikan dengan mengadakan pertemuan secara berkala. Kadang kala mereka memanfaatkan pertemuan tersebut hanya sebagai pertemuan membahas perkembangan silek tradisi. Mereka juga  mengadakan festival silek yang menampilkan seluruh anak sasian yang ada pada sasaran yang tergabung dalam pahimpunan. Hingga akhir-akhir ini, setiap festival bisa melibatkan 400 orang anak sasian.

Ide dan inisiatif melahirkan perhimpunan secara langsung maupun tidak telah mendorong gairah silek di Kabupaten Solok Selatan. Sebagaimana pengakuan pak Sakirman, seorang tuo silek di Solok Selatan menyatakan bahwa adanya perhimpunan telah mendorong semakin banyaknya anak-anak yang ingin belajar silek. Rata-rata sasaran-sasaran silek yang sebelumnya telah lama vakum kemudian diaktifkan kembali. Adanya pahimpunan setidaknya telah membuka wadah untuk menampilkan silek tersebut. Beberapa dari aliran tersebut juga sudah merasakan tampil di berbagai perhelatan baik di dalam maupun di luar daerah.

Pentingnya belajar silek tidak melulu berkaitan dengan gerak atau bela diri. Hal yang paling penting dalam silek adalah kontrol perilaku dalam masyarakat. Dalam adab silek dikenal balahia babatin. Secara luas istilah tersebut mencoba membina hubungan baik antar sesama manusia dan Tuhannya. Sehingga dalam silek dikenal norma-norma dan aturan yang tidak saja diterapkan di lingkungan sasaran tapi terutama di lingkungan masyarakat. Aturan silek yang paling utama adalah menambah teman dan tidak mencari lawan. Intinya, menguasai ilmu silek juga harus menjaga diri untuk tidak pongah, sabar dan  harus menahan diri. Menguasai ilmu silek harus tetap menjaga silaturahmi antar sesama.

Kembali mekarnya berbagai aliran dan sasaran silek tradisi di Solok Selatan menjadi kabar baik dalam pembangunan karakter generasi muda kini. Melalui belajar setidaknya telah dapat menyerap ilmu kemasyarakatan yang diajarkan di sasaran-sasaran. Hal ini juga kemudian diterapkan bagaimana bersosialisasi dan berkomunikasi di lingkungan masyarakat. Lebih dari itu, ajaran silek telah menerapkan bagaimana seharusnya bersikap kepada guru dan menghormati gurunya. Nilai-nilai ini menjadi sangat relevan dan urgen dalam kondisi masyarakat kini yang telah banyak dipengaruhi budaya luar.

Namun demikian, tantangan untuk menjaga eksistensi silek tradisi tersebut tidaklah mudah. Berbagai kendala dihadapi seperti: pertama,  kurangnya dana operasional. Dana operasional memang sangat dibutuhkan oleh sasaran. Contoh kecil penggunaan dana ini adalah untuk memenuhi minum para anak sasian ketika latihan. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk menghadiri undangan-undangan tampil ke luar daerah. Persoalan ini semakin sulit karena para tuo silek maupun tuo laman hanya berprofesi sebagai petani yang tidak cukup kuat membiayai operasional tersebut.

Kedua,  kurangnya minat anak muda. Munculnya beragam seni beladiri dari luar telah negeri sedikit banyak telah mengubah persepsi anak muda terhadap silek tradisi. Anak muda sekrang lebih memilih karate, kungfu dan seni beladiri lain untuk dipelajari dari pada silek tradisi. Menurut masyarakat Solok Selatan, salah satu kelemahan silek tradisi dalam menghadapi kehadiran seni beladiri tersebut adalah bahwa silek tradisi tidak bisa dipertandingkan. Silek tradisi dengan berbagai isi di dalamnya tidak relevan untuk dipertandingkan.

Ketiga, kurangnya wadah sebagai penyaluran bakat hasil belajar. Pahimpunan tuo silek memang telah memulai langkah baru dalam menjaga keberadaan silek tradisi. Berbagai pertemuan dan perhelatan acara juga telah dibuat untuk menyalurkan ketrampilan para anak sasian. Namun, acara yang dihelat oleh perhimpunan saja tidaklah cukup. Perlu banyak festival dan even-even seperti even pariwisata dan budaya untuk mewadahi keterampilan para anak sasian. Sehingga melalui even-even tersebut, anak muda lebih tertarik untuk mempelajari kembali silek tradisi.

Keempat,  eksistensi tuo silek yang semakin hari semakin berkurang, masih tertutupnya para tuo silek dalam mengajarkan ilmu silek serta penerusnya yang semakin berkurang menambah daftar tantangan pelestarian silek di masa mendatang.

Beberapa tantangan di atas tentu saja hanyalah sebagian dari banyak kendala yang dihadapi silek tradisi dalam menjaga eksistensinya. Namun, beberapa tantangan tersebut dapat menjadi celah kecil untuk menawarkan peluang dan dukungan sehingga dapat lebih menggairahkan kembali silek tradisi. Langkah awal yang telah dibangun oleh pahimpunan perlu disokong lebih aktif untuk mendorong silek tradisi Minangkabau menjadi lebih dikenal.

Oleh: Firdaus Marbun

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Umum Singgalang pada 19 Agustus 2018

Belajar Gotong Royong dari Tradisi Batobo

0

Oleh: Firdaus Marbun

Menggali nilai gotong-royong dalam kebudayaan kita tentu bukanlah hal sulit. Walau perilaku gotong-royong sesungguhnya semakin hari semakin terkikis karena gempuran globalisasi, tapi hal itu masih bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Batobo dalam masyarakat Sijunjung bisa menjadi salah satu contoh implementasi nilai kegotong-royongan dalam kehidupan sehari-hari.

Di masyarakat Sijunjung dikenal dengan istilah Batobo. Berkumpul bersama, mencari solusi atas masalah secara bersama, mengeksekusi pekerjaan secara bersama serta menikmati hasil secara bersama-sama. Begitulah hakekat yang diimplementasikan dalam batobo. Sebagai daerah yang sumber penghasilan mereka sebagai petani, tradisi ini digunakan untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan pertanian seperti manaruko, bersawah, berladang, mendirikan rumah, bahkan simpan pinjam.

Uniknya, walau tradisi ini sudah ada sejak zaman dahulu bahkan mungkin sejak masyarakat mereka mengenal pekerjaan berladang tapi hingga kini masih tetap dijalankan. Malah, laporan penelitian Silvia Devi (2014) masih terdapat 18 tobo Konsi yang beranggotakan dari 30 orang sampai 86 orang. Jumlah yang cukup signifikan untuk ukuran desa/nagari.

Batobo Konsi sesungguhnya adalah wadah berkumpulnya masyarakat Sijunjung khususnya nagari Koto Padang Ranah dan Tanah Bato untuk meringankan berbagai pekerjaan dan membahas aspek-aspek sosial kemasyarakatan. Dalam pelaksanaannya batobo mempunyai struktur kepengurusan yang terdiri dari penasehat, ninik mamak, ketua, tuo tobo, juru tulih, bendahara, anggota dan pembuat jadwal atau giliran. Anggota dibagi berdasarkan usia dan keterampilan serta anggota pemula dan penghubung.

Untuk pengambilan-pengambilan keputusan penting semua peserta mengadakan rapat yang dilaksanakan secara rutin. Materi rapat biasanya membahas segala hal yang berkaitan dengan tobo. Mulai dari aturan yang berlaku, keanggotaan, hak dan kewajiban anggota, larangan serta sanksi-sanksi. Selain itu rapat juga menentukan jenis pekerjaan, pembagian pekerjaan dan menentukan jadwal pekerjaan. Lebih jauh rapat batobo membahas terkait batas-batas wilayah dalam pertanian serta mengajarkan sopan santun kepada anggotanya atau cara-cara bergaul. Artinya batobo oleh masyarakat Sijunjung difungsikan tidak hanya sebagai ikatan tolong menolong tapi juga sebagai tempat bersosialisasi.

Beberapa praktek tobo konsi pada masyarakat Sijunjung dilakukan dalam berbagai pekerjaan. Misalnya dalam mengerjakan lahan pertanian. Umumnya pekerjaan di ladang dilakukan secara bergilir ke ladang semua anggota tergantung urgensinya. Giliran ini diatur oleh tukang panyilih, apa bentuk pekerjaannya,  kapan harus mengerjakan dan siapa saja yang harus mengerjakannya. Setelah disepakati lalu secara bersama-sama akan mengerjakannya. Ada kalanya seseorang tidak bisa terlibat karena ada urusan mendesak. Jika terjadi demikian, biasanya dia akan menggantinya dengan uang. Besaran uang yang dibayarkan ditentukan sesuai kesepakatan tobo, namun umumnya yang berlaku adalah upah sehari tenaga kerja di ladang. Aturan yang sama juga dilakukan dengan jenis pekerjaan yang berbeda seperti meramu pekayuan, manaruko, bersawah dan lain-lain. Malah, kadang kala ketika tidak ada pekerjaan yang mendesak di anggota tobo, maka tobo sering mengambil borongan pekerjaan. Hasil dari pekerjaan ini nantinya akan dinikmati bersama.

Baca juga: Strategi Pemajuan Kebudayaan

Tidak hanya saling membantu dalam hal tenaga, tapi juga modal usaha dan kebutuhan lain yang mendesak tentang uang. Batobo mempunyai konsep koperasi untuk membantu anggota ketika menghadapi kondisi-kondisi genting dan membutuhkan uang. Misalnya ketika mengalami sakit tapi sedang tidak punya cukup uang untuk berobat. Batobo mempunyai kas yang mana dikelola seperti halnya koperasi. Ya, anggota batobo berkewajiban menyerahkan iuran pokok dan iuran sukarela atau iuran rapek. Iuran pokok mereka hitung berdasarkan harga daging. Memang iuran ini dimaksudkan sebagai tabungan untuk memenuhi kebutuhan daging pada hari lebaran. Sehingga ini juga yang mendorong para anggota tobo untuk melunasi iuran dan utang (kalau ada) sebelum lebaran tiba. Iuran inilah yang dikelola untuk keperluan-keperluan mendesak anggota sebelum lebaran tiba.

Untuk memastikan setiap aturan ditaati oleh anggota, maka tobo mempunyai sanksi untuk setiap pelanggaran yang terjadi. Sanksi ini diberlakukan sesuai dengan berat kecilnya pelanggaran. Mulai dari meminta maaf, denda, hingga mengeluarkan dari keanggotaan. Aturan ini berlaku kepada semua yang terlibat dalam tobo. Sanksi inilah yang kemudian bisa mengikat keanggotaan dan menciptakan disiplin dalam berbagai kewajiban yang harus dipenuhi. Seseorang yang tidak taat aturan tentu saja akan merasa malu jika tidak mentaatinya. Ada budaya malu yang diciptakan ketika aturan tidak ditaati, hal ini karena rasa memiliki akan tobo tersebut sangat tinggi di kalangan anggota.

Batobo konsi semakin penting ketika fungsinya juga diperluas ke dalam pendidikan. Batobo konsi acapkali dimanfaatkan untuk menambah wawasan dalam bidang pertanian. Melalui pertemuan-pertemuan, seringkali disandingkan dengan penyuluhan-penyuluhan. Selain itu juga dimanfaatkan untuk melestarikan adat dengan memanfaatkan pertemuan untuk mendiskusikan dan menanamkan serta mengenal adat. Batobo juga dimanfaatkan untuk mengajarkan bagaimana cara berinteraksi dan beradaptasi dengan masyarakat di lingkungan sekitar. Serta bagaimana bersosialisasi sebagai manusia yang beradab.

Artikel ini telah dimuat di harian Singgalang pada Minggu, 29 Juli 2018.

Peringati HUT Kemerdekaan, Pegawai Mengenakan Busana Daerah

0

Padang – BPNB Sumbar turut memperingati Kemerdekaan Republik Indonesia ke-73 dengan menggelar upacara. Kegiatan ini digelar pada 17 Agustus 2018 di halaman kantor BPNB di Jl. Raya Belimbing, Padang. Seluruh pegawai hadir dalam upacara tersebut dengan mengenakan ragam busana daerah.

Peserta upacara memperingati HUT RI ke-73 di BPNB Sumbar pada 17 Agustus 2018 di halaman kantor BPNB kompak mengenakan pakaian daerah.

Pemilihan busana daerah pada kesempatan itu dimaksudkan untuk menunjukkan kekayaan budaya bangsa sekaligus menunjukkan betapa beragamnya kita. Keberagaman yang rukun, saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Beragam tapi bersatu.

Upacara yang dipimpin langsung oleh kepala BPNB Sumbar, Suarman, berlangsung dengan tertib dan khidmat.  Diawali pengibaran bendera sekaligus menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya hingga pembacaan doa di akhir acara. Pada kesempatan tersebut, Suarman juga membacakan pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Penyematan penghargaan satyalencana kepada pegawai yang telah mengabdi selama 10 tahun dan 20 tahun oleh Kepala BPNB Sumbar, Suarman.

Upacara kali ini terasa istimewa bagi BPNB Sumbar. Hal ini karena sebagian pegawainya mendapat penghargaan berupa satyalencana atas pengabdiannya sebagai pegawai. Tercatat ada sembilan pegawai yang menerima penghargaan karena mengabdi selama 10 tahun dan 20 tahun.

Dirgahayu Republik Indonesia ke-73! Jayalah Bangsaku!

Strategi Pemajuan Kebudayaan jadi Modal Pembangunan Nasional

0

Pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan membawa semangat baru dalam upaya pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan nasional. Setelah puluhan tahun merdeka, akhirnya Republik Indonesia memiliki sebuah panduan dalam upaya menjalankan amanat Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945 untuk memajukan kebudayaan. Hal ini sejalan pula dengan amanat Presiden Republik Indonesia agar memberikan peran strategis bagi kebudayaan nasional dalam pembangunan.

Presiden Jokowi menginginkan adanya keseimbangan antara infrastruktur keras yang saat ini gencar dibangun di berbagai wilayah di tanah air, dengan infrastruktur lunak dalam wujud karakter dan jatidiri bangsa yang dikembangkan lewat jalan kebudayaan. Untuk itulah diperlukan kebijakan makro kebudayaan dalam rangka proses pembudayaan manusia. “Kita ‘kan terlalu sering berbicara masalah infrastruktur yang keras. Mengenai jalan, mengenai jembatan, mengenai pelabuhan. Tidak pernah kita berbicara mengenai infrastruktur lunak, yaitu kebudayaan,” diungkapkan Presiden Jokowi usai bertemu dengan para budayawan beberapa waktu lalu.

Dalam kesempatan lain, Presiden juga berpesan agar generasi muda tidak melupakan akar budaya bangsa. Generasi penerus bangsa tidak boleh kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia.

“Kita ingin agar kebudayaan menjadi nafas dari kelangsungan hidup bangsa, menjadi darah kepribadian, menjadi mentalitas dan nilai-nilai kebangsaan anak didik kita,” tuturnya di pembukaan Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2018 yang lalu.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengungkapkan bahwa pengesahan UU Pemajuan Kebudayaan merupakan wujud konkret perhatian pemerintah terhadap kebudayaan nasional.

”Adanya Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan memberikan arah dan platform ke mana budaya daerah dan nasional mau dibawa. Selama ini, belum ada landasan strategis soal kebudayaan,” jelas Muhadjir.

Sebagai negara adidaya di bidang kebudayaan, Indonesia berpotensi besar dalam mempengaruhi peradaban dunia. Mendikbud berharap pemerintah daerah menaruh perhatian dalam memajukan kebudayaan di daerah. Tahun depan, pemerintah pusat akan menggulirkan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang kebudayaan. Untuk itulah strategi pemajuan kebudayaan yang disusun dari akar rumput, dimulai dari tingkat kabupaten/kota, kemudian provinsi, dalam bentuk PPKD sampai tingkat nasional dalam bentuk Strategi Kebudayaan akan memainkan peranan penting dalam implementasi pemajuan kebudayaan di lapangan.

Direktur Jenderal Kebudayaan (Dirjenbud) Hilmar Farid menjelaskan bahwa pemajuan kebudayaan yang dimaksud dalam undang-undang bertujuan meningkatkan ketahanan budaya dan kontribusi budaya Indonesia di tengah peradaban dunia. Proses pemajuan kebudayaan dilakukan melalui pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan nasional Indonesia. Sesuai undang-undang, terdapat 10 obyek pemajuan kebudayaan, yakni tradisi lisan, manuskrip, adat-istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.

“Pemajuan kebudayaan dilaksanakan dengan berpedoman pada Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah kabupaten/kota, Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah provinsi, Strategi Kebudayaan yang disusun berdasarkan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah dan Kongres Kebudayaan yang akan digelar tahun depan, serta Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan,” dijelaskan Dirjenbud.

Strategi pemajuan kebudayaan akan menjadi dasar perumusan Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan yang menjadi acuan utama dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Pendek, Menengah, dan Panjang di bidang kebudayaan. Pengarusutamaan kebudayaan dalam pembangunan nasional dipandang sangat strategis dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan akan dijadikan dasar bagi penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024. Dalam waktu bersamaan, pemerintah juga akan membentuk sistem pendataan kebudayaan terpadu yang mengintegrasikan seluruh data kebudayaan dari berbagai sumber. “Rencana Induk itu akan menjadi dokumen pedoman bagi pemerintah pusat dalam melaksanakan pemajuan kebudayaan. Ini merupakan penerjemahan Strategi Kebudayaan dalam bentuk rencana program kerja pemerintah. Kebudayaan akan terlihat sebagai sektor yang dijalankan oleh berbagai Kementerian dan Lembaga. Bukan hanya Direktorat Jenderal Kebudayaan saja,” kata Hilmar.

Penyusunan strategi pemajuan kebudayaan dilaksanakan secara bertahap, dimulai dengan masa persiapan mulai Februari hingga Maret 2018. Masa persiapan ini diisi dengan lokakarya penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) di 20 klaster kerja. Pada bulan Mei dan Juni 2018 tahapan penyusunan memasuki masa pra kongres 1, yaitu penyusunan PPKD kabupaten/kota untuk kemudian ditetapkan oleh bupati/walikota.

Selanjutnya, pada bulan Juli sampai dengan September 2018 masuk tahapan pra-kongres 2, yaitu penyusunan PPKD provinsi yang kemudian ditetapkan oleh gubernur. Tahap terakhir, pada bulan Oktober sampai dengan Desember 2018, penyusunan Strategi Kebudayaan dilakukan pada 16-18 November 2018. Diharapkan, nantinya strategi kebudayaan nasional akan ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada momen Kongres Kebudayaan (KKI) 2018.

Bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mendorong penyelesaian target penyusunan PPKD tingkat pemerintah provinsi.

PPKD sangat penting dalam merumuskan strategi pemajuan kebudayaan yang berasal dari masing-masing wilayah di tanah air. Penyusunan PPKD tingkat provinsi ini harus berdasarkan PPKD tingkat kabupaten/kota yang dijadwalkan berakhir sampai dengan 31 Agustus 2018. Diharapkan melalui pendampingan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, pemerintah daerah dapat segera menyelesaikan PPKD yang berisi data kondisi faktual obyek pemajuan kebudayaan, permasalahan yang dihadapi daerah dalam upaya pemajuan kebudayaan, dan rekomendasi penyelesaiannya.(*)

**disiapkan oleh Tim Komunikasi Pemerintah Kemenkominfo dan Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud

Elly Rudy, Sang Maestro Tari Gending Sriwijaya

0

Belajar Bersama Maestro yang digelar Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat beberapa waktu lalu di Kota Palembang mengangkat Tari Gending Sriwijaya sebagai kesenian yang diajarkan. Seiring dengan itu, maestro yang dilibatkan untuk mengajar tari ini adalah Elly Rudy. Dia ini adalah maestro yang mengabdikan diri dalam tari tradisi di Sumatera Selatan, khususnya tari gending sriwijaya.

Nama kecil Elly Rudy adalah Elly Anggraini Soewondo, lahir di Tanjung Enim hampir 70 tahun yang lalu. Rudy disematkan ke namanya karena suaminya yang bernama Rudy Syafruddin. Selama membina keluarga dengan Rudy Syafruddin, mereka dikaruniai empat anak yaitu: Swarna Maha Reza, S.Sos., Swarga Arya Eza, S.Pd., Permata Safira, S.E., dan Puspa Dita, S.Si.

Sejak kecil Elly Rudy telah mulai menggeluti dunia tari. Bahkan pada tahun 1962, dia telah masuk anggota grup tari Gending Sriwijaya yang tergabung dalam dalam Grup Tari pimpinan Suka Enah Rozak. Sejak saat itu, Elly kemudian sering tampil dengan tari yang sama dalam berbagai perhelatan.

Sejak terlibat dalam berbagai even, pada tahun 1965 dia mulai merambah pada penciptaan tari. Bahkan, Ibu lulusan FKIP Bahasa dan Seni Universitas Sriwijaya Palembang ini pada tahun yang sama menciptakan ‘tari tanggai’. Sejak itu, dia juga sekaligus menjadi pelatih tari di berbagai instansi maupun lembaga. Mulai dari sekolah, yayasan hingga instansi pemerintahan, dia pernah menjadi pelatih tari. Dia juga pernah menjadi juri, koreografi, narasumber dan juga menulis beberapa buku.

Dengan pengalaman dan prestasi yang dia miliki tentu saja layak disebut sebagai seorang maestro. Seluruh hidupnya didedikasikan di dunia seni khususnya tari gending sriwijaya serta menggantungkan hidupnya dari seni. Berikut perjalanan hidup Elly Rudi dalam berkesenian:

1962: Sebagai penari Gending Sriwijaya bergabung dalam Grup Tari pimpinan Suka Enah Rozak.

1965:  Menciptakan Tari Tanggai.

1965: Menjadi duta Indonesia ke New York World Fair Amerika sebagai Penari.

1981 – sekarang: Aktif sebagai Pelatih Tari. Mengikuti Misi Kesenian sebagai Duta Seni ke berbagai Event Nasional maupun Internasional.

1986: Karya Tari Erai-Erai Serumpun mewakili Propinsi Sumatera Selatan pada Pembukaan Pekan Raya Jakarta (PRJ).

1987: Karya Tari Cek Molek Juara I dalam Pekan Tari Kreasi di Bengkulu, mewakili Propinsi Sumatera Selatan.

1988: Tim Tari Universitas Sriwijaya (UNSRI) Palembang pada Pekan Tari Mahasiswa (PEKSIMINAS), Karya Tari Egal-Egol (eksebisi).

1989: Tim Tari Universitas Sriwijaya (UNSRI) Juara I Tari Tradisi dengan Karya Tari Tari Tanggai pada Pekan Seni Mahasiswa di Universitas Syahkuala Aceh.

1990: Juara I Lomba Cipta Tari Tingkat Propinsi, Karya Tari Bungo Inten.

1991: Juara III Tingkat Nasional dalam Gatra Kencana TVRI Palembang, Karya Pijar Budaya Sumatera Selatan.

1992:   Mewakili Propinsi Sumatera Selatan pada Pekan Seni Budaya Melayu di Tanjung Pinang, Riau.

1993: Penampilan Terbaik Lomba Cipta Tari Tingkat Nasional di Jakarta, Karya Tari Tari Nindai.

1994:   Mewakili Propinsi Sumatera Selatan ke Laos, Thailand dan Singapura atas undangan pemerintah setempat.

1995: Mewakili Propinsi Sumatera Selatan pada Festival Keraton Surakarta.

1995: Kerjasama TVRI Pusat Jakarta dan TVRI Palembang dalam Paket Khusus Indonesia Emas, Karya Sendratari “Sultan Mahmud Badaruddin II”.

1997: Utusan Propinsi Sumatera Selatan pada Festival Keraton Cirebon.

1998: Utusan Propinsi Sumatera Selatan pada Pekan Raya Budaya Melayu Riau.

1998: Sebagai Tutor/ Narasumber Tari Tanggai dan Tari Gending Sriwijaya di STSI Padang Panjang (sekarang ISI Padang Panjang).

1999: Utusan Propinsi Sumatera Selatan ke Johor Baru Malaysia sebagai narasumber Bedah Tari Zapin.

2001: Utusan Propinsi Sumatera Selatan pada Festival Gendang Nusantara di Melaka Bandar Raya, Malaysia.

2001: Menerima Penghargaan Seni ASEAN Social and Economic Corporation Golden Award 2001 Jakarta.

2002: Mewakili Propinsi Sumatera Selatan di Istana Negara. 1. Tari Gending Sriwijaya; 2. Tari Lenggok Musi.

2002: Pelatih Tim Kesenian Daerah Musi Banyuasin (MUBA) dibawah pimpinan Bupati MUBA Bpk. Ir, Alex Noerdin. – Mengikuti Festival Floriade Hearlemmeer, Belanda.- Misi Indonesia ke Perancis.

2003: Utusan Propinsi Sumatera Selatan ke Kerajaan Negara Selangor, Malaysia.

2003: Utusan Propinsi Sumatera Selatan pada Festival Rampai Melayu – Budaya Melayu Sedunia, Riau.

2003:   Utusan Tim Kesenian sebagai Pelatih Tari ke Italia dan Jerman.

2003:   Menerima Penghargaan Seni sebagai Seniman Tari dari Pemerintah Daerah (PEMDA) Sumatera Selatan.

2007: Dosen Luar Biasa Fakultas Seni Prodi Sendratasik Universitas PGRI Palembang.

2007: Sebagai Tutor/ Narasumber “Workshop Penata Tari dan Musik se-Sumatera Selatan”.

2009:   Sebagai Juri/ Pengamat pada Festival Seni Tari Melayu.

2010: Narasumber Workshop Pengembangan – Pelestarian Seni Budaya Palembang yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (DISBUDPAR) Propinsi Sumatera Selatan.

2013:   Narasumber Focus Group Discussion Pakaian Adat dan Tari Sambut Sumatera Selatan yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Nasional (DIKNAS) Propinsi Sumatera Selatan.

2013: Juri/ Pengamat Lomba Tari Kreasi Sumatera Selatan.

2013: Menerima Penghargaan Sebagai Tokoh Seni Budaya Sumatera Selatan dari Universitas PGRI Palembang.

2016: Koreografer World Dance Day di Surakarta diselenggarakan oleh ISI Surakarta. Karya Tari Tari Lilin Siwa.

2017: Sebagai Narasumber/ Pamong Seni Pelatihan Kesenian Tradisional Sumatera Selatan Materi: Tari Tanggai. Diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata  (DISBUDPAR) Propinsi Sumatera Selatan.

2017: Koreografer World Dance Day Surakarta yang diselenggarakan oleh ISI Surakarta. Karya Tari Tari Pagar Pengantin.

2017: Menciptakan Tari Sambut Kabupaten Musi Rawas Utara (MURATARA), Karya: Tari Sambut “Ilim”.

2018:   Koreografer pada Festival Triangle Culture Festival yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan Kota Palembang.

2018: Pelatih Tari di Dinas Kebudayaan Kota Palembang.

Bersama Inspektorat Jenderal Diskusi Pengelolaan Ketatausahaan

0
Suasana diskusi

Padang – Kedatangan tim Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan dalam rangka audit ke Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat dimanfaatkan untuk Peningkatan Sumber Daya Manusia di Bidang Ketatausahaan. Melalui kedatangan tersebut, diadakan sebuah diskusi dengan melibatkan  seluruh pegawai. Diskusi dilaksanakan pada Senin, 30 Juli 2018 di ruang rapat BPNB Sumbar.

Acara yang dimulai pada pukul 13.00 wib tersebut dibuka secara langsung oleh Kepala BPNB Sumatera Barat Drs. Suarman. Tim dari Itjen dihadiri Pung S.P. Ngusadhani, Maretono, Bandut Satrio Utomo dan Novandi Carlos. Pada kesempatan itu Bapak Maretono menyampaikan materi tentang pengelolaan ketatausahaan. Diskusi berlangsung menarik dan sangat dinamis. Beberapa pertanyaan lebih banyak terkait dalam penyelesaian administrasi pada kegiatan lapangan.

Tujuan pertemuan tersebut dimaksudkan untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada seluruh pegawai. Sehingga dalam pelaksanaan tugas dan fungsi kantor dapat terlaksana dengan baik dan sesuai dengan aturan yang ada. Disamping itu kegiatan tersebut juga bermaksud untuk menampung seluruh aspirasi pegawai terkait beberapa kendala yang seringkali terjadi dalam berbagai pelaksanaan tugas.

Harapannya, melalui diskusi ini pelaksanaan tugas dan fungsi kantor akan tertib baik secara administrasi maupun dalam pencapaian output yang ditetapkan sebelumnya. (FM)

Silek ‘Kumango’ yang bukan ‘Kumango’

0
Gerak buka langkah dalam aliran silek 'kumango'. Silek ini berkembang di Kabupaten Solok Selatan. Foto. Marbun

Silek kumango di Solok Selatan tidak sama dengan kumango di Tanah Datar. Hasil pencatatan Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat, setidaknya terdapat 12 aliran silat tradisi di Kabupaten Solok Selatan. Dari aliran sebanyak itu, tidak ada aliran yang benar-benar lahir dan berkembang di daerah tersebut. Hampir semua silek yang ada datang dari daerah lain khususnya dari darek yaitu daerah Tanah Datar.

Walau demikian, dari jumlah tersebut diakui ada beberapa aliran silek khas Solok Selatan. Dikatakan khas karena sekalipun aliran tersebut ada di darek tapi memiliki perbedaan yang mencolok dari segi gerak atau jurus. Mungkin karena telah mengalami modifikasi dari aslinya atau karena penggabungan beberapa aliran. Beberapa aliran silek yang dirasa khas tersebut adalah luncu, colau, padang abai dan kumango.

Dari ke empat aliran yang khas, silek kumango menjadi salah satu aliran khas dan unik. Masyarakat percaya bahwa silek ini berasal dari daerah darek yang selanjutnya menyebar ke Solok Selatan. Namun, ada perbedaan mencolok dengan daerah darek. Silek kumango yang ada di solok selatan bukanlah sebagaimana anggapan orang banyak tentang silek kumango yang ada di daerah darek.

Silek Kumango di Solok Selatan merupakan gabungan dari beberapa aliran silek, sehingga dinamakan dengan ‘kumango’. Menurut masyarakat ‘kumango’ dalam bahasa setempat adalah campur-campur atau gabungan. Jadi ‘kumango’ secara etimologi adalah ‘gado-gado’ atau ‘campuran’. Nama ini merujuk dari aliran silek yang memang menggabungkan beberapa gerak dari beberapa aliran silek yang ada di Solok Selatan. Beberapa aliran dan gerak silat yang tergabung dalam silek kumango solok selatan adalah Colau, Pangian, Luncu dan Taralak.

Penggabungan beberapa aliran silat dalam ‘silek kumango’, tidak sepenuhnya mengubah tradisi pada silek kumango yang asli. Gerak-gerak utama masih tetap dipertahankan. Selain itu, tradisi buka laman dengan ritual khusus juga tetap dilakukan. Kini silek kumango berkembang baik di Kabupaten Solok Selatan dengan cirinya yang khas. (FM)

Silek Pusako Nagari Abai di tepi Kepunahan

0
'Kabau Lago di Bawah', salah satu gerak Silek Padang Abai yang ada di Kabupaten Solok Selatan. Foto. Marbun

Salah satu aliran silat khas Solok Selatan adalah Silek Padang Abai yang juga dikenal dengan Silek Pusako Nagari Abai. Keberadaan silat ini telah lama ada dan menurut pengakuan tuo sileknya Sutan Pangeran, berasal dari Mekkah yang dibawa oleh Syaik Kudung. Ironisnya, silek ini kini sudah diambang kepunahan. Selain tidak ada lagi sasaran, guru silatnya juga sudah dimakan usia. Sementara anak sasiannya juga hanya sedikit yang menguasai geraknya.

Di kabupaten Solok Selatan berkembang banyak aliran silat tradisi. Hasil pendataan Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat baru-baru ini, terdapat sekitar 12 aliran silat tradisi yang masih eksis. Dari jumlah tersebut ada 4 aliran yang bisa dikatakan khas yaitu Silek Luncu, Padang Abai, Colau dan Kumango. Selain itu, terdapat banyak sasaran sebagai media pembelajaran dan pewarisan silat tradisi tersebut.

Perkembangan silat tradisi ini tidak lepas dari lahirnya Pahimpunan Tuo Silek Tradisional Minangkabau. Tujuan perhimpunan selain untuk membangun silaturahmi antar aliran, juga untuk menggaungkan Silek Minangkabau sebagai warisan budaya. Dalam pelaksanaannya, secara berkala mereka mengadakan festival silat tradisi. Festival tersebut mempertemukan semua aliran yang tergabung dalam perhimpulan dan secara bergilir didapuk menjadi tuan rumah.

Hal yang berbeda ditampilkan silek padang Abai. Di tengah aliran lain yang semakin tumbuh, aliran ini malah menunjukkan tanda-tanda kepunahan. Kegiatan perhimpunan sepertinya tidak cukup membantu menjaga tetap eksisnya aliran ini. Hal ini tampak dari tidak ada lagi sasaran yang mewadahi tetap tumbuhnya. Selain itu minimnya pengajar dan terbatasnya waktu luang yang mereka punya menjadi salah satu alasan tidak aktif lagi. Selain itu biaya operasional juga sangat minim sehingga silek ini juga semakin sulit untuk berkembang.

Hingga saat ini, tinggal tiga orang yang menguasai aliran silat ini dengan baik. Ketiganya juga sudah berusia di atas 60 tahun. Selain itu, ada dua orang siswa yang pernah belajar dan mengetahui sedikit banyak tentang Silek Padang Abai. Kedua orang ini memang sudah sering tampil dalam berbagai festival-festival silat baik di Solok Selatan maupun di luar daerah. Namun, belum menguasai keseluruhan gerak yang ada. Akanlah Silek Pusako Nagari Abai ini dapat bertahan atau akan mati? (FM)