Beranda blog Halaman 13

Seminar Revitalisasi Budaya Minangkabau

0

Bukittinggi – Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat menggelar Seminar Revitalisasi Budaya Minangkabau. Seminar ini diadakan selama tiga hari berturut-turut pada 27-30 November 2018 di Hotel Novotel, Bukittinggi, Sumatera Barat. Hadir dalam kegiatan ini dinas-dinas provinsi dan kabupaten di seluruh Sumatera Barat, Balitbang, Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), pemangku adat, bundo kanduang, akademisi, praktisi dan Cerdik Pandai. Acara dibuka secara resmi oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bukittinggi.

Acara dimulai dengan pengantar oleh MC, pembacaan ayat Alquran, tari pasambahan yang dibawakan oleh Sanggar Puti Limo Jurai serta menyanyikan lagu Indonesia Raya. Selanjutnya laporan panitia, sambutan kepala menyusul kemudian kata sambutan sekaligus pembukaan oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bukittinggi.

Laporan ketua panitia, Dra. Maryetti, M.hum, menyebut peserta dalam kegiatan ini berjumlah 125 orang termasuk panitia. Masih menurut dia, kegiatan ini bertujuan sebagai wadah mensosialisasikan UU Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Meningkatkan pengetahuan tentang budaya Minangkabau dan menghasilkan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah terkait pelestarian budaya.

Berkaitan dengan itu, Kepala BPNB Sumbar Drs. Suarman dalam sambutannya menyampaikan bahwa sebagai adi budaya dunia, Indonesia paling potensial meraih kemajuan dari kebudayaan. Sebagai adi budaya, tidak saja potensial sebagai magnet pariwisata dan sumber ekonomi masyarakat. Kebudayaan juga berperan penting sebagai landasan peradaban. Suarman juga menyampaikan bahwa seminar ini dapat menjawab berbagai tantangan pelestarian kebudayaan di masa mendatang, merumuskan tata kelola budaya melalui ekosistem kebudayaan dan rekomendasi sebagai rujukan pembuatan regulasi terkait pelestarian budaya.

Melihat bahwa budaya adalah akar kebudayaan, maka Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Bukittinggi sangat mendukung kegiatan seminar ini. Dia menambahkan bahwa jika kebudayaan tidak dirawat maka peradaban tidak akan tumbuh dengan sempurna. Sehingga seminar ini diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi yang tepat untuk kemajuan kebudayaan Minangkabau.

Seminar ini sendiri akan berlangsung selama tiga hari, peserta akan dibagi dalam 5 rapat komisi. Ke lima komisi akan membahas 10 obyek kebudayaan sesuai UU Pemajuan Kebudayaan. Hasil rapat komisi akan dibawa ke rapat seluruh peserta untuk menghasilkan rekomendasi pelestarian budaya Minangkabau. (FM)

Seminar Hasil Kajian Nilai Budaya

0

Padang – Setelah melakukan kajian selama setahun, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat melaksanakan seminar hasil kajian. Seminar ini dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut sejak Rabu-Jumat, 21-23 November 2018. Seminar diadakan di Hotel Grand Inna, Padang Sumatera Barat. Sebanyak 15 hasil penelitian diseminarkan baik kajian sejarah maupun budaya. Hadir sebagai keynote speaker dalam seminar ini Prof. Dr. Dwi Purwoko dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Acara yang dibuka secara resmi oleh Kasubag Tata Usaha BPNB Sumbar Titit Lestari, S.Si, MP ini dihadiri oleh beberapa orang narasumber dari akademisi dan tokoh-tokoh dari daerah lokasi penelitian. Selain itu turut hadir dalam seminar ini perwakilan dari Balitbang provinsi Sumatera Barat, Balai Bahasa Sumatera Barat, Akademisi dan mahasiswa.

Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin BPNB Sumatera Barat setelah seluruh penelitian selama tahun berjalan selesai. Sebagaimana tugas dan fungsinya sebagai pelestari budaya, BPNB Sumbar selalu mengadakan kajian rutin berkaitan dengan sejarah dan budaya di tiga wilayah kerja yakni Sumbar, Bengkulu dan Sumatera Selatan.

Selain sosialisasi hasil kajian, seminar hasil kajian ini sekaligus sebagai ajang menambah pengetahuan akademis baik terkait metode maupun teori yang berkembang. Hal ini untuk memastikan bahwa peneliti senantiasa update perkembangan ilmu pengetahuan.

Dalam kesempatan itu, Dwi Purwoko menekankan penting untuk tetap fokus dalam melakukan kegiatan penelitian. Hal ini untuk memastikan bahwa hasil penelitian tersebut berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan. Dia juga menambahkan bahwa peneliti harus berani mengambil resiko, yang penting data yang diberikan valid dan dapat dipertanggungjawabkan.

Harapannya, hasil-hasil penelitian BPNB Sumatera Barat dapat bermanfaat khususnya hasil penelitian 2018.(FM)

Renstra Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat 2015-2019

0

Rencana Strategis Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat T.A. 2015 – 2019 dapat diunduh:

RENSTRA-2015-2019-BPNB-PADANG

Upacara Peringatan Hari Sumpah Pemuda

0

Padang – Dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke-90, Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat menggelar upacara pada Senin, 29 Oktober 2018. Upacara dilaksanakan di halaman kantor BPNB Sumbar Kuranji, Padang. Sebagai pembina dalam upacara Kepala BPNB Sumbar Drs. Suarman. Upacara diikuti seluruh pegawai dan mahasiswa yang sedang magang.

Upacara yang dimulai sejak jam 08.00 wib tersebut berlangsung hikmat. Dimulai dengan penaikan bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, pembacaan teks Pancasila, Pembacaan UUD 1945, Pembacaan Keputusan Kongres Pemuda Indonesia serta pembacaan naskah pidato Menteri Pemuda dan Olahraga. Selain itu, peserta upacara juga menyanyikan lagu-lagu nasional.

Baca juga: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/wp-admin/post.php?post=2284&action=edit

Sebagaimana diketahui, Hari Sumpah Pemuda yang jatuh tanggal 28 Oktober merupakan peristiwa sejarah penting dalam perjalanan sejarah Bangsa Indonesia. Pada momen tersebut pemuda Indonesia mengikrarkan bahwa sebagai Indonesia adalah satu bangsa, tanah air dan satu bahasa. Peristiwa ini sekaligus mengakhiri perjuangan bangsa yang sebelumnya masih bersifat kedaerahan.

Selamat Hari Sumpah Pemuda!(FM)

PPKD dan Komitmen Pemerintah Daerah

0

Kita menyadari sepenuhnya bahwa kebudayaan itu penting, sebab persoalan budaya sudah melekat dan menjadi pakaian hidup serta sebagai harga diri bagi seseorang. Jamak terjadi bagi kita pemahaman tentang pentingnya kebudayaan terkadang hanya dalam bentuk ucapan-pemanis saja-tidak dituangkan dalam bentuk dokumen sebagai fondasi untuk melaksanakan kegiatan atau program. Sebuah dokumen yang bisa dipraktikkan atau dilaksanakan dikemudian hari. Sebuah dokumen yang memuat tentang Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD).

            Penguatan kearah tersebut telah diperteguh dengan keluarnya Undang-Undang nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa pemajuan kebudayan berpedoman pada PPKD kabupaten/kota, Dalam arti kata bahwa pemerintah daerahlah yang menyusun PPKD. Namun sampai bulan ini baru 8 (delapan) kabupaten/kota di Propinsi Sumatera Barat yang sudah menyusun struktur tim PPKD tersebut. Kabupaten/kota yang sudah dan sedang berjalan menyusun PPKD tersebut yakni Kota Sawahlunto, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Padang Pariaman,  Kabupaten Tanah Datar, Kota Bukittinggi dan Kota Payakumbuh. Bagaimana dengan daerah lainnya ?. Apakah punya niatan untuk menyusun PPKD tersebut. Kita berpikiran positif bahwa pemerintah kabupaten/kota lainnya punya niatan kearah tersebut, dan kita tunggu untuk menyiapkan dokumen PPKD tersebut.

Sebuah keniscayaan bila kita ingin memajukan kebudayaan di daerah kita namun belum menyiapkan langkah awal pembentukan PPKD tersebut, seperti penyusunan tim PPKD. Sebab tim PPKD inilah yang nantinya menyusun roh pokok-pokok kebudayaan yang ada di daerah.

Baca juga: Silek, indonesiana dan ekosistem kebudayaan

Ditelisik lebih jauh untuk persoalan inipun telah didorong untuk menyusun PPKD di daerah. Diawali dengan Lokakarya Penyusunan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah Kabupaten /Kota hari Kamis, 26 April 2018 di Grand Inna Padang. Kegiatan yang digagas oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebuah langkah awal untuk melaksanakan amanah dari Undang-Undang nomor 5 Tahun 2017 tersebut. Perihal terpenting dalam rangka pemajuan kebudayaan di daerah. Namun respon positif belum seratus persen, sebab hanya 7 (tujuh) kabupaten kota di Propinsi Sumatera Barat yang punya komitmen untuk itu. Kita tidak menafikan bahwa kabupaten dan kota yang lain juga punya respon positif dan komitmen kuat kearah tersebut, namun belum memperlihatkan jalan kearah tersebut, kita tunggu.

Kenapa penting PPKD tersebut ?. Jawabnya adalah bahwa PPKD merupakan fondasi utama bila kita ingin memajukan kebudayaan daerah, sebagai acuan, kompas kemana arah kebudayan kita nantinya.Bila ini tidak disusun dikuatirkan arah kebudayaan daerah kita tidak menentu, dan tidak ada fondasi utamanya.

Disinilah pentingnya komitmen dari pemerintah daerah untuk menyusun PPKD tersebut. Komitmen ini penting mengingat keberlanjutan dari apa yang menjadi PPKD tersebut, alias PPKD tersebut tidak hanya sebatas dokumen saja namun bisa dilaksanakan untuk pemajuan kebudayaan di daerah.

Dari segi penganggaran dalam bidang kebudayaan kita masih “dianak tirikan”, baik dari segi kebijakan apalagi anggaran. Coba sandingkan saja anggaran bidang lain dengan kebudayaan, saya yakin dan percaya akan lebih besar dibidang lain seumpama bidang pariwisata. Paradigma yang terbangun oleh pengambil kebijakan selama ini adalah bahwa membangun pariwisata akan dapat menghasilkan pendapatan secara langsung dan cepat seperti orang datang atau para turis, baik internasional maupun domestik. Tidakkah pernah kita berpikir yang kita jual dan promosi yang kuat itu adalah kebudayaan kita sendiri !

Ditambah dengan persoalan kuatnya kedudukan kebudayaan dalam kehidupan kita. Dikatakan tak berbudaya saja tamparan dan muka merah beringas akan kita dapati. Begitulah gambaran tatkala kita mengutas dengan cemohohan pada pribadi seseorang dengan ungkapan tak berbudaya. Ini bisa saja terjadi pada anak-anak, apalagi pada angku-angku, datuak-datuak yang kesehariannya melekatkan diri dengan budaya itu sendiri.

Berbicara masalah budaya, sebetulnya sangat luas bukan saja persoalan cara berpakaian, pembagian harta warisan, pementasan teater, tari-tarian dan lainnya namun jauh dari itu. Konsep budaya itu luas dan dinamis-berubah. Irama hidup kita yang makin cepat tentu saja mempengaruhi perubahan tersebut.

Sebuah komitmen terbaik dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, khususnya Direktorat Jenderal Kebudayaan untuk mengusulkan DAK (Dana Alokasi Khusus) di bidang kebudayaan pada masing-masing kabupaten dan kota. Ini tidaklah mudah untuk memperjuangkannya perlu komitmen kita bersama, khususnya pemerintah daerah, salah-satunya adalah penyusunan PPKD tersebut.

Menurut penulis ada beberapa langkah yang harus dilaksanakan untuk memujudkan PPKD tersebut. Pertama, pemerintah daerah kabupaten dan kota harus terlebih dahulu punya komitmen untuk pemajuan kebudayaan daerahnya. Komitmen tersebut dipraktikkan dengan menyusun Tim Penyusun PPKD. Tim tersebut merupakan orang yang memiliki profesional dibidangnya, sebab merekalah yang akan bekerja untuk menyusun PPKD tersebut.

Kedua, setelah dibentuk PPKD tersebut perlu kiranya diajak serta semua stakholder dibidang kebudayaan. Mereka memiliki kontribusi yang besar untuk penyusunan PPKD tersebut, prosesnya seperti melaksanakan FGD (Focus Group Discussion). Hasil FGD tersebutlah yang menjadi rujukan awal untuk disusun oleh tim tersebut.

Ketiga, setelah dilaksanakan FGD tersebut (bisa satu kali atau lebih) maka mulailah tim menyusun PPKD tersebut. Tim haruslah bekerja dengan baik dan professional sehingga menghasilkan PPKD yang baik pula nantinya. Keempat, setelah dilaksanakan penyusunan PPKD oleh tim tersebut, maka perlu penguatan akan hal ini yakni berbentuk regulasi. Maka sebaiknya hasil dari tim tersebut dalam bentuk PPKD dibuatlah Peraturan Daerah (Perda) supaya bersifat mengikat dan dapat dilaksanakan nantinya dari isi yang diamanatkan dalam PPKD tersebut. Kelima, pemerintah daerah Sumatera Barat dalam hal ini Dinas Kebudayaan Propinsi Sumatera Barat dapat mengkoordinir dan mendorong terbentuk dan tersusunnya PPKD setiap kabupaten dan kota. Keenam, perihal yang sangat penting adalah PPKD tersebut tidak hanya sebagai dokumen semata namun dilaksanakan kedepannya. Disinilah pentingnya komitmen kepala daerah dan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) dalam bidang kebudayaan untuk melaksanaknnya.

Jadi, sangatlah disayangkan bila kerja baik untuk menuju pemajuan kebudayaan daerah kita tidak kita respon dengan baik.Sebab PPKD tersebut merupakan  sebuah fondasi awal untuk menuju pemajuan kebudayaan daerah. Marilah kita semuanya punya komitmen untuk itu. Mudah-mudahan. Wasalam.

Hidup Seadanya di Laut yang Kaya

0
para nelayan di Pesisir Selatan sedang menarik pukat. Foto. Firdaus Marbun

Pagi itu, beberapa nelayan duduk santai di dipan sebuah rumah panggung di Nagari Lansano, salah satu nagari di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Terik matahari mulai menyengat mengiringi kepulangan mereka seakan mendorong untuk mengaso sejenak. Mereka memang butuh melepas lelah sejenak setelah sejak subuh bekerja di tengah laut. Umumnya obrolan dan canda mereka membahas seputar hasil yang diperoleh pagi ini.

‘dapek bara (dapat berapa)?’ tanya seorang bapak.

‘limo pulu ibu nyo (cuma lima puluh ribu rupiah)’ jawab yang lain.

Penghasilan mereka pagi itu hanya Rp.50.000,-. Hasil sebanyak itu dibagi untuk biaya baka (bahan bakar) melaut dan dibawa ke rumah. Kala itu musim melaut sedang sedikit. Banyak diantara nelayan tidak mendapatkan hasil tangkap. Bahkan, beberapa diantara mereka untuk menutupi baka saja kadang tidak bisa. Begitulah keseharian sekelompok bapak-bapak tersebut yang sehari-hari melaut menggunakan sampan robin (sampan 15 PK) dengan alat tangkap seadanya. Mereka disebut juga dengan nelayan robin.

Baca juga: PPKD, titik awal atau pengulangan sejarah

Sebagian masyarakat Kabupaten Pesisir Selatan memang menggantungkan hidupnya sebagai nelayan. Berdasarkan data statistik tahun 2016, terdapat 18.937 orang berprofesi sebagai nelayan dengan rincian 14.091 jiwa nelayan penuh waktu dan 4.846 jiwa nelayan paruh waktu. Jumlah tersebut, umumnya hidup sebagai nelayan tradisional dengan mengandalkan alat tangkap sederhana, modal kecil dan hasil tangkap yang sedikit. Bahkan, sebagian hidup memburuh kepada pemilik alat tangkap tanpa memiliki alat kerja.

Hidup sebagai nelayan tradisional di Kabupaten Pesisir Selatan bisa dikatakan sangat memprihatinkan. Seringkali, hasil tangkap yang mereka peroleh di pagi hari hanya cukup memenuhi konsumsi di hari yang sama. Bahkan sering hasil tangkap mereka tidak cukup untuk memenuhi biaya melaut yang mereka keluarkan. Ketika masa seperti ini tiba, maka jalan keluar yang mereka tempuh adalah berhutang. Menjadi tradisi bagi mereka hidup dengan menggali lobang tutup lobang.

Kita yang selalu merasa bangga dengan luas dan kayanya laut seakan ironis menyaksikan kehidupan nelayannya. Mengandalkan hasil menangkap sangat tidak mungkin bahkan hanya untuk sekadar mempertahankan hidup. Tidak peduli apakah mereka nelayan robin, nelayan pukat tepi atau nelayan pukat payang, semua sama saja. Sehingga, lama kelamaan mereka selalu terperangkap dalam kondisi yang cukup memprihatinkan dan miskin.

Untuk dapat melanjutkan dapur tetap ngebul merekapun harus kreatif. Jika tidak, maka mengandalkan hasil tangkap akan mengancam hidup mereka. Beberapa cara yang mereka lakukan disaat hasil tangkapan mereka tidak ada adalah dengan membantu penangkapan orang lain, memanfaatkan pasang sedang naik untuk menangkap kepiting atau udang, bekerja di luar kerjaan nelayan dan sebagainya. Namun, pekerjaan-pekerjaan sampingan tersebut hanyalah sementara.

Berbagai program pemerintah sebenarnya telah digulirkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan. Beberapa diantaranya seperti asuransi nelayan, bantuan alat tangkap, tabungan nelayan dan lainnya. Namun pemberian bantuan tersebut belum berdampak signifikan pada peningkatkan taraf hidup nelayan. Program yang ada seakan tidak mampu mengangkat penghasilan mereka. Mereka yang mengandalkan alat tradisional seakan takluk pada alam.

Persoalan masyarakat nelayan di Kabupaten Pesisir Selatan memang cukup rumit. Keterbatasan penguasaan teknologi mengakibatkan nelayan tradisional senantiasa takluk pada alam. Kekalahan teknologi juga mengakibatkan pengumpulan hasil laut yang kecil jika dihadapkan pada penggunaan teknologi yang lebih canggih. Disisi lain dari sumber daya manusia, nelayan tradisional juga umumnya sangat minim mengecap pendidikan formal dan keterampilan yang berpotensi mencari penghasilan tambahan.

Penulis: Firdaus Marbun, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang pada 23 September 2018

Ragam Aliran Silek Tradisi di Kabupaten Solok Selatan

0
Salah satu gerak silek luncua. Silek ini merupakan salah satu aliran silek tradisi yang terdapat di Kabupaten Solok Selatan.

Silek tradisi di Kabupaten Solok Selatan sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan silek tradisi Minangkabau. Masyarakat sendiri mengakui bahwa silek mereka berasal dari daerah darek yang kemudian dikembangkan di Solok Selatan. Bahkan silek yang terdapat di Solok Selatan umumnya menggunakan nama-nama aliran silek di darek seperti pangian, kumango, taralak, harimau dan lain-lain. Memang, sebagian mereka mempertahankan gerak dan keunikannya sebagaimana di darek. Sebagian lain memodifikasi sesuai keadaan lingkungan dan kebutuhan.

Dari penelusuran tim kajian Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat tahun ini, hingga kini masih banyak aliran silek yang tetap bertahan. Walau begitu, tidak semua aliran berkembang dengan baik. Ada yang baik dan ada juga yang kalau tidak bisa disebut hampir punah. Beberapa kendala seperti kurangnya minat masyarakat untuk belajar, ketertutupan tuo silek untuk mengajarkan, dan berbagai alasan lain ditengarai sebagai faktor penting yang mempengaruhi perkembangan silek tersebut.

Beberapa perbedaan antara silek darek dengan solok selatan lebih disebabkan adaptasi terhadap kondisi lingkungannya. Sehingga terdapat pada beberapa bagian silek mendapat perubahan penting. Salah satu aliran yang dimodifikasi yakni silek Kumango. Silek ini sangat berbeda dengan silek kumango yang umum dikenal masyarakat Minangkabau. Jika Rusli (2008) menyatakan bahwa silek kumango bukanlah gabungan silek, tapi disini silek kumango adalah gado-gado oleh masyarakat setempat. Gado-gado karena merupakan gabungan dari berbagai gerak aliran silek yang ada di Solok Selatan.

Baca juga: Silek, Indonesiana dan Ekosistem Kebudayaan

Solok selatan memang dikenal sebagai perbatasan antara darek dengan rantau. Sebagai perbatasan, daerah ini dipengaruhi oleh dua kebiasaan atau tradisi yang berbeda yang saling berinteraksi. Interaksi masyarakat yang lebih heterogen dan rumitnya berbagai persoalan yang dihadapi menyebabkan persepsi yang berbeda terhadap suatu hal. Persepsi pada Silek juga sama. Silek yang berkembang di Solok Selatan turut disesuaikan dengan alam, kebiasaan dan kebutuhan.

Di sisi lain, mempertahankan silek dengan nilainya yang murni bukanlah pekerjaan mudah. Selalu mengalami tantangan sesuai dengan kondisi alam dan keadaan sosial budayanya. Silek yang awalnya dipakai membela diri, pada perkembangannya dimanfaatkan untuk silaturahmi. Namun demikian, masyarakat menyadari pentingnya silek menjadi alat pengamanan dan pembentuk karakter. Sehingga, beberapa aliran silek dikembangkan dan hingga kini masih tetap eksis. Bahkan beberapa aliran mengalami perkembangan signifikan.

Beberapa aliran silek yang masih eksis hingga kini tersebut yakni silek pedang abai, Silek Pangian, Silek Taralak, Silek Colau, Silek Katiani, Silek Luncu, Silek Koto Anau, Silek Kumango, Silek Tuo Lubuk Gadang Yang Dikenal Juga Dengan Silek Langkah Ampek, Silek Paninjauan Atau Junjung Sirih, Silek Harimau (Termasuk Silek Kucing Putiah), Silek Tuo Sungai Pagu, dan Silek Guntiang.

Semua aliran tersebut dikelompokkan dalam silek langkah tigo dan silek langkah ampek. Menurut masyarakat perbedaan kedua silek terletak pada langkah dan geraknya. Gerak silek langkah tigo bersifat lebih menyerang atau menyambut, sementara silek langkah ampek disebut lebih mengalah dan lebih lembut. Silek padang abai termasuk ke dalam silek langkah tigo, sementara yang lain masuk ke silek langkah ampek.

Secara sederhana, perbedaan tersebut menggambarkan orientasi masing-masing silek. Kalau langkah tiga bertujuan untuk menghabisi lawan, sementara langkah ampek membuka peluang untuk berdamai terlebih dahulu. Ketika tidak ada lagi kesempatan untuk berdamai, barulah mulai menyerang atau menghabisi.

Namun demikian, baik langkah tiga maupun langkah ampek sama-sama memiliki filosofi yang sama terkait kawan dan musuh. Silek tidak digunakan untuk mengurangi kawan, juga tidak dipakai untuk menambah musuh. Silek itu hanya sebagai senjata dan pertahanan diri yang sewaktu-waktu bisa dikeluarkan ketika dalam posisi terancam.

Keberadaan dua kelompok silek ini pada masa lalu sama-sama dibutuhkan untuk menghadapi berbagai gangguan terhadap individu maupun kelompok. Sehingga silek juga disebut sebagai silek parik paga nagari. Silek menjadi andalan atau senjata ampuh untuk menjaga keamanan nagari.

Penulis: Firdaus Marbun, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat

Artikel ini telah dimual di Harian Umum Singgalang pada Minggu, 7 Oktober 2018

PPKD, “Titik Awal atau Pengulangan Sejarah”?

0

Pasca lahirnya undang – undang pemajuan kebudayaan No 5 tahun 2017, Kebudayaan mulai mendapatkan prosi lebih dalam kerangka berbangsa dan negara. Pasca lahirnya undang – undang tersebut pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan merencanakan pada pertengahan tahun 2019 Indonesia sudah punya Rencana Induk Pemajuan Kebudayaan, yang akan digunakan untuk menyusun RPJMN kebudayaan tahun 2020-2024.

Kehadiran undang – undang pemajuan kebudayaan seharusnya mendorong Pemerintah daerah untuk memanfaatkan kehadiran undang – undang tersebut demi memajukan budaya daerah mereka. Kebudayaan dan kearifan lokal setiap daerah didorong untuk dapat dikembangkan sehingga menjadi haluan pembangunan nasional. Sebagai bangsa kita menyadari untuk menyaingi negara-negara lain dalam hal teknologi sangatlah sulit bahkan kita harus akui sebagai bangsa kita sudah sangat jauh tertinggal. Solusinya yang mungkin ditonjolkan adalah kekayaan budaya dan  kearifan lokal sehingga bisa menjadikan bangsa ini diperhatikan oleh dunia.

Besarnya tanggungjawab yang diamanatkan dalam undang – undang menyebabkan Direktorat Jenderal Kebudayaan sebagai ledding sektor utama dalam melaksanakan undang – undang pemajuan kebudayaan melakukan peran aktif untuk mengwujudkan itu.  secara masif  Direktorat Jenderal kebudayaan  dari satu propinsi ke propinsi  mensosialisasikan tentang undang – undang pemajuan kebudayaan dan mendorong setiap kabupaten dan kota agar segara menyusun Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD).

Baca juga: PPKD dan komitmen Pemerintah Daerah

Dalam konteks Sumatera Barat, kegiatan sosialisi tentang PPKD dilaksanakan pada bulan mei 2018. Kegiatan ini mengundang seluruh Bupati/walikota, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Kepala Bidang Kebudayaan dari kabupaten dan kota agar menghadiri kegiatan tersebut. Inti kegiatan ini adalah mensosialisasikan bahwa saat ini telah ada kebijakan baru tentang pengelolaan kebudayaan di Indonesia.

Pasca sosialisasi dan pertemuan tersebut ada beberapa kabupaten dan kota terlibat aktif dalam penyusunan PPKD tersebut, bahkan beberapa kabupaten kota secara aktif  melibatkan Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat sebagai unit pelaksana teknis direktorat Jenderal Kebudayaan dalam menyusun PPKD daerah mereka.  Setelah mengalami penundaan beberapa kali akhirnya awal september 2018,  seluruh kabupaten dan kota harus menyerahkan PPKD ke tingkat propinsi.

Tahapan selanjutnya adalah propinsi mengkompilasi seluruh PPKD dari kabupaten dan kota untuk dijadikan PPKD propinsi. Menurut rencana hasil PPKD dari 34 propinsi di Indonesia akan dibahas dalam acara kongres kebudayaan tahun 2018. Hasil kongres kebudayaan ini yang harapkan akan menjadi strategi kebudayaan untuk pemajuan kebudayaan indonesia.

Pertanyaan mendasarnya adalah apakah PPKD efektif untuk menjadikan kebudayaan sebagai media bangsa Indonesia untuk bersaingan dan menunjukan eksitensi di tengah percaturan dunia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh wakil ketua komisi X Ferdiansyah, dalam focus group discussion Menuju Simposium Kebudayaan. Beliau berharap kekayaan budaya dan kearifan lokal yang kita miliki bisa membuat bangsa ini sejajar dengan bangsa asing sebab dari aspek teknologi indonesia telah jauh tertinggal.

Namun kehadiran PPKD yang bermuara pada lahirnya strategi kebudayaan yang akhirnya akan menghasilkan  RPJMN untuk tahun 2020 – 2024 diharapkan akan mengatarkan bangsa ini pada cita – cita luhur yaitu seluruh kekayaan budaya bisa dikembangkan dan dipertahankan.

Di sisi lain penelitian yang dilakukan Tod Jones yang dituangkan dalam tulisannya yang berjudul Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia “ kebijakan budaya selama abad ke 20 hingga era reformasi yang terbit pada tahun 2015. Tulisan ini dengan jelas memberikan gambaran bagaimana  Kebudayaan dan kekuasaan selalu mempunyai hubungan yang khas. Kebudayaan yang lahir dari rahim masyarakat selalu mempunyai peluang untuk digunakan sebagai alat legitimasi oleh pemegang kekuasaan. Rezim penguasa selalu menjadikan kebudayaan sebagai objek yang harus dikendalikan dan selanjutnya digunakan sebagai alat untuk membentuk wacana dan kemudian melanggengkan kekuasaannya.

Prilaku yang disampaikan oleh  Tod Jones telah berlangsung dari zaman penjajahan sampai dengan orde baru. Setiap penguasa telah menjadikan kebudayaan sebagai bagian dari untuk mempertahankan kekuasaan.  Di  era reformasi terjadi perubahan hal itu tergambar dari kebijakan pemerintah memisahkan kebudayaan dengan pendidikan dan mengabungkan dengan departemen Pariwisata. Hal ini memperlihatkan bahwa perspektif penguasa hanya memahami kebudayaan sebagai objek yang bisa dijual.

Tahun 2012, pemerintah Soesilo Bambang Yudhyono (SBY) kembali mengabungkan pendidikan dan kebudayaan. Hal ini kembali mengambarkan bahwa kebudayaan merupakan bagian yang tidak terpisah dari dunia pendidikan yang mengharuskan terjadi proses pewarisan dan keberlanjutan dari satu generasi ke generasi.

Undang –undang pemajuan kebudayaan nomor 5 tahun 2017 yang mendorong lahirnya  strategi kebudayaan. Untuk menyusun itu diharuskan setiap daerah harus menyusun PPKD kabupaten / kota kemudian dilanjutkan dengan PPKD propinsi   yang diharapkan menjadi titik awal dari bagaiaman kekayaan budaya yang dimiliki oleh setiap etnis, suku bangsa, agama dan daerah mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah.

Perhatian ini tentu saja bukan dalam aspek wacana, namun tertuang dalam praktek politik anggaran mulai dari tingkat pusat sampai ke kabupaten dan kota. Sebagai pemilik kebudayaan, masyarakat tentu berharap bahwa PPKD titik awal dari bangkitnya kecintaan dan kepedulian seluruh elemen bangsa terhadap kekayaan budaya dan kearifanlokal yang dimiliki sebagai aset yang memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai sumber ekonomi.

Masyarakat tentu tidak mengingatkan PPKD adalah bagaian dari strategi penguasa sebagaimana yang diungkapkan oleh Tod Jones dalam tulisannya. Sebagai pemilik kebudaayan  semua elemen bangsa ini berharap bahwa PPKD adalah titik awal dari munculnya cara dan metode baru dalam mengelola, mengembangkan dan mempertahankan kekayaaan budaya dan kearifanlokal yang dimiliki.

Penulis: Efrianto A, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat.

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Singgalang pada 30 September 2018

Tungkek Mambaok Rabah

0
Undri

Bagaimana kalau tungkek-tongkat yang kita pakai membuat kita rebah ? Tidak membuat kita berdiri dan tegak. Tempat kita berpegang. Rasanya lunglai juga persendian kalau itu yang terjadi. Tongkat yang ditakdirkan dan diamanahkan untuk menopang dan membawa kita berdiri tegap, namun kini tongkat itu pula yang membawa kita terjatuh dan bahkan terjerembab. Tungkek mambaok rabah (tongkat membawa rebah) muncul ungkapan akhirnya.

Tungkek atau tongkat sesungguhnya ada pada diri kita atau dengan kata lain kitalah tungkek itu. Dalam tingkatan terkecil kita sebagai tungkek pada diri kita, sebagai tungkek dalam keluarga, dan dalam masyarakat. Orang yang diberi amanah tungkek tersebut disebut dengan pemimpin. Pemimpin buat diri kita sendiri, keluarga dan masyarakat. Orang yang didahului salangkah dan ditinggikan seranting. Orang yang memiliki sikap arif dan bijaksana, tanggap, dan sabar.

Orang yang arif bijaksana adalah orang yang dapat memahami pandangan orang lain, dapat mengerti apa yang tersurat maupun tersirat. Tanggap artinya mampu menangkis setiap bahaya yang bakal datang. Sabar artinya mampu menerima segala cobaan dengan dada yang lapang dan mampu mencarikan jalan keluar dengan pikiran yang jernih. Dilirik lebih jauh sisi keimanan maka muncul sifat siddiq (benar dalam berbicara dan benar dalam bertindak), amanah (dapat dipercaya),  fatanah (cerdas), dan tabligh (menyampaikan).

Baca juga: Kearifan lokal ikan larangan

Ungkapan ini sangatlah cocok untuk mengambarkan hal diatas, tahu dikilek baliuang nan ka kaki, kilek camin nan kamuko, tahu jo gabak di ulu tando ka hujan, cawang di langik tando ka paneh, ingek di rantiang ka mancucuak, tahu di dahan ka maimpok, tahu di unak kamanyangkuik, pandai maminteh sabalun anyuik. (Tahu dengan kilat beliung ke kaki, kilat cermin yang ke muka, tahu dengan mendung dihulu tanda akan hujan, mega dilangit tanda akan panas, ingat ranting yang akan menusuk, tahu dahan yang akan menimpa, tahu duri yang akan mengait, pandai memintas sebelum hanyut). Begitulah adat Minangkabau menggambarkan orang-orang yang arif, bijaksana dan tanggap terhadap masalah yang akan dihadapi.

Seiring dengan itu, seorang pemimpin-sebagai tungkek– merupakan orang yang sangat dekat dan mengerti akan nasib orang yang dipimpinnya. Sosok pemimpin yang fondasi kepemimpinannya dibingkai oleh kekuatan kepercayaan dan kejujuran. Seorang yang muncul tidak begitu saja (instant), namun mengalami suatu proses yang panjang. Sehingga menjadi pemimpin bagi generasinya dan generasi berikutnya.

Seorang pemimpin mempunyai sikap-sikap seperti tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi sangat berguna baginya untuk menjadikan dirinya sebagai seorang pemimpin yang baik bagi generasi yang akan datang maupun generasi pada saat itu. Pola tingkah lakunya tersebut merupakan pola tingkah laku yang murni bukan terbias dengan berbagai-macam bias apalagi bias-bias politik yang menguntungkan pribadi atau kelompoknya. Namun harus memperlihatkan suatu sikap yang jelas-jelas memperjuangkan kehidupan masyarakatnya dan orang-orang yang dipimpinnya.

Kikinian, seorang pemimpin otoriter tidaklah masuk dalam kategori ini. Kalaupun ada tidaklah laku, bahkan dicampak orang nantinya. Keputusan misalnya tidak diambil sendiri. Oleh karena itu, sikap otoriter tidak pernah disukai orang-orang Minangkabau. Pepatah Minangkabau menyebutkan, walau inggok mancakam, kuku na tajam ta baguno, walau ma macik tampuak alam, kato mufakek nan kuaso, elok diambiak jo mufakekburuak dibuang jo hetongan (walau hinggap ingin mencekam, kuku yang tajam tak berguna, walau memegang tampuk alam, kata mufakat yang kuasa, yang baik diambil dengan mufakat, yang buruk dibuang dengan rundingan).

Melahirkan pemimpin yang baik tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu proses panjang menuju arah itu. Pondasi kepercayaan, kejujuran dan dekat secara emosional bathiniah dengan rakyat atau orang yang dipimpinnya adalah kunci utama untuk membingkainya.

Pemimpin akan merasakan apa-apa yang dirasakan oleh pengikutnya, begitu juga sebaliknya. Mereka telah merasa satu jiwa, satu tekad dan satu tujuan. Ketika kesemuanya itu terpadu kedalam sebuah kebulatan maka nantinya akan terbentuk suatu kekuatan yang mendukung seorang pemimpin, seperti telah direntang pada bagian diatas.

Namun penting juga diingat ada ungkapan dalam masyarakat Minangkabau. Tungkek mambaok rabah, singgarik mambaok jatuah, piawai nan mamacah timbo. Artinya tongkat membawa rebah, singgarik membawa jatuh, piawai yang memecah timba. Berisi anjuran atau peringatan agar berhati-hati dalam kehidupan ini khususnya bagi seorang pemimpin, sebab tidak jarang apa yang diharapkan membantu malahan sebaliknya. Misalnya, seorang pemimpin yang salah memilih pegawai, orang kepercayaan kadang malah menimbulkan permasalahan fatal kelak kemudian hari, manuhuak kawan sairiang, mangguntiang dalam lipatan, musang babulu ayam, musuah dalam salimuik -namanya untuk menyebutkan perihal diatas.

Seorang pemimpin juga memiliki prinsip, tak ado karuah nan tak ka janiah, tak ado kusuik nan tak ka salasai. Setiap persoalan maka ada jalan keluarnya untuk menyelesaikannya. Demikian pula dalam mengambil suatu keputusan harus bijaksana, sehingga ibarat maambiak rambuik dalam tapuang, nan rambuik indak putuih, tapuang indak taserak.

Akhirnya, tungkek bana nan mambaok rabah– tongkat malah yang membawa jatuh-rebah tidaklah terjadi dalam kehidupan kita. Namun tungkek sebagai panutan, pemimpin yang membuat kita tegap berdiri dengan baik dan itulah sesungguhnya pemimpin yang sejati. Dikenang sampai akhir hayat nantinya.

Pembangunan Gedung Baru Pusat Data Matrilineal

0
Proses pembangunan gedung baru BPNB Sumbar. Rencananya gedung ini akan dijadikan sebagai Pusat Data Kebudayaan Matrilineal.

Padang – Pembangunan gedung baru Pusat Data Kebudayaan Matrilineal BPNB Sumatera Barat terus dikebut. Berbagai material bangunan seperti besi, pasir, batu, dan semen terlihat menumpuk di sekitar pembangunan. Para pekerja juga sedang sibuk melakukan pekerjaannya. Selain itu tulang-tulang besi sebagai rangka tonggak bangunan juga sudah berdiri. Jika tidak ada halangan, pembangunan ini ditargetkan rampung pada desember 2018.

Baca juga: Belajar sipak rago bersama maestro

Gedung baru ini berada di lingkungan kantor BPNB Sumatera Barat di Jl. Kuranji Padang, tepatnya di belakang kantor sekarang. Peletakan baru pertama sudah dimulai sejak 23 Agustus 2018. Sesuai dengan kontrak kerja, pembangunan akan memakan waktu 120 hari kerja. Bangunan ini nantinya terdiri dari dua lantai dengan panjang sekitar 40 meter. Nantinya gedung baru ini akan dibuat dua lantai dengan biaya pembangunan sekitar Rp. 2.3 Milyar.

Wacana pembangunan gedung baru ini telah dimulai sejak tiga tahun lalu. Kebutuhan akan adanya pusat data menjadi alasan utama munculnya ide pengadaan gedung baru. Gedung yang ada saat ini tidak cukup representatif lagi jika harus dijadikan sebagai pusat data. Nantinya gedung ini juga akan dijadikan sebagai Pusat Data Kebudayaan Matrilineal. Hal ini sesuai dengan spesifikasi tugas dan fungsi kantor yang konsen pada pelestarian budaya matrilineal.

Hingga kini proses pembangunan berjalan lancar, tapi kemungkinan kondisi cuaca yang memasuki musim hujan akan menghambat pembangunan bisa selesai tepat waktu. (FM)