Tiwah : Mengantar Salumpuk Liau ke Lewu Liau

0
3003

Kematian bukanlah titik akhir. Bagi pemeluk Kaharingan, ketika seseorang meninggal dan dimakamkan, masih ada satu proses lagi yang harus dilewati oleh orang yang meninggal untuk dapat kembali ke tahta Ranying Hattala. Upacara Tiwah yang merupakan upacara sakral terbesar di kalangan pemeluk Kaharingan dilaksanakan untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju ke Lewu Tatau Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Dia Kamalesu Uhate, Lewu Tatau Habaras Bulau, Habasung Hintan, Hakarangan Lamiang (negeri yang kaya raya, indah, tidak ada lagi penderitaan) atau Lewu Liau yang terletak di langit ketujuh. Salumpuk Liau harus dikembalikan kepada Hatalla karena tanpa diantar ke Lewu Liau melalui upacara Tiwah, tidak mungkin Salumpuk Liau dapat mencapai Lewu Liau. Dalam ajaran Kaharingan, perjalanan jauh harus ditempuh untuk dapat menuju Lewu Liau. Untuk dapat menuju ke tempat tersebut, harus melewati empat puluh lapisan embun, melalui sungai-sungai, gunung-gunung, tasik, laut, telaga jembatan-jembatan sehingga bila pelaksanaan upacara Tiwah tidak sempurna, Salumpuk Liau yang diantar menuju alam baka dapat tersesat.

Upacara Tiwah biasanya berlangsung antara tujuh sampai empat puluh hari. Lamanya pelaksanaan upacara ini tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu, upacara Tiwah dapat ditunda pelaksanannya hingga terkumpul dana atau dapat juga bergabung dengan keluarga lain untuk bersama-sama melaksanakan upacara sakral tersebut (prinsip gotong-royong). Sebagai upacara sakral terbesar,  upacara ini memiliki resiko tinggi sehingga segala persiapan dan pelaksanaannya harus dilakukan dengan cermat. Bila terjadi kekeliruan atau pelaksanaan tidak sempurna, para ahli waris yang ditinggalkan akan menanggung beban berat seperti jauh dari rejeki atau terganggu kesehatannya.

Upacara tiwah melibatkan perantara yaitu Rawing Tempon Telon, Raja Dohong Bulau atau Mantir Mama Luing Bungai Raja Malawung  Bulau yang bertempat tinggal di langit ketiga. Dalam pelaksanaan tugas dan kewajibannya, Rawing Tempon Telon dibantu oleh Telon dan  Hamparung dengan melalui bermacam-macam rintangan sementara pelaksanaan di Pantai Danum Kalunen atau di bumi dilakukan oleh balian atau basir.  Upacara Tiwah diadakan di rumah Bakas Tiwah (biasanya salah satu Bakas Lewu – sesepuh kampung). Pada hari pertama, upacara diawali dengan mendirikan sebuah bangunan berbentuk rumah yang dinamakan Balai Pangun Jandau yang artinya mendirikan balai hanya dalam waktu satu hari. Persyaratan yang harus dipenuhi yaitu seekor babi yang dibunuh sendiri oleh Bakas Tiwah. Di hari kedua, didirikan Sangkaraya  Sandung Rahung yang diletakkan di depan rumah Bakas Tiwah. Bangunan ini digunakan untuk menyimpan tulang belulang Salumpuk Liau. Setelah itu seekor babi akan diambil darahnya untuk Mamalas Sangkaraya Sandung Rahung.  Disekitar Sangkaraya dipasang bambu kuning dan lamiang atau tamiang palingkau  juga kain berwarna kuning, serta bendera panjang berwarna kuning bergambar bulan ditengahnya dengan gambar sinar matahari dari atas.  Di hari kedua ini, alat-alat musik seperti gandang, garantung, kangkanung, katambung, toroi dan tarai mulai dibunyikan. Semua alat music dan semua perkakas ini harus dipalas atau disaki dengan darah binatang yang telah ditentukan.  Pada hari itu seorang penawur mulai melaksanakan tugasnya menawur untuk menghubungi  salumpuk liau yang akan diikutsertakan dalam tiwah.

Di hari ketiga, babi, sapi atau kerbau diikat di tiang Sangkaraya. Tiga orang bertugas mangajan (merupakan tarian sacral, biasanya membentuk formasi tarian) disertai dengan tetabuhan bunyi alat music dan pekik/sorak kegembiraan di sana-sini. Pada hari itu beras merah dan beras kuning ditaburkan ke arah atas. Setelah mangajan selesai,  hewan korban dibunuh dan darahnya dikumpulkan pada sebuah sangku. Darah tersebut akan digunakan untuk membasuh segala kotoran yaitu untuk menyaki dan memalas semua orang yang berada di kampung juga semua peralatan yang digunakan dalam upacara ini. Mereka percaya jika darah hewan yang dikorbankan adalah darah Rawing Tempun Telon yang telah disucikan oleh Ranying Hatalla.

Di hari keempat, di dekat Sangkaraya didirikan tiang panjang bernama Tihang Mandera. Tiang ini merupakan sebuah tanda untuk pemberitahuan kepada orang-orang yang datang bahwa di kampung sedang  berlangsung upacara Tiwah sehingga kampung tertutup bagi lalu lintas umum. Mereka yang belum disaki atau dipalas dilarang menginjakkan kaki di kampung. Sementara itu di hari ke empat ini, penawur dengan duduk di atas gong mulai berkomunikasi dengan orang-orang yang telah meninggal dunia, para sangiang dan Jata untuk memohon perlindungan bagi sanak keluarga yang ditinggalkan serta semua orang yang hadir. Penawur juga memanggil Antang untuk menjaga keamanan kampung serta berkomunikasi dengan Raja Pali (penguasa semua larangan). Permohonan ijin dan pemberitahuan pelaksanaan tiwah dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman raja pali akan peristiwa sacral tersebut. Proses selanjutnya adalah pendirian Hampatung Halu yang diikat sebutir manik hitam dengan tengang beliat yang ditanam pada tanah berbatasan kampung.  Sejak hari itu hukum pali mulai dilaksanakan oleh para ahli waris salumpuk liau dengan batas waktu yang ditentukan (larangan berupa dilarang memakan beberapa jenis ianang seperti kijang, kancil dll serta makan daun tertentu seperti daun keladi dll).

Di hari kelima, Pantar Tabalien – jalan yang akan dilalui salumpuk liau menuju lewu liau, berupa tiang dari kayu ulin atau kayu besi yang menjulang tinggi – didirikan. Di hari ini, hewan-hewan yang dikurbankan (sapi, kerbau dll) diikat di Sapundu, sementara mereka yang hadir akan mengelilingi sapundu, menganjan tanpa henti siang dan malam. Di hari ini sandung mulai dibangun. Selain Sandung, sebuah belanga dengan ukuran besar (biasanya mahal) diletakkan di samping patung besar yang terbuat dari kayu. Dalam keyakinan orang Dayak, belanga berasal dari langit ketujuh sehingga siapapun yang diantar ke langit wajib menyediakan belanga.

Saat puncak upacara, Bakas Tiwah dan Basir dikenakan pakaian khusus yang telah dipersiapkan untuk upacara. Mereka berdua didudukkan di atas Katil Garing dengan memegang ketambung (sejenis gendang berukuran kecil). Posisi duduk basir berada ditengah diapit oleh dua orang serta empat orang duduk dibelakang. Penawur kemudian mengawali tantulak balian (buang sial) yang dimaksudkan untuk membuang segala bencana yang mungkin terjadi  selama prosesi sakral berlangsung.

Dalam pelaksanaan upacara Tiwah – sesuai syarat dari Ranying Hatalla dengan perantaraan Rawing Tempon Telon – dibutuhkan sifat ksatria, keberanian luar biasa, gagah perkasa serta  pantang menyerah. Sikap ini diekspresikan dengan datangnya sebuah lanting rakit dari hulu yang membawa rombongan tamu. Sebagai tamu, mereka tidak begitu saja diterima kehadirannya namun harus diuji keberaniannya. Begitu rombongan turun dari lanting rakit yang ditumpangi, mereka disambut dengan laluhan dan taharang. Kepada tamu yang datang, Bakas Tiwah bertanya asal usul rombongan yang baru saja datang dan tujuan kedatangan juga nama dan jenis binatang yang dibawa. Kemudian rombongan tamu akan menjawab pertanyaan tersebut dan tidak lupa menyebutkan tindak kepahlawanan yang mereka lakukan. Untuk membuktikan kebenaran perkataan mereka, Bakas Tiwah meminta kepada para tamu untuk memotong kayu penghalang yang ada didepan mereka atau manetek pantan.  Pantan merupakan batang kayu bulat yang panjangnya dua meter diikat melintang pada tiang setinggi pinggang dan diletakkan didepan rumah Bakas Tiwah. Bila rombongan mampu memotong batang tersebut hingga patah maka mereka dinilai sebagai ksatria yang memiliki keberanian luar biasa, gagah perkasa, pantang menyerah. Selesai manetek pantan, rombongan dipersilahkan bergabung.

Di hari ketujuh, Salumpuk Liau mengawali perjalanan menuju Lewu Liau. Proses ini diawali dengan penikaman hewan korban yang diikat di sapundu dengan menggunakan tombak sesuai aturan yang telah ditetapkan. Setelah penikaman dilanjutkan dengan tari kanjan (hanya dilakukan oleh laki-laki) dan kemudian dilanjutkan dengan memasak untuk mempersiapkan makanan untuk Sangiang, Nyaring, Antang dan lain sebagainya dengan tata cara pemberian makan yang telah diatur oleh adat.

Salumpuk bareng (tulang belulang)  kemudian digali dan pada hari itu dimasukkan ke sandung dilanjutkan dengan pendirian pantar (tiang yang terbuat dari kayu ulin dengan panjang atau tinggi berkisar 6-8 meter, tiang ini dianggap sebagai jembatan atau jalan yang digunakan oleh arwah yang ditiwahkan menuju ke Lewu Liau).  Upacara dianggap selesai jika seluruh prosesi telah dilaksanakan lengkap. Setelah hari ketujuh, balian dan basir diberi kesempatan beristirahat selama sehari sebelum acara dilanjutkan lagi selama 3 hari berturut-turut. Acara lanjutan ini merupakan ungkapan syukur dari keluarga Salumpuk Liau kepada para tamu yang telah hadir dan sekaligus memohon kepada Rawing Tempon Telun agar memberikan perlindungan.  Setelah semua prosesi selesai, sebagian anggota tiwah akan mengantarkan para rohaniawan Kaharingan yang terlibat dalam upacara Tiwah kembali ke tempatnya masing-masing.

Upacara Tiwah sebagai upacara sacral terbesar dikalangan pemeluk Kaharingan dipercaya telah ada/dilakukan sejak adanya manusia dibumi dengan tata cara pelaksanaan atas petunjuk dari Ranying Hatalla sendiri. Munculnya upacara Tiwah sendiri berkaitan dengan riwayat Raja Bunu dan istrinya sebagai nenek moyang manusia yang mendiami pantai danum kalunen atau bumi. Selanjutnya agar keturunan Raja Bunu dapat kembali berkumpul ke negeri atas maka diadakanlah upacara Tiwah.

Pelaksanaan upacara Tiwah di masing-masing daerah berbeda. Hal ini disebabkan karena upacara Tiwah dilakukan tanpa ada pedoman tertulis. Namun meskipun berbeda, namun tujuan dari pelaksanaan upacara ini tetap sama yaitu mengantarkan arwah ke negeri yang kekal.

Direview oleh: Septi Dhanik P. (Pengolah Data Nilai Budaya)

Disarikan dari tulisan Tjilik Riwut dengan judul buku Manaser Panatau Tatu Hiang, Menyelami Kekayaan Leluhur. Penyunting Nila Riwut, dicetak oleh NR Publishing, 2015 (cetakan kedua) hal 284-311.