Perkembangan tumbuhnya kerajinan keramik Plered sulit dilacak kapan memulainya. Walaupun demikian, dalam data tertulis dikatakan bahwa mulai tahun 1795, yaitu pada masa penjajahan Belanda, di sekitar Citalang Ada Lio-Lio (tempat pembuatan genteng dan batu bata), serta di sekitar Anjun (Panjunan) untuk pembuatan gerabah. Sejak itulah rumah-rumah rakyat yang semula beratap ijuk, sirap, daun kelapa atau alang-alang di sekitar Plered dan di kabupaten karawang mulai diganti dangan atap genteng. Genteng-genteng itu dibuat dengan memakai cetakan tradisional.
Menurut salah seorang tokoh keramik Plered yaitu Bapak Darma Kapal bahwa usaha kegiatan keramik ada sejak awal abad 20, tepatnya tahun 1904. Beberapa tokoh keramik pada tahun tersebut, di antaranya Dasjan, Sarkun, Wasja dan Suhara sudah memulai membuat keramik hanya saja pada saat itu produksinya berupa keramik gerabah kasar untu kebutuhan alat rumah tangga (benda pakai) seperti Kendi, Tempayan, Paso dan alat rumah tangga lainnya.
Mulai tahun 1935, produk gerabah yang di glasir di Plered menjadi industri rumah tangga. Pada tahun tersebut, terdapat perusahaan Belanda yang membuka pabrik glasir bernama Hendrik De Boa di Warung Kandang, Plered. Luas pabrik pemerintah Indonesia sejak tahun 1979 karena berbahaya bagi pernafasan. Tapi sayang masih ada juga genteng yang menggunakan glasir.
Pada jaman penjajahan Jepang, rakyat Plered sangat menderita seperti halnya di tempat-tempat lain di Indonesia. Rakyat Plered juga harus bekerja sebagai romusha, bekerja di markas Jepang yang letaknya di kaki Gunung Cupu dan Ciganea untuk membuat gua pertahanan tentara Jepang. Di Plered, pabrik De Boa dikuasai oleh Jepang dan namanya diganti menjadi jadi Toki Kojo, sehingga perusahaan tersebut tetap berjalan.
Pada masa kemerdekaan, banyak tukang gerabah ikut maju ke fron peperangan dan turut dalam pasukan rakyat di barisan Benteng atau Hisbullah menyerbu ke fron Padalarang, Tagog Apu atau fron Warung Jeruk. Dengan demikian, produksi gerabah dan keramik di Plered nyaris terhenti sama sekali.
Setelah penyerahan kedaulatan tanggal 20 Desember 1949, keadaan di Plered berangsur baik, sehingga produksi gerabah dan keramik mulai bangkit lagi. Dalam perjalanan selanjutnya keramik Plered telah mengalami kemajuan yang pesat dan menggembirakan karena dapat menyerap tenaga kerja cukup banyak serta hasil produksinya dapat memasuki pasar Eksport. Kualitas dan kuantitas produknya meningkat dan akhirnya kegiatan usaha ini menjadi mata pencaharian pokok terutama sebagian besar masyarakat Desa Anjun.
Pada tahun 1950, Bung Hatta membuka resmi Induk Keramik yang gedungnya dekat Gonggo. Mesin-mesin untuk menghaluskan tanah liat buatan Jerman dikirim langsung dari Jakarta. Induk Keramik yang berada di bawah binaan Dinas Perindustrian Jawa Barat memiliki tingkat produksi yang tinggi. Di samping memproduksi sendiri, Induk Keramik juga membimbing industri rumah tangga mulai dari aspek desain,bahan baku, sampai permodalan. Induk Keramik pernah jaya dan gemilang dalam sejarah perkeramikan di Plered. Hal ini dapat dibuktikan dengan produk keramik Plered yang telah digunakan untuk membangun atau menghiasi bagian-bagian dari beberapa gedung penting di Indonesia, yaitu:
- Pembuatan gentong dan jolang besar berukuran tinggi 170 cm dan diameter 150 cm yang dibuat dalam menghadapi Ganefo (Game Of The New Emerging Force) pada tanggal 10 November 1963. Gentong dan Jolang tersebut menghiasi Senayan, Istana Bogor dan Cipanas.
- Pembangunan Masjid Istqlal, dimana badan dan menaranya terbuat dari bata merah kecil yang diproduksi oleh Induk Keramik, karena tanah liat Plered memiliki sifat yang sangat lengket dan padat (plastis) sehingga baik untuk pembangunan
Sayang sekali, Induk Keramik hanya bertahan 5 tahun, setelah itu bangkrut karena kesalahan manajemen. Pabrik De Boa yang kemudian dikuasai oleh Dinas Perindustrian Jawa Barat juga harus bubar karena kesalahan manajemen. Pada tahun 1975, pernah berdiri PT. Asep Abubakar yang merupakan anak asuh dari Pabrik Semen Cibinong. Perusahaan ini sempat melakukan ekspor, tapi pada tahun 1990 mengalami kebangkrutan.
Pada tahun 1985 juga, seorang putra Plered bernama Suratani yang pernah bekerja di Taman Impian Jaya Ancol di bagian keramik, mengadakan pembaharuan. Umumnya, untuk membuat kermik yang indah, gerabah atau biskuitan dari tanah liat harus dibakar 2 (dua) kali. Gagasan yang diusulkan oleh Suratani adalah proses pembakaran gerabah atau biskuitan dari tanah liat tersebut cukup dilakukan sekali saja, kemudian dicat atau dipernis, lalu digosok dengan sikat agar menjadi mengkilat dan tampak indah. Karena gagasan tersebut, banyak produk yang dihasilkan oleh Suratani yang digemari oleh pasar luar negeri, sehingga tiap bulan bisa mengekspor 2 – 3 kontainer. Gagasan tersebut juga membuahkan penghargaan dari presiden Republik Indonesia pada tahun 1985.
Kronologis perkembangan keramik Plered dimulai pada abad 20;
- Generasi pertama Th. 1904 – 1915 ditokohi oleh Ki Dasjan, Sarkun, Aspi dan Entas.
- Generasi kedua dimulai Th. 1920 ditokohi oleh Saad, Tarman, Sura dan Arsah.
- Generasi ketiga berkembang Th. 1925 ditokohi oleh Darma Kapal, Abu Gani, Soleh dan Suarno.
Pada tahun 1950, generasi ketiga memprakarsai pendirian Induk Keramik Plered yang berfungsi sebagai lembaga sarana peningkatan dan pengembangan kegiatan usaha keramik sampai pada tahun 1963 kerajinan keramik mengalami masa kejayaan dilihat dari kualitas produk yang dihasilkan maupun kuantitasnya. Perkembangan berikutnya keramik plered mengalami pasang surut akan tetapi pada era tahun 80an mulai menggeliat lagi dan malah sempat booming pada paruh tahun 1990 – 2000 dengan keramik gerabah terracotta nya.
Dikutip dari:
Irvan Setiawan, dkk, 2006, “Keramik Plered”,
Laporan Pengkajian Sejarah dan Nilai Budaya, Bandung: BKSNT Bandung.