Indonesia dikenal dengan beragam kuliner yang kerap disandingkan dengan beragam jenis sambal. Di Jawa Barat, khususnya pada masyarakat Sunda, sambal dapat dikatakan berperan sangat penting sebagai pelengkap menu utama, yaitu nasi.
Nasi sebagai makanan pokok pada masyarakat Sunda memiliki rasa khas dan akan disantap dengan menu-menu yang saling mendukung dengan rasa nasi tersebut. Proses pencarian menu diantaranya dilakukan dengan memanfaatkan kekayaan alam sekitar. Salah satu menu pada masyarakat Sunda terutama wilayah priangan yang sangat dikenal adalah lalaban. Data yang dikemukakan Unus Suriawiria (dalam Rahman, 2018: 290) menyatakan bahwa:
“Orang Sunda mengenal sekitar 59 jenis pucuk/daun muda, 18 jenis bunga, 20 jenis buah muda, serta belasan biji-bijian yang dapat dimanfaatkan sebagai lalab.”
Kegemaran menyantap menu lalaban bahkan sudah diketahui bahkan oleh masyarakat di luar Jawa Barat sehingga memunculkan guyonan bahwa sangat mudah menikah dengan perempuan Sunda karena tidak perlu biaya mahal untuk memberi makan. Berikan setumpuk dedaunan muda sudah cukup mengenyangkan. Guyonan tersebut sekilas memang terkesan ringan dan tidak begitu dipermasalahkan, namun apabila dilihat dari segi rasa maka akan tampak adanya kesenjangan rasa antara lalaban dengan nasi yang semestinya saling mendukung. Harus ada “jembatan” yang menghubungkan antara rasa nasi dengan lalaban. Jawaban yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat sunda adalah jelas, yaitu sambal.
Cabai (Capsicum annuum L.) sebagai pemicu rasa pedas pada sambal diketahui merupakan tanaman asli benua Amerika bagian selatan yang dibawa oleh Portugis dan Spanyol sebagai bahan komoditi untuk ditukar dengan barang lainnya di kawasan Asia yaitu India sekitar abad XVI. Rasa pedas cabai adalah khas dan menjadi daya tarik untuk diuji coba ke berbagai menu masakan di India yang sebelumnya sudah mengenal rasa pedas yang diperoleh dari jahe dan lada. Indonesia yang menjadi bagian dari lintas perdagangan dan penyebaran agama oleh saudagar dan rohaniwan India turut menyertakan pula menu masakan pedas sehingga menciptakan varian-varian baru menu masakan dan sambal di Indonesia. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Fadly Rahman (dalam Santosa, tt: 455) yang mengatakan bahwa pada masa kolonial sekitar abad ke-19 rasa pedas pada sambal dihasilkan dari olahan antara unsur Cabya Jawa (Piper retrofractum), lada (Piper nigrum), dan jahe (Zingiber officinale).
Cabai – berbeda dengan cabai jawa – ternyata telah tumbuh jauh sebelum masa kolonial. Lodewycksz (dalam Reid, 2020) menyebut angka tahun 1596, yaitu saat gubernur Banten menemukan tanaman cabai di pulau Jawa. Fungsi dan kegunaan cabai dalam menu masakan kemudian mulai menggeser penggunaan lada dari berbagai menu karena sudah semakin langka dan “kemungkinan” banyak dijadikan komoditi utama barter.
Cabai kemudian mulai mengisi dan menambah variasi dari berbagai menu masakan. Faktor rasa cabai yang sudah familiar kemudian mengisi ruang-ruang fungsi dan peranan makanan. Seperti halnya pendapat yang dikemukakan Kahn (dalam Nurti, 2017: 4) tentang fungsi dan peranan makanan yang tercantum dalam hasil penelitiannya di Melanesia, Mikronesia, dan Polinesia menyebutkan bahwa
“Makanan memiliki fungsi dan peranan sosial sebagai sarana adat komunikasi, standar kekayaan, sebuah barometer status sosial, dan sebagai mediator simbolik dalam mendefinisikan dan memanipulasi kekerabatan dan hubungan sosial”
Penelitian Kahn dalam hal ini juga dapat menjadi acuan dalam fungsi dan peranan ragam variasi makanan di Indonesia. Salah satu wilayah yang memiliki keragaman makanan adalah di Jawa Barat. Ada yang berfungsi sebagai makanan rumahan, dan ada juga yang disajikan pada acara-acara tertentu baik yang berkaitan dengan perayaan atau dalam ritual keagamaan. Sehingga tidak jarang fungsi dan peranan makanan menjadi ciri khas pada kegiatan-kegiatan tersebut dan menjadikannya sebagai bagian tidak terpisahkan.
Cabai dalam hal ini menjadi unsur rasa yang banyak diminati masyarakat Jawa Barat, dan beberapa diantaranya diwujudkan dalam variasi menu sambal. Fungsi sambal dalam kebanyakan menu makanan pada masyarakat Sunda berperan sebagai “pengantar” rasa yang menghubungkan antara nasi dengan menu lainnya yang beragam pula. Keragaman menu makanan menjadikan sambal yang berfungsi sebagai pengantar rasa juga turut disesuaikan dengan rasa pada menu yang tersaji. Oleh karena itu, menu sambal pada masyarakat Sunda menjadi sangat beragam, seperti sambal oncom, sambal dadak, sambal muncang, sambal cikur, dan sambal cibiuk. Awal mula pembuatan dan penamaan dari variasi sambal tersebut masih belum banyak diketahui dan diteliti. Sekilas Penamaan hanya didasarkan pada bahan utama yang menjadi pembeda dengan sambal lainnya. Misalnya sambal oncom, yaitu sambal yang menggunakan oncom sebagai bahan utama sekaligus pembeda dengan sambal lainnya. Sambal cikur adalah sambal yang menggunakan cikur sebagai bahan utamanya. Berbeda dengan pemberian nama-nama sambal pada umumnya, hanya ada satu sambal yang menggunakan nama wilayah, yaitu sambal cibiuk. Pengertian dari nama Cibiuk adalah sama alasan penggunaan nama sambal lainnya, yaitu bahwa sambal cibiuk adalah sambal yang berasal dari cibiuk.
Pemberian nama wilayah pada sambal cibiuk memberi suatu indikasi adanya unsur kesejarahan dan menjadikannya suatu kekhasan wilayah tersebut. Unsur kesejarahan dimaksud adalah seperti yang banyak tersebar di media berita online mengenai peran Syeh Ja’far Sidiq sebagai tokoh yang berada dibalik ketenaran sambal cibiuk. Sosok Syeh Ja’far Sidiq adalah seorang ulama yang memiliki banyak murid serta silsilah yang disebut memiliki hubungan kekerabatan dengan Prabu Siliwangi. Keulamaan Syeh Ja’far Sidiq diperoleh melalui pembelajaran ilmu agama (Islam) dari Cirebon untuk kemudian disyiarkan di Kab. Garut atau secara spesifik di Kecamatan Cibiuk.
Faktor keterpengaruhan antara keterkenalan sambal cibiuk khususnya pada masyarakat Jawa Barat – khususnya Kabupaten Garut – dengan sosok Syeh Ja’far Sidiq menjadikan suatu keunikan tersendiri pada sambal cibiuk sekaligus menimbulkan tanda tanya mengenai kaitan antara keduanya.
Nama “Cibiuk” berdasarkan hasil penggalian data berasal dari ungkapan dalam bahasa Arab yang berbunyi “Fibala fi kalibacin”. Fibaladi diartikan sebagai “kampung, dan fi kalibacin artinya adalah air yang bau. Ungkapan ini kemudian diungkapkan dalam bahasa Sunda menjadi ci (air), dan bau (biuk). Ungkapan tersebut dalam legenda dilontarkan oleh Syeh Jafar Siddik tatkala beliau mendapatkan lokasi yang sesuai untuk dijadikan pesantren, yang saat ini berada di Desa Cibiuk Kidul. Sepotong ranting yang dibawa oleh Syeh Jafar siddik kemudian ditancapkan sebagai penanda lokasi. Masyarakat meyakini bahwa tangkai tersebut kemudian tumbuh besar menjadi sebuah pohon bernama Pohon Kendal. DI dekat pohon Kendal, Syeh Jafar Siddik membangun sebuah mushola berukuran 6,5 x 6,5 m2.
Sambal Cibiuk adalah sambal yang dibuat oleh anak dari istri pertama Syeh Jaffar Siddik bernama Nyi Mas Fatimah. Dikenalnya sambal yang dibuat oleh Nyimas Fatimah dilatarbelakangi oleh kebiasaan Nyimas Fatimah yang menjamu tamu dari ayahnya dengan sajian nasi serta sambal cibiuk dan beberapa tangkai tanaman kangkung yang berukuran besar. Diceritakan bahwa rasa kangkung yang pahit kemudian dipadukan dengan sambal buatan Nyimas Fatimah menghasilkan rasa enak. Ungkapan dan apresiasi para tamu Syeh Jafar Siddik terhadap sambal buatan Nyimas Fatimah kemudian tersebar ke masyarakat luas dan tetap bertahan hingga saat ini dengan nama Sambal Cibiuk.
Sambal yang dibuat Nyimas Fatimah terbuat dari beberapa bahan, antara lain, cabai, cikur, asam jawa, terasi, dan gula merah. Salah satu bahan yang cukup menarik adalah terasi. Jika dikaitkan unsur wilayah, masyarakat di Kabupaten Garut tidak terbiasa membuat terasi. Wilayah yang dikenal sebagai pembuatan terasi adalah Cirebon. Dengan demikian faktor sejarah kemudian menguatkan adanya kaitan antara hubungan Cirebon dengan Garut pada kasus sambal Cibiuk. Hubungan Cirebon dan Garut kemudian diperkuat dengan proses keulamaan Syag Jaffar Siddik yang mendalami ilmu keagamaannya pada Pangeran Syarif Hidayatullah (Sunan Gunungjati). Bukti lain yang semakin memperkuat adalah “momolo”. Yaitu bagian puncak musholla Riyadushalihin sangat berbeda dengan mushola atau mesjid lainnya di wilayah Garut, namun lebih mirip dengan mushola atau mesjid (kuno) yang banyak tersebar di wilayah Cirebon.
Saat ini, Sambal Cibiuk sudah menjadi sambal yang menjadi ciri khas Kabupaten Garut. Penguatan ciri khas adalah melalui persebaran rumah makan dan warung-warung yang menyajikan sambal Cibiuk di wilayah Kabupaten Garut. Sebaran warung dan rumah makan sambal cibiuk semakin banyak berada di Kecamatan Cibiuk.
Daftar Pustaka
Nurti, Yevita, 2017, “Kajian Makanan dalam Perspektif Antropologi”, JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya. Juni 2017. Vol. 19 (1): 1-10
Rahman, Fadly, 2018. “Sunda dan Budaya Lalaban: Melacak Masa Lalu Budaya Makan Sunda”, Jurnal METAHUMANIORA Volume 8 Nomor 3 Desember 2018 Halaman 289—299
Santosa, Hadyan Nandana. tt. “Variasi olahan sambal di Hindia-Belanda abad 19 sampai awal Abad 20”, Historiography: Journal of Indonesian History and Education Vol. 1 hlm. 452 – 458.