Latar Belakang Masalah
Bila berbicara tentang batik tentu kita lebih akrab dengan batik Yogya dan Solo, akan tetapi dalam dua dekade terakhir khasanah perbatikan diramaikan oleh batik dari berbagai daerah, misalnya batik Garut, batik Banten, dan batik Betawi. Kehadiran batik-batik itu tentu saja tidak terlepas dari pengaruh otonomi daerah yang bergulir sejak masa reformasi. Dengan adanya otonomi daerah, berbagai daerah berusaha untuk membangun daerahnya sesuai dengan kharakteristik daerahnya masing-masing.
Dengan demikian, banyak daerah yang berusaha untuk menggali potensi daerahnya terutama hal-hal yang berkaitan dengan ciri khas yang dapat mengokohkan indentitasnya. Hal yang paling signifikan dalam upaya tersebut ialah menggali potensi budaya yang dimilikinya. Salah satu potensi budaya yang dapat mengokohkan identitas ialah busana, maka tidak heran bila berbagai daerah berusaha untuk menggali kekayaan busananya untuk dijadikan ikon yang dapat mengokohkan indentitas daerahnya.
Bagi bangsa Indonesia, batik merupakan busana yang sudah menjadi ikon indentitas bangsa, sehingga pemerintah berusaha untuk mendaftarkan batik sebagai warisan dunia. Ketika akhirnya batik terdaftar sebagai warisan dunia muncul lah eforia, banyak daerah yang berusaha melahirkan batik yang khas daerahnya untuk mendukung keberhasilan diakuinya batik sebagai warisan dunia asal Indonesia.
Dalam suasana eforia itu masyarakat Betawi berhasil merevitalisasi Batik Betawi sehingga Batik Betawi yang sudah lama hilang muncul kembali. Berangkat dari realitas seperti itu, Balai Pelestaraian Nilai Budaya Jawa Barat merasa perlu untuk menkaji kelahiran kembali Batik Betawi dengan judul “Sejarah Batik di DKI Jakarta: Peranan Yayasan Keluarga Batik Betawi dalam Merevitalisasi Batik Betawi.”
Perumusan Masalah
Menurut Primus Supriono dalam bukunya yang berjudul:”THE HERITAGE OF BATIK: Indentitas Pemersatu Kebanggaan Bangsa (2016)” upaya pembuatan dan penjualan batik di Jakarta sudah dimulai sejak akhir abad ke-19. Sebagai kota dagang, pada mulanya upaya perbatikan di Jakarta hanya berupa perdagangan. Seiring dengan berjalanya waktu upaya pembuatan batik juga terjadi, para pengrajin dan sekaligus pedagang batik dari daerah Solo, Yogya, Pekalongan, Cirebon, dan daerah lainnya mulai membuat batik di Jakarta maka tumbuhlah sentra-sentra batik di Jakarta yang meliputi daerah-daerah Tanah Abang seperti di Karet, Bendungan Ilir, Bendungan Udik, kebayoran Lama, Mampang Prapatan, dan Tebet.
Namun demikian, seiring dengan perkembangan kota Jakarta upaya perbatikan di Jakarta tergeser dan punah. Pembangunan gedung-gedung yang membuat harga tanah melangit menyebabkan upaya perbatikan tidak dianggap menguntungkan secara ekonomis. Kawasan sentra batik pun lenyap, batik Betawi juga punah. Setelah lama menghilang pada tahun 2010, sesuai tuntutan zaman ada upaya untuk merevitalisasi Batik Betawi dan usaha itu berhasil menghidupkan lagi Batik Betawi.
Dari fenomena di atas timbul masalah pokok dalam penelitian ini, yaitu “Bagaimanakah upaya Yayasan Keluarga Batik Betawi merevitalisasi Batik Betawi?”. Dari permasalah pokok penelitian itu, kemudian dijabarkan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1) Faktor apa yang mendorong untuk merevitalisasi Batik Betawi?; 2) Upaya-upaya apa yang dilakukan untuk merevitalisasi Batik Betawi?; 3) Apa hambatan yang dihadapi dalam merevitalisasi Batik Betawi?; 4) Apa saja yang dihasilkan dari upaya merevitalisasi Batik Betawi?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian “Sejarah Batik di Jakarta: Peranan Yayasan Keluarga Batik Betawi dalam Merevitalisasi Batik Betawi” dimaksudkan untuk mempelajari serta sedapat mungkin menemukan akar permasalahan mengenai apa dan siapa di balik upaya merevitalisasi Batik Betawi. Fokus penelitian ini ditekankan guna mencari jawab atas permasalahan yang telah dirumuskan di atas. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan dinamika di dalam upaya merevitalisasi Batik Betawi.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang . terbagi ke dalam 4 tahap, yaitu: (1) Heuristik, menghimpun bukti sejarah; (2) Kritik, menguji dan menilai bukti-bukti sejarah; (3) Interpretasi, memahami makna yang sebenarnya atas bukti-bukti sejarah yang telah dinilai itu; dan (4) Historiografi, penulisan sejarah.
Dalam penelitian ini, pada tahap heuristik, pencarian dan pengumpulan data akan dilakukan di berbagai tempat yang terdapat di Jakarta, antara lain: di Perpustakaan Lembaga Kebudayaan Betawi, Perpustakaan Daerah DKI Jakarta, Perpustakaan Nasional, dan Arsip Nasional. Selain itu, pencarian data dilakukan di Lembaga Kebudayaan Betawi, di Yayasan Keluarga Batik Betawi, di Museum Tekstil, dan di sepuluh Butik yang memroduksi Batik Betawi, yaitu: Seraci Batik Betawi, Mawar Batik Betawi, Kebon Bawang Batik Betawi, Gandaria Batik Beawi, Warung None Batik Betawi, Surya Cipta Batik Betawi, Terogong Batik Betawi, Milla House, Bani Said, dan Al Jakartati. Pada tahap kritik, dilakukan pengujian data baik secara eksternal maupun internal. Kritik eksternal tujuannya untuk menguji apakah sumber itu benar-benar sumber sejati, artinya asli, otentik, utuh, dan tidak berubah-ubah. Adapun kritik internal digunakan untuk memastikan apakah sumber sejarah itu isinya dapat dipercaya atau tidak.
Pada tahap interpretasi, data-data yang telah diseleksi (fakta) kemudian direkonstruksi. Proses rekonstruksi didasarkan pada tiga kategori pertanyaan, yaitu: (1) Pertanyaan Peristiwa (apa peristiwa yang terjadi, siapa pelakunya, kapan waktunya, di mana tempatnya?); (2) Pertanyaan Deskriptif (bagaimana prosesnya, menyangkut persoalan peristiwa?); (3) Pertanyaan Kausalitas (mengapa hal itu terjadi, apa jadinya, dan apa akibatnya?). Selanjutnya pada tahap Historiografi, seluruh kegiatan yang telah dilakukan pada tiga tahap sebelumnya dipaparkan dalam bentuk laporan ilmiah.
Sumber:
Heru Erwantoro dkk, “Sejarah Batik Di DKI Jakarta,
Peranan Yayasan Keluarga Batik Betawi dalam
Merevitalisasi Batik Betawi”,
Laporan Penelitian, Bandung: BPNB Jabar, 2018