NILAI BUDAYA ARSITEKTUR MASJID SANG CIPTA RASA CIREBON PROVINSI JAWA BARAT
Suwardi Alamsyah P.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun atas prakarsa Sunan Gunung Jati, sekira tahun 1498-1500 Masehi yang pembangunannya dipimpin oleh Sunan Kalijaga dengan seorang arsitek bernama Pangeran Sepat dari Majapahit bersama pembantunya dari Demak dan Cirebon. Pembangunan masjid ini terlahir dari rasa dan kepercayaan untuk mengagungkan Sang Khalik dan untuk membangun rasa keagungan. Arsitektur bangunan masjid ini, dibangun dengan memadukan unsur-unsur budaya pra Islam, baik bentuk, struktur dan ragam hiasnya, walau tidak secara langsung, tetapi tetap mempertahankan tata nilai yang ada sepanjang perjalanan sejarahnya. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan memahami peranan masyarakat di dalam mempertahankan arsitektur masjid serta fungsi simbol-simbol dalam kehidupan masyarakat serta hubungannya dengan arsitektur Masjid Sang Cipta Rasa. Metode penelitian ini didasarkan pendapat yang dikemukakan Winarno Surakhmad (1985:139), bahwa: suatu cara yang digunakan untuk menyelidiki dan memecahkan masalah yang tidak terbatas pada pengumpulan data, melainkan meliputi analisis dan interpretasi sampai pada kesimpulan yang didasarkan atas penelitian tersebut.
MITOS DAN NILAI DALAM CERITA RAKYAT MASYARAKAT LAMPUNG
Tjetjep Rosmana
Untuk mengungkapkan nilai-nilai luhur, sesungguhnya terdapat di dalam cerita rakyat, antara lain nilai-nilai luhur yang menyangkut tentang ajaran moral, harga diri, jati diri, kerja keras, tegang rasa, dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut sangat baik ditanamkan dalam kehidupan kita, terutama kepada anak-anak sebagai penerus bangsa. Dalam tulisan mitos dan nilai dalam cerita rakyat masyarakat Lampung ini menggunakan pendekatan deskritif analisis content untuk menjelaskan cerita rakyat yang dikumpulkan. Data yang dikumpulkan tersebut disusun dan dianalisis, terutama dari segi struktur cerita dan nilainya. Selain itu dipergunakan metode komparatif analisis untuk membedakan jenis cerita dengan harapan dapat menyimak nilai-nilai luhur tersebut sebagai sistem pengendalian sosial yang dapat mewujudkan kehidupan yang tenteram, bersatu, dan harmonis. Dari tulisan ini kiranya dapat digarisbawahi betapa pentingnya nilai-nilai luhur tersebut di dalam kehidupan kita, terutama untuk anak agar berbudi pekerti sebagai pembentuk karakter bangsa.
ARSITEKTUR RUMAH ADAT KAMPUNG KEPUTIHAN
Yuzar Purnama
Kampung Keputihan merupakan kampung adat yang berlokasi di wilayah Sumber, Kecamatan Weru, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat. Sebagai masyarakat adat dalam kehidupan sehari-harinya masih menjaga dan memelihara adat istiadat leluhurnya termasuk arsitektur rumah. Sementara itu, di masyarakat khususnya generasi muda banyak yang tidak mengetahui produk budaya daerah termasuk di dalamnya arsitektur rumah tradisional. Penelitian arsitektur rumah tradisional di Kampung Keputihan meliputi struktur, teknik membangun, persiapan dan pelaksana, serta upacara tradisional yang menyertainya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan deskripsi analisis. Arsitektur rumah tradisional di Kampung Keputihan masih mengikuti kaidah-kaidah yang diwariskan dari leluhurnya, namun sebagian sudah mengalami pergeseran-pergeseran misalnya lantai yang sudah ditembok dan genting sudah menggunakan asbes dan seng, serta sudah tidak memiliki lagi lumbung padi dan bale musyawarah.
POLA PENGASUHAN ANAK PADA KOMUNITAS ADAT GIRI JAYA (Suatu Tinjauan Sosial Budaya)
Nina Merlina
Pada prinsipnya, pola pengasuhan anak merupakan proses sosialisasi. Pola pengasuhan anak pada komunitas adat Giri Jaya Padepokan, menjadi bagian dari budaya masyarakat tersebut. Keluarga sebagai unit sosial terkecil, merupakan tempat seorang anak tumbuh dan berinteraksi. Keluarga juga memegang peran yang sangat penting dalam proses sosialisasi bagi anak-anak ketika ia beranjak dewasa dan bergaul dengan individu lainnya di dalam maupun di luar lingkungan masyarakat. Pola pengasuhan ini, pada gilirannya akan berperan besar dalam pembentukan karakter anak dalam perkembangan berikutnya. Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap dan mengetahui salah satu aspek kebudayaan mengenai kehidupan sosial budaya, terutama mengenai sistem dan pola pengasuhan anak pada komunitas adat Giri Jaya Padepokan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan penelaahan data yang bersifat kualitatif.
SEJARAH KOTA BANDUNG DARI ”BERGDESSA” (DESA UDIK) MENJADI BANDUNG ”HEURIN KU TANGTUNG” (METROPOLITAN)
Nandang Rusnandar
Bandung merupakan sebuah kota yang mempunyai alur sejarah yang sangat panjang, wilayah yang asalnya hanya sebuah Bergdessa „desa udik yang sunyi sepi yang terdiri dari 25 sampai 30 rumah…‟. Apabila dari satu rumah terdiri atas 4 orang anggota keluarga, maka dari 25 sampai 30 rumah tersebut diperkirakan penduduk di tempat itu berjumlah seratus dua puluhan jiwa dan diduga semuanya adalah orang Sunda. Itulah penduduk yang menempati „Dayeuh Bandung‟ sebagai cikal bakal Kota Bandung. Dewasa ini, Bandung terwujud sebuah kota metropolitan yang indah penuh sanjung. Tujuan penelitian ini mengungkapkan sejarah Kota Bandung. Metode penelitian yang dipergunakan heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Bandung berkembang sesuai dengan situasinya.
PESANTREN RIYADLUL AWAMIL Kabupaten Serang-Banten
Euis Thresnawaty S.
Tantangan dunia pesantren semakin besar dan berat di masa kini dan masa mendatang. Paradigma “mempertahankan warisan lama yang masih relevan dan mengambil hal terbaru yang lebih baik”, benar-benar penting untuk direnungkan kembali. Permasalahannya adalah karena dunia pesantren tidak hanya mempertahankan tradisi lama saja, tradisi lama itu tidak harus relevan untuk masa kini. Tidak bisa disangkal bahwa modernitas telah menawarkan banyak hal untuk direnungkan, terutama oleh kalangan pesantren. Karena hal tersebut maka dilakukan penelitian mengenai Sejarah Pesantren Riyadlul Awamil dengan tujuan untuk mengungkap latar belakang sejarah serta perkembangannya. Adapun metode yang digunakan adalah metode sejarah. Pada kenyataannya tidak semua pesantren melakukan perubahan. Bahkan sebagian besar tetap bartahan dengan sistem salafiyah atau tradisional. Salah satunya adalah Pesantren Riyadlul Awamil Kabupaten Serang yang telah berdiri sejak tahun 1908, dan tetap konsisten dengan tradisi salafiyahnya.
BUDAYA PRASEJARAH PADA BUKIT KERANG PANGKALAN, AKAR PLURALISME DAN MULTIKULTURALISME DI PESISIR TIMUR PULAU SUMATERA
Ketut Wiradnyana
Upaya meningkatkan pemahaman masyarakat akan Pluralisme dan multikulturalisme di pesisir timur Pulau Sumatera dapat dilakukan dengan penyebarluasan hasil penelitian arkeologis. Metode penelitian arkeologis yang holistik dalam satu kawasan yang disertai pemanfaatan hasil penelitian arkeologis di kawasan lainnya melalui perbandingan data di antaranya akan memberikan informasi proses plural dan multikultural yang telah terjadi pada suatu masyarakat. Akar pluralisme dan multikulturalisme dari sejak masa prasejarah terungkap melalui hasil penelitian di Situs Bukit Kerang Pangkalan yang menunjukkan adanya migrasi yang disertai tiga budaya besar yang berlangsung di daerah tersebut yakni budaya prahoabinh, hoabinh dan pasca hoabinh. Data arkeologis pada situs-situs di sekitar Bukit Kerang Pangkalan menunjukkan adanya migrasi kelompok manusia beserta budayanya dari budaya besar lainnya, seperti budaya Neolitik dengan kapak persegi dan gerabahnya dan budaya Dongson dengan artefak perunggunya.
DARI FEDERALIS KE UNITARIS: STUDI KASUS SULAWESI SELATAN 1945-1950
Muhammad Amir
Kajian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan menjelaskan latar belakang dan proses perubahan sistem ketatanegaraan dari federalis ke unitaris di Sulawesi Selatan 1945-1950. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode sejarah, yang menjelaskan persoalan penelitian berdasarkan perspektif sejarah. Prosedurnya meliputi empat tahapan, yaitu pencarian dan pengumpulan sumber (heuristik), kritik sumber (seleksi data), interpretasi (penafsiran), dan penyajian atau penulisan sejarah (historiografi). Hasil kajian menunjukkan bahwa pembentukan Negara Indonesia Timur (NIT) bukan semata-mata kehendak Belanda, melainkan juga keinginan sebagian masyarakat yang menghendaki negara Indonesia berbentuk federal. Negara federal diyakini tidak hanya sesuai dengan kondisi Indonesia yang terdiri atas beberapa pulau, etnis, dan budaya, tetapi juga akan memberikan kesempatan luas kepada pemerintah tiap-tiap negara bagian untuk mengelolah potensi wilayahnya masing-masing. Namun upaya untuk mempertahankan eksistensi NIT, kalah bersaing dengan semangat unitaris, sehingga melapangkan terwujudnya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.