Patanjala Volume 4

You are currently viewing Patanjala Volume 4

Patanjala Volume 4

  • Post author:
  • Post category:Patanjala

PATANJALA VOL. 4 NO. 1 MARCH 2012

Table of Contents

TAKHAYUL SEPUTAR KEHAMILAN DAN KELAHIRAN DALAM PANDANGAN ORANG LABUAN BAJO: TINJAUAN ANTROPOLOGI SASTRA
DOI : 10.30959/patanjala.v4i1.120
Uniawati Uniawati
Abstrak
Penelitian ini dilandasi oleh pemikiran bahwa takhayul merupakan salah satu bentuk tradisi lisan yang sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat, baik masyarakat tradisional maupun modern. Salah satu kelompok masyarakat yang hingga kini masih kuat terpengaruh dengan pola pemikiran lama adalah kelompok masyarakat Labuan Bajo. Masyarakat Labuan Bajo adalah salah satu kelompok masyarakat tradisional yang di dalamnya subur dengan kepercayaan yang bersifat takhayul. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua permasalahan, yaitu mengungkapkan bentuk dan isi takhayul yang terdapat di lingkungan masyarakat Labuan Bajo serta mendeskripsikan aspek-aspek budaya masyarakat tersebut berdasarkan takhayul yang terdapat di lingkungan mereka. Untuk menjawab kedua permasalah tersebut, digunakan pendekatan Antropologi Sastra. Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh secara lisan di lapangan berupa ungkapan tentang kepercayaan terhadap sesuatu yang bersifat takhayul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang Labuan Bajo pada dasarnya masih mengakui keberadaan takhayul hingga sekarang, namun tingkat kepercayaannya sudah berkurang dibandingkan dengan kepercayaan yang dimiliki oleh para pendahulunya. Para pendahulu (nenek moyang) orang Labuan Bajo memandang takhayul sebagai suatu bentuk kepercayaan yang akan menimbulkan bahaya atau bencana apabila dilanggar, sedangkan orang Labuan Bajo sekarang sebagian besar memandang takhayul sebagai sarana menyampaikan pendidikan akhlak, etika, dan budi pekerti dalam lingkungannya agar masyarakat hidup lebih beradab dan berbudaya. Untuk itu, beberapa takhayul masih dipelihara dalam komunitas masyarakat tersebut. (pdf)

NILAI PENDIDIKAN DALAM BUDAYA MENANAM PADI SUKU DAYAK KANAYATN DI KALIMANTAN BARAT
DOI : 10.30959/patanjala.v4i1.121
Neni Puji Nur Rahmawati
Abstrak
Sebagian besar Suku Dayak Kanayatn menghuni wilayah Provinsi Kalimantan Barat, khususnya di daerah Kabupaten Pontianak, Kabupaten Landak, dan Kabupaten Bengkayang. Selain itu, ada juga yang tinggal di Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sambas, dan Kabupaten Ketapang. Masyarakat Dayak Kanayatn memiliki kearifan lokal dalam mengelola alam dan lingkungannya, misalnya dalam perladangan. Padi adalah tanaman yang sakral bagi masyarakat Dayak Kanayatn. Kehadiran padi dalam masyarakat Dayak Kanayatn diidentikkan dengan kehidupan. Mereka sangat menghormati padi, yang diwujudkan melalui aturan-aturan adat istiadat yang harus dilaksanakan, mulai dari pembukaan lahan sampai memanen. Kearifan lokal tersebut mengandung nilai-nilai luhur yang bersifat mendidik dan perlu untuk dicontoh. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui salah satu kebudayaan pada suku Dayak Kanayatn, terutama dalam budaya menanam padi yang mempunyai cara yang khas. Selain itu ingin menggali nilai-nilai pendidikan di balik kearifan lokal dalam proses menanam padi. Pendidikan dan kebudayaan sangat erat sekali hubungannya, keduanya saling mendukung satu sama lainnya. Setelah dicermati, ternyata dalam budaya menanam padi pada masyarakat Dayak Kanayatn mengandung beberapa nilai pendidikan, di antaranya: mendidik kita agar pandai bersyukur kepada Tuhan, mendidik kita untuk saling membantu dengan sesama, rajin berdoa kepada Tuhan, bisa berbagi dengan sesama, selalu melestarikan sastra lisan dan bahasa asli, dan agar bisa hidup sabar. (pdf)

ANGKLUNG: DARI ANGKLUNG TRADISIONAL KE ANGKLUNG MODERN
DOI : 10.30959/ptj.v4i1.122
Rosyadi Rosyadi
Abstrak
Angklung adalah alat musik tradisional Indonesia yang berasal dari tanah Sunda, terbuat dari bambu, yang dibunyikan dengan cara digoyangkan. Sebelum menjadi sebuah kesenian yang adiluhung seperti sekarang ini, kesenian Angklung telah mengalami perjalanan sejarah yang amat panjang. Berbagai perubahan telah dilaluinya mulai dari perubahan bentuk, fungsi, sampai pada perubahan nada. Demikian pula berbagai situasi telah dilaluinya, bahkan kesenian ini sempat mengalami keterpurukan pada awal abad ke-20. Angklung sebagai salah satu jenis kesenian yang berangkat dari kesenian tradisional, mengalami nasib yang tidak terlalu tragis dibandingkan dengan beberapa jenis kesenian tradisional lainnya. Kesenian ini hingga kini masih tetap bertahan, bahkan berkembang, dan sudah “mendunia” kendatipun dengan jenis irama dan nada yang berbeda dari nada semula. Kalau semula nada dasar kesenian Angklung adalah tangga nada pentatonis, kini telah berubah menjadi tangga nada diatonis yang memiliki solmisasi. Boleh dibilang, kesenian Angklung merupakan salah satu jenis kesenian tradisional yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, sehingga ia mampu bertahan di tengah terjangan arus modernisasi. Bahkan kesenian Angklung ini telah mendapat pengakuan dari UNESCO sebagai The Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity. Angklung sebagai warisan budaya dunia milik Indonesia yang dideklarasikan pada 16 Januari 2011. (pdf)

PERKEMBANGAN PERGURUAN ISLAM Al-KHAIRIYAH CILEGON BANTEN (1916-1950)
DOI : 10.30959/patanjala.v4i1.123
Herry Wiryono
Abstrak
Perjuangan masyarakat Cilegon Banten dalam menghadapi kaum penjajah dilakukan dengan berbagai cara. Cara yang dianggap paling efektif untuk menghadapinya adalah melalui pendidikan. K.H Syam’un sebagai salah seorang ulama di Cilegon mempunyai harapan dan idealisme yang tinggi untuk mengembangkan potensi masyarakat Cilegon dan sekitarnya melalui pendidikan. Ia mendirikan sebuah pesantren dengan nama Pesantren Al-Khairiyah dengan mengambil tempat di daerah asalnya, yaitu Citangkil. Kiai Syam’un berkeinginan agar keberadaan Pesantren Al-Khairiyah menjadi suatu lembaga yang bermanfaat bagi perkembangan dan kesejahteraan umat manusia khususnya daerah Cilegon dan Banten. Keinginan dan harapan Kiai Syam’un menjadi kenyataan. Pesantren Al-Khairiyah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sejak tahun 1916 sampai tahun 1930 Pesantren Al-Khairiyah Citangkil berhasil memasuki masa keemasan. Pesantren Al-Khairiyah dapat mengimbangi sekolah Pemerintah Belanda di Wilayah Cilegon. Pada masa perang kemerdekaan, ulama Banten di samping sebagai tokoh agama, juga mampu memegang jabatan di pemerintahan. Jabatan yang dipegang adalah jabatan residen, bupati, wedana, sampai birokrasi di bawahnya. Ulama Banten yang memegang jabatan di pemerintahan, antara lain; KH. Ali Jaya di Delingseng (Pulomerak-Cilegon); dan KH. Abdul Haq di Padarincang (Ciomas-Serang). (pdf)

RUMAH JUNTI DI DESA JUNTIKEBON KECAMATAN JUNTINYUAT KABUPATEN INDRAMAYU
DOI : 10.30959/patanjala.v4i1.124
Ria Intani T.
Abstrak
Desa Juntikebon Kecamatan Juntinyuat berada di Kabupaten Indramayu. Desa Juntikebon memiliki kekhasan dalam hal arsitektur rumah tinggal. Rumah tinggal penduduk asli Juntikebon berarsitektur tradisional. Bentuk rumahnya limasan dan srotongan dengan bahannya dari kayu dan bambu. Rumah limasan ditandai dengan bentuk atap berupa jajaran genjang, sedang rumah srotongan ditandai dengan bentuk atap segi tiga. Orang Junti (penggalan dari Juntikebon) rmenyebut rumah sejenis itu dengan rumah limasan dan srotongan. Orang di luar kecamatan sering menyebutnya dengan rumah Junti. Rumah limasan/srotongan/Junti menggunakan bahan-bahan yang pada umumnya diambil dari kebun sendiri. Selebihnya adalah dibeli dari lingkungan sekitar. Pekerja intinya adalah tukang bangunan dan tukang anyam, selebihnya adalah bantuan tenaga dari para tetangga. Dengan kondisi tenaga kerja yang demikian, pada umumnya membangun rumah limasan/srotongan/Junti selesai dalam kisaran waktu tiga minggu. Rumah limasan/srotongan/Junti dibangun dengan beradaptasi pada alam dan iklim setempat. Segala makna yang melekat pada bangunan rumah, sejatinya menggambarkan keyakinan serta pengharapan di dalam menjalani kehidupan. (pdf)

SAKAI SAMBAIAN : SISTEM GOTONG ROYONG DI LAMPUNG TIMUR
DOI : 10.30959/patanjala.v4i1.125
Ani Rostiyati Abstrak
Di Lampung Timur tepatnya di Desa Negara Nabung Kecamatan Sukadana, masyarakatnya masih memegang kuat nilai-nilai kegotongroyongan yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, baik gotong royong tolong-menolong maupun gotong royong kerja bakti. Masyarakat Negara Nabung menjalankan aktivitas gotong royong tolong-menolong dalam kehidupan sehari-hari, baik di bidang mata pencaharian hidup, kemasyarakatan, dan pelaksanaan upacara adat. Di bidang mata pencaharian, mereka melakukan gotong royong di bidang pertanian yakni di ladang (kebun) dan sawah. Selain bidang pertanian, gotong royong juga dilakukan dalam bidang kemasyarakatan yakni membantu dalam mendirikan rumah, kematian, dan jika ada musibah seperti sakit, kebakaran, kecelakaan dan lain-lain. Di bidang adat, masyarakat tolong-menolong dalam pelaksanaan upacara adat, misalnya dalam upacara perkawinan, kelahiran, dan pemberian gelar (cakak pepadun). Gotong royong kerja bakti juga dilakukan untuk kepentingan umum seperti memperbaiki jalan, mesjid, irigasi, dan balai desa. Namun demikian, tidak dipungkiri pada masa sekarang bentuk gotong royong mengalami perubahan akibat dari perkembangan teknologi, industrialisasi, dan modernisasi. Terlepas dari perubahan yang terjadi, sikap gotong royong pada masyarakat Negara Nabung masih cukup kuat melekat. Hal itu disebabkan di Desa Negara Nabung terdapat prinsip sakai sambaian, salah satu prinsip hidup gotong royong di Lampung. Sakai sambaian adalah nilai budaya penting pada masyarakat Negara Nabung yang sudah menjadi pedoman hidup sehari-hari. (pdf)

KESENIAN DEBUS DI KABUPATEN SERANG
DOI : 10.30959/patanjala.v4i1.126
Euis Thresnawaty S.
Abstrak
Sejarah kesenian Debus di Kabupaten Serang dapat dikatakan masih sangat gelap karena tidak ada sumber-sumber tertulis yang bisa menjelaskan atau mengungkapkan periode Debus sebelum abad 19. Umumnya sumber yang ada hanya menjelaskan bahwa debus mulai ada pada abad ke-16 atau ke-17 pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa. Periode yang mulai terang adalah ketika masa mendekati awal kemerdekaan yaitu tahun 1938 ketika di Kabupaten Serang berdiri kelompok seni Debus di Kecamatan Walantaka, itu pun dengan sumber sumber yang terbatas. Hal menarik dari kesenian Debus ini adalah karena pada awalnya kesenian Debus mempunyai fungsi sebagai penyebaran agama Islam tetapi terjadi perubahan fungsi pada masa penjajahan Belanda yaitu pada masa pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa seni ini digunakan untuk membangkitkan semangat perjuangan rakyat Banten melawan penjajah. Atas dasar itu maka dilakukan penelitian mengenai Sejarah Kesenian Debus di Kabupaten Serang dengan tujuan untuk dapat mengungkapkan latar belakang perjalanan sejarah serta dinamika perkembangannya. Adapun metode yang digunakan adalah metode sejarah. Saat ini permainan seni Debus dapat di katagorikan sebagai bentuk hiburan bagi masyarakat yang di dalamnya mengandung unsur zikir, silat, dan kekebalan.  (pdf)

SISTEM PENGOBATAN TRADISIONAL (Studi Kasus di Desa Juntinyuat, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu)
DOI : 10.30959/patanjala.v4i1.127
Yanti Nisfiyanti
Abstrak
Sejak dahulu nenek moyang kita telah menciptakan berbagai ramuan obat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan untuk mengobati sakit atau memelihara kesehatan. Tradisi tersebut di antaranya tertulis dalam naskah-naskah kuno yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Di antaranya disebutkan berbagai jenis penyakit yang sering diderita masyarakat dan berbagai jenis tumbuhan yang diramu untuk obatnya. Dalam perkembangannya, hasil riset para ahli mengungkapkan bahwa herbal yang digunakan dalam pengobatan tradisional tersebut terkandung berbagai zat yang bermanfaat bagi kesehatan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa sistem pengetahuan tentang pengobatan tradisional di Desa Juntinyuat merupakan warisan dari leluhurnya. Masyarakat Juntinyuat hanya meneruskan tradisi pengobatan yang sudah ada. Pengobatan tradisional yang mereka lakukan mencakup semua jenis penyakit yang diderita. Mulai dari penyakit ringan sampai penyakit yang berat, bahkan untuk memelihara kebugaran dan kesehatan badan. Mereka merasakan manfaat pengobatan tradisional meskipun tingkat kemanjuran obat tersebut memerlukan waktu yang lebih lama. Bahkan lebih efektif digunakan untuk memelihara kesehatan daripada untuk penyembuhan. Dari situ muncul tradisi minum jamu di kalangan masyarakat untuk memelihara kesehatan badan. Pengobatan tradisional ditempuh sebagai upaya pertolongan pertama atau darurat sebelum berobat ke medis. Namun demikian, apabila penyakit tidak dapat disembuhkan secara medis atau pengobatan secara medis tidak terjangkau biayanya, masyarakat kembali lagi ke pengobatan tradisional. (pdf)

SISTEM GOTONG ROYONG PADA MASYARAKAT BADUY DI DESA KANEKES PROVINSI BANTEN
DOI : 10.30959/patanjala.v4i1.128
Ria Andayani Somantri
Abstrak
Sistem Gotong-royong pada Masyarakat Baduy di Desa Kanekes, Provinsi Banten merupakan uraian tentang aktivitas gotong-royong yang hidup pada masyarakat Baduy di Banten. Aktivitas tersebut tercermin dalam tradisi nyambungan, yakni kebiasaan masyarakat Baduy mengirim atau menyumbang sesuatu kepada warga yang sedang menyelenggarakan hajatan atau pesta dengan sistem timbal balik (resiprositas); tradisi liliuran, yakni kebiasaan masyarakat Baduy yang lebih mengarah pada arisan tenaga untuk menyelesaikan suatu kegiatan atau pekerjaan; tradisi dugdug rempug, yakni kegiatan gotong-royong yang dilandasi keinginan spontanitas untuk membantu dan menolong pihak-pihak yang membutuhkan bantuan dan pertolongan mereka; dan tradisi tunggu lembur, yakni aktivitas sekelompok orang Baduy yang secara bersama-sama melakukan kegiatan menjaga lembur ’kampung’ dari berbagai kemungkinan yang akan membahayakan keamanan kampung tersebut berikut isinya. Tradisi nyambungan, liliuran, dugdug rempug, dan tunggu lembur masih bertahan sampai sekarang, karena dipandang mampu mengatasi sejumlah persoalan, yang intinya membutuhkan suatu kerja sama antarsesama warga Baduy. (pdf)

MITOLOGI PEREMPUAN SUNDA
DOI : 10.30959/patanjala.v4i1.129
Agus Heryana
Abstrak
Perempuan dalam dunia mitologi Sunda berada pada kedudukan yang terhormat. Kedudukan, harkat, dan martabatnya tidak berada di bawah kekuasaan laki-laki, bahkan dalam hal-hal tertentu menduduki tempat strategis dalam kerangka melahirkan seorang manusia yang berkualitas. Pengungkapan tokoh mitologi perempuan Sunda itu dilakukan melalui penggunaan metode deskripsi. Setiap tokoh diungkap dan hasil akhir yang diharapkan adalah memahami sosok perempuan Sunda dari segi spiritualitasnya. Penelusuran atas mitologi Sunda yang berkaitan dengan keperempuanan mengarahkan pada pengungkapan tipikal sosok perempuan Sunda yang terdapat pada tokoh-tokoh mitologinya. Tokoh mitologi itu di antaranya adalah Dayang Sumbi, Sunan Ambu, dan Sri Pohaci. Ketiga tokoh ini kemudian menjadi kekuatan spiritual, bukan saja untuk kaum perempuan Sunda sendiri, melainkan pula untuk orang Sunda secara keseluruhan dalam bertindak dan berperilaku. (pdf)

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN CIREBON
DOI : 10.30959/patanjala.v4i1.130
Heru Erwantoro
Abstrak
Adanya kecenderungan beberapa daerah yang dahulunya merupakan pusat kerajaan untuk membentuk provinsi sendiri merupakan fenomena yang muncul di era reformasi. Di Jawa Barat, setelah Banten memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat dan membentuk Provinsi Banten, kini giliran Cirebonberkeinginan juga untuk memisahkan diri dan membentuk provinsi tersendiri. Adanya fenomena untuk memisahkan diri itu tentu saja menimbulkan pertanyaan, ada apa dengan wilayah-wilayah yang dahulunya pernah menjadi pusat kerajaan? Berbagai persoalan masa kini sesungguhnya dapat dimengerti dan dicarikan solusinya melalui pendekatan ilmu sejarah. Begitu juga dengan fenomena keinginan Cirebon untuk membentuk provinsi sendiri. Dari penelusuran sejarah dapatlah dikatakan bahwa momentum reformasi dan otonomi daerah mendorong para elit Cirebon bernostalgia dengan masa lalu. Romantisme akan masa keemasan Kerajaan Cirebon menjadi model ideal untuk membangun wilayah Cirebon dan sekitarnya di masa yang akan datang. Memang pada masa keemasan Kerajaan Cirebon, Cirebon mengalami perkembangan yang pesat dalam segala bidang kehidupan. (pdf)