Panji Perdana, Pewaris Marga Waysindi

You are currently viewing Panji Perdana, Pewaris Marga Waysindi

Panji Perdana, Pewaris Marga Waysindi

Panji Perdana saat ini dikenal sebagai Kepala Marga Waysindi di Pesisir Barat. Ia bergelar Suntan Simbangan Ratu, tetapi ia biasa disapa dengan sebutan Pun Panji oleh warga di Waysindi. Kata Pun merupakan sebuah bentuk penghormatan yang tinggi. Pun Panji baru diangkat secara resmi menjadi Kepala Marga saat ia menikah dengan Fitrah (gelar Ratu Simbang Diganda) pada April 2017. Ia amat dihormati oleh masyarakat Waysindi karena kedudukannya sebagai pewaris marga Waysindi sekaligus sebagai turunan ke-17 dari Suntan Temandang, salah satu perintis adat Sai Batin di Lampung.
Pun Panji lahir pada 25 Mei tahun 1986 bersamaan dengan Malam Nuzurul Qur’an. Sebelum fokus menjalankan amanat adat, di masa mudanya Pun Panji lebih banyak dihabiskan untuk merantau. Ia menyelesaikan kuliah hukum di Fakultas Hukum Pidana Universitas Lampung. Setelah lulus kuliah ia masih bimbang antara melanjutkan merantau atau berusaha mengembangkan dirinya di Waysindi. Sempat pula ia mencoba berbisnis karpet-karpet antik. Ia juga sempat berencana merantau ke Singapura untuk bekerja di tambang minyak. Namun, niat tersebut harus ia urungkan karena dihalang-halangi oleh keluarga. Selain itu Pun Panji mengungkapkan seolah ada hal-hal gaib yang mempersulit niatnya untuk pergi dari kampung. Walaupun begitu, Pun Panji tidak merasa keberatan karena memang ada rasa cinta pada kampungnya. Ia dikuatkan pula oleh sang paman untuk tinggal di Waysindi, karena selama ia mau berpayah-payah di kampung, rejeki akan tetap datang menghampiri. Atas dorongan pamannya itu, Pun Panji memutuskan tinggal di Waysindi terhitung sejak tahun 2011. Atas bantuan sang paman, Panji sempat pula ikut terlibat dalam proyek pembangunan-pembangunan sekolah.
Selama Pun Panji memutuskan untuk tinggal di Pekon Waysindi, aktivitasnya lebih difokuskan untuk berbakti dan mengurus kedua orangtua. Adapun faktor pendorong utama yang membuatnya bertahan di Waysindi adalah untuk mengemban amanat kepemimpinan adat. Hal tersebut penting bagi Pun Panji dan warga Waysindi karena hampir 30 tahun kepemimpinan Sang Ayah tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Tak lain karena kelemahan sang ayah secara fisik. Menurut keterangan Pun Panji, ketika ayahnya, yaitu Wisnu Wardana Mas (gelar Pangeran Sangun Ratu) menjadi Kepala Marga, bisa dikataka satu generasi vakum. Pasalnya, sedari kecil, ayah dari Pun Panji, yaitu Wisnu mengalami kekurangan. Gendang telinga Wisnu pecah karena tak kuat mengkonsumsi sejenis multivitamin yang diberikan ayahnya (kakeknya pun Panji; M.A. Syatari/Suntan Simbangan Ratu). Sejak gendang telinganya pecah, Wisnu tak bisa mendengar. Dengan kondisi yang demikian, tatanan ada harus diperbaiki. Istilahnya: “emang tidak patah, tetapi sudah bengkok”. Maka, ketika Pun Panji belum beranjak dewasa, kepemimpinan adat lebih banyak dijalankan oleh sang paman. Ketika Pun Panji mulai beranjak dewasa, ia yang lebih banyak mengurusi simbol kekuasaan Suntan. Sebelum diangkat menjadi Kepala Marga, sebetulnya tanggung jawab Pun Panji sudah selayaknya Kepala Marga karena bersama sang paman sudah banyak mengurusi persolan adat.
Disebabkan oleh sempat vakumnya kepemimpinan Wisnu Wardan (ayah Pun Panji), maka Pun Panji berusaha menghidupkan kembali semangat adat di tengah warga Waysindi. Ia ingin meninggalkan sesuatu yang berarti bagi warga Waysindi. Beberapa upaya pembangunan jalan telah ia rintis, di mana Pun Panji sendiri ikut terlibat dalam pembangunannya. Pun Panji menuturkan bahwa tak ingin itung-itungan dengan pihak pemerintah, manakala ia punya sendiri biaya perbaikan jalan, maka ia akan perbaiki jalan tersebut.
Pada 2014, atas panggilan hati dan keinginan memajukan warga Waysindi, Pun Panji sempat pula mengajukan diri sebagai anggota dewan perwakilan rakyat daerah. Ketika itu Pun Panji tak memiliki ambisi besar untuk menang dan menjadi anggota dewan, tetapi ia ingin menunjukkan bakti dan niatnya untuk kebaikan Waysindi. Pada pemilu tahun tersebut ia gagal menjadi anggota dewan tetapi suara yang diraih cukup banyak, padahal kendaraan partai yang ia gunakan bukanlah partai besar. Pun Panji tetap berlapang hati atas kegagalannya. Kini, menjelang pemilu 2019, Pun Panji sempat dimintai oleh petinggi partai pengusung inkumben di Waysindi untuk mencalonkan kembali.

Tentang Sejarah dan Adat
Mengacu pada sejarah, Marga Waysindi tidak memiliki hubungan dengan Paksipak Skalabrak, hanya saja keduanya berada dalam suatu wilayah. Pun Panji berpendapat bahwa mengacu pada pola-pola peradaban, di mana air dan tanah menjadi sumber penghidupan peradaban-peradaban besar, sangat mungkin awal mula peradaban di Lampung di mulai dari Pesisir. Atas asumsi tersebut, Pun Panji menganggap Marganya lebih dulu ada di Lampung dari pada Paksipak Skalarak yang ada di pegunungan. Menurutnya pengaruh luar (misalnya dari Gujarat dan Cina) akan lebih dulu masuk melalui pesisir sebelum ke pegunungan. Artinya, sangat mungkin awal mula kerajaan di Lampung dimulai dari pesisir.
Saat ini arsip-arsip sejarah terkait silsilah dan surat-surat perjanjian antara kesultanan Bengkulu (di masa lalu Pesisir Barat atau Krui ada di bawah Keresidenan Bengkulu) dengan EIC sekitar abad ke-18 masih dipegang oleh Pun Panji. Tak hanya itu, Pun Panji masih menyimpan baju dan kancing simbol penghargaan dari EIC. Segala jenis arsip dan benda-benda yang menunjukkan jejak Kesultanan Bengkulu yang berada di tangan Pun Panji, merupakan warisan turun temurun dari buyut dan kakeknya.

Lembar Perjanjian antara Penguasa Bengkulu dengan EIC Inggris

Perihal hal-hal adat Pun Panji masih memegangnya dengan erat. Ia berprinsip bahwa walau kondisi bagaimana pun, tatanan adat tidak boleh berubah. Pernikahannya yang baru berlangsung sangat memperhatikan hal-hal adat. Hal tersebut bisa pihami karena setelah menikah, Pun Panji secara resmi memangku Gelar Suntan dan secara resmi menjadi kepala Marga. Dalam tradisi Masyarakat Sai Batin, Kepala Marga merupakan kedudukan tertinggi. Di bawah Marga ada yang dinamakan suku. Pada Marga Waysindi, di bawahnya terdapat 20 suku marga; 12 di antaranya berada di wilayah Waysindi dan 8 suku lainnya berada di luar wilayah kekuasaan Waysindi. Menurut keterangan Pun Panji, wilayah kekuasaan Waysindi sejatinya meliputi Lombok, sebagian Danau Ranau, Pulau Pisang.

Simbol Dua Singa (Kemungkinan berasal dari Kerajaan Inggris atau Belanda)

Adapun struktur pemerintahan marga jika dirunut dari atas, maka kepala Marga merupakan kedudukan yang paling tinggi. Kepala Marga diberi gelar Suntan. Di bawah kepala Marga ada suku-suku. Suku dalam adat Sai Batin itu sendiri terbagi dua; ada suku besarnya da nada suku kecilnya. Suku-suku besar biasanya dipimpin oleh seorang raja, di mana dalam sebuah marga selalu terdapat 4 orang Raja. Sementara itu, untuk suku-suku kecil dipimpin oleh seorang Radin da nada pula yang dipimpin oleh seorang Minak. Dari strukturnya kedudukan Radin dan Minak berada di bawah Raja. Namun demikian, manakala Kepala Marga atau Suntan akan membicarakan hal-hal penting, maka yang lebih banyak dilibatkan adalah raja-raja. Selain raja-raja, Sutan akan melibatkan perankat adat yang lain, yaitu Papah Lamban Gedung dan Tumpok Lamban Gedung yang dikenal sebagai pegawai istana. Papah bertugas mengurus segala keperluan Lamban Gedung, sementara Tumpok menjadi pengawal bagi Kepala Marga/Suntan.
Pun Panji mengungkapkan secara terbuka bahwa pengetahuan adat yang saat ini ia kuasai sebenarnya belum pernah ia benar-benar pelajari dari ayah atau kakeknya, tetapi menurut apa yang ia yakini, pengetahuan tentang hukum-hukum adat justru datang melalui perantara yang sifatnya metafisis. Pun Panji menjelaskan bahwa roh-roh tetua terdahulu datang kepadanya melalui mimpi. Terkadang ia bisa paham hal-hal adat tanpa bisa ia pahami bagaimana prosesnya. Sejak kecil ketika belum sekolah, Pun Panji seringkali merasakan mimpi-mimpi yang terasa begitu nyata. Menurutnya, Sang Kakek menganggap itu sebagai kemampuan indra ke-enam. Ia juga sering melihat dan mengalami pengalaman-pengalaman gaib yang sulit dijelaskan secara logika.
Pun Panji menjelaskan bahwa dahulu Lamban Marga/Lamban Gedung atau kediaman Suntan merupakan simbol yang harus disegani oleh semua anggota marganya. Setiap warga yang lewat harus tunduk, tak boleh menaikkan pandangan. Kini, seiring kondisi zaman yang semakin berubah, Pun Panji mulai mengubah fungsi dari Lamban Marga. Ia membiarkan Lamban Marga digunakan untuk aktivitas-aktivitas kebudayaan. Jika dulu rasa segan dibangun oleh kekuasaan terhadap Suntan atau kepal marga, saat ini Pun Panji sebagai kepala marga menginginkan agar Lamban Marga bisa disegani karena faktor lain. Misalnya, bagaimana agar Lamban Marga bisa mengangkat kehidupan masyarakat di sekitarnya. Maka dari itu, Pun Panji memiliki cita-cita agar di kemudian hari, bangunan di bawah rumah utama Lamban Gedung bisa difungsikan sebagai perpustakaan mini yang dilengkapi dengan silsilah, sejarah atau tambo dari Marga Waysindi. Panji menginginkan Lamban Gedung bisa menjadi pusat informasi terkait sejarah keturunan orang-orang di Waysindi. Ia ingin masyarakatnya tidak buta sejarah. Di sisi lain, Pun Panji juga ingin kesakralan Lamban Gedung tetap terjaga. Ia punya keinginan untuk membuat gedung tambahan di mana persoalan sehari-hari diurus di sana, sementara hal-hal penting terkait budaya dan adat dibicarakan di gedung utama Lamban. Untuk mewujudkan hal tersebut bukan lah perkara mudah karena ia harus mulai merintis jalan agar sejarah internal di Waysindi lebih terdokumentasikan dan ada dukungan finansial yang cukup. Dan proses ke arah itu sangatlah sulit mengingat adat Sai Batin dan mengenal budaya tulis tetapi lebih mengutamakan budaya tutur (tidak tertulis). Maka, perihal adat pun rujukannya biasa mengacu pada kebiasaan yang sudah dipraktikkan atau berdasarkan orang-orang tua terdahulu.

Pandangan Terhadap Kebudayaan di Waysindi
Budaya Sai Batin cenderung menggunakan budaya lisan. Adat Sai Batin kurang memperhatikan dalam urusan tulis-menulis aturan adat. Hal ini berbeda dengan kebiasaan masyarakat beradat Pepadun yang lebih rajin dalam melakukan pencatatan aturan-aturan adat. Bagi masyarakat Sai Batin, aturan adat maupun titah berlaku berdasarkan ucaharpan Sang Suntan bukan atas aturan tertulis. Meski mengutamakan budaya lisan, aturan-aturan adat tetap bisa dilakukan hingga sekarang.
Pun Panji menjelaskan bahwa kehidupan budaya di Waysindi saat ini pada dasarnya tidak banyak mengalami perubahan. Hanya saja, dalam beberapa hal tradisi di Waysindi menyesuaikan dengan pakem nasional. Saat ini sudah tidak banyak lagi warga yang paham tentang adat dan budaya di Waysindi. Kondisinya yang demikian membuat Pun Panji agak kesulitan memfungsikan dirinya dalam urusan-urusan adat masyarakat. Usaha yang dilakukan Pun Panji dalam memperkenalkan budaya dan adat adalah melalui tambo (silsilah yang tertulis). Seringkali Pun Panji memperbanyak tambo dan membagikannya agar masyarakat di sekitar Lambang bisa paham dan mengetahui. Bagi pun Panji, tambo ibarat pondasi sejarah Waysindi. Jika masyarkat sudah paham dengan tambo, maka akan lebih mudah membangun budaya dan kesenian di tengah masyarakat. Bagi Pun Panji sendiri lebih mudah memberi tahu dan mengajarkan silsilah dalam tambo kepada anak muda daripada ke orang-orang tua. Para orang-orang tua sudah tanggung memiliki prinsip (piil), yang enggan jika diingatkan oleh seseorang yang lebih muda.
Untuk memajukan budaya Sai Batin, khususnya dalam mengembangkan kebudayaan di lingkungan Marga Waysindi, Pun Panji harus menghadapi keterbatasan dana dan kontribusi pemerintah daerah yang masih minim terhadap pelestarian kebudayaan. Taka da dukungan dana khusus untuk pelestarian, yang ia dapatkan sekadar dana transport yang besarannya tidak seberapa. Sementara untuk perawatan Lamban memerlukan biaya yang tak sedikit. Belum lagi manakala event-event adat akan dilaksanakan. Sempat pun Panji beserta perangkat adatnya mengajukan bantuan untuk pendirian sanggar, namun hingga saat ini bantuan dari pihak pemerintah tak kunjung datang. Dana bantuan untuk pelestarian kebudayaan dan pemeliharaan Lamban Gedung justru ada dan terealisasi di Lampung Barat. Padahal di Lamban Gedung Marga Waysindi selalu diisi dengan latihan dan aktivitas-aktivitas kesenian. Misalnya, Hadrah, Budiker, Tari Kipas, Tari Bingi, Kuntau, Hahiwang, Tari Payung, Rebana, dll. Dari semua jenis kesenian tersebut, para pemainnya terus mengupayakan regenerasi pada anak-anak di sekitar Lamban Gedung. Latihan kesenian rutin dilaksanakan, dan Pun Panji aktif pendukung warga Waysindi untuk ikut serta dalam festival kesenian, seperti Festifal Krakatau, Festival Teluk Setabus. Dan event-event kebudayaan tersebut diikuti oleh warga di bawah Lamban Gedung dengan biaya sendiri. Meski demikian, Pun Panji selalu mengusahakan agar anak-anak yang tampil dalam festival kebudayaan, setidaknya, bisa mendapat uang saku. Dengan cara demikian, anak akan merasa lebih diapresiasi meskipun mungkin jumlah uang yang diberikan tidak besar. Akhirnya Pun Panji lebih menitikberatkan pada kolektivitas warga masyarakat Waysindi; bagaimana caranya tanpa dukungan pemerintah, pelestarian dan praktik kebudayaan bisa tetap berlangsung di Marga Waysindi.
Pun Panji menyadari tanggung jawabnya sebagai orang terdidik dan sebagai Kepala Marga. Ia bertanggung jawab atas Lamban Gedung, selain itu ia punya tanggung jawab moral terhadap kebudayaan dan khususnya dalam pengembangan kebudayaan di tengah warga marganya. Untuk itu, walaupun kedudukannya tinggi sebagai Suntan/Kepala Marga, Panji selalu berusaha memahami dan mengerti seni-seni tradisi. Ia mulai mengumpulkan anak-anak dan mendidik mereka untuk bisa mempraktikkan seni-seni khas Sai Batin. dalam upaya merealisasikan cita-cita Pun Panji, ia harus lebih banyak berkorban tenaga, pikiran, dan materi. Beruntungnya, anak-anak dan pemuda setempat bersedia untuk menghidupkan kesenian tradisi. Efeknya, Lamban Gedung yang ia urus dan tinggali menjadi padat dengan aktivitas kebudayaan.
Selain ingin berkontribusi pada perkembangan budaya masyarakat, pada dasarnya keluarga Pun Panji, bahkan sejak kakeknya berkuasa sebagai kepala marga, selalu membantu masyarakat sekitar. Misalnya, di zaman kakeknya, yaitu M.A. Syatari, menggagas membangunan jalan besar di depan Lamban Gedung yang kemudian difungsikan sebagai jalan Negara saat ini.

Harapan terhadap Perkembangan Kebudayaan di Masa yang akan Datang
Pun Panji memiliki harapan terhadap warga serta suku-suku marga yang ada dibawah otoritas adatnya. Ia ingin mengupayakan warga dan pemerintah bisa melaukan harmonisasi memajukan pariwisata, di mana kemajuan tersebut harus ditopang oleh majunya adat, budaya, dan agama dari masyrakatnya. Dengan pariwisata yang maju, ekonomi masyarakat akan terangkat. Untuk itu, Panji juga berharap pemerintah tidak hanya memerhatikan pada satu elemen pariwisata, tetapi bisa menaruh perhatian terlebih dahulu pada adat dan budaya. Kondisi yang terjadi saat ini, belum ada kesinambungan antara kerja pemerintah dengan masyarakat adat yang ada dibawah kepemimpinan Pun Panji. Meskipun kondisi belum ideal, Pun Panji menekankan bahwa kehidupan adat-budaya jangan sampai hilang. Regenerasi harus sesegera mungkin dilakukan karena tidak ada jaminan mereka-mereka yang menguasai kesenian khas Lampung akan bisa mengajarkan tanpa ada upaya aktif dari insan-insan budaya. Pada titik itu lah peran Kepala Marga sangat diperlukan (Hary GB).