Ngaruwat Bumi: Tradisi yang Tetap Lestari di Kampung Banceuy
Oleh:
T. Dibyo Harsono
(Peneliti BPNB Jabar)
Banceuy merupakan sebuah kampung yang berada dalam wilayah administratif Desa Sanca, Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang. Batas wilayah Kampung Banceuy adalah sebagai berikut: Sebelah utara dengan sawah Tegalmalaka, Dusun Ciwirangga, Desa Sanca, Kecamatan Ciater; Sebelah selatan berbatasan dengan saluran irigasi Cipadaringan dan Desa Cibitung, Kecamatan Ciater; Sebelah barat berbatasan dengan saluran irigasi Citamiyang, Dusun Pangkalan, Desa Sanca, Kecamatan Ciater; Sebelah timur berbatasan dengan Sungai Cipunagara, Desa Pasanggrahan, Kecamatan Kasomalang.
Awalnya Kampung Banceuy adalah Kampung Negla yang letaknya di sebelah timur laut dari Kampung Banceuy sekarang. Dari Kampung Banceuy hanya beberapa ratus meter, di kampung Negla terdapat 7 keluarga, yakni Eyang Ito, Aki Leutik, Eyang Malim, Aki Alman, Eyang Ono, Aki Uti, dan Aki Arsiam.
Dinamakan Kampung Negla karena kampung tersebut berada wilayah dataran tinggi dan terbuka (neunggang jeung lega). Sekitar tahun 1800-an, di Kampung Negla terjadi angin puting beliung yang menghancurkan rumah-rumah penduduk, di antaranya rumah ke-7 kampung itu, sehingga binatang ternak dan tumbuh-tumbuhan hancur. Setelah bencana berlalu ketujuh tokoh kampung Negla tersebut ngabanceuy atau musyawarah untuk mencari upaya menangkal bencana alam tersebut apabila datang lagi. Sesuai dengan kesepakatan, ketujuh tokoh tadi berupaya mendatangkan paranormal atau seorang dukun. Paranormal yang dipercaya tersebut adalah Eyang Suhab yang berasal dari Kampung Ciupih, Desa Pasanggrahan, Kecamatan Kasomalang (sekarang ini). Kemudian dilakukan acara penangkalan dengan cara numbal. Berdasarkan pada hitungan penanggalan Jawa atau wuku, nama baru yang disepakati adalah Kampung Banceuy sebagai pengganti nama Kampung Negla, karena negla diyakini sebagai nama yang menyebabkan bencana terhadap kampung dan penduduknya. Di samping itu, dengan perubahan nama kampung, diharapkan penduduk akan hidup lebih baik dan diberkati, seperti kata banceuy yang berarti musyawarah. Para tokoh kampung berharap supaya kampung tersebut bisa dijadikan tempat berkumpul dan tempat bertukar pikiran pada saat itu maupun di masa yang akan datang. Peristiwa tersebut kemudian diperingati setiap tahunnya dan dikenal dengan istilah Ruwatan Bumi, atau sering disebut Ngaruwat Bumi.
NGARUWAT BUMI
Ngaruwat Bumi berasal dari kata rawat atau ngarawat (Sunda), yang artinya mengumpulkan atau memelihara. Secara umum kata tersebut memiliki makna mengumpulkan seluruh anggota masyarakat dan mengumpulkan seluruh hasil bumi, baik bahan mentah, setengah jadi, maupun yang sudah jadi/matang. Ruwatan Bumi Kampung Banceuy dilaksanakan pada hari Rabu akhir bulan Rayagung atau bulan Dzulhijah (menjelang dan menyambut tahun baru Islam).
Tujuan dari upacara ini sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan YME, sebagai upaya menolak bala (dulu sewaktu ada bencana alam) serta ungkapan penghormatan kepada leluhur.
Ngaruwat Bumi yang merupakan tradisi tahunan masyarakat Banceuy hingga saat ini masih tetap dilaksanakan. Pada tahun 2018, dalam kalender masehi, tradisi ini dilakukan pada bulan September, tepatnya pada tanggal 4 – 5 September 2018. Dalam dua hari pelaksanaan tradisi ngaruwat bumi, beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain:
Dadahut, merupakan persiapan dari mulai musyawarah, penggalangan dana, pembuatan aneka makanan, membuat pintu heek, membuat sawen.
Ngadiukeun, dilaksanakan oleh sesepuh adat dengan berdoa di goah, di hadapannya terdapat sasajen untuk acara Ruwatan Bumi. Tujuannya adalah meminta izin kepada Tuhan YME dan kepada para leluhur agar upacara berjalan lancar, dan dilaksanakan di pagi hari, satu hari sebelum pelaksanaan upacara.
Meuncit Munding, saat dilaksanakan acara ini juga diumumkan mengenai maksud dan tujuan dari upacara Ruwatan Bumi kepada masyarakat. Pelaksanaannya yakni setelah upacara ngadiukeun yaitu sehari sebelum hari puncak (dalam hal ini jatuh pada hari Selasa tanggal 4 September 2018, acara puncak tanggal 5 September 2018). Daging kerbau tersebut seperempat disediakan untuk perjamuan tamu serta kepentingan umum dan sisanya dibagikan kepada masyarakat.
Ngalawar, yakni penyimpanan sesajen di setiap sudut kampung oleh seorang sesepuh adat. Ngalawar dimulai dari pukul 16.00 WIB, sehari sebelum pelaksanaan upacara. Ngalawar dimulai dengan menyimpan sasajen pada titik pusat di tengah kampung, kemudian dilanjutkan menyimpan sasajen di empat penjuru mata angin. Sasajen dibungkus daun pisang kecil (pincuk), di dalamnya terdapat aneka makanan yang terbuat dari beras, lalu disimpan di atas anyaman bambu (rangap). Ngalawar bermaksud memberitahukan dan mengundang para leluhur bahwa penduduknya akan mengadakan upacara Ruwatan Bumi.
Sholawatan, memanjatkan doa dan pujian kepada Tuhan YME, yang dilaksanakan setelah magrib di masjid yang ada di Kampung Banceuy.
Seni Buhun Gemyung, dilaksanakan pada malam hari yakni seni persembahan atau hurmatan kepada leluhur. Ini dilaksanakan pada hari pertama (Selasa, 04 September 2018).
Hari kedua, Rabu, 05 September 2018, merupakan hari terakhir upacara Ngaruwat Bumi. Sesi ritual yang dilaksanakan adalah numbal, ngarak Dewi Sri, Nyawer Dewi Sri, Ijab Rasul, dan pagelawarn wayang golek.
Numbal, upacara inti Ruwatan Bumi yakni mengubur semua sasajen dan makanan yang terbuat dari beras, dengan cara tertentu. Numbal dilaksanakan pada pukul 07.00 WIB pada hari puncak pelaksanaan Upacara Ruwatan Bumi yang dilaksanakan di panumbalan. Tujuan numbal yakni ngahurip bumi munar lemah artinya supaya segala sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Adat Banceuy dan semua yang dihasilkan tanah Banceuy bisa bermanfaat dan barokah.
Ngarak Dewi Sri, berupa arak-arakan mengelilingi kampung dengan tujuan ke lokasi 3 situs keramat yakni makam Eyang Ito, makam Aki Leutik, dan Situs Puncak. Helaran atau arak-arakan dimulai dari Balai Musyawarah menuju ke lokasi 3 situs tadi (Kampung Babakan Banceuy) dan berakhir di Balai Musyawarah.
Nyawer Dewi Sri, upacara yang dilakukan setelah Ngarak Dewi Sri selesai. Sawer dilakukan oleh sesepuh adat dengan cara melantunkan syair buhun. Sawer berisi tentang pujian terhadap Sang Pencipta, kepada leluhur dan pada Nyi Pohaci (Dewi Sri).
Ijab Rasul, merupakan upacara khusus yang dilakukan oleh sesepuh adat yang dihadiri oleh penduduk Kampung Adat Banceuy dan merupakan penutup Upacara Ruwatan Bumi. Tujuan Ijab Rasul yakni ungkapan rasa terimakasih kepada Tuhan YME dan pada para leluhur bahwa upacara telah berjalan dengan lancar tidak kurang suatu apa pun.
Pagelaran Wayang Golek. Merupakan acara hiburan yang dilaksanakan sehabis waktu dzuhur sampai menjelang magrib, kemudian dilanjutkan pada malam harinya setelah Isya sampai dini hari. Kali ini penampilan wayang golek dari Group Seni Wayang Golek Giri Harja 5 yang sudah sangat dikenal masyarakat setempat maupun masyarakat Jawa Barat pada umumnya.
Setelah pagelaran Wayang Golek selesai dilaksanakan maka selesailah sudah pelaksanaan sebuah tradisi yang sarat dengan makna kearifan menjaga kelestarian alam yang menjadi penopang utama dalam kehidupan masyarakat Banceuy.
(Editor: Irvan Setiawan)