Mendandani Seni Tradisi

Mendandani Seni Tradisi

  • Post author:
  • Post category:Artikel

Mendandani Seni Tradisi
Oleh : M. Nana Munajat Dahlan

Pengantar
Kreativitas dan Profesionalisme, dua kata kunci yang kerap kali menjadi topik perbincangan dalam konteks pengembangan kesenian, kedua kata kunci tersebut erat kaitannya dengan sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Kultural (SDK). Kedua-duanya saling terkait, dengan SDM yang Capable (memiliki kemampuan yang layak/mumpuni), credible (dapat dipercaya orang banyak), dan Acceptable (dapat diterima dengan baik oleh orang banyak), SDK dapat berdaya dan diberdayakan.

Dengan SDM seperti itu,potensi SDK (local genius, local contens) akan terangkat nilai-nilainya, baik nilai ideal maupun yang berhubungan dengan nilai komersial. Kedua nilai tersebut dalam konteks pengembangan budaya local saat ini perlu dan penting, nilai ideal memiliki arti dalam membangun brand atau pencitraan ,sedang nilai komersial memiliki arti bagi kehidupan SDM yang hidup dalam jagat kesenian.

Nilai-nilai ideal itu terdapat dalam budaya local yang bernama kesenian tradisi, dan nilai-nilai komersial itu adanya dalam ranah industri, dalam hal ini insan seni suka-tidak suka harus menyandingkannya, bagaimana caranya mengangkat kesenian tradisi ke ranah “industri”, dengan tidak mereduksi dan mengikis warna dan isi tradisinya.

Menggali Nilai- Nilai Tradisi.
Seni pertunjukan di Indonesia berangkat dari suatu keadaan dimana ia tumbuh dalam lingkungan etnik yang berbeda satu sama lain. Dalam lingkungan etnik ini, adat, atau kesepakatan bersama yang turun temurun mengenai perilaku, mempunyai wewenang yang amat besar untuk menentukan rebah bangkitnya kesenian, seni pertunjukan pada pertunjukan. (Eddy Sedyawati, 1981 : 52).

Seperti hanya di tatar Jawa Barat, hingga saat ini kesenian tradisi masih tergantung pada tradisi masyarakat penyangganya. Yang dimaksud dengan tradisi segala sesuatu yang diwarisi dari masa lalu. Tradisi merupakan hasil cipta karya manusia-obyek material, kepercayaan, khayalan, kejadian, atau lembaga – yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. (Sal Murgiyanto, 2004 : 2).

Ketika tradisi masyarakat penyangganya mulai memudar, beberapa kesenian tradisi pun turut serta tenggalam, ada yang bertahan hidup karena insan seni tradisinya dapat menyesuaikan dengan tradisi pada jamannya,namun pada umumnya yang bertahan hidup itu, ditopang oleh kegiatan ritual, baik ritus siklus alam maupun siklus kehidupan.

Mengapa seni tradisi kita masih belum beranjak dari konteks ritual?, karena seni tradisi yang sekarang masih hidup (living tradition) adalah hasil dari konteks sosio-budaya lama kita. Itu artinya warisan budaya masa lalu masih melekat pada kehidupan masyarakat Sunda saat ini, orang Sunda beranggapan bahwa adanya saat ini berkat adanya masa lampau, yang masa lampau itu dianggap sebagai pijakan masa kini, dan masa kini dijadikan acuan hidup di masa yang akan datang, sebagaimana tercermin pada naskah kuno Amanat galunggung Kropak 632 yang ditranskripsi dan diterjemahkan oleh Danasasmita, sebagai berikut :

Hana nguni tan hana mangké, tan hana nguni tan hana mangké, aya ma baheula, aya nu ayeuna, hanteu ma ma baheula hanteu tu ayeuna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang, hana ma tunggulna aya tu catangna. (Saleh Dansasmita, 1987 : 123)

(Ada dahulu ada sekarang, tidak ada dahulu tidak aka nada sekarang; ada masa lalu ada masa kini, bila tak ada masa lalu tidak aka nada masa kini: ada pokok kayu ada batang, tidak ada pokok kayu tidak aka ada batang, bila ada tunggulnya tentu ada catangnya; ada jasa ada anugrah, tidak ada jasa tidak aka nada anugrah.

Peristiwa masa lalu bukan sekedar mengulang atau merekontruksi sebuah peristiwa yang telah terjadi, tetapi kuat tata hubungannya dengan akar budaya lama, yang bersifat transenden, dan mitos asal muasal.

Tak heran apabila artepak lama yamg local ini kuat mengakar hingga saat ini, walau orang Sunda telah masuk pada era kesejagatan, masih menyelenggarakan upacara Upacara Besar yakni upacara yang dilakukan oleh semua kelompok suku atau negara secara kolektif dan periodik (jangka waktu lama), dan upacara harian yakni upacara yang dilakukan oleh keluarga secara individual maupun kelompok secara individual maupun kolektif. Yang dalam upacaranya melibatkan kesenian sebagai media penghantar upacaranya.

Warisan budaya itu masih menjadi ruang ekspresi sekaligus tempat sandaran hidup bagi seniman tradisi. Realitas di lapangan, menunjukan bahwa sebahagian besar kesenian tradisi hidupnya masih di topang oleh ritual dan pseudo ritual. Kekuatan local genius dan local kontens inilah yang memberi kontribusi kokohnya jati diri kasundaan, dan dari kekuatan seni tradisi itu akan terbaca latar belakang budayanya. seperti Claire Holt katakan: “Menarilah, maka aku akan tahu dari mana asalmu” (Holt 2001).

“Tradisi itu berkembang dan berubah. Tidak ada masyarakat yang hidup hanya dari produk-produk yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Sebaliknya tak dapat pula dibayangkan sebuah generasi yang mampu menciptakan segala keperluan hidupnya sama sekali baru tanpa belajar dari para pendahulu mereka. Tradisi itu akan tetap dilakukan dan diteruskan selama para pendukungnya masih melihat manfaat dan menyukainya,” (Sal Murgiyanto, ibid). Dalam hal ini “kita” sebagai pewaris tradisi”, harus dapat menghidupkan kesenian yang syarat nilai itu, dengan cara di revitalisasi.

Kreativitas Sebagai Kata Kunci Pengembangan Kesenian Tradisi
Kreativitas adalah penemuan atau asal usul setiap hal baru (produk, solusi, karya seni, karya sastra, lelucon, inovasi, dll) yang memiliki nilai. Dari definisi diatas, arti kreativitas menekankan pada dua hal utama, yaitu “baru” dan “nilai”. Kata “baru” berarti hal yang belum ada sebelumnya atau inovatif dari sudut pandang individu, komunitas atau masyarakat di wilayah tertentu. Kata “nilai” berarti manfaat yang dirasakan oleh individu, komunitas atau masyarakat di daerah tertentu.Kreativitas adalah proses mental yang melibatkan pemunculan gagasan atau konsep baru, atau hubungan baru antara gagasan dan konsep yang sudah ada.Kreativitas didefinisikan sebagai kecenderungan untuk menghasilkan ide-ide atau mengenali, alternatif, atau kemungkinan yang mungkin berguna dalam memecahkan masalah, berkomunikasi dengan orang lain, dan menghibur diri kita sendiri dan orang lain. Kreativitas adalah setiap tindakan, ide, atau produk yang mengubah aturan yang ada, atau yang mengubah aturan yang ada ke aturan yang baru.

Kreativitas adalah kemampuan mencipta/berkreasi yang dihasilkan sesuatu yang sifatnya baru (hasil ciptaannya sendiri/orisinil), berguna dan dapat dimengerti. Baru berarti bersifat inovasi, belum ada sebelumnya, segar, menarik dan aneh. Berguna berarti dapat memberikan kepuasan, praktis, memudahkan, memperlancar, dan sebagainya. Kreativitas dapat dimengerti berarti dapat dibuat dalam kesempatan lain. Kreatif adalah kemampuan untuk membuat kombinasi baru berdasarkan data informasi atau unsur-unsur yang ada

Berpikir kreatif harus memenuhi tiga syarat. Pertama, kreativitas melibatkan respons atau gagasan yang baru, atau yang secara statistik sangat jarang terjadi. Tetapi kebaruan saja tidak cukup. Anda dapat mengatasi kepadatan penduduk di kota dengan membangun rumah-rumah di bawah tanah. Ini baru, tapi sukar dilaksanakan. Syarat kedua kreativitas ialah dapat memecahkan persoalan secara realistis. Ketiga kreativitas merupakan usaha untuk mempertahankan insight yang orisinal, menilai dan mengembangkannya sebaik mungkin (MacKinnon, 1962:485)

Proses Kreatif
Proses penciptaan disebut juga proses kreatif, yaitu rangkaian kegiatan seorang seniman dalam menciptakan dan melahirkan karya-karya seninya sebagai ungkapan gagasan dan keinginannya. Proses penciptaan ini tidak terjadi dan diturunkan dari ruang kosong. Tapi pada hakikatnya hanyalah usaha memodifikasi (mengubah/menyesuaikan) sesuatu yang telah ada sebelumnya.

Kemampuan “mencipta” (sesungguhnya hanya milik Tuhan!) inilah yang menjadikan manusia sebagai mahluk yang berkebudayaan. Yaitu yang memiliki kesadaran untuk mengembangkan kebiasaan hidup, saling berhubungan satu sama lain, dan mampu menyimpan pengalaman atau pengetahuannya sehingga dapat diketahui dan dialami oleh generasi-generasi berikutnya. Termasuk juga pengalaman estetiknya yang dijelmakan dalam (ke)seni(an).

Kemampuan kreatif atau mencipta tersebut sesungguhnya bukanlah sesuatu yang istimewa. Karena pada dasarnya setiap manusia memiliki tiga kemampuan utama, yaitu kemampuan fisik, kemampuan rasio atau akal, dan kemampuan kreatif. Hanya perimbangannnya saja yang berbeda-beda antara orang per orang.

Tiga kemampuan utama tersebut membentuk kemampuan-kemampuan lainnya yaitu kemampuan gerak, perasaan, dan imajinasi, di mana satu sama lain saling menjelmakan suatu kebulatan yang utuh. Integrasi atau penyatuan yang serasi dari seluruh kemampuan tersebut berpuncak atau menghasilkan apa yang dinamakan intuisi (penghayatan sedalam-dalamnya). Jika salah satu kemampuan diabaikan tentu saja akan menurunkan mutu intuisi seseorang. Padahal intuisi juga sekaligus menjadi dasar bagi pembangkitan energi kreatif yang menghindarkan manusia terjerembab menjadi robot atau zombie (mayat hidup).

Perkara intuisi inilah yang kerapkali begitu besar dimiliki seorang seniman. Seorang seniman karena kepekaan intuitifnya seringkali berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai arti hidup dan realitas kehidupan secara keseluruhan dengan antitesis yang radikal. Sehingga sebagai mahluk historis, seniman senantiasa terus-menerus memulai dan memulai lagi penciptaan. Ia tidak akan memuja-muja masa lampau, tradisi tidak akan menjadi Kitab Sucinya. Ia juga tidak akan memuja-muja masa depan, futurisisme tidak akan menjadi Kitab Sucinya. Bahkan ia pun tidak akan memuja-muja masa sekarang, kejadian masa kini tidak akan menjadi Kitab Sucinya.

Dengan kata lain, seniman senantiasa melakukan pembaharuan terus-menerus, tak kunjung henti. Bahkan di tengah-tengah hidup dan kehidupan yang ditelikung nihilisme atau ketanpaartian yang melemparkan manusia ke dalam jurang-jurang pengasingan dan kesia-siaan. Seniman adalah Sisyphus yang terus mendorong batu ke atas bukit walau tahu sesampainya di puncak bakal jatuh terguling. Atau dalam kata-kata Theodor W. Adorno sebagaimana dikutip Herman Tjahja dalam majalah kebudayaan Basis edisi September 1986, “Dalam masa ketanpaartian, karya seni dapat melambangkan ‘ketanpaartian’ dengan sangat tepat secara estetis. Maka, karya seni merupakan ekspresi penuh arti dalam dirinya sendiri tentang ketanpaartian yang ada secara nyata.”

Proses kerja kreatif dalam melahirkan sebuah karya seni sebagai berikut :

  1.  Tahap Persiapan, memperisapkan diri untuk memecahkan masalah dengan mengumpulkan data/ informasi.
  2.  Mengembangkan Ide/gagasan tahap ini merupakan pengembangan ide/gagasan menjadi sebuah rancang bangun garapan.
  3.  Menyeleksi Ide/gagasan, tahap ini merupakan tahap pengujian ide atau kreasi baru tersebut terhapad realitas. Disini diperlukan pemikiran kritis, pemikiran kreatif dan harus diikuti proses konvergensi (pemikiran kritis).
  4.  Menyusun Konsep garapan (naskah)
  5.  Penggarapan
  6.  Mempergelarkan hasil karya seni.

Sedangkan dalam pengembangan kesenian tradisi, langlah-langkahnya sebagai berikut :

  1.  Riset : Penelitian untuk menggali teks dan konteks, pakta baru, atau melakukan penapsiran yang baru.
  2.  Rekontruksi : Penyusunan/penggambaran kembali bentuk aslinya.
  3.  Revitalisasi : Kegiatan menghidupkan kembali yang di awali dengan proses pengolahan menjadi bentuk baru dengan tidak menghilangkan bentuk aslinya.(Proses cara perbuatan memvitalkan/ menjadi vital). Dengan cara pemadatan dan penembangan.

Dalam pengkemasannya bercermin pada ”cai” atau air, cai puguh sungapanna, cai puguh ngamalirna (memiliki sumber yang jelas, struktur dan tujuan yang jelas), cai gampang nyaluyukeun diri (adaptif), cai kajeun di asupan sagala warna tetep cai (tak kehilangan wujud aslinya), cai jero pangancikanna (memiliki arti yang dalam), cai bedas tanagana (memiliki kekuatan), cai lega ambahanna (dapat diterima oleh masyarakat luas) dan cai gedé mamfaatna (Besar manfaatnya bagi kehidupan). Dengan kerja kreatif seperti itu, kesenian tradisi akan dianggap vital kembali.

Profesionalisme Seniman
Profesionalisme berasal dan kata profesional yang mempunyai makna yaitu berhubungan dengan profesi dan memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (KBBI, 1994). Sedangkan profesionalisme adalah tingkah laku, keahlian atau kualitas dan seseorang yang professional. “Professional” mempunyai makna yang mengacu kepada sebutan tentang orang yang menyandang suatu profesi dan sebutan tentang penampilan seseorang dalam mewujudkan unjuk kerja sesuai dengn profesinya. Penyandangan dan penampilan “professional” ini telah mendapat pengakuan, baik segara formal maupun informal. Pengakuan secara formal diberikan oleh suatu badan atau lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu, yaitu pemerintah dan atau organisasi profesi. Sedang secara informal pengakuan itu diberikan oleh masyarakat luas dan para pengguna jasa suatu profesi.

“Profesionalitas” adalah sutu sebutan terhadap kualitas sikap para anggota suatu profesi terhadap profesinya serta derajat pengetahuan dan keahlian yang mereka miliki untuk dapat melakukan tugas-tugasnya. Dengan demikian, sebutan profesionalitas lebih menggambarkan suatu “keadaan” derajat keprofesian seseorang dilihat dari sikap, pengetahuan, dan keahlian yang diperlukan untuk melaksanakan tugasnya.

Profesionalisme dalam berkesenian sangat erat kaitannya dengan “etos “ (semangat kerja) mebangun diri, mendadani diri, keuatan mental dan karakter. Capable (memiliki kemampuan yang layak/mumpuni), credible (dapat dipercaya orang banyak), dan Acceptable (dapat diterima dengan baik oleh orang banyak .
Seniman professional bekerja secara sistematis, dan peka terhadap kondisi kesenian yang akan dikembangkannya. Ada beberapa hal yang menjadi garapannya, yaitu :
• Mempesiapkan SDM yang handal;
• Pemetaan potensi;
• Pengkemasan materi kesenian ;
• Penataan manajemen
Dalam pengkemasan materi kesenian senantiasa melihat isi yang terkandung di dalamnya. Terdapat dua hal yang perlu menjadi catatan :
Pertama mengkemas seni yang berorientasi pasar (marketable) atau yang memiliki nilai jual (selling point. Materi ini semata-mata diperuntukan bagi kepentingan pasar yang memiliki nilai komersial.

Kedua mengkemas seni yang berorientasi pada nilai ideal, untuk membangun Brand atau pencitraan. Ini terkait dengan kekayaan kesenian yang khas dan potensial untuk digali, direkonstruksi dan di Revitalisasi menjadi tari pertunjukan yang dapat diusung ulang sebagai unggulan (Unggulan artinya dibanggakan karena memiliki keunikan, daya tarik, dan kualitas yang memadai ) . Yang akan dijadikan identitas dan karakter daerah.Dalam hal ini diperlukan Political will dari pemerintah.

Penutup.
Kesenian tradisi bukan kitab suci, dan tidak pernah mati, apabila masyarakat pendukungnya menganggap penting keberadaannya. Tradisi akan berubah apabila tidak memuaskan seluruh pendukungnya. Tradisi tidak akan berubah dengan sendirinya, tetapi member peluang untuk dirubah. Sebagai pewarisnya harus memiliki kemauan untuk memvitalkan kembali, dan adanya kemauan untuk melakukan inovasi. Kata Kuncinya kreativitas.

Apa artinya berkreativitas apabila, hasil kreativitas itu tidak bermanfaat baik bagi pelakunya maupun masyarakat penyangganya. Untuk itu, hasil karya seni harus memiliki nilai ideal dan nilai jual.

Dulur – dulur anu sahaté jeung sapamadegan, geus wancina tanghi tong tibra teuing ngeukeupan impian , geura hudang sijago geus kongkorongok sakeudeung deui bray – brayan urang mitembeyan ngawujudkeun impian urang, sabab ieu pasualan bakal balik deui ka diri urang, hayu samiuk sabilulungan ngahijikeun patekadan urang adegkeun papayung nagri anu nyaah tur asih kana budaya, kekel wekel pageuh maneuh nyekel amanah , ngamumule ajen inajen komara sunda, malah mandar kajayaan nu bihari kapetik deui kiwari.
Kudu kumaha …….. jeung kudu ti beulah mana mimitina ……… sangkan pakakas anu bihari kawariskeun ka urang saréréa – Pikeun ngungkulan pangaruh budaya deungeun anu ngaruksak moral entragan ngora ki sunda.

Jaleuleu …. Ja …. Jaleuleuja ….. jaleuleu lagu baheula
Urang guar urang réka …. malah mandar Sunda jaya ………………
Salayang sabrang salayang …. Kukudan dina bangbalé …….
Kahayang ukur kahayang ……. urang wujudkeun dina gawé nu rancage ………….
Cag.

Catatan Sumber.

Edi Sedyawati 1981 Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Sinar Harapan, Jakarta
Holt, Claire 1907 Art in Indonesia Contunities and chage, Itaca, New York
Jaeni, B. Wastap 2011 Teori-teori Kritis, Program Pasca Sarjana, STSI Bandung
Syal Murgiyanto 2004 Tradisi Dan Inovasi Beberapa Masalah Tari Di Indonesia,Wedatama, Widya Sastra, Jakarta

CURRICILUM VITAE
IDENTITAS
Nama : Mas Nana Munajat Dachlan, S.Sn
Tempat Tgl. Lahir : Purwakarta, 3 Desember 1958
Alamat : Jl. Kutaluhur, No. 77. RT.02.RW.08 Ciburuy, Padalarang
Kabupaten Bandung Barat
PEKERJAAN
1. Guru Pruduktif Kompetensi Keahlian Seni Tari SMKN 10 Bandung
2. Penulis tetap Rubrik Budaya SKM Galura
3. Dosen Paud Fakultas Pendidikan Uninus
KARYA PENELITIAN
1. Pemetaan Kantong Budaya Kabupaten Subang, 7 September 2010 Subang
2. Risalah Nay Subanglarang, 30 Juni 2011 Subang
3. Seni Ritual 2012
4. Risalah Kesenian Sisingaan 2012
5. Seni tayub 2012
KARYA TARI
Napak Tilas Siliwangi, 2010
Srangéngé Di Cisadané , 2010
Ritual Bagal Dangiang 2011
Maung Pajajaran Lugay 2012
Kaulinan Di Palataran Getar Pakuan 2012
KARYA PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
• Pengamat Juri Festival, Lomba Seni Siswa TK Nasional SM,A 2010
• Pengamat/Juri TARI KREASI SE-JAWA BARAT, AJUNGAN JAWA BARAT, TMI Jakarta, 2011.
• Pengamat/Juri Ibing Penca , Kab. Bandung Barat 2011.
• Pengamat/Juri TARI Kemasan SE-JAWA BARAT, Bogor 2011
• Konsultan Sanggar Seni Getar Pakuan Kota Bogor
• Konsultan Sanggar Seni Parikesit Jalancagak Subang
• Konsultan Budaya, Pesantren Dzikir Al-Fath, Kota Sukabumi
• Dewan Pakar Yayasan Cendikia, Bandung
• Wakil Ketua Yayasan Kampung Seni & Wisata Manglayang, Kab. Bandung
• Ketua Kalang Budaya Kab. Bandung Barat.
Pengalaman Festival
1. Juara 1 Festival Tari Rakyat TK. Nasional 1990
2. Festival Koreografer Chiba, Chosi, Jepang 1992
3. Festival Koreografer, Hirosima, Narita, Jepang, 1994
4. Penata Tari Perarakan Darat Brunai Darussalam, 1998.

Sumber: Makalah disampaikan dalam Penayangan Film dan Diskusi Kebudayaan yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Bandung di Subang Mei 2014