Mursi Marsudin atau biasa dipanggil dengan sebutan Mamak Lawok ialah seorang seniman tradisi di Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Ia ahli dalam seni tradisi lisan Hahiwang dan Muayak. Di samping itu ia juga ahli dalam Butetah (Tata Titi Pemberian Gelar Adat Sai Batin). Lahir 64 tahun yang lalu (5 Maret 1952) di Pekon Waynapal, Krui, Lampung, dari ibu yang bernama Murkiyah dan bapaknya bernama Marsudin. Nama ayahnya-lah yang tersemat pada nama belakangnya.
Seni Tradisi Hahiwang dan Muayak ialah seni tradisi dari Lampung yang keberadaannya hampir punah karena hanya sedikit orang yang menguasai keahlian tersebut. Dan jarang sekali anak muda yang tertarik untuk mempelajarinya. Meskipun ada yang berminat belajar tapi dirasakan cukup sulit mengusainya,. Menurut Mursi, diperlukan “kemauan yang keras dan memiliki kebolehan” agar menguasai Hahiwang dan Muayak. Selain itu, untuk dapat menciptakan syair Hahiwang harus dengan mengerti isi batin kita. Hahiwang sejatinya ialah Lantunan syair yang berisi perasan kesedihan. Pada zaman dulu, orang-orang tua di wilayah Pesisir Lampung melantunkannya jika hati sedang dalam suasana bersedih untuk menghibur diri. Untuk mengekspresikan rasa kesedihannya dalam bentuk satra lisan.
Pendidikan formal Mursi dimulai dari Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama di Krui, Lampung. Kemudian Sekolah Menengah Atas (SMA) di Prabumulih Palembang sampai kelas satu yang dilanjutkan di Jakarta hingga lulus. Setelah lulus SMA, kemudian melanjutkan kuliah di Nurtanio Bandung, namun hanya bertahan tidak sampai setahun. Kemudian ia bersekolah di Ciamis, Jawa Barat jurusan Teknik kendaraan Bermotor (Montir). Setelah tamat sekolah montir, ia bekerja sebagai supir pribadi di Ciamis, Jakarta, Sulawesi, Maluku, Ambon, Bali. Dari Bali kemudian kembali lagi ke Ciamis menjadi supir bus antar Kota dan angkutan umum di Ciamis.
Pada Tahun 1983, Dari Ciamis, Mursi pulang Kampung ke tempat kelahirannya di Way Napal, Krui, Lampung. Hal ini disebabkan oleh pesan dari ibunya agar tinggal di tempat kelahirannya. Di Kampung halamannya ia bekerja sebagai petani sawah dan berkebun. Namun saat ini, ia tidak lagi bisa bekerja di sawah dan kebun karena sakit asam uratnya.
Selain bertani, pada Tahun 1984, ia mulai aktif mempertunjukan kemampuan Hahiwang di pesta-pesta pernikahan atau pesta adat di sekitar kampung halamannya di Lampung Barat. Pada tahun 1984 inilah ia mulai dikenal dengan sebutan Mamak Lawok. Mamak Lawok secara harafiah berarti “Mamak artinya paman dan Lawok berarti laut”, sebutan itu karena Mursi berasal dari daerah pesisir.
Kemudian pada Tahun 1985, selain mengisi pada acara lokal di Lampung Barat, ia juga setiap satu atau dua minggu sekali mengisi program acara Manjau di Bingi (yang artinya Berkunjung di Tengah Malam) di Radio Republik Indonesia (RRI) Tanjung Karang, Kota Bandar Lampung. Pada Tahun 1998, ia juga pernah diminta untuk mengajarkan seni penciptaan Hahiwang dan Muayak pada mahasiswa dan mahasiswi di Universitas Lampung.
Menurutnya, Seni Hahiwang dan Muayak bukanlah sebagai mata pencaharian karena ia berprinsip harus Ikhlas “Jangan pernah kita meminta sesuatu dengan orang yang mengharapkan kita”, Jadi ia tidak pernah menentukan tarif jika ada orang yang mau menanggapnya untuk mempertunjukan keahliannya melantunkan Hahiwang dan Muayak di pesta pernikahan dan acara lainnya.
Hingga kini, ia tetap konsisten untuk melestarikan seni Hahiwang dan Muayak. Selain itu, ia juga beberapa kali mempertunjukan keahlianya tersebut yang diadakan di Jakarta, Sulawesi dan Jawa Barat. Hal ini dilakukannya jika ada yang memintanya untuk menampilkan Hahiwang di pesta pernikahan orang Krui yang mengadakan pesta pernikahan di luar Lampung. Hahiwang sebagai suatu bentuk sastra lisan Lampung berupa lantunan syair yang menyiratkan kesedihan, dapat pula dipertunjukan pada pesta penikahan sebagai suatu pelajaran bagi orang yang menjalani hidup.
Mursi mengenal Hahiwang sedari kecil karena banyak orang-orang tua yang ber-hahwaing di sekira kampungnya. Kemudian secara serius memperlajarinya saat ia muda. Dengan berguru kepada orang-orang tua yang menguasai Hahiwang dan Muayak di sekitar Kampungnya di Lampung Barat. Selain itu ia juga belajar dari kawan-kawannya sesama orang Lampung yang merantau ketika di Jakarta. Saat di Jakarta kawan-kawannya sering melantunkan hahiwang. Belajar keras untuk mencari ilmu dan guru sendiri. Ia menganggap guru-gurunya ialah orang yang menceritakan pengalaman hidup kepda dirinya. Pengalaman hidupnya sendiri dan pengalaman hidup orang lain merupakan sumber inspirasinya untuk menciptakan lirik-lirik dalam hahiwang dan muayak. Selain itu, ia juga sempat berziarah ke gunung Pasagi di Lampung Barat untuk mencari Inspirasi dalam pembuatan lirik Hahiwang dan Muayak. Sedangkan untuk kemampuan Butetah ia pelajari dari gurunya yang tahu akan sejarah dan adat istiadat Sai batin. Selain itu dari cerita-cerita orang-orang tua di Kampung halamnanya di Way Napal.
Sudah banyak hasil karya-karya Mamak Lawok dalam seni Hahiwang dan Muayak, diantaranya berjudul, Sesol mak bena yang artinya penyesalan tidak ada yang dari awal, selalu di akhir; Darussalamah yang menceritakan tentang nikmatnya di surga dan sakitnya di neraka; Bintang Lunek (bintang kecil) yang menceritakan mi’raj Nabi; Hawung Lunas yang menceritakan sejarah daerah Krui. Krui dalam bahasa Lampung berarti kera, hal ini disebabkan karena wilayah Sungai way krui dari hulu sampai muara banyak kera-nya. Sehingga wilayah ini dinamakan krui.
Terkait dengan keberadaan seni tradiis Hahiwang dan Muayak, menurutnya anak-anak sekarang ada juga yang ingin dapat menguasai seni tradisi Hahiwang dan Muayak. Namun tidak bisa karena dianggap sukar untuk menguasainya. Hal ini disebabkan dalam membuat liriknya harus dapat memilih kata yang tepat artinya dari awal hingga akhir. Selain itu dalam melantunkannya perlu teknik khusus yang harus dipelajari dengan penuh ketekunan.
Saat ini, di usianya yang telah lanjut, Mursi Marsudin atau lebih dikenal dengan sebutan Mamak Lawok berharap adanya penerus untuk melestarikan seni tradisi lisan Hahiwang dan Muayak. “Disini tidak ada penerus, bukannya saya segan, kalau ada laki-laki atau perempuan yang mau belajar, saya bukakan pintu untuk masuk (belajar)” ungkapnya.
Saat ini Mursi bersama istrinya, Suharti (59 tahun), tinggal di Pekon Sumur Jaya, Pedukuhan Hanura, Kec. Pesisir Selatan, Kab. Pesisir Barat, Lampung. Mursi dan Suharti dikaruniai lima orang anak: Basri (32 tahun), Sukri (30 tahun), Sakdiah (28 tahun), Jumini (26 tahun), dan Sriyani (22 tahun). Dari kelima orang anaknya, Mursi sudah memiliki tiga orang cucu.