Keunikan Mempelajari Sejarah Numismatik

You are currently viewing Keunikan Mempelajari Sejarah Numismatik

Keunikan Mempelajari Sejarah Numismatik

Keunikan Mempelajari Sejarah Numismatik

oleh
Heru Erwantoro
(BPNB Jabar)

Banyak siswa bosan belajar sejarah. Mungkin pelajaran sejarah di sekolah lebih tertuju pada sejarah politik, padahal tidak semua siswa suka politik. Sebenarnya sejarah itu luas, seluas lautan kehidupan manusia. Saking luasnya, sejarah memerlukan banyak ilmu bantu, seperti paleontologi, paleoantropologi, paleografi, epigrafi, ikonografi, arkeologi, genealogi, filologi, etnografi, ilmu keramik, numismatik, ilmu-limu sosial, ilmu bahasa, statistik, dan komputer.

Kali ini kita membahas numismatik, ilmu yang mempelajari koin, token, uang kertas, uang logam, medali, dan alat tukar lainnya. Dari numismatik kita dapat mengetahui asal-usul, bahan, teknik pembuatan, mitologi, dan seni mata uang. Dari mata uang pula kita dapat mengetahui tokoh-tokoh dunia, flora dan fauna dari berbagai negara, juga sejarah perdagangan dunia. Sejarah tentang uang sendiri juga sangat menarik.

Dimulai dari bahan yang sangat sederhana dengan teknik yang sederhana juga sampai bahan yang sangat berharga dengan teknologi yang modern. Bahkan dewasa ini, telah lahir uang digital yang dicanangkan sebagai uang tunggal yang berlaku di seluruh dunia. Dengan lahirnya uang digital, hal tersebut tentu menjadi sebuah peristiwa bersejarah yang merubah total wawasan kita tentang uang dalam bentuk fisik yang biasa kita rasakan dan kita pegang, namun tidak sama sekali setelah menjadi uang digital yang notabene hanya ada di dunia maya.

Uang dalam bentuk fisik memiliki karakter tersendiri dan sangat beraneka ragam baik dari segi motif maupun bahan. Seiring waktu berjalan, bahan pembuat uang fisik secara global kini terbagi menjadi dua jenis yaitu uang kertas dan uang logam. Sangat berbeda halnya dengan zaman dahulu dimana uang dapat dibuat dari bahan-bahan yang tidak kita duga sama sekali dan sangat aneh menurut wawasan berfikir kita saat ini. Dua dari sekian banyak jenis uang yang dikatakan aneh tersebut adalah Kampua dan Bamboogeld Token.

Kampua, Mata Uang Kerajaan Buton

Kampua

Kampua adalah mata uang Kerajaan Buton yang terbuat dari kain tenun. Menurut cerita rakyat Buton, kampua untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Bulawambona, Ratu Kerajaan Buton yang kedua yang bertahta pada abad ke-14. Otoritas pengendalian uang diserahkan kepada Bonto Ogena (Menteri Besar). Urusannya meliputi pengawasan, pencatatan, dan jumlah peredaran kampua agar tidak terjadi inflasi. Adapun pengawasan ditujukan untuk mencegah adanya pemalsuan dengan cara merubah motif dan corak setahun sekali.
Aturan dalam pembuatan kampua sangat unik. Setelah kain selesai ditenun maka dipotong dengan ukuran lebar empat jari; dan panjang, sepanjang telapak tangan mulai dari tulang pergelangan sampai ke ujung jari tangan. Adapun tangan yang dijadikan sebagai ukuran ialah tangan Bonto Ogena. Artinya, bila Bonto Ogena berganti maka ukuran kampua juga berganti sesuai besarnya tangan Bonto Ogena yang baru. Pada awalnya nilai tukar selembar (bida) kampua setara satu butir telur ayam. Kemudian standar itu diganti dengan nilai boka, yaitu standar nilai yang umum digunakan masyarakat Buton pada waktu upacara adat perkawinan, kematian, dan lainnya. Satu bida nilainya sama dengan 30 boka.
Setelah Kompeni masuk wilayah Buton sekitar tahun 1851, penggunaan kampua mulai tergantikan oleh uang Kompeni. Nilai kampua sangat rendah, yaitu untuk 40 lembar kampua setara dengan 10 sen uang tembaga, atau untuk 4 lembar kampua nilainya sebesar 1 sen. Pemakaian uang kampua terus berlangsung di desa-desa tertentu di Kepulauan Buton sampai tahun 1940 ( Disarikan oleh Heru Erwantoro dari Buletin NUMISMATIKA No.4, edisi Oktober-Desember tahun 2005).

Bamboogeld Token

Bamboogeld token

Bamboogeld token adalah uang token yang terbuat dari bambu, dulu pernah berlaku di Perkebunan Tjirohani, Sukabumi sekitar tahun 1870 sampai 1885. Token adalah benda yang berfungsi sebagai alat tukar dengan nilai tertentu yang dikeluarkan oleh pihak swasta dalam wilayah peredaran yang sangat terbatas.
Pihak Perkebunan Tjirohani mengeluarkan uang token dari bambu dengan bentuk dan ukuran yang berbeda tergantung nilai nominalnya. Nominal yang terkecil 1/2 sen dan yang terbesar 12 sen. Salah satu contoh ialah token berukuran 1,5 cm X 10,5 cm. Pada bagian muka dan belakangnya ditulis dengan tinta Cina “acht 8” artinya mempunyai nilai 8 sen.
Di masyarakat, uang token itu lebih populer dengan sebutan uang bambu. Para pekerja akan menerima upah berupa uang bambu yang dapat dibelanjakan untuk berbagai keperluan, seperti rokok, garam, beras, jagung, dan pakaian di kios-kios milik perusahaan.
Ada beberapa alasan mengapa pihak perkebunan memberlakukan uang token. Pertama, untuk mengontrol keluar masuknya pekerja. Dikhawatirkan bila pekerja diupah dengan uang tunai, mereka akan pulang kampung. Kedua, untuk kepraktisan karena lokasi perkebunan sangat terpencil dan jauh dari kota. Bila karyawan setiap minggu harus bolak-balik untuk mengambil gaji ke kota, tentu sangat tidak praktis (alat transportasi pun sangat terbatas). Ketiga, jarak perkebunan ke kota sangat jauh dan harus melalui jalan yang sepi sehingga rawan kejahatan (Disarikan dari Buletin Numismatika No.2 Edisi Juli Tahun 2005).