Gaok adalah sebuah kesenian tradisional di Kabupaten Majalengka tepatnya di Desa Kulur dan Burujul yang memiliki unsur budaya Islam. Melalui Kabupaten Cirebon, Seni Gaok masuk ke wilayah Majalengka seiring dengan masuknya ajaran agama Islam yang disyiarkan oleh Pangeran Muhamad dari Cirebon.
Kesenian Gaok adalah kesenian yang menampilkan unsur vokal atau tembang yang paling dominan. Biasanya menampilkan suatu cerita yang diambil dari kesusastraan Jawa, berupa Wawacan. Umumnya ditampilkan pada acara syukuran 40 hari kelahiran bayi. Dalam perkembangan masa kini ternyata kesenian Gaok mengalami kemunduran.
Menurut keterangan yang ada di masyarakat, istilah gaok merupakan istilah kesenian Beluk yang ada di daerah Majalengka, yang lahir dan berkembang dari kebiasaan masyarakat pada jaman dahulu yang kebanyakan bermatapencaharian dengan bercocok tanam di huma. Pada masa itu, secara tidak sengaja orang memainkan keindahan suara, yaitu saat mereka saling berkomunikasi dari huma satu ke huma lainnya, yang pada saat itu merupakan hutan belantara.
Pengertian Beluk masa sekarang umumnya dianggap orang sebagai pertunjukan seni suara atau vokal yang hanya dilakukan oleh laki-laki dengan menggunakan sebuah Wawacan tatkala selamatan bayi. Padahal jika dikembalikan pada pengertian asal Beluk dalam pementasan Seni Beluk sekarang, tidak seluruhnya berbentuk Beluk. Beluknya itu sendiri baru ditampilkan setelah jauh malam, jika dipentaskan semalam suntuk. Beluknya itu sendiri merupakan dinamika pertunjukan agar tidak monoton hanya melagukan Rancag Buhun saja, yang dalam pertunjukan di daerah Dago disebut Silio.
Ditarik kesimpulan, bahwa gambaran Beluk tersebut merupakan gambaran setelah datangnya pengaruh Wawacan dari kesusastraan Jawa yang masuk ke Sunda, terutama melalui kaum feodal dan kaum ulama Islam (kira-kira pertengahan abad XVII). Setelah datangnya pengaruh Wawacan. Beluk itu dijadikan variasi lagu dalam pementasan baca Wawacan yang dilagukan, yang ada di daerah Majalengka disebut Gaok.
Sesuai dengan yang diungkapkan Engkos Wangsadihardja, bahwa keberadaan Kesenian Gaok di Desa Kulur Kecamatan Majalengka sejak datangnya pengaruh agama Islam ke daerah Majalengka. Setelah agama Islam masuk, yang dibawa oleh Pangeran Muhammad (1490), maka penyebaran agama Islam di daerah ini dapat berkembang lebih cepat dibandingkan dengan yang lain. Pangeran Muhammad datang dari Cirebon (Sunan Gunung Jati). Ia menikah dengan Siti Armillah. Cara penyebarannya dengan memanfaatkan naskah Wawacan yang bernafaskan ajaran Islam ke dalam bentuk Kesenian Gaok. Hingga sekarang seni tradisional Gaok masih ada, yang dikembangkan di Desa Kulur Kecamatan Majalengka sekitar tahun 1920.
Gaok merupakan seni tradisional yang telah mengalami singkritisme antara nilai budaya etnis Sunda Buhun yang bernuansa Islam, yang dibawa dari Cirebon. Di dalam pertunjukan selalu diawali dengan bacaan Basmalah, sedangkan bahasa yang disampaikan adalah bahasa Sunda. Terkadang gayanya seperti orang sedang mengumandangkan Adzan.
Gaok diambil dari kata ngagorowok artinya ‘berteriak’. Dalam kesenian ini para pemain secara bergantian melantunkan pupuh (Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula) dengan suara keras (berteriak) seperti cara mengumandangkan adzan sehingga dikenal kata gaok. Para pemain Gaok mengenakan pakaian khas Sunda, yaitu baju kampret dan berikat kepala. Selain berunsur budaya Islam, dalam Gaok terdapat pula unsur budaya leluhur Sunda, berupa upacara persembahan sesajen kepada para leluhur yang dilaksanakan sebelum memulai Seni Gaok.
Perlengkapan Kesenian Gaok adalah naskah wawacan, sesajen, dan waditra pengiring. Wawacan yang ada serta yang selamat, setelah banyak yang musnah terbakar waktu jaman penjajahan, antara lain : Wawacan Manakab, Ahmad Muhammad, Samawi, Sulanjana, Sejarah Ambiya, Babad Talaga Manggung, dan Babad Majalengka.
Pelaksanaan pertunjukan ada aturan-aturan tertentu. Contohnya, naskah Wawacan Manakib/Layang Syeh, yaitu Wawacan yang menceritakan Syeh Abdul Qodir Jaelani. Para penonton tidak boleh berbicara, merokok, dan makan. Jadi, harus mendengarkan dengan saksama jalan cerita dalam Wawacan tersebut. Sesajen harus tersedia lengkap, mulai dari makanan kecil sampai dengan makanan pokok. Untuk Wawacan lain bebas. Sesajen yang disajikan adalah kesukaan leluhur, di saat ia masih hidup.
Kegiatan nyuguh karuhun adalah berupa :
- Parawanten, yaitu aneka ragam makanan/minuman kesukaan para leluhur, seperti puncak manik (telur di atas tumpeng), rurujakan (rujak kelapa, pisang, asem), bubur merah bubur putih, buah-buahan, kopi pahit manis, dawegan, kupat leupeut, tangtang angin, dan cara (kue serabi).
- Pangradinan, sarana kecantikan pada masa lalu, seperti minyak wangi, kapur sirih, minyak kelapa, bunga-bunga, cermin, sisir.
- Parupuyan, yaitu perapian.
- Perlengkapan tambahan adalah alat pengiring, buyung dan songsong, yang berfungsi sebagai pengiring dalam pertunjukan pada saat mengakhiri kalimat lagu/pupuh, atau istilahnya madakeun/ngagoongkeun.
Tokoh-tokoh Gaok yang ada di daerah Kulur adalah : Bapak Jaya (77 tahun), Wardi (77 tahun), Kari (75 tahun), Sukarta (77 tahun), Rukmin (66 tahun), Donu (57 tahun).
Cara penyajian Kesenian Gaok adalah ketentuan yang sudah ada sejak dahulu, yaitu berupa :
- Etika penyajian, tidak hanya ditampilkan di atas panggung, juga di tengah rumah/serambi rumah, duduk bersila di atas gelaran tikar, yang dipimpin oleh seorang dalang/tukang ilo/pangrawit, yang bertugas untuk membacakan kalimat-kalimat yang ada dalam cerita, yang selanjutnya untuk diulang oleh Tukang Gaok. Tetapi yang lebih penting lagi, yaitu untuk menekankan kejelasan jalannya cerita dalam Wawacan kepada penonton. Karena bila lirik atau rumpaka sudah disampaikan oleh Tukang Gaok, yang terdengar oleh penonton bukan lagi kejelasan ejaan atau lafal kata yang diucapkan, melainkan kemudian suara dari penembang tersebut yang ditonjolkan.
- Cara pengulangan disampaikan baris demi baris, sementara penonton harus tertib dulu.
Pemain harus memiliki kualitas suara yang bagus, ambitin suara yang memadai, napas yang panjang, dan harus hapal semua pupuh, termasuk cara menembangkannya. Dulu, jumlah yang memainkannya 12 sampai 13 orang. Sekarang pemain Gaok sekitar 4 sampai 6 orang laki-laki sebagai juru mamaos dan seseorang sebagai dalang atau pangrawit yang menjadi pemimpinnya. Adapun cerita yang dibawakan selain cerita-cerita Wawacan di atas adalah Cerita Umar Maya, Baejah, dan Sarmun. Selain sebagai juru mamaos, setiap pemain memainkan tetabuhan/waditra dari bambu, yang masing-masing memiliki nama: kecrek, gendang bambu atau buyung, dan gong bambu.
Pergelaran Kesenian Gaok dipimpin seorang dalang/pangrawit. Ia yang membacakan Wawacan, kemudian dibeuli oleh antara juru mamaos (pencoba) yang satu dengan yang lain. Tukang meuli tak ditentukan, siapa saja yang ingin meuli kalimat yang dibacakan dalang. Selain tukang meuli, ada lagi tukang naekkeun, yang menaikkan nada yang ditembangkan ke nada yang lebih tinggi, sehingga persiapan yang paling penting bagi tukang gaok adalah mempersiapkan suara agar tidak sampai kehabisan nafasnya.
Waktu penyajiannya dari pukul 20.00 – 04.00, semalam suntuk. Jika belum tamat, dilanjutkan jika empunya hajat memintanya.
Teknik pementasan Kesenian Gaok adalah sebagai berikut :
- Sambutan empunya hajat.
- Ceramah dari tokoh masyarakat.
- Sebelum Dalang Gaok memberitahukan ceritanya, terlebih dahulu memeriksa kelengkapan Dalang.
- Membaca doa, membakar kemenyan, dan meminta izin Allah SWT, meminta maaf kepada leluhur, jika sesajen tidak lengkap dan mempersilakan untuk hadir dalam penjajiannya.
- Prolog Wawacan oleh Dalang.
- Tukang Gaok/tukang meuli menembangkan baris demi baris.
- Setiap akhir pada diiringi dengan alok secara rampak, dipandu fungsi buyung dan songsong, yang dipakai sebagai madakeun atau ngagoongkeun.
- Tema sesuai dengan tujuan penyajian.
- Ditutup dengan permintaan maaf dan ucapan terima kasih.