Honje, Bahan Kapas Tenun Gadod dari Majalengka

You are currently viewing Honje, Bahan Kapas Tenun Gadod dari Majalengka

Honje, Bahan Kapas Tenun Gadod dari Majalengka

Honje, Bahan Kapas Tenun Gadod dari Majalengka

Oleh:
Ani Rostiyati
(BPNB Prov. Jabar)

Abah Samadin
(Dok. BPNB Jabar, 2020)

Desa Nunuk Baru terletak di Kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka. Wilayah ini berada di bagian timur Kabupaten Majalengka Provinsi Jawa Barat yang hampir berbatasan dengan wilayah provinsi Jawa Tengah. Menurut Abah Samadin ketua adat (kuncen) Desa Nunuk Baru yang sekarang berusia 90 tahun bahwa asal muasal warga Kampung Nunuk ada kaitannya dengan dengan keturunan raja dari kerajaan Galuh Pajajaran. Mereka mengaku berasal dari keturunan bangsawan kerajaan seperti Ciung Wanara, Hariang Banga dari kerajaan Galuh Pakuan (Karang Kamulyan). Menurut Abah Samadin, pada tahun 1965 di Kampung Nunuk masih ada balong (kolam) yang disebut karomah Cileuweung. Tempat ini menghilangkan 4 orang tokoh bangsawan (ngahyang anu opat) yaitu Mangkuriksa, Ciung Wanara, Badegal Jaya, dan Hariang Banga. Keempat tokoh bangsawan itu adalah keturunan raja yang hidup pada abad ke-14 Masehi.


Pohon Kapas honje di Desa Nunuk Baru
(Dok. BPNB Jabar, 2020)

Salah satu tokoh ini menurunkan leluhur bernama Barajakasungga (Langensari) yang mengenalkan tanaman padi dan kapas. Tokoh ini dipercaya sebagai orang yang pertama kali mengenalkan pertanian di Kabupaten Majalengka khususnya di Kampung Nunuk Baru. Bahkan warga Desa Nunuk Baru baru mengetahui dari para leluhurnya entah benar atau tidaknya ternyata padi dan kapas itu menjadi simbol negara yang terlihat pada simbol Pancasila pada sila kelima. Padi untuk makanan sementara itu kapas ditanam untuk bahan pakaian. Pada jaman penjajahan Jepang ketika susah mencari pakaian karena pakaian yang ada diangkut ke negaranya di Jepang, sementara di tempat lain banyak yang mengenakan penutup badan dari dedaunan, kulit, dan karung. Namun, bagi masyarakat Nunuk tidak kekurangan pakaian karena mereka membuat pakaian dengan cara mengolah bahan jenis kapas honje dengan cara ditenun dan menjadi pakaian sehari-hari. Kebiasaan menenun dari bahan kapas yang menghasilkan kain inilah yang disebut kain tenun Gadod sampai sekarang.
Kerajinan tangan tradisional ini bernama tenun buhun Gadod yang diperkirakan sudah ada sejak masa penjajahan Belanda, disebut “gadod” oleh warga karena kainnya sangat tebal. Dahulu kain tenun Gadod ini dipergunakan untuk bahan pakaian dan kain untuk menggendong bayi yang diberi nama Karembong Gadod oleh warga. Selain itu untuk bahan Kain Kafan jika ada warga Nunuk yang meninggal dunia, kain ini diberi nama “Boeh Larang”, untuk kain sarung, dan sebagai bahan seprei kasur/alas tidur karena saat itu semua kasur berbahan dari Kapuk Randu yang apabila tidak diberi alas akan menyebabkan tubuh mengalami gatal-gatal dan apabila dihirup oleh hidung akan mengalami bersin-bersin. Waktu itu letak Desa Nunuk yang jauh sulit dijangkau karena tidak ada kendaraan sehingga jika warga ingin membeli kain kafan buatan pabrik harus pergi ke kota yang lama perjalanannya butuh waktu sekitar 1 hari. Kondisi yang tidak memungkinkan itulah, maka bila ada warganya yang meninggal dari dulu hingga sekarang selalu menggunakan Kafan yang terbuat dari kain Tenun Gadod. Untuk bahan kain kafan, para pembuat Tenun Gadod ini tidak pernah memberi warna apapun alias polos atau natural. Sedangkan untuk kasur, agar tampilannya lebih menarik diberi warna merah atau biru.


Kain tenun Gadod (Dok.BPNB Jabar, 2020)

Kain tenun Gadod sebagai kain kafan yang warnanya putih, dari dahulu hingga sekarang kain tenun tersebut dianggap sakral dan juga digunakan sebagai pakaian adat. Menurut seorang informan, Desa Nunuk Baru sejak abad ke-14 warganya mulai membuat tenun bermotif (kelir) putih dan merah. Hampir tiap rumah dulunya dipakai membuat tenun Gadod karena untuk kebutuhan pakaian sehari-hari dan kain kafan bila adat yang meninggal. Namun, sekarang hanya tersisa 5 orang yang menekuni pembuatan kain tenun Gadod dan usianya pun sudah lanjut yakni 90 tahun. Meskipun sekarang sudah mulai dilestarikan dan dikembangkan dengan dukungan masyarakat dan pemerintah serta masyarakat dari luar Desa Nunuk Baru.
Pembuatan kain tenun tradisional ini membutuhkan waktu cukup lama, selembar kain dibutuhkan waktu kurang lebih 4 hari. Sedangkan untuk pewarnaan kalau dahulu menggunakan kulit kayu merah, sekarang bisa menggunakan pewarna celup. Satu kain tenun Gadod seharga kisaran antara Rp 200.000,- sampai RP 400.000,- dan harga kain kafan (boeh) Rp 200.000,-. Para pembeli biasanya datang sendiri ke Desa Nunuk Baru, walaupun jalannya relatif sulit ditempuh karena medan naik turun dan belokan tajam serta permukaan jalan yang kurang baik namun para pembeli datang dengan semangat untuk mendapatkan tenun tradisional ini.
Adapun proses pembuatan tenun Gadod ini adalah kapas yang baru dipanen terus dijemur sampai kering, tujuannya untuk mengurangi kadar air. Proses berikutnya adalah ngajujutan yaitu memisahkan kapas dari bijinya untuk membuat asiwing. Lalu pemintalan dimulai dari pembuatan asiwing yaitu kapas diputar-putar sampai mengembang dan digulung. Benang yang terkumpul di kisi lalu diproses ke lawayan untuk memintal benang sebagai bahan tenun Gadod. Hal ini dilakukan untuk menghitung berapa banyaknya benang yang akan digunakan dalam pembuatan kain tenun. Hasil benang yang sudah terkumpul dari alat lawayan disebut mihane. Benang yang sudah diproses pematangan dilanjutkan ke proses diundar yakni menggulung benang yang akan dipindahkan ke ulakan. Proses terakhir adalah nenun untuk membuat benang dari gulungan ke sebuah alat yang disebut pakara.

Bu Kasti
(Dok. BPNB Jabar, 2020)

Penenun di desa Nunuk Baru yang masih aktif membuat tenun Gadod adalah Mak Kasti yang sudah berusia 90 tahun, Mak Suniah berusia 90 tahun, dan Bu Maya berusia 80 tahun. Mereka menjadi penenun sejak penjajahan Belanda, sedangkan Bu Kasti sekarang menjadi pengajar cara menenun kain Gadod kepada generasi muda. Menurut Bu Maya, ada pantangan atau larangan yang berkaitan dengan pembuatan tenun kain Gadod yakni hari Rabu tidak boleh menggunakan alat mihane karena alat tersebut pada hari rabu harus digunakan di Talaga. Selain itu, pada hari-hari besar Islam seperti Maulud Nabi Muhammad SAW tidak boleh melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pembuatan tenun Gadod. Adapun bahan-bahan untuk membuat peralatan tenun Gadod semua sudah tersedia di Desa Nunuk Baru, berasal dari kayu seperti kayu jati, kayu nangka, kayu trem, kayu pinang, bambu, dan kayu besi.