Babad Gegesik
Oleh :
Risa Nopianti
(BPNB Provinsi Jawa Barat)
Babad Gegesik merupakan sebuah karya sastra yang biasanya banyak ditemukan di daerah Jawa. Umumnya cerita yang tertulis dalam babad mengandung sejarah dan mitos yang dipercaya oleh masyarakat penuturnya. Sebagai sebuah genre sastra, babad dapat dikategorikan sebagai manuskrip maupun tradisi lisan, yang selain dicatat dalam tulisan juga dapat dituturkan secara turun termurun. Menurut penuturan sesepuh Gegesik, yang juga berprofesi sebagai mantan dalang wayang, H. Masyur, bahwa dahulunya Babad Gegesik pernah dicatat dalam sebuah naskah manuskrip dengan menggunakan Bahasa Kawi. Hanya saja karena satu dan lain hal pada tahun 1980-an, manuskrip tersebut berpindah tangan dan tidak kembali ke lagi ke Gegesik hingga saat ini.
Jadilah hingga saat ini Babad Gegesik hanya menjadi sebuah cerita peteng (gelap) yang tidak diketahui dengan jelas asal usulnya karena tidak adanya bukti tertulis (manuskrip) mengenai asal mula terbentuknya Desa Gegesik yang saat ini berkembang menjadi Kecamatan Gegesik. Pada masa awal terbentuknya Desa Gegesik hanya terdiri dari tiga desa utama yaitu Gegesik Wetan, Gegesik Kidul, dan Gegesik Lor, baru kemudian menyusul di bentuk Desa Gegesik Kulon. Empat desa inti ini merupakan cikal bakal lahirnya Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon. Kecamatan Gegesik sendiri saat ini secara administratif telah berkembang menjadi 14 desa yaitu : Desa Bayalangu Kidul, Desa Bayalangu Lor, Desa Kadung dalem, Desa Panunggul, Desa Gegesik Wetan, Desa Gegesik Kidul, Desa Slendra, Desa Jagapura Kidul, Desa Gegesik Lor, Desa Gegesik Kulon, Desa Jagapura Kulon, Desa Jagapura Wetan, Desa Jagapura Lor, dan Desa Sibubut.
Menurut H, Mansyur, dikatakan bahwa kata Gegesik berasal dari kata geusik/keusik yang berarti tanah berpasir, jadi dahulunya Gegesik merupakan sebuah tanah yang sangat luas dan banyak terdapat pasir. Di ceritakan Pangeran Gesang atau yang lebih dikenal dengan julukan Ki Gesang atau Ki Gede Gesik memiliki empat orang anak yaitu : Ki Jagabaya, Ki Sumareng, Ki Baluran, dan Nyi Mertasari. Mereka diperintahkan oleh Ki Gesang membuka lahan (babadutan) atau alas hutan untuk dijadikan keraton dengan cara dibakar. Awalnya pembukaan lahan hutan itu terjadi di daerah lain yang saat ini dikenal dengan nama daerah Kedaung, kemudian ada api dari hasil pembakaran hutan tersebut bertiup kearah Barat Laut, maka Ki Gesang memberi titah bahwa lahan tersebut harus digunakan sebagai tempat bagi anak-anak sultan membuat babad atau tinggal dan menetap. Telah disepakati bahwa pembagian lahan untuk keempat anak sultan (3 anak laki-laki dan 1 anak perempuan) dihitung dengan cara laki-laki sepikulan, perempuan segendongan. Artinya bahwa besaran lahan yang diterima laki-laki dua kali lipat dari perempuan. Anak perempuan sultan yang sangat cantik bernama Nyi Mertasari tidak dapat menerima kesepakatan tersebut, karena Nyi Mertasari ingin pembagian yang sama rata dengan ketiga saudara laki-lakinya. Maka dibuatlah sayembara dengan cara mengeluarkan kesaktian yang dimiliki oleh keempat orang anak Ki Gesang.
Sayembara tersebut berupa adu kesaktian untuk membuat binatang peliharaan. Ki Jagabaya dengan kesaktiannya menginjak bumi tiba-tiba menciptakan kuda bersayap dan berekor panjang dengan keracak baja, serta seekor anjing berbulu tebal; Ki Sumerang anak kedua Ki Gesang dengan kesaktiannya menepuk sungai hingga kering, mampu mengeluarkan seekor buaya putih besar; Ki Baluran dengan kemampuannya menusuk bumi dengan jarinya, mampu mengeluarkan ular besar. Menurut panitia ketiganya tidak sesuai dengan aturan sayembara yang mengharuskan peserta menciptakan hewan ternak. Nyi Mertasari dengan kesaktiannya kemudian menciptakan bandeng (sapi jantan), macan, dan kerbau. Dengan demikian Nyi Mertasari akhirnya keluar sebagai pemenang sayembara itu.
Nyi Mertasari sebagai pemenang sayembara berhak memilih tanah babadnya sendiri. Maka Nyi Mertasari memilih di Desa Gegesik saat ini, sedangkan kakaknya Ki Jagabaya kebagian wilayah utara atau Desa Jagapura sekarang, Ki Sumerang di sebelah selatan yaitu Desa Bayalangu, dan Ki Baluran memilih lokasi di sebelah barat yang saat ini menjadi Desa Guwa, Kecamatan Kaliwedi.
Juri sayembara tersebut yaitu Ki Panungggul ternyata jatuh cinta kepada Nyi Mertasari, akhirnya mereka menikah dan dikarunia dua orang anak yaitu Ki Raja Pandita, dan seoarang anak perempuan (tidak tercatat namanya dalam babad). Ki Raja Pandita memutuskan untuk mandalami ilmu agama, sedangkan saudaranya yang perempuan memiliki dua orang anak yaitu Keradenan yang akhirnya memimpin Gegesik Kidul, dan Ketembolan yang memimpin Gegesik Lor. Gegesik Kidul dibagi lagi menjadi dua yaitu Kedayungan atau Gegesik Wetan, adiknya memimpin Kecawetan atau Gegesik Kulon.
Tokoh mitologi yang diciptakan oleh anak-anak Ki Gesang, telah mengilhami lahirnya tokoh mitologi Buyut Gruda yang diciptakan oleh Ki Salam. Hingga saat ini keberadaan tokoh mitologi Buyut Gruda sangat di kultuskan oleh masyarakat, khususnya masyarakat di Desa Gegesik Lor. Setiap tahun, dalam rangka memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW, Buyut Gruda dipajang di depan Bale Desa Gegesik Lor, dan replikanya diarak dalam perayaan festival Muludan yang biasa diselenggarakan secara besar-besaran di Kecamatan Gegesik.
Babad Gegesik yang dituturkan dari generasi ke generasi telah menjadi memori kolektif masyarakat di Desa Gegesik atau Kecamatan Gegesik khususnya dan Cirebon pada umumnya. Hal ini tentu menjadi potensi budaya yang patut untuk dipertahankan, mengingat sebagian masyarakat sudah mulai acuh dengan tradisi lisan yang ada, sekalipun hal itu bersangkut paut dengan jejak sejarahnya sendiri. Untuk itu diperlukan upaya-upaya untuk terus menuturkan babad ini, ataupun mengemas kembali cerita atau babad ini dengan cara yang lebih kekinian supaya dapat diingat oleh masyarakat, khususnya generasi muda, baik itu melalui media kontemporer maupun tradisional.