Asal Usul Seni Ronggeng Gunung
Oleh :
Ani Rostiyati
(Balai Arkeologi Provinsi Jawa Barat)
Ronggeng Gunung adalah salah satu jenis kesenian yang lahir pada abad ke-16 di Kerajaan Haur Kuning Ciamis Jawa Barat. Ronggeng berasal dari kata renggana yang berarti perempuan pujaan dalam bahasa Sansekerta. Perempuan pujaan ini menari diiringi seperangkat alat musik tradisional dan tariannya berperan sebagai penghibur tamu kerajaan. Diperkirakan ada sejak abad VII pada masa Kerajaan Galuh. Sedangkan Gunung adalah tempat yang permukaannya lebih tinggi dari dataran rendah. Ronggeng adalah perempuan yang memiliki banyak peran dalam kesenian ronggeng gunung. Dalam setiap pertunjukan kesenian tersebut, dia akan bertindak sebagai penari dan sekaligus sebagai penyanyi. Tidak dapat dipungkiri dan hampir dapat dipastikan, ronggeng merupakan pemain utama yang menjadi titik sentral dari alur pertunjukan ronggeng gunung. Kesenian ronggeng gunung memang menyimpan kekuatan pada nyanyiannya yang lahir dari kekuatan dan karakter vokal seorang ronggeng. Nyanyian yang dilantunkan seorang ronggeng sesekali terdengar sendu, namun lebih banyak berupa suara lengkingan panjang yang menyayat hati. Tinggi rendah nada muncul tak terduga dan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang terlatih dalam olah suara dan nafas
Asal-usul kesenian ronggeng gunung, salah satunya merujuk pada cerita rakyat yang berhubungan dengan seseorang yang bernama Dewi Siti Samboja. Pada zaman dahulu, di ujung Pananjung berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin seorang raja bernama Raden Anggalarang dan istrinya bernama Dewi Siti Samboja, yang kelak akan disebut Dewi Rengganis. Raden Anggalarang mendirikan sebuah kerajaan di sana atas kehendak sendiri. Dia sengaja meminta kepada ayahnya, yaitu Prabu Haur Kuning, yang sedang memimpin kerajaan di daerah Galuh.
Sejak awal, Prabu Haur Kuning sudah memiliki firasat yang kurang baik terhadap niat anaknya, yang ingin membangun sebuah kerajaan. Lokasi untuk kerajaan anaknya berada tidak jauh dari pinggir pantai. Wilayah tersebut, apalagi di ujung Pananjung, merupakan tempat persinggahan andar-andar atau bajo (penjahat ). Oleh karena itu, wilayah tersebut kemudian disebut Pangandaran. Raden Anggalarang tidak mengindahkan kekhawatiran ayahnya. Dia tetap bersikeras untuk mendirikan kerajaan sampai selesai. Dalam menyelesaikan pekerjaan besar tersebut, dia dibantu para pengikutnya, juga didampingi oleh Patih Kidang Pananjung dan Mama Lengser. Apa yang dikhawatirkan Prabu Haur Kuning memang menjadi kenyataan. Tidak berapa lama setelah kerajaan itu berdiri, terjadi peperangan antara pasukan dari kerajaan pimpinan Kipatih Kidang Pananjung dan para bajo yang singgah di perairan tersebut. Tampaknya pimpinan bajo begitu bersemangat dalam peperangan itu, karena mengetahui istri pimpinan musuhnya sangat cantik. Sang permaisuri raja itu bernama Dewi Siti Samboja. Dalam peperangan tersebut, para bajo berhasil melumpuhkan Kipatih Kidang Pananjung sampai mati. Kekalahan itu memaksa Raden Anggalarang untuk pergi dari tempat tersebut. Beberapa hari kemudian, para bajo mencium keberadaan rombongan Raden Anggalarang dan menyerang rombongan tersebut, termasuk rencana untuk memboyong sang permaisuri. Rombongan ini terus melarikan diri ke beberapa tempat untuk bersembunyi, Raden Anggalarang dan Mama Lengser berembug untuk mencari cara menyelamatkan sang permaisuri. Mereka sepakat, Dewi Siti Samboja besama Mama Lengser pergi ke utara, sedangkan Raden Anggalarang menuju selatan. Sebelum melanjutkan perjalanan, Dewi Siti Samboja naik dulu ke sebuah gunung yang diperkirakan dapat melihat perjalanan sang suami, yakni Raden Anggalarang. Ketika dia melihat ke selatan, tampak suaminya sedang bertempur dengan para bajo yang sengaja terus mengejarnya. Ternyata suaminya mengalami kekalahan dalam pertempuran itu kemudian dibunuh, dan mayatnya diarak oleh para bajo. Oleh karena itu, tempat mengarak mayat tadi disebut Parakan.
Dewi Siti Samboja bersama Mama Lengser segera melarikan diri ke utara hingga sampai di pinggir sungai bertemu dengan tukang rakit yang dapat menyebrangkan dirinya dan Mama Lengser. Begitu sampai di seberang, mereka berpesan agar tukang rakit tiak memberi tahu mereka kepada orang lain. Keesokan harinya, Dewi Siti Samboja sampai di sebuah anak Sungai Citanduy. Dia menemukan mayat seorang laki-laki muda, dan ternyata mayat itu adalah tukang rakit yang menyeberangkan mereka. Dia tewas karena berkelahi dengan para bajo yang juga minta diseberangkan. Dia tidak meluluskan permintaan para, akibatnya dia dibunuh para bajo dan mayatnya terbawa arus Sungai Citanduy.
Lalu Dewi Siti Samboja menyepi dan bertapa. Dalam keheningan, dia mendengar suara tanpa wujud. Intinya merupakan perintah agar rombongan Dewi Siti Samboja menyamar menjadi rombongan seni doger (ketuk tilu) bersama-sama dengan pemuda-pemuda setempat. Dewi Siti Samboja sendiri menjadi waranggana atau ronggengnya. Tujuan penyamaran itu tentu saja untuk menyelamatkan Dewi Siti Samboja beserta rombongannya dari kejaran para bajo. Berbulan-bulan Dewi Siti Samboja menyamar sebagai ronggeng bersama para pemuda yang ada di daerah pegunungan Kendeng. Dewi Siti Samboja pun mengganti namanya menjadi Dewi Rengganis.
Dikisahkan Prabu Haur Kuning mengutus salah seorang patihnya, yaitu Sawung Galing agar menelusuri keadaan anaknya yang mendirikan kerajaan di daerah pantai. Sampailah sang patih di daerah Pegunungan Kendeng. Di sana dia mendengar ada pergelaran kesenian yang dipimpin oleh Mama Lengser setiap malam. Pada suatu malam, patih Sawung Guling mencoba menemui Mama Lengser. Ternyata Mama Lengser mengetahui patih itu adalah utusan dari Prabu Haur Kuning. Kedatangan sang patih untuk menemui keadaan anak dan menantunya.
Dewi Rengganis belum percaya kepada Sawung Guling sebagai utusan dari ayah (mertuanya). Dia meminta Sawung Guling agar bertanding dulu dengan pemuda-pemuda yang dipimpinnya. Ternyata, tak satu pun pemuda yang dapat menandinginya. Meskipun begitu, dia masih belum merasa yakin dengan kenyataan tersebut. Akhirnya, dia meminta patih untuk menunjukkan kekuatan lainnya sesuai dengan kapasitasnya sebagai seorang patih kerajaan.
Pada keesokan harinya, Patih Sawung Guling memperlihatkan ilmu kekuatannya. Dia mengambil sebuah lidi enau (Sunda: kawung) kemudian menancapkannya pada tebing batu yang ada di daerah pegunungan Tunggilis. Ketika lidi dicabut kembali, batu itu. timbul dan menonjol seperti alat kelamin laki-laki serta memancarkan air. Dewi Rengganis dan Mama Lengser akhirnya percaya, lalu mereka menyamar sebagai rombongan kesenian dan menjadi petani atau bercocok tanam bersama-sama dengan masyarakat. Di tempat itu rombongan Mama Lengser memaksakan ngahuma (bertani) dan malam harinya tetap menggelar hiburan. Saat menggelar mamarung (hiburan), tiba-tiba serombongan bajo datang. Karena kekuatan rombongan Mama Lengser sudah disusun sedemikian rupa, dengan tenaga andalannya yaitu Sawung Guling, rombongan bajo pun dapat dikalahkan. Banyak di antara mereka mati dibunuh oleh Sawung Guling.
Akhirnya, Dewi Siti Samboja yang menyamar jadi ronggeng dengan nama Dewi Rengganis dan Sawung Guling kembali ke kerajaan bekas Raden Anggalarang, yaitu ke Pananjung Pangandaran. Sejak itulah kerajaan tersebut dinamakan Pananjung Ngadeg Tumenggung, dengan rajanya Sawunggaling.