Bangunan ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Surat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor PM.04/PW.007/MKP/2010 dan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 005/M/2017.
Desain bangunan melibatkan Arsitek Belanda Ir. J. Gerber dari Jawatan Gedung-gedung Negara (landsgebouwendients), dibantu oleh sebuah tim yang terdiri dari Kol Geni (Purn) V.L. Slor dari Genie Militair, Ir, E.H. De Roo dan Ir. G. Hendriks yang mewakili Bugerlijke Openbare Werken (B.O.W) atau PU dan Gemeentelijk Bouwbedriff (perusahaan bangunan kotapraja) Bandung. Para arsitek tersebut merancang Gedung Sate dengan langgam arsitektur terispirasi gaya bangunan Italia di Zaman Renaissance.
Pada, dinding fasade depan Gedung Sate terdapat ornamen berciri tradisional, seperti pada bangunan candi-candi Hindu. Sedangkan di tengah-tengah bangunan induk Gedung sate, tegak berdiri menara dengan atap tersusun atau yang disebut “tumpang”, seperti Meru di Bali atau atap Pagoda. Di bagian atas atap, ada bagian yang menjulang menyerupai tusukan sate. Secara populer, rakyat memberi nama gedung itu “gedung Sate”.
Bangunan menjadi unik bentuknya, karena merupakan eksperimen dari pencarian sebuah identitas arsitektur tradisional Indonesia dengan kemahiran konstruksi barat. Hal ini dapat dilihat dari bangunan gedung sate atau bangunan induk kampus ITB, yang sering disebut sebagai Indo Europeeschen Architectuur stijl atau Gaya Arsitektur Indonesia Eropa.
Pembangunan Gedung Sate erat kaitannya dengan rencana Pemerintah Kolonial Belanda di zaman Gubernur Jenderal J.P. Van Limburg Stirum yang memerintah pada 1916-1921. Ia melaksanakan usulan H.F. Tileman, 1916, seornag ahli kesehatan lingkungan dari Semarang agar ibu kota Nusantara, Hindia Belanda, dipindahkan dari Batavia ke Bandung.
Selain Artikel Cagar Budaya Gedung Sate Anda dapat membaca Artikel Cagar Budaya Lainnya : Cagar Budaya Prasasti Pasir Awi