Melawan Lupa: Catatan Kecil tentang Penyebaran Penyakit di Jawa Barat
Oleh
Nandang Rusnandar
(BPNB Jabar)
Jawa Barat khususnya dan Indonesia secara keseluruhan atau bahkan dunia pernah mengalami serangan wabah yang cukup mengerikan dan banyak memakan korban. Seperti yang sekarang kita rasakan wabah Covid-19 menyerang seluruh jagat raya. Ratusan negara secara bersamaan mengalami wabah ini, tidak terkecuali Indonesia. Begitu pula dampaknya di Jawa Barat sangat terasa. Dosen sekaligus Sejarawan dari Universitas Diponegoro (Undip) Prof. Singgih Tri Sulistiyono mengatakan, Indonesia khususnya Jawa sebagai wilayah tropis dengan cuaca yang memiliki kelembapan tinggi dan lingkungan yang basah, dalam sepanjang sejarahnya selalu menghadapi berbagai macam penyakit.
Menurut catatan penyakit yang pernah mewabah di antaranya, penyakit Cacar pertama kali menjangkiti Batavia pada tahun 1644. Penyakit tersebut masuk ke Batavia lalu menyebar ke seantero Jawa. Hingga akhir abad ke-18, cacar telah memakan korban ribuan buruh pekerja perkebunan dan melumpuhkan ekonomi pada waktu itu.
Berikutnya penyakit Malaria, salah satu wabah yang pernah melanda Indonesia, awal mewabah di Batavia sejak tahun 1733. Selain Malaria, Kolera juga sempat mewabah dan diperkirakan masuk ke wilayah Jawa pada tahun 1800-an akibat hubungan dagang antara India dan Jawa melalui Malaka. Penyakit Kolera disebut juga muntaber atau buang air terus menerus dan muntah-muntah. Daerah yang pertama terindikasi penyakit Kolera adalah daerah di sepanjang pantai utara Jawa, mulai dari Batavia, Semarang, hingga Surabaya. Barulah pada tahun 1883, kuman Kolera (Vibrio cholerae), berhasil diidentifikasi. Sepanjang tahun 1821 sekitar 125.000 orang di Jawa meninggal dunia gara-gara Kolera. Tak hanya berjangkit di permukiman pribumi dan Cina, Kolera juga berjangkit di permukiman orang Eropa yang sebenarnya memiliki kondisi yang lebih baik.
Pada tahun 1918, wabah Influenza juga pernah mewabah kawasan di Hindia Belanda. “Flu tersebut juga disebut juga dengan Flu Spanyol. Wabah Flu tersebut merupakan wabah penyakit yang terganas dalam sejarah umat manusia karena telah meminta korban juta-an orang. Diperkirakan antara 20 hingga 40 juta orang meninggal dunia karena wabah penyakit mematikan tersebut.
Selanjutnya, penyakit Pes yang disebabkan oleh tikus (Xenopsylla cheopsis) juga pernah mewabah di Jawa. Pes diperkirakan berasal dari Asia Tengah atau Asia Timur. Inang bakteri Yersinia pestis adalah kutu tikus atau marmut. Penyakit ini merambah ke Eropa dan Afrika bagian utara melalui Jalur Sutra yang merentang di pedalaman Eurasia. Pandemi Pes pertama yang mematikan diperkirakan terjadi di Byzantium semasa Kaisar Justinian I pada tahun 541-542. Tak hanya melumpuhkan Konstantinopel, wabah juga menyebar ke beberapa tempat di Asia dan Afrika. Penyakit yang disebabkan bakteri Yersinia pestis ini termasuk ganas karena mudah menyebar dan menyerang bagian tubuh yang vital. Sampai abad ke-19, orang sudah mengenal tiga jenis Pes: Pes pada sistem limfatik alias Pes bubo, Pes pada aliran darah atau Pes Septikemik, serta Pes pada paru-paru alias Pes Pneumonik. Mereka yang terserang pes akan menunjukkan gejala demam, diare, nyeri otot, beberapa bagian tubuh menghitam (Pes Septikemik), pembengkakan di sekitar kelenjar getah bening (Pes Bubo), hingga batuk dan sesak napas (Pes Pneumonik).
Sampai 1952 Pes telah menyerang kurang lebih 240.000 orang di Pulau Jawa. Penyakit Pes (sampar) yang telah mewabah di daerah Garut dimulai sekitar tahun 1930-an dan telah tercatat sebagai berikut: Pada 25-26 April 1933, berita dari koran AID De Preanger-Bode yang disadur oleh media-media yang terbit di Hindia Belanda dan Belanda, seperti De Indische courant, Soerabaijasch Handelsblad, Nieuwe Apeldoornsche courant, De Standaard, De Tijd, dan Bredasche courant. Isinya perihal kematian asisten wedana atau Camat Kota Garut Raden Kanduruan Kertanegara, akibat tertulari sampar yang menjangkit pada 1933, bahwa camat tersebut pernah berhubungan dengan bupati Garut (tot de contactpersonnen behoort de regent). Bupati Garut menjadi orang dalam pantauan (ODP) selama sembilan hari, sehingga tidak boleh ke mana-mana (“De regent van Garoet, die, in verband met het overlijden aan longpest van den assistent-wedana van de kota Garut, negen dagen in observatie is geweest, als contactpersoon, is thans practisch buiten gevaar”). Kabar ini disampaikan oleh kantor berita Aneta pada 2 Mei 1933.
Nama Rumah Sakit Dr. Slamet yang ada di Garut sekarang diambil dari nama dokter yang ikut berjuang memberantas wabah Pes pada waktu itu, yaitu Dr. Slamet Atmosoediro selaku Kepala RSU, ditugaskan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai ketua tim pemberantasan penyakit Pes. Saat menjalankan tugasnya itu, ia terkena pula penyakit Pes sampai akhirnya meninggal dunia pada tanggal 11 Mei 1930.
Disarikan dari berbagai referensi