Yusri Buksir merupakan generasi ke-5 dalam silsilah keluarganya yang berprofesi sebagai pengrajin Tapis. Sejak dari buyutnya, menurun ke neneknya hingga pada sang Ibu, semuanya memiliki kemampuan membuat batik. Yusri sendiri menurunkan kemampuan dalam membuat Tapis pada anaknya. Anak-anak Yusri Buksir sekarang sebagai generasi ke-6 dalam keluarga yang mencoba melajutkan jejak ayah dan neneknya sebagai pengrajin tapis. Yusri lahir pada 16 Oktober tahun 1969. Pendidikan terakhirnya adalah sebagai lulusan IAIN Raden Intan Lampung di Jurusan Tabiyah. Ilmu keguruan yang diperoleh Yusri justru tak diaplikasikan di ruang kelas, tetapi ia praktekkan dalam mengajar orang-orang sekitarnya untuk membuat Tapis. Bukan tak ingin Yusri menempuh karir sesuai bidangnya, tetapi pengalaman hidupnya menuntunnya untuk kembali pada Tapis. Dahulu setelah lulus dari IAIN, ia pernah mencoba tes CPNS di Jakarta dan Bandung tetapi keduanya gagal. Sempat pula ia tinggal dan bekerja di Bandung selama 5 tahun. Di Bandung pula Yusri bertemu dengan pasangan hidupnya, yaitu Rohmini Nurdiah. Yursi tak memungkiri, dahulu ia pernah tertarik dengan daya pikat ekonomi kota Besar, namun setelah 5 tahun merantau, pada tahun 2000 ia memutuskan untuk kembali ke kampung dan mulai membantu mengembangkan bisnis Tapis yang sudah dirintis ibunya.
Kisah Keluarga Pengrajin Tapis
Mengacu pada penjelasan Yusri, keterampilan membuat tapis awal mulanya dirintis oleh buyutnya bernama Ratna Alimah. Buyutnya tersebut kemudian menurunkan keterampilannya pada anak perempuannya, yaitu Ratna (nenek dari Yusri). Ratna menikah dengan Saduman (kakek dari Yusri) dan mewariskan kembali keterampilan membuat tapis pada anaknya; Sadiyah yang merupakan ibu dari Yusri. Sadiyah yang justru mulai dikenal secara luas sebagai pengrajin tapis. Saat ini Sadiyah sudah tak begitu aktif membuat tapis, kecuali dalam membuat tapis-tapis yang rumit. Usaha membuat dan menjual tapis justru dilakukan oleh anak-anaknya, termasuk Yusri.
Menurut kisah yang didapat Yusri dari nenek dan ibunya, dahulu sang nenek mulai membuat tapis sejak masa pendudukan Jepang. Saat itu tapis dibuat untuk semacam bawaan dari pengantin wanita ketika menikah. Bagi wanita Lampung, tapis ini merepresentasikan keterampilan dan kerajinan yang mereka miliki. Sebelum memasuki tahap pernikahan, biasanya wanita Lampung dipingit di rumah, lantas aktivitasnya diisi dengan membuat tapis. Ketika itu tapis belum dijual secara komersil. Ratna (nenek dari Yusri) mulai membuat tapis dengan bahan selayaknya sarung. Hal tersebut menjadi titian awal karena pakaian yang banyak digunakan pada saat itu berasal dari bahan kulit kayu. Tapis di masa lampau hanya dipakai oleh kaum wanita, namun kadang kala digunakan sebagai perhiasan atau aksesoris di dalam rumah.
Kemampuan membuat Tapis yang dimiliki oleh Ratna, kemudian mulai dipelajari oleh Sadiyah (Ibu dari Yusri) ketika sang ayah (kakeknya Yusri) meninggal dunia. Sadiyah memulai membuat Tapis ketika ia masih kelas 4 SD. Sejak saat itu pula Sadiyah harus berhenti sekolah dan membantu ibunya membuat dan menjual Tapis di Pasar. Hal tersebut mau tak mau harus Sadiyah lakukan untuk membantu keluarga yang baru ditinggal oleh ayahnya. Sadiyah memiliki adik perempuan bernama Sa’adah. Keduanya sebetulnya mewarisi keterampilan yang diwariskan oleh Ibunya. Hanya saja, keluarga Sadiyah (bersama anak-anaknya) yang mampu mengembangkan keterampilan membuat tapis menjadi mata pencaharian.
Melalui konsistensinya membuat Tapis, Sadiyah mampu menjual Tapis hingga ke Bali. Secara rutin pula Sadiyah memiliki pelanggan di Bandar Lampung, di antaranya penjual Tapis di Pasar Bambu Kuning Lampung. Di wilayah Kabupaten Pesisir Barat, Sadiyah merupakan pengrajin Tapis yang terkemuka dan dikenal oleh pihak pemerintah daerah. Sayangnya, dengan kiprah yang pajang (kurang lebih 60 tahun) dalam dunia Tapis, secara formal belum ada bentuk penghargaan atau pengakuan dari pemerintah.
Selain membuat tapis, Sadiyah juga bekerja sebagai petani. Manakala Sadiyah mulai merintis membuat Tapis, ia tak mampu baca tulis, hanya sekedar mengerti hitungan angka. Dalam upaya menjual tapis, seringkali Sadiyah mendapat beberapa kendala, di antaranya bagaiman ia harus bersaing dengan penjual Tapis yang menawarkan system kredit. Tak mampunya Sadiyah membaca tulis, menjadi faktor utama Sadiyah sulit bersaing dengan penjual Tapis yang menawarkan sistem kredit. Sadiyah mulai bisa mengikuti perkembangan penjualan Tapis ketika anak-anaknya sudah besar, di mana anak-anaknya lah yang membantu mengembangkan penjualan yang telah dirintis Sadiyah. Sistem kredit maupun dengan penjualan model arisan pun bisa diikui. Dengan kata lain, Sadiyah membuat Tapis, sementara anak-anaknya membantu mejualkan Tapis. Menurut keterangan Yusri, ia dan adik-adiknya memulai membantu ibunya dengan menjual/berdagang di pasar-pasar. Atas inisiatif dan dukungan anak-anaknya, Sadiyah mampu memenuhi pesanan Tapis dalam jumlah besar. Hal tersebut semakin mungkin dilakukan karena secara mandiri anak-anaknya sudah pandai membuat Tapis serta mengembangkan usahanya masing-masing. Dalam moment tertentu ketika pesanan begitu banyak, keluarga ini saling membantu untuk memenuhi permintaan Tapis. Jika dahulu Sadiyah hanya mampu menjual secara perorangan, sekarang dengan bantuan anak-anaknya, Tapis yang Sadiyah buat mampu dijual hingga ke kantor-kantor. Hingga saat ini, walaupun usaha tapisnya telah berkembang, pekerjaannya sebagai petani (mengolah sawah) tak pernah ia tinggalkan. Kedua pekerjaan itu Sadiyah jalani.
Proses pewarisan keterampilan membuat Tapis dalam keluarga dilakukan secara turun-temurun. Biasanya diawali dengan ketertarikan anak-anaknya untuk melihat ibunya membuat Tapis, kemudian mencoba menirunya. Beranjak dewasa, mereka mulai diajari cara membuat Tapis dengan benar.
Kisah Yusri dalam Mengembangkan Usaha Tapis Keluarga
Yusri merupakan putra tertua dari tujuh bersaudara. Bisa dikatakan Yusri menjadi tulang punggung bagi adik-adiknya sekaligus menjadi pewaris utama keterampilan membuat Tapis yang dimiliki Sadiyah. Adiknya, Nur Aini (lahir pada 1971) menggeluti dunia yang sama deng Yusri, yaitu membuat dan menjual Tapis. Nuraini yang banyak terlibat bersama Yusri mengembangkan usaha Tapis keluarganya. Adiknya yang kedua bernama Sidiq Muslim(lahir pada 1974). Adiknya yang keempat bernama Roni Buksir (lahir pada 1977), adiknya yang kelima bernama Neli Marlina (lahir pada 1980), adik yang ketujuh bernama Syamsul (lahir pada 1983), dan yang paling bungsu bernama Edison (lahir pada 1983).
Melalui usaha membuat Tapis yang dirintis oleh Sadiyah, Yusri dan keenam saudaranya bisa sekolah. Bagi Yusri dan keluarganya, Tapis bukan sekadar kain khas Lampung, tetapi seni dan warisan keluarga yang bisa memberikan penghidupan. Ayah dan ibu dari Yusri tak memberinya harta yang berlimpah, hanya pengetahuan dan keahlian membuat Tapis yang menjadi bekal Yusri. Dari Tapis pula kini Yusri mengikuti jejak ibunya, ia bisa menyekolahkan anak-anaknya melalui memproduksi dan menjual tapis. Bagi Yusri dan keluarga, jika usaha Tapisnya berhenti, itu sama saja dengan menutup sumber pendapatannya. Ia menuturkan bahwa jika misalnya ada yang menawarinya dan memodalinya untuk usaha lain-lain di luar Tapis, walau bagaimanapun juga ia akan menolaknya. Membuat Tapis sudah mendarah daging bagi Yusri dan keluarganya, membuat Tapis terkait dengan memori masa kecil; bagaimana ia mengingat perihnya hidup dan riwayat sang nenek dari membuat Tapis.
Semenjak Yusri melanjutkan jejak ibunya dalam memproduksi dan menjual Tapis, ia telah berhasil menorehkan prestasi yang cukup membanggakan, di antaranya turut mengkoordinir upaya pemerintah Lampung memecah kan Rekor MURI berupa penenunan Tapis sebanyak seribu orang. Dalam mengembangkan usaha pembuatan Tapis, Yusri merekrut pengrajin-pengrajin Tapis di sekitar tempat tinggalnya. Saat ini Yusri sekeluarga sudah bisa memberdayakan kurang lebih 100 pengrajin tapis yang tersebar di Pesisir Barat hingga Pulau Pisang. Ia bersama adinya juga aktif terlibat dalam workshop dan pameran-pameran yang diadakan oleh pemerintah Lampung. Keaktivannya itu, sering kali mengantarkan Yusri dan adiknya menjadi juara dalam acara-acara atau lomba yang berkaitan dengan Tapis. Misalnya ketika ulang tahun Kabupaten Pesisir Barat, Yusri bersama timnya sukses meraih juara pertama dalam lomba pembuatan Tapis. Prestasinya itu bahkan ia dapatkan hingga tiga kali juara. Pun demikian ketika ada lomba di Lampung Tengah, Yusri dan tim juga memperoleh gelar juara. Dalam event-event besar daerah, Yusri dan tim pengrajinnya selalu dilibatkan oleh pemerintah Pesisir Barat. Keaktifan Yusri dalam mengikuti pameran-pameran Tapis di berbagai daerah, secara tidak langsung turut membawa nama baik Kabupaten Pesisir Barat.
Bukan hanya itu, Yusri dan tim dipercaya oleh Bupati Kabupaten Pesisir Barat untuk menyiapkan pakaian Tapis untuk dipakai oleh Bupati dan keluarganya, termasuk memasang perhiasan dalam bentuk Tapis di dalam rumah. Permintaan Bupati tersebut dipenuhi oleh Yusri dengan waktu satu tahun pengerjaan. Pernikaha dari putri Bupati Pesisir Barat juga dipersiapkan dengan Tapis dan mahkota yang dibuat oleh Yusri sekeluarga. Hal tersebut menjadi kebanggaan tersendiri bagi Yusri karena pakaiannya bisa dikenakan dan diapresiasi oleh pejabat pemerintah.
Pola kerja Yusri dalam memproduksi tapis biasanya dimulai dengan membuat pola tapis. Pembuatan pola tersebut sering kali dilakukan oleh Yusri sendiri atau melibatkan adiknya. Jika polanya lebih rumit, ia turut melibatkan ibunya. Pola-pola tersebut kemudian ia memberikan pola-pola tersebut pada pengrajin yang ia rekrut. Kain-kain yang telah berpola itu akan dibawa oleh para pengrajin untuk kemudian di selesaikan di rumahnya masing-masing. Jadi proses pembuatan tidak sepenuhnya dilakukan di rumah Yusri tapi juga dilakukan secara leluasa oleh para pengrajin yang Yusri koordinir. Dalam menjalankan usahanya, Yusri berprinsip bahwa ia dan para pengrajinnya harus sama-sama menguntungkan. Berdasarkan prisnsip tersebut, Yusri dan para pengrajin yang ia koordinir mampu menyuplai toko-toko yang ada di Bandar Lampung. Secara terbuka Yusri menerangkan bahwa banyak Tapis yang dijual di Bandar Lampung atau di kota-kota besar pada dasarnya justru dibuat/diproduksi di kampung-kampung, misalnya seperti di Pesisir Barat. Para penjual Tapis yang ada di Lampung umumnya hanya penjual, mereka tidak turut membuat. Dan Pesisir Barat adalah salah satu daerah di mana banyak terdapat pengrajin Tapis.
Adapun Tapis yang menjadi ciri khas di Pesisir Barat dikenal dengan nama Tapis Inuh. Untuk jenis tekniknya, dikenal dengan teknik cucuk dan tekat. Teknik tersebut memiliki detail jahitan yang teramat rumit. Seseorang yang belum secara lengkap belajar membuat Tapis, akan kesulitan melakukan teknik tersebut. Teknik tekat sendiri ada 4 jenis; tekat sporadis, tekat biku-biku, tekat Sayak Gelamai, dan Tekat Awan Berjumpo. Teknik yang paling sulit dalam membuat Tapis adalah teknik Sayak Gelamai. Menurut peneliti Jerman yang pernah dating ke rumah Yusri, teknik tersebut belum bisa digantikan oleh mesin tetapi harus dibuat langsung dengan tangan. Ada hitungan dari tiap jahitan yang dilakukan si pengarajin sehingga detail-detail pada Tapis bisa terbentuk. Tapis yang menggunakan teknik Sayak Gelamai inilah yang menjadi ciri khas, sekaligus Tapis yang selalu di cari di Pesisir Barat. Tapis dengan pola atau tekstur yang paling rumit biasanya dikerjakan selama 2 bulan dan harga jualnya bisa mencapai harga 6 juta
Selain mensuplai Tapis hingga Bandar Lampung, Yusri aktif mengajak para pemudi dan anak-anak untuk mulai belajar membuat Tapis. Meski masih belajar, beberapa anak yang dididik Yusri sudah mampu menghasilkan uang. Di sisi lain, mereka menjadi lebih terampil ketika mengikuti pelajaran-pelajaran keterampilan di sekolahnya. Kadang kala, menurut keterang Yusri, ada anak hasil didikannya, yang akurasi jahitannya lebih pintar dari gurunya di sekolah. Beberapa orang yang belajar membuat Tapis pada Sadiyah dan Yusri, mampu membuka usaha sendiri dan mampu menyuplai kain-kain Tapis ke toko-toko di Menggala hingga Bandar Lampung. Hanya saja, ada pula dari segelintir murid yang belajar, belum sampai dengan keterampilan yang cukup tetapi sudah mulai berani menyuplai Tapis ke toko-toko.
Dikenalnya keluarga Sadiyah dan Yusri sebagai pengrajin Tapis membuat rumah tempat Yusri dan keluarga tinggal, sering disinggahi oleh banyak orang. Salah satunya kunjungan dari siswa-siswa pertukaran pelajar dari luar negeri; Prancis, Cape Town, dan Cina. Para siswa tersebut bahkan tinggal dan mempelajari bagaimana Keluarga Sadiyah dan anak-anaknya hidup dan melangsungkan aktivitas sehari-hari semisal berkebun dan membuat tapis. Pernah pula rumah Yusri dan Ibunya disinggahi oleh peneliti dari ISI Yogyakarta yang secara mendalam mempelajari pola hidup para pengrajin Tapis; dari mereka bangun sampai tidur. Tak jarang pula proses pembuatan Tapis yang dilakukan oleh Yusri sekeluarga diliput oleh stasiun TV nasional, seperti Transtv, Trans7, dan Tvone.
Perkembangan Tapis dalam Pandangan Yusri
Menurut Yusri, peminat/pembeli Tapis saat ini cenderung semakin banyak. Faktor teknologi menjadi salah satu faktor yang mepermudah orang-orang untuk tertarik membeli. Di sisi lain, pengrajin Tapis pun semakin banyak dan proses belajar menapis pun semakin mudah dilakukan. Para pengrajin, termasuk Yustri sudah sangat lazim melakukan berbaga inovasi dalam pembuatan Tapis. Menurut penuturan Yusri, pernah suatu kali dirinya diminta oleh seorang pemesan dari Jakarta untuk membuat Tapis dengan motif karakter Mickey Mouse. Bagi Yusri permintaan tersebut menjadi hal baru tetapi ia mencoba memenuhi sesuai kesepakatan dengan pihak pembeli. Hasilnya ia mampu membuat Tapis dengan motif Mickey Mouse. inovasi extrim tersebut membuat Yusri sempat menuai kontroversi di media. Tapis yang ia buat dinilai telah keluar dari pakem. Lazimnya Tapis di Pesisir Barat mengadopsi motif Tapis dari lingkungan sekitarnya yang terkait dengan laut. Misalnya, motif yang mirip atau terinspirasi dari rumput laut, hewan laut, kapal, dll.
Pengalaman Yusri menuai kontroversi terkait motif Tapis pernah pula terjadi manakala ia dimintai sebuah partai untuk membuat Tapis sesuai dengan warna partai yang memesan. Ketika itu Yusri harus keluar dari pakem pembuatan Tapis, di mana salah satu ornament tradisinya harus berwarna merah tetapi dipaksakan Yusri untuk membuat ornament dengan warna lain. Tapis pesanan tersebut dipakai oleh para anggota partai tersebut dan mengundang banyak pertanyaan dari wartawan. Hingga akhirnya wartawan tersebut mencari tahu di mana dan siapa pembuatnya. Si wartawan menelusuri hingga sampai ke Yusri. Di kemudian hari, hasil wawancara si wartawan dengan Yusri diangkat menjadi berita, yang isinya kurang lebih menyatakan Tapis yang dibuat Yusri telah keluar dari pakem. Menurut pengakuan Yusri, segala macam pesanan selalu ia usahakan untuk dipenuhi. Yusri tidak bisa memungkiri bahwa pertimbangannya lebih pada soal ekonomi, bahwa ia menyayangkan jika harus menggagalkan pesanan karena permintaan sang pemesan keluar dari pakem. Dengan kata lain, inovasi yang dilakukan Yusri sebetulnya berdasarkan pesanan bukan atas inisiatif dirinya sendiri.
Atas kontroversi yang pernah terjadi, Yusri sempat didatangi oleh Raswan, seorang peneliti Tapis dan designer terkemuka yang ada di Lampung. Melalui dialog yang akrab, Raswan menyarankan Yusri; jika ada pesanan yang jauh dari pakem, ada baiknya dicoba untuk dipenuhi tapi jangan sampai melenceng terlalu jauh. Yusri juga menyadari, sejauh ini belum ada asosiasi yang menaungi para pengrajin Tapis. Segala keluhan dari penikmat atau pemerhati Tapis biasanya muncul secara personal. Namun demikian, Yusri menyatakan akan mencoba untuk lebih mempertimbangkan pandangan-pandangan penikmat Tapis dan orang-orang yang dinilai paham tentang seluk-beluk Tapis.
Harapan terhadap Perkembangan Tapis di Pesisir Barat
Yusri Yusbir sekarang fokus mengembangkan usaha keluarganya. Bersama istrinya, Rohmini Nurdiah dan dua anaknya (Sherlin dan Miqrom), Yusri tinggal dan menetap di Pekon Waysindi, kecamatan Karya Penggawa, Kabupaten Pesisir Barat. Kini, upaya Yusri dalam memproduksi Tapis mulai menarik bagi anak-anaknya. Anak Yusri meski masih kelas 2 SD sudah mulai meniru cara-cara membuat Tapis. Guna mengebangkan kemampuan anaknya, tak jarang Yusri memberikan penghargaan berupa uang jajan manakala anak mulai mampu membuat kain Tapis.
Terkait dengan perkembangan Tapis di Lampung, Yusri memiliki harapan agar dikemudian hari Tapis benar-benar bisa menjadi icon Pesisi Barat Lampung. Dengan menjadi icon, ia tentu menginginkan implikasi yang positif bagi para pengrajin Tapis, termasuk untuk ia dan keluarga. Ia bercita-cita Tapis bisa lestari dan dikenal oleh masyarakat luas. Yusri memimpikan Tapis bisa seperti batik yang dikenal dan dipakai oleh orang-orang di Indonesia, tetapi juga dipakai oleh orang-orang di mancanegara. Untuk generasi muda, Yusri berharap mereka bisa mencintai warisan leluhurnya, khususnya bagi pemuda-pemuda di Pesisir Barat, idealnya mereka bisa mulai membuka mata untuk melihat potensi Tapis sebagai mata pencaharian. Ia menyangkan kecenderungan pemuda-pemuda di Pesisir Barat yang setelah tamat belajar biasanya meninggalkan kampung untuk mencari penghidupan di luar. Alangkah indahnya apabila pemuda di Pesisir Barat bisa maju dengan mengembangkan potensi daerahnya, tanpa harus meninggalkan tempat kelahirannya. (Hary GB)