Bila berbicara mengenai orkes Melayu di daerah Pesisir Barat, nama Zulhaidar pasti akan selalu menjadi “trending topic” pembahasan. Dia adalah salah seorang seniman orkes Melayu yang tenar di awal tahun 1980 hingga 1990an. Orkes melayu adalah kelompok pemusik yang memainkan musik Melayu khas Pantai Timur Sumatera hingga semenanjung Melaka menggunakan alat musik berupa rebana, gambus, serunai, rebab, akordenon, gitar, bass, keyboard, drum, dan lain sebagainya.
Zulhaidar lahir pada tanggal 10 Februari 1969 di Way Suluh yang dahulu masih berada dalam wilayah Kabupaten Lampung Utara (sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Lampung Barat dan sekarang Kabupaten Pesisir Barat). Anak ketiga dari tujuh bersaudara ini lahir dari pasangan Maskur dan Maisuri. Saudara-saudara kandungnya adalah Yuzzir Riza, H. Herawati, Endi Mulyadi, Edwinsyah, Syahrianto, dan Yon Mariono.
Ayah Zulhaidar berprofesi sebagai seniman yang juga menjadi pemimpin Orkes Melayu Sinar Remaja. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila dalam diri Zulhaidar juga mengalir darah seni. Semenjak kecil, mungkin terbiasa melihat Sang ayah pentas bersama grup Sinar Remaja, Zul (panggilan akrabnya) telah menunjukkan kreativitas seni dengan mengajak teman-teman di sekitar rumahnya membuat “grup tandingan”.
“Grup tandingan” yang tidak diberi nama ini hampir secara rutin berlatih tiap pulang sekolah. Zulhaidar yang waktu itu bersekolah di Sekolah Dasar Negeri Way Suluh Lampung Utara ditunjuk oleh teman-temannya sebagai koordinator “grup tandingan”. Berbekal kaleng dencis (kaleng bekas tiner, cat, atau susu), ember, panci yang diberi senar, dan sejumlah peralatan dapur lainnya sebagai instrumen, mereka berlatih di halaman belakang rumah Zulhaidar. Hasil latihan tentulah bukan sebuah ensembel musik yang enak didengar, melainkan ocehan ibu Zulhaidar (Maisuri) karena peralatan masaknya banyak yang rusak.
Merasa kasihan melihat Zulhaidar sering dimarahi oleh Maisuri, Maskur kemudian memberi sebuah gitar akustik agar bakat bermusiknya menjadi terarah. Tetapi, sebagaimana layaknya seniman tradisional, dia tidak memberi latihan khusus kepada Zulhaidar mengenai teknik bermain gitar. Zulhaidar diajari dengan cara membawanya ke berbagai pentas Grup Sinar Remaja di sekitar Pesisir Barat. Hasilnya, tentu saja dia dapat cepat menguasai sebagian instrumen musik yang dimainkan oleh personil Sinar Remaja.
Agar tidak terlihat “tradisional” dia “meng-upgrade” diri dengan membeli sejumlah buku panduan bermain gitar yang berisi sejumlah kunci grip dan tanda baca (not balok). Namun, hal ini tidak berpengaruh banyak karena ketika dianggap layak pentas oleh Sang ayah diberikan gitar jenis lain, yaitu gitar gambus Lampung. Gitar ini mirip seperti gambus dari daerah Timur Tengah, yaitu: (1) bersenar dobel (12 senar); (2) tidak memiliki fret atau garis tekan terbuat dari logam yang berfungsi sebagai kunci not; (3) gagang beserta resonatornya terbuat dari batang pohon nangka; dan (4) resonator dilapis kulit kambing muda agar suara yang dikeluarkan terdengar lebih lembut.
Bagi Zulhaidar yang waktu itu masih duduk di bangku kelas V SD, bermain gitar gambus jauh lebih sulit ketimbang gitar akustik. Sebab, gambus tidak memiliki fret sebagai tempat meletakkan jari-jemari pengatur nada. Dia harus mengandalkan “feeling” saat jari-jemarinya menyentuh string gambus. Kesulitan mendapatkan “feeling” yang pas inilah yang membuatnya beralih ke alat musik tabuh, yaitu gendang. Gendang relatif lebih mudah karena hanya sebagai alat pengatur tempo irama musik.
Minat Zulhaidar untuk kembali menekuni alat musik gitar terjadi ketika Sang ayah membeli sebuah gitar elektrik agar mendokrak penampilan Grup Sinar Remaja. Gitar yang lebih kaya nada dan distorsi ketimbang gitar akustik ini segera menyita perhatiannya. Setiap hari dia berlatih hingga mahir dan akhirnya ditunjuk sebagai pemain gitar melodi dalam Grup Sinar Remaja. Sebagai catatan, gitar melodi menempati posisi paling penting dalam orkes Melayu. Ia berperan sebagai pengatur tempo instrumen musik lain dan jalannya permainan. Jadi, apabila seseorang bertindak sebagai pemain gitar melodi, maka dia akan menjadi primadona panggung yang setara dengan penyanyinya.
Semenjak menggunakan gitar elektrik tersebut Grup Sinar Remaja mencapai puncak kejayaan. Jadwal pentas pun semakin bertambah padat. Menurut penuturan Zulhaidar, pada bulan-bulan tertentu Sinar Remaja pernah melakukan pentas selama 30 hari berturut-turut. Berbekal dua buah gerobak yang ditarik sapi untuk membawa peralatan (amplifier, accu, instrumen musik, toa, kabel) dan personel, Sinar Remaja tampil dari satu pekon ke pekon lainnya. Bahkan, tidak jarang mereka terpaksa menggunakan rakit untuk mencapai pekon-pekon yang belum dibuhungkan melalui jembatan.
Adapun durasi untuk sekali pentas dapat berlangsung antara 9 hingga 10 jam (mulai pukul 19.00–05.00 atau 06.00 WIB). Jumlah lagu yang dibawakan dapat mencapai puluhan buah bergantung pesanan penonton. Jenis lagunya bermacam-macam, mulai dari lagu-lagu berbahasa Lampung, dangdut Melayu, hingga lagu-lagu Sunda. Seluruhnya dibawakan non-stop segera setelah si empunya hajat (orang yang mengundang) menyampaikan sambutan pembuka.
Konsekuensi dari padat dan lama waktu pentas bagi Zulhaidar adalah terganggunya aktivitas bersekolah. Apabila jadwal pentas Sinar Remaja sangat padat misalnya, dia terpaksa membawa beberapa helai seragam sekolah karena setelah pentas harus pergi ke sekolah. Agar tidak mengantuk di kelas, sebelum berangkat Sang ayah “meracuni” dengan memberikan air kopi yang dicampur dengan garam. Begitu seterusnya hingga dia berhasil menamatkan pendidikan di SDN Way Wuluh, SMP Pembangunan Way Suluh, dan SMEA Lampung Utara (sekarang SMEA Muhammadiyah Krui).
Tamat dari SMEA Muhammadiyah Krui jurusan perdagangan sekitar awal tahun 1990 Zulhaidar mencoba menerapkan ilmu dengan berjualan gorengan. Hal ini dilakukan karena pamor Sinar Remaja mulai meredup dengan munculnya grup-grup orkes Melayu baru dan organ tunggal. Mereka umumnya menggunakan peralatan yang lebih canggih sehingga banyak dilirik orang. Selain itu, lagu-lagu yang ditampilkan bergenre lebih luas yaitu pop dan rock.
Untuk mensiasati agar tidak kalah bersaing dan tetap “dilirik” orang asli Lampung, Maskur mengubah nama Sinar Remaja menjadi Orkes Lampung Andah Muakhi. Andah berarti keinginan, sedangkan muakhi berarti persaudaraan. Jadi Andah Muakhi dapat diartikan sebagai “keinginan untuk menjalin ikatan persaudaraan antarorang Lampung”. Namun, kata-kata yang agak etnosentris ini ternyata tidak dapat menolong eksistensi grup. Sinar Remaja atau Andah Muakhi akhirnya bubar. Setiap personel mencari jalan hidupnya masing-masing.
Zulhaidar memilih merantau mencari peruntungan di Tanah Jawa. Awalnya dia pergi ke daerah Ciwidey di Kabupaten Bandung. Kemudian pindah ke daerah Jelambar, Jakarta Barat, untuk bekerja sebagai karyawan di PT Dynaplast. PT Dynaplast merupakan perusahaan berskala multinasional yang memproduksi dan mendistribusikan plastik berkualitas tinggi untuk kemasan makanan, kosmetik, produk farmasi, bahan kimia dan pelupas, serta komponen plastik presisi bagi peralatan listrik rumah tangga, barang konsumsi, elektronik dan industri otomotif.
Selama menjadi karyawan Dynaplast praktis kegiatan bermusik Zulhaidar terhenti total. Tetapi dia mendapatkan pengalaman lain yang bakal dikenangnya sepanjang hidup. Pengalaman pertama berkaitan dengan kisah cinta dengan dua orang gadis. Gadis pertama beretnis campuran Tionghoa-Jawa yang dipacari selama kurang lebih tiga tahun namun tidak berakhir dalam pelaminan. Sang gadis didesak oleh orang tuanya untuk segera menikah, sementara Zulhaidar belum siap dan masih ingin menikmati masa lajang.
Kisah cinta berikutnya terjadi setelah lepas dari gadis pertama. Waktu itu ada karyawati baru bernama May yang kebetulan satu sift (giliran kerja) dengan Zulhaidar. Oleh karena paras May alias Maemunah lumayan manis dan berasal dari sukubangsa yang sama (ulun Lampung Saibatin), timbullah ketertarikan Zulhaidar. Singkat cerita, mereka pun berpacaran dan akhirnya menikah. Buah dari pernikahan yang dilaksanakan sekitar tahun 1996 tersebut melahirkan seorang puteri dan dua orang putera, bernama: Riska Setiana, Reynaldi, dan Rama Yulian.
Sebelum menikah dengan Maemunah, sebenarnya Zulhaidar juga mendapat “pengalaman berharga” dari Dynaplast. “Pengalaman berharga” tersebut terjadi pada bulan Ramadhan tahun 1994. Waktu itu, mungkin karena kekurangan cairan akibat berpuasa Zulhaidar mengalami kondisi “blank” (pinjam istilah iklan air mineral Aqua) yang menyebabkan dirinya kurang berkonsentrasi. Akibatnya, ayunan cutter mesin pemotong plastik pun mengenai wajah terutama mata bagian kanan.
Zulhaidar langsung dilarikan ke ruang UGD Rumah Sakit Mata Aini di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Setelah didiagnosis, dokter menyatakan bahwa mata kanan Zulhaidar mengalami cedera yang cukup parah dan mengarah pada kebutaan sehingga harus segera dilakukan operasi. Adapun biayanya ditanggung oleh asuransi dari perusahaan karena kecelakaan terjadi pada saat Zulhaidar sedang melaksanakan tugas.
Selesai operasi yang berlangsung sekitar empat jam, Zulhaidar segera dibawa ke ruang perawatan. Di ruang perawatan tersebutlah dia merasa seperti “dipenjara”. Selama kurang lebih 16 hari dia tidak boleh meninggalkan tempat tidurnya, walau hanya untuk membasuh muka. Jadi, selama kurun waktu tersebut segalanya dilakukan di atas tempat tidur, termasuk buang air kecil dan besar. Dokter yang merawat memaksa agar tidak banyak bergerak karena mata kanan yang terluka berhubungan langsung dengan bagian syaraf. Apabila banyak bergerak dikhawatirkan syaraf besar yang berada di belakang kepala akan mengalami gangguan.
Pulang dari rumah sakit dengan kondisi pengelihatan mata kanan hanya sekitar 70% Zulhaidar tetap melanjutkan pekerjaannya di PT. Dynaplast hingga menduduki jabatan sebagai Asisten Leadership (wakil mandor) serta menikahi Maemunah. Namun, jalan hidup memang sulit ditebak. Pada tahun 1998 ketika terjadi reformasi di Indonesia kehidupan masyarakat menjadi lebih sulit. Banyak orang terdampak dengan kenaikan harga kebutuhan pokok akibat krisis moneter (merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar). Sebagai rakyat kecil, Zulhaidar pun tidak luput dari dampaknya. Gaji yang hanya pas-pasan dirasa sudah tidak cukup lagi memenuhi kebutuhan hidup di Jakarta.
Setelah berpikir matang, Zulhaidar bersama Maemunah akhirnya memutuskan kembali ke kampung halaman dengan harapan dapat menyambung hidup dengan sokongan dari para kerabat. Tetapi apabila menundurkan diri dari perusahaan, maka uang pesangon tidak akan diberikan. Sementara dia harus tetap mengeluarkan berbagai macam biaya yang salah satunya adalah kredit sepeda motor. Kredit sepeda motor merupakan kebijakan perusahaan bagi karyawan yang menduduki jabatan tertentu dengan memberi keringanan kredit hingga 50% dari harga di pasaran (perusahaan mensubsidi setengahnya).
Sebaliknya, apabila diberhentikan oleh perusahaan atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dia akan mendapat pesangon serta sisanya dapat digunakan sebagai bekal hidup di kampung halaman. Beban kredit sepeda motor inilah yang dijadikan alasan agar dia keluar dengan cara diberhentikan dan bukan mengundurkan diri. Tetapi alasan Zulhaidar tidak diterima oleh Manager Personalia Dynaplast dengan alasan yang tidak begitu jelas.
Tidak hilang akal, Zulhaidar mencoba mangkir dengan tidak bekerja selama dua minggu. Tujuannya agar dianggap sebagai tindakan indispliner yang beresiko ke arah pemecatan. Namun usaha ini tidak direspons sama sekali oleh perusahaan. Zulhaidar tetap dibolehkan bekerja tanpa mendapat saksi administrasi melainkan hanya berupa peringatan lisan dari Manager Personalia.
Beberapa bulan kemudian Zulhaidar mencoba lagi menemui Manager Personalia. Sebelum mengundurkan diri dia memohon agar perusahaan memberi sedikit dana untuk pulang ke Lampung serta dilunasi kredit sepeda motornya. Proses negosiasi ini disetujui oleh perusahaan, sebab mereka tidak perlu mengeluarkan pesangon besar bagi Zulhaidar. Mereka hanya perlu mengeluarkan sedikit biaya untuk mengongkosinya pulang kampung serta melunasi kredit sepeda motornya yang hanya tersisa beberapa bulan lagi.
Usai mendapat “pesangon” Zulhaidar bersama keluarga pulang ke Lampung. Mereka menuju rumah salah seorang kerabat di daerah Pugung karena tidak mendapat harta warisan dari orang tua. Dalam siitem kekerabatan masyarakat Saibatin Krui yang patrilineal-primogenitur, orang yang berhak mendapatkan harta waris adalah anak laki-laki pertama dalam keluarga. Zulhaidar adalah adak keempat dari tujuh bersaudara sehingga harta warisan sepenuhnya dikuasai oleh kakak sulungnya. Zulhaidar lebih memilih bergantung pada kerabat daripada meminta bagian yang secara adat dikuasai oleh kakak sulungnya.
Di pugung dia bekerja mengurus perkebunan kopi milik kerabat. Selain itu, dengan bekal sebuah pesawat televisi, pemutar video campact disc, dan puluhan video compact disc yang dibawa dari Jelambar diusahakannya sebagai ladang usaha. Setiap malam dia membuka “bioskop kecil” di rumah dengan mematof tarif sebesar Rp. 150,00 bagi orang yang ingin menonton film. Sementara Maemunah membuka warung kecil-kecilan untuk mensuplai kebutuhan para penonton.
Pekerjaan sebagai petani kopi dan warungan dilakukannya hingga sekarang (kecuali membuka biskop kecil). Dia juga sesekali menggeluti profesi lamanya sebagai seniman dengan mengiringi Mamak Lawok pentas. Mamak Lawok adalah salah seorang seniman tradisi yang cukup ternama di Pesisir Barat. Tempat tinggal Mamak Lawok tidak begitu jauh dari rumah Zulhaidar sehingga keduanya sering berkolaborasi mementaskan sejumlah kesenian tradisional khas Pesisir Barat. Saat wawancara ini dilakukan Zulhaidar dan Mamak Lawok sedang berkolaborasi menciptakan sebuah lagu untuk dilombakan dalam Festival Cipta Lagu Pesisir Barat.