Tenun tradisional gedogan Lombok keberadaannya sudah cukup lama. Di Desa Pringgasela saja telah ada seiring dengan lahirnya Desa Pringgasela, yaitu sekitar tahun 1522. Di sana terdapat nama sebuah huma (bebalik) yang dibuat di atas tumpukan batu. Oleh penduduk sekitar dinamakan Bebalik Batu Prigi yang akhirnya menjadi sebuah dusun yang disebut Dusun Prigi. Dusun Prigi adalah bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Selaparang. Dusun Prigi berbatasan dengan Kali Belimbing yang biasanya digunakan sebagai tempat pertahanan dari serangan musuh. Sebagian besar penduduk Dusun Prigi berasal dari keturunan Selaparang sehingga Dusun Prigi diberi nama Pringgasela. Pringga artinya Prajurit batu/generasi/raga/keturunan, dan Sela berarti Selaparang. Jadi Pringgasela berarti generasi Selaparang.
Sebelum lahirnya nama Desa Pringgasela, ada salah seorang tokoh agama Islam bernama Lebai Nursini, ia datang dari Sulawesi setelah singgah di Pulau Sumbawa untuk menyebarkan agama Islam. Oleh penduduk Pringgasela menganggapnya sebagai seorang wali, karena ketakwaan dan ketekunannya mengajarkan agama Islam. Sambil beliau mengajarkan agama Islam kepada penduduk, iapun mengajarkan cara bertani dan menenun. Dengan memanfaatkan bunga-bunga kapas yang tumbuh liar di sepanjang huma-huma. Kapas itu dikumpulkan dan dijemur lalu dipintal dengan menggunakan alat sederhana yang sekarang disebut ganti (gentian), petuk, saka, dan kanjian. Selanjutnya bunga kapas yang telah menjadi benang diberi warna dengan zat pewarna yang terbuat dari tumbuh-tumbuhan, akar dan kulit kayu yang selanjutnya disesek (ditenun) dengan menggunakan balok-balok kayu sederhana yang dirakit sedemikian rupa menjadi alat tenun sederhana yang disebut alat tenun gedogan.
Hingga saat ini kain tenun yang dibuat oleh Lebai Nursini masih tersimpan sebagai pusaka leluhur Desa Pringgasela yang disebut Reragian. Di samping itu terdapat umbul-umbul / penjor pertama dan tertua di Indonesia yang berumur sekitar 288 tahun dan terbuat dari rajutan potongan kain tenun yang disebut Tunggul. Kata Tunggul disarikan dari kata Tunggal/Satu/Esa yang dihubungkan dengan nilai dan norma agama bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu hanya satu, yaitu Allah SWT. Tunggul yang panjangnya sekitar 35 meter pernah didirikan pada tahun 1974 dalam upacara perkawinan yang disebut acara “Boteng Tunggul Gawe Desa”. Oleh masyarakat Pringgasela kedua benda pusaka ini dianggap mempunyai kekuatan magis dan dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Sehingga sampai saat ini kedua benda pusaka itu masih tersimpan rapi sebagai Pasek Desa dan induk dari semua kain tenun yang dibuat para pengrajin. (WN)