Prasasti Nganjatan I (Foto: Dok. BPCB DIY 2017)

     Prasasti adalah sumber sejarah. Prasasti biasanya terpahat di atas batu atau logam. Prasasti merupakan sumber informasi penting yang bisa digunakan untuk menguak tabir kehidupan di masa lampau. Keberadaan prasasti menjadi bagian dari upaya untuk mengungkap kehidupan masa klasik yang didominasi dengan keberadaan kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Buddha.

     Boechari, ahli epigrafi Indonesia, dalam artikel Epigrafi dan Sejarah Indonesia menyebut pada umumnya prasasti-prasasti dibuat untuk sejumlah tujuan. Tujuannya antara lain memperingati penetapan sebidang tanah atau suatu daerah sebagai sima, daerah perdikan. Prasasti juga dibuat untuk penetapan sebidang tanah sebagai anugerah raja kepada seorang pejabat yang telah berjasa kepada kerajaan ataupun anugerah raja untuk kepentingan suatu bangunan suci. Peristiwa yang juga pernah dimuat dalam prasasti adalah pembangunan bendungan.

     Prasasti ditulis oleh Citralekha. Nama ini memang jarang terdengar oleh masyarakat awam. Nama ini lebih populer di kalangan pengkaji epigrafi. Epigrafi adalah ilmu yang mempelajari tentang prasasti. Lantas, siapakah Citralekha?

Citralekha, Penulis Prasasti

     Citralekha merupakan sebuah profesi pada masa klasik atau Hindu-Buddha untuk menyebut seseorang yang pekerjaannya menulis prasasti.

     Pada teks prasasti, identitas penulisnya tidak selalu tersirat dengan sebutan Citralekha. Terdapat sejumlah penyebutan secara tersurat dan tersirat. Secara tersurat ada istilah citralikhita dan likhitapattra. Sementara penyebutan penulis prasasti secara tersirat atau tidak langsung adalah likhita, manurat, anurat, panulisan, manulisan, dan agurit. Misalnya pada prasasti Sumundul dan Pananggaran, pada bagian akhir tertulis likhita san pucanan. Frasa ini artinya adalah penulis sang Pucangan. Frasa ini merujuk bahwa penulis dari kedua prasasti (Citralekha) tersebut bernama Pucangan dengan gelar Sang. Kedua prasasti tersebut  ditemukan di sekitar Candi Kedulan

     Febriana Fajar Ramadhani dalam artikel Citralekha: Identitas, Kedudukan, dan Peranannya pada Masa Mataram Kuno Abad IX-X Masehi menyebut bahwa, Citralekha bertugas mencatat keputusan raja/pejabat. Citralekha juga mempunyai peran sebagai saksi dalan penetapan sima atau peristiwa penting lainnya yang terkait dengan perkara hukum.

     Citralekha memiliki sejumlah gelar. Gelar tersebut dapunta, punta, pu, rakai, dyah, dang hadean, dang, sang, dan si. Mereka biasa dibubuhkan pada saat penulisan prasasti. Gelar-gelar tersebut menunjukkan asal golongan dari penulis prasati. Gelar dapunta, pu, rakai, dan dyah menunjukkan jika sosoknya berasal dari anggota keluarga kerajaan. Ini disebabkan gelar tersebut dipakai oleh golongan tersebut.

 


Prasasti Sumundul (Foto: Dok. BPCB DIY 2020)

     Sementara gelar punta dan pu, pada masa Mataram Kuno kerap digunakan oleh golongan rohaniwan. Para pejabat yang menggunakan gelar itu adalah samgat atau pamgat. Sementara gelar sang digunakan pejabat pamgat dan bawahannya. Mereka adalah golongan bangsawan. Gelar si biasa dimiliki rakyat biasa.


Prasasti Pananggaran (Foto: Dok. BPCB DIY 2020)

     Penggunaan gelar si ini menunjukkan bahwa posisi Citralekha bisa diduduki oleh rakyat biasa. Hal ini menunjukkan terjadinya perubahan status sosial dengan berdasar pada kualitas seseorang. Jabatan Citralekha ini tidak hanya diwariskan melalui keturunan. Jabatan ini juga dapat diraih dengan pembuktian kemampuan dan kualitas dari rakyat biasa.

     Mereka yang bisa menjadi Citralekha harus memiliki keahlian dalam sejumlah bidang. Keahlian tersebut antara lain,  penguasaan bahasa dan aksara Jawa Kuno, memiliki pengetahuan tentang jargon kerajaan yang digunakan dalam penulisan prasasti, dan memiliki pengetahuan susunan birokrasi kerajaan pada masa tertentu.

     Keberadaan gelar tersebut juga memengaruhi penugasan dari Citralekha. Mereka yang tidak berasal dari keluarga bangsawan biasanya tidak bertugas di pusat pemerintahan. Mereka bertugas di bawah kekuasaan rakai dan samgat.

Nilai Penting Prasasti

     Keberadaan prasasti memiliki nilai penting bagi masyarakat masa kini. Prasasti mampu menguak sejumlah peristiwa yang telah terjadi di masa lalu. Keberadaan prasasti menjadikan kita mampu merekonstruksi sejumlah aspek kehidupan sosial, budaya maupun ekonomi pada masa lalu.

     Meski, Boechari menyebut, tidak semua prasasti memiliki informasi yang detail terkait sebuah kebijakan dari raja. Sejumlah prasasti memang menyajikan data yang tidak detail.  Bahkan Boechari menyebut penulis prasasti tersebut tidak bermaksud untuk mewariskan keterangan-keterangan kepada generasi yang akan datang, termasuk kita yang hidup di masa kini.  Citralekha tidak merasa perlu untuk memberikan keterangan yang jelas tentang suatu peristiwa. Mereka beranggapan bahwa orang yang membacanya sudah jelas memahami peristiwa tersebut. Hal ini menjadi salah satu kendala dalam memahami isi dari prasasti.

     Kendala tersebut adakalanya bisa diatasi di antaranya dengan menggunakan sumber pembanding lain. Misalnya karya sastra, relief maupun prasasti lainnya.

     Penggunaan Prasasti sebagai sarana untuk mengetahui kehidupan masa lalu telah dilakukan sejak lama. Prasasti menjadi media untuk mengetahui urutan dari para penguasa kerajaan yang pernah menguasai Pulau Jawa dan sekitarnya. Prasasti juga menyebut nama sejumlah desa kuno yang terkadang masih bisa dijumpai dalam sejumlah cerita tutur.

     Penelitian tentang prasasti telah banyak dilakukan. Beberapa di antaranya dibukukan dalam bentuk artikel dalam jurnal maupun tulisan populer. Mereka bisa diakses juga oleh publik. Maka jangan ragu menggunakan prasasti yang telah ditulis citralekha dan dikaji epigraf ini sebagai sumber sejarah.

Mari, kita membaca prasasti.

 

Ditulis oleh Shinta Dwi Prasasti, S.Hum., M.A.

Pengelola Data Cagar Budaya dan Museum

Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X