Masjid merupakan manifestasi agama Islam dalam wujud fisik yang dapat menjadi tolok ukur dari keadaan masyarakat muslim pada suatu ruang dan waktu. Sebagai simbol dari peradaban dan kebudayaan Islam di suatu daerah, membuat masjid memiliki keragaman bentuk atau gaya arsitektur yang sesuai dengan karakter masyarakat maupun lingkungan di mana masjid tersebut berada.

     Keanekaragaman bentuk masjid merupakan sebuah wujud kebudayaan dan realitas mengenai kecerdasan masyarakat pendukungnya. Terutama dalam menggambarkan nilai Islam pada suatu daerah berdasarkan refleksi potensi kearifan lokal dengan mengekspresikannya melalui arsitektur bangunan masjid. Berdasar hal tersebut, masjid mempunyai makna tersendiri bagi masyarakat di sekitarnya dalam menjunjung tinggi suatu nilai budaya yang dianut.

Masjid Sela Panembahan tampak depan (Dok. BPCB DIY)

     Menurut Juliadi dalam buku Masjid Agung Banten: Nafas Sejarah dan Budaya, selain dipengaruhi oleh arsitektur Islam, bentuk-bentuk masjid di Indonesia khususnya di Jawa banyak yang mengadopsi dan mengakomodasi kebudayaan yang sudah ada dan berkembang di masyarakat. Kebudayaan yang dimaksud seperti kebudayaan Hindu-Buddha, atau bahkan masa sebelumnya yaitu masa prasejarah. Adanya fakta itu menunjukkan bahwa arsitektur masjid-masjid kuno yang terdapat di Indonesia kaya akan ragam variasi bentuk dan corak, sehingga setiap bangunan masjid mempunyai keunikan sebagai ciri khas dan karakter masing-masing. Hal itu juga berlaku dengan masjid-masjid kuno yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta.

     Sebagai wilayah yang saat ini masih dipimpin oleh kesultanan Islam dengan latar belakang sejarah yang panjang, Daerah Istimewa Yogyakarta pun tak luput dari tinggalan masjid-masjid kuno yang arsitekturnya menarik untuk ditilik. Bahkan, sebagian masjid kuno tersebut masih eksis dan digunakan hingga saat ini. Salah satu masjid kuno itu adalah Masjid Sela yang berlokasi di Kelurahan Panembahan, Kemantren Kraton, Kota Yogyakarta.

Sejarah Masjid Sela 

     Masjid Sela didirikan tahun 1709 Saka atau 1787 Masehi, tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I. Masjid ini termasuk bagian dari kompleks Dalem Kadipaten atau Dalem Putra Mahkota. Pembangunan masjid dipimpin oleh Tumenggung Mangundipuro di bawah pengawasan Raden Mas Sundoro (Pangeran Adipati Anom yang kelak menjadi Sultan Hamengku Buwono II).

 

     Konon, bahan penyusun bangunan masjid terbuat dari campuran pasir dan gamping yang direkatkan oleh cairaan legen (nira). Kombinasi bahan-bahan tersebut kemudian mengeras dan menghitam seperti sela (batu), sehingga masjid ini dinamakan Masjid Sela. Penamaan “Sela” pada masjid ini merupakan sebuah cerminan pandangan penutur bahasa Jawa terhadap berbagai hal yang terdapat di sekitarnya. Hal itu dapat ditilik dari budaya yang tumbuh di masyarakat Jawa sejak dahulu dalam memberikan penamaan tempat atau bangunan berdasarkan pemahaman terhadap lokasi, pengguna, tampilan fisik, dan fungsi yang mampu menggambarkan sebuah fakta sosial dan kearifan lokal masyarakat Jawa pada masa itu.

     Saat ini, Masjid Sela telah ditetapkan menjadi bangunan cagar budaya berdasarkan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.89/PW.007/MKP/2011.

Masjid Sela Panembahan tampak serong (Dok. BPCB DIY)

Pengaruh Arsitektur Pesanggrahan Tamansari pada Masjid Sela

     Pesanggrahan Tamansari dahulu merupakan tempat rekreasi raja beserta keluarga yang dibangun era Sultan Hamengku Buwono I. Sebagai tempat rekreasi raja dan keluarga, sudah barang tentu desain arsitektur Pesanggrahan Tamansari sangat memperhatikan berbagai aspek dalam pembangunannya. Seperti faktor keamanan, kenyamanan, fungsi, maupun estetika. Unsur estetika menjadi salah satu yang paling penting karena disesuaikan dengan salah satu tujuan pembangunan pesanggrahan ini, yaitu sebagai tempat rekreasi raja beserta keluarga.

     Sebagai simbol keindahan karya arsitektur untuk kalangan atas pada masa itu, tidak mengherankan apabila sebagian desain bangunan Pesanggrahan Tamansari dijadikan sebagai acuan beberapa bangunan di lingkungan keraton. Salah satunya yakni pada Masjid Sela yang sebagian bentuk arsitekturnya mempunyai kemiripan dengan bangunan di Kompleks Pesanggrahan Tamansari.

     Ada beberapa kemungkinan yang bisa dijadikan alasan mengapa terdapat kemiripan pada kedua bangunan tersebut. Pertama, kedua bangunan tersebut dibangun pada masa pemerintahan raja yang sama yaitu Sultan Hamengku Buwono I sebagai peletak konsep dasar pembangunan kompleks Keraton Yogyakarta Hadiningrat. Kedua, pelaksana pembangunan dua bangunan itu merupakan orang yang sama pula, yakni Tumenggung Mangundipuro.

     Beberapa bagian yang identik antara bangunan Pesanggrahan Tamansari dan Masjid Sela di antaranya terdapat pada bagian atap, hiasan pada pembatas dinding tubuh dengan atap, maupun pintu dan jendela.

Pesiraman Umbul Binangun Tamansari (Dok. BPCB DIY)
  • Atap

     Jika dilihat secara kasat mata, bagian atap menjadi bagian yang paling nampak jelas kemiripannya. Atap dari Masjid Sela terdiri dari dua bentuk, yaitu bentuk limasan pada ruang utama yang terdapat mihrab, dan bentuk kampung pada ruang serambi. Dua ruangan itu dihubungkan oleh pintu dengan lebar 2 meter. Kedua bentuk atap tersebut juga terdapat di Kompleks Pesanggrahan Tamansari, yakni atap limasan pada bangunan penghubung menuju Pulo Panembung dan Pulo Kenanga, serta menara Pesiraman Umbul Binangun, dan atap kampung pada bangunan Pasarean Ledhoksari.

     Selain pada bentuk atap, pola hias pada bagian atap di Masjid Sela juga sangat mirip atau bahkan identik dengan yang terdapat di Pesanggrahan Tamansari. Pola hias tersebut berupa sirap yang tergambar di seluruh bagian atap dan badongan yang ditempatkan pada setiap ujung bubungan.

Atap masjid Sela Panembahan (Dok. BPCB DIY)
Atap masjid Sela Panembahan (Dok. BPCB DIY)
Atap bangunan penghubung menuju Pulo Panembung dan Pulo Kenanga Tamansari (Dok. BPCB DIY)
Atap Pasarean Ledhoksari Tamansari (Dok. BPCB DIY)
  • Hiasan antara dinding tubuh dan atap

     Kesamaan yang kedua yakni terdapat pada bagian bangunan berupa hiasan yang terletak di antara atap dan bagian dinding tubuh. Meski tidak terlalu identik, pola hias tersebut antara di Masjid Sela dan Pesanggrahan Tamansari sama-sama berupa hiasan pelipit yang dikombinasikan dengan bentuk padma. Di kompleks Pesanggrahan Tamansari, Hiasan tersebut salah satu contohnya terdapat di bangunan Gedhong Temanten.

Hiasan antara dinding tubuh dan atap Masjid Sela Panembahan (Dok. BPCB DIY)
Hiasan antara dinding tubuh dan atap Gedhong Temanten Tamansari (Dok. BPCB DIY)
  • Pintu dan Jendela

     Pintu dan jendela pada Masjid Sela pun juga tak luput dari kesamaan bentuk dengan yang terdapat di bangunan Pasarean Ledoksari pada Kompleks Pesanggrahan Tamansari. Pintu berbentuk persegi panjang dengan sudut yang lugas, sedangkan jendelanya berbentuk persegi dengan kusen yang terbuat dari kayu. Pada bagian jendela juga terdapat kesamaan lain, yakni bentuknya yang jika dilihat dari dalam mempunyai ukuran yang lebih lebar dari bagian depan dan memiliki kontur miring, hal ini dimaksudkan agar cahaya yang masuk ke dalam ruangan dapat disebarkan secara maksimal.

Pintu dan Jendela Masjid Sela (Dok. BPCB DIY)
Pintu dan Jendela Masjid Sela (Dok. BPCB DIY)
Pintu dan Jendela Pasarean Ledhoksari Tamansari (Dok. BPCB DIY)
Jendela Pesanggrahan Tamansari (Dok. Kompas.com)

Epilog

     Masjid Sela merupakan satu dari sekian banyak bangunan bersejarah tinggalan masa Islam di Daerah Istimewa Yogyakarta yang masih eksis hingga detik ini. Sebagai cagar budaya yang telah menjadi saksi bisu perkembangan Islam di Yogyakarta selama dua abad lebih, sudah semestinya bangunan ini harus senantiasa dijaga dan dilestarikan. Selain dijaga dari segi fisik, nilai-nilai yang terkandung di masjid ini pun juga perlu ditularkan melalui berbagai aktivitas dan kegiatan di dalamnya.

 

Ditulis oleh Eko Susanto

Pengkaji Pelestarian Cagar Budaya di BPCB DIY

 

Daftar Bacaan

Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta. 2008. Monografi Pesanggrahan-Pesanggrahan Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: BP3 DIY.

Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Laporan Pendokumentasian Panggung Krapyak dan Masjid Sela Yogyakarta Bulan Agustus 1985.

Sidi Gazalba. 1975. Masjid (Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam). Jakarta: Pustaka Antara.

Juliadi. 2007. Masjid Agung Banten: Nafas Sejarah dan Budaya. Yogyakarta: Ombak.