Pada dua dekade akhir pemerintahan Hindia Belanda berakhir pabrik gula di Sewu Galur kemudian tidak berfungsi sebagaimana peruntukannya. Akhirnya pabrik tersebut tinggal menyisakan berbagai artefak bangunan produksi, fasilitas pendukung, perumahan-perumahan administratur, sarana irigasi, kherkof (makam), dan jalur transportasi kereta api yang selama kira-kira tiga dekade menjadi salah satu sarana transportasi vital. Khusus jalur rel kereta api pada era tahun 1943 M dibongkar oleh tentara pendudukan Jepang. Perlu diketahui bahwa tentara pendudukan Jepang banyak menggunakan aset industri zaman penjajahan Hindia Belanda untuk kepentingan pengembangan industri dalam masa perang. Pada zaman Jepang orang-orang Belanda di Yogyakarta pada umumnya dan khususnya yang menjadi penghuni di perumahan-perumahan ex pabrik gula menjadi tawanan atau interniran tentara pendudukan Jepang.
Pada era kemerdekaaan eksistensi pabrik Sewu Galur tetap menjadi bagian warisan budaya berwujud atau tangible yang mempunyai nilai penting. Eksistensi artefak-artefak tersebut dalam kondisi tidak digunakan sebagaimana fungsinya yaitu proses produksi gula. Kondisi konkret pabrik gula tersebut mengalami kerusakan dan tersisa beberapa bangunan bekas perumahan dan puing-puing bekas pabrik. Ada beberapa penyebab kerusakan bangunan bekas pabrik gula antara lain: pertama, dampak adanya taktik bumi hangus oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Hal itu dilakukan pada saat terjadinya penyerbuan Ibu Kota Republik Indonesia Yogyakarta oleh NICA (Belanda) pada 18 Desember 1949 M. Berbagai prasarana ataupun fasilitas pabrik menjadi salah satu sasaran utama. Langkah itu dalam rangka menjalankan strategi dan taktik pertahanan untuk mendukung strategi perang gerilya di seluruh daerah di Yogyakarta dan sekitarnya. Taktik bumi hangus di satu sisi membawa dampak positif bagi kepentingan perjuangan masa perang kemerdekaan, di lain sisi berakibat hilangnya sebagian besar bukti sejarah pabrik. Taktik itu dijalankan dengan menghancurkan beberapa bangunan utama dan perumahan atau pendukung agar tidak dialihfungsikan untuk markas pertahanan tentara Belanda. Kedua, dampak adanya ketidakterawatan bangunan yang disebabkan tidak difungsikannya bangunan. Proses waktu atau proses usia komponen bangunan menjadikan semakin lama soliditas bangunan menjadi menurun atau bahkan menjadi lapuk dan hancur. Pasca gempa bumi tektonik pada 27 Mei 2006 bahkan ada beberapa bangunan yang mengalami hancur dan rusak berat. Kerusakan berbagai bangunan yang disebabkan berbagai macam sebab tersebut pada dasarnya tidak menjadikan warisan budaya yang ada musnah seluruhnya. Masih ada beberapa bangunan yang masih utuh, sisa-sisa reruntuhan atau puing-puing bangunan, dan sisa-sisa struktur bangunan ataupun fondasi.
Lingkungan dan Corak Bangunan Perumahan Sewu Galur
Sejak tahun 1930-an Pabrik Gula Sewu Galur tidak beroperasi lagi karena terkena dampak krisis moneter saat itu. Rentang waktu delapan dekade kemudian kondisi bekas pabrik gula itu mengalami kemerosotan, baik karena faktor internal dan eksternal. Kondisi saat ini walaupun bekas pabrik gula tidak beroperasi dan sebagian besar sudah mengalami runtuh, tetapi citra lingkungan dan corak atau gaya bangunannya masih dapat dikenali secara jelas. Tata ruangnya dan bangunan mencitrakan sebagai tinggalan corak indis, baik meliputi gaya arsitektur, ragam hias, dan fungsi ruang bangunannya. Pertama, aspek tata ruangnya mempunyai citra bercorak Eropa, terutama apabila ditinjau dari aspek jejalur, simpul (path), batas (edges), blok kawasan (district), dan land mark atau tengeran sebagai penanda kawasan yang menonjol (Lynch, 1969: 8, 48; Zahn, 1999).
Kedua, corak arsitektur kolonial (terutama Belanda) di Indonesia merupakan fenomena tinggalan budaya berwujud yang unik, karena tidak ditemukan di wilayah lain yang merupakan daerah bekas koloni. Corak itu sering disebut bergaya indis, disebut demikian karena terjadi percampuran unsur-unsur budaya penjajah dengan dengan budaya lokal (Indonesia) yang beraneka ragam bentuknya. Oleh karena itu, arsitektur kolonial di berbagai daerah di Indonesia terdapat perbedaan antara satu daerah dengan lainnya, yakni masing-masing daerah mempunyai ciri-ciri tersendiri yang menjadi pembeda (Sumalyo, 1993). Demikian juga bangunan-bangunan ex pabrik gula terutama perumahan administrator yang ada di Sewu Galur, juga merupakan bagian arsitektur indis yang mempunyai corak khas indis dan antara satu dengan lainnya mempunyai kemiripan terutama apabila dilihat dari bentuk wajah depan bagian luar bangunan (facade). Unsur-unsur yang menjadi ciri menonjol antara lain: 1) Bangunan di bagian depan terdapat ruang teras terbuka yang menyatu dengan bangunan induk dan terdapat paviliun di sampingnya. 2) Di sekeliling kompleks perumahan dilengkapi dengan sanitasi saluran air atau parit pembuangan air hujan. 3) Struktur bangunan terdiri dari fondasi bangunan tinggi dengan komponen batu kali ekspose; dinding tembok tinggi dan tebal, pilaster atau pilar tebal, kusen dan daun jendela serta pintu tinggi lebar baik dengan model krepyak maupun kaca, lantai tegel atau floor motif tegel, serta mempunyai pencahayaan yang cukup baik. Di beberapa bangunan juga dilengkapi dengan ragam hias atau ornamen dekoratif maupun yang mempunyai fungsi konstruksi tertentu antara lain:
– cunduk (acroterion) merupakan kelengkapan yang bersifat dekoratif, keletakan hiasan tersebut berada di atas atap bagian sudut maupun depan.
– tympanum adalah konstruksi dinding tembok berbentuk segitiga atau setengah lingkaran yang keletakannya di atas pintu sebagai hiasan.
– lucarne yaitu jendela kecil di atas kemiringan atap, selain sebagai hiasan juga untuk memberikan aliran udara kepada ruang atap.
– voussoir adalah unit batu atau struktur dinding batu bata yang disusun dalam bentuk melengkung di atas gerbang pintu ataupun jendela.
Beberapa corak dalam bangunan indis di Sewu Galur merupakan bagian karakter khas dan bentuk lazim bangunan-bangunan peninggalan arsitektur orang-orang Belanda khususnya di Yogyakarta. Perumahan pabrik gula Sewu Galur sebagian besar difungsikan untuk para pembesar maupun administrator dan fasilitas perkumpulan atau societeit. Tempat perkumpulan tersebut oleh penduduk pribumi disebut dengan nama kamar bola. Keberadaan bangunan-bangunan tersebut dibangun pada akhir abad ke-19 M sampai dengan awal abad ke-20 M. Sebagai fasilitas hunian pabrik gula tersebut dilengkapi dengan fasilitas makam (kherkoft) khusus untuk pegawai-pegawai teras atau pejabat pabrik gula. Letak kherkoft atau makam berada di sudut barat daya parik gula.
Ada beberapa orang yang telah dimakamkan di kherkoft milik pabrik gula. Corak makam memiliki kekhasan sebagaimana pemakaman orang-orang Eropa pada umumnya yaitu adanya satu makam yang digunakan untuk memakamkan 3 (tiga) orang dengan waktu dan nama yang berbeda. Contoh kekhasan antara lain: makam atas nama Ruhe Sanft, Maria Arabelia, dan Junemann dengan tanggal dan angka tahun GLR 26 November 1886 (?) (angka sudah rusak karena batu marmer pecah) dan OVERL 24 August …. (bagian angka tahun sudah hilang). Corak yang lain yaitu nisan yang mirip model pilaster yang dilengkapi dengan prasasti nama-nama yang dimakamkan. Makam dengan lahan yang tidak terlalu luas dikelilingi dengan pagar tembok. Kondisi saaat ini lingkungan makam tidak terawat dan tertutup rumput ilalang. Status tanah makam merupakan Pakualaman Ground (PAG), sedangkan tanah perumahan dan di bekas reruntuhan pabrik sudah menjadi persil atau tanah hak milik. Letak makam Belanda berada di antara pinggir pekarangan penduduk dengan persawahan. (Ign. Eka Hadiyanta dan Th. Sri Suharini – Staff BPCB DIY)
Daftar Pustaka
Sumalyo, Yulianto. 1993. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta: UGM Press.