Pendahuluan

      Di wilayah Nusantara yang kemudian dikenal menjadi Indonesia telah mengenal gula sejak lama, yakni jauh sebelum VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) datang. Penduduk di Jawa mengenal gula yang diolah secara tradisional pada awalnya dari para pelancong Tionghoa. Pada perkembangannya aktivitas produksi gula secara tradisional oleh penduduk pribumi kemudian dijual kepada pendatang Tionghoa  di Jawa (Niel, 2003: 39). Kondisi itu kemudian menarik perhatian kongsi atau kumpeni dagang Belanda (VOC) yang mulai intensif berdagang di Jawa pada abad ke-16 (1596 M). Bandar perdagangan pada awalnya berada di Banten kemudian oleh Pieter Booth dipindahkan ke Sunda Kelapa atau Jayakarta. Kongsi dagang VOC mengajukan izin kepada Jayawikarta untuk mendirikan sebuah loji dan menggunakan bandar di wilayah itu. Wilayah itu sejak 1527 M merupakan wilayah  Banten  yang direbut dari Kerajaan Sunda oleh Fadhilah Khan. Mengingat Bandar pelabuhan di Jayakarta dianggap lebih strategis. Setelah melalui serangkaian konflik dengan kongsi dagang Inggris dan penguasa lokal yaitu Pangeran Jayawikarta, maka pada akhirnya tahun 1618 M VOC dapat berhasil menguasainya secara keseluruhan. Pada tahun 1619 M Jan Pieterszoon Coen kemudian mengganti nama wilayah itu dengan  nama Batavia (Leirissa, 2012: 26-27).

       Berkembangnya perdagangan gula di dunia menjadikan VOC ikut berdagang yaitu dengan melakukan ekspor komoditi  gula ke Eropa. Pada awalnya berhasil ekspor gula kira-kira 10 ribu pikul atau setara 625 ribu kg per tahun. Perdagangan gula itu terus berkembang  dan  justru kemudian berbanding  terbalik  dengan kondisi kongsi dagangnya (VOC) yang terus mengalami kemerosotan dan bangkrut pada tahun 1799 M. Bangkrutnya kongsi dagang tersebut menjadikan kendali dagang dan penguasaan wilayah diambil alih oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada saat Jawa digoncang  konflik yaitu dengan adanya Perang Dipanegara atau Perang Jawa (1825 M–1830 M), Hindia Belanda di bawah van der Capellen  mengalami defisit anggaran yang sangat parah. Kondisi uang habis  karena digunakan untuk perang, yaitu mengatasi perlawanan Dipanegara. Kondisi itu akhirnya menjadikan Gubernur Jenderal Johanes van den Bosch berusaha mengatasi kebangkrutan dengan menjalankan kebijakan Tanam Paksa (cultuurstelsel) pada 1830–1870 M (Niel, 2003: 77). Di samping itu, melakukan  pengambilalihan  tanah di beberapa kabupaten wilayah Kedu, Magelang, dan sebagian Banyumas dari Kasultanan Yogyakarta.

Era Tanam Paksa – Liberalisasi dan Perkembangan Perkebunan Tebu

      Kebijakan Tanam Paksa (1830 M–1870 M)  memberikan keleluasaan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk memberikan tekanan atau bahkan memaksa kepada penduduk pribumi harus mengganti tanaman padi dan palawija dengan tanaman tebu. Bahkan sebagai ganti pajak tanah, para petani pribumi diwajibkan menanam seperlima bagian dari tanah yang dimilikinya dengan tanaman tebu maupun dengan tanaman yang dapat menghasilkan komoditi perdagangan. Program Tanam Paksa kepada pribumi akhirnya ditambah lagi dengan adanya kerja paksa, yaitu petani harus bekerja beberapa jam di dalam perkebunan-perkebunan tanpa mendapatkan upah untuk setiap pekerjaan yang dilakukannya. Peranan besar dan menentukan oleh pemerintah Hindia Belanda atau cenderung melakukan monopoli menjadikan peluang dan peranan swasta tidak dapat tumbuh atau mendapat kesempatan.

      Dampak besar yang dapat dilihat pada era itu adalah Jawa menjadi penghasil utama pasar  Eropa, serta adanya ekploitasi secara besar terhadap kaum pribumi khususnya petani di pedesaan.   Pada saat itu sumber daya manusia dari keluarga petani yang terlibat tidak kurang dari 65 % sampai dengan 70 % dan dihargai sangat murah. Fenomena ini tidak terlepas adanya  peran pemimpin  tingkat desa (lurah) yang berperan sebagai penghubung dengan para bupati sebagai kepanjangan tangan pemerintah  Kolonial  Hindia Belanda (Suyatno, 2003: x-xi). Kondisi ini dapat dikatakan sebagai titik tolak memperkuat kembali ikatan-ikatan komunal, tradisional, dan  feodal seperti sebelum era 1830-an (Sartono, 1999: 305-307).

       Kondisi itu  menjadikan tanah jajahan Indonesia sebagai perahan  yang  memberikan hasil melimpah bagi pemerintah Hindia Belanda, hasilnya dapat untuk menutup hutang era jauh sebelumnya,  kebangkrutan VOC, melunasi defisit era Capellen. Hasil bersih saat itu antara tahun 1840 M  sampai dengan  1875 M  tidak kurang dari 781 gulden,  dan hasil itu sama dengan  sepertiga hasil Pemerintah Belanda dalam satu tahun (Haryono, 2011, 112).  Kondisi itu  menjadi   bahan kritikan kaum liberal di parlemen Belanda. Oleh karena itu, pada tahun 1870 M Pemerintah Hindia Belanda mengganti kebijakan Tanam Paksa dengan sistem  liberal, yaitu memberikan peluang sebesar-besarnya kepada swasta untuk berperan di dalam usaha perkebunan-perkebunan, industri, dan perdagangan. Pada faktanya peran swasta juga sudah mulai  masuk  pada tahun 1859 M. Pada saat itu perkebunan-perkebunan yang diusahakan dengan kerja wajib dalam sistem Tanam Paksa dengan swasta sudah ada keseimbangan.   Hal itu terjadi akibat kritik yang terus disampaikan  kaum liberal di parlemen Belanda, maka  sistem Tanam Paksa diakhiri dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870 M. Saat itu merupakan momentum untuk tumbuh dan berkembangnya peran swasta Eropa di koloni Indonesia. Swasta berkesempatan untuk melakukan  penyewaan tanah kepada kaum pribumi dan sewa tanah tak terpakai (bero = woestegronden) secara turun temurun (erfpacht) kepada pemerintah Hindia Belanda. Satu dekade awal  diberlakukannya liberalisasi pada tahun 1880–an di dunia telah terjadi krisis ekonomi. Hal itu menghantam usaha industri gula di tanah jajahan. Bahkan pada tahun 1884 M sampai dengan 1895 M pasar gula mengalami kelesuan dan harga gula berada di bawah biaya produksi. Kondisi itu diperparah dengan adanya hama yang menyerang tanaman tebu (hama sereh), akibatnya upah pekerja mengalami kemerosotan. Pasca tahun 1895 M kondisi industri gula mengalami kebangkitan kembali atau recovery (Suroyo, 2012: 146- 147).

     Penyewaan tanah pribumi  di vorstenlanden Yogyakarta dilakukan terutama  dari aset-aset tanah lungguh para bangsawan atau bahkan  tanah-tanah milik kasultanan (S.G. = Sultan ground)  dan pakualaman (P.A.G. = Pakualaman ground). Hal itu untuk  tanaman  tebu,   fasilitas  bendungan atau irigasi, perkebunan  indigo,  pabrik  gula, dan fasilitas   transportasi kereta api. Fasilitas transportasi di pabrik-pabrik gula  bertumpu kepada kereta api yang pada saat itu mulai dikembangkan. Pada saat itu ada dua perusahaan kereta api yang beroperasi yaitu SS  (statspoorweg)  perusahaan milik pemerintah Hindia Belanda dan NISM (Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij) milik swasta Belanda. Di daerah Yogyakarta transportasi kereta api dikembangkan pada masa akhir pemerintahan Hamengku Buwana VI, yaitu dengan dibangunnya Stasiun Lempuyangan oleh NISM (2 Maret 1872 M) dan  pada awal pemerintahan Hamengku Buwana VII, dengan dibangunnya Stasiun Tugu oleh SS (12 Mei 1887 M) (Anonim, 1956: 23, Musadad, 2012).  Transportasi kereta api yang dikembangkan yaitu meliputi jalur rel kereta api, stasiun kereta, dan perumahan pegawai kereta.  Hal itu dapat dijumpai di Kota dan ke arah bagian selatan dan utara. Ke bagian selatan yaitu  (Kota – Bantul – Palbapang); bagian barat daya (Palbapang – Srandakan – Sewugalur); bagian tenggara (Kota – Kotagede – Plered). Sedangkan yang ke arah utara dari Kota menuju ke Beran – Medari – Magelang. Hal itu untuk menghubungkan ke pabrik-pabrik di Padokan, Gondanglipura, Pundong, Barongan, Kedaton Plered, dan Sewugalur (Bantul dan Kulonprogo); di samping itu ke pabrik gula Beran dan Medari di wilayah Sleman. Tidak mengherankan apabila sampai sekarang di wilayah itu terdapat tapak dan tinggalan fisik yang terkait dengan transportasi kereta api.

Pabrik Gula Sewugalur Masa Aktif Produksi

     Tanaman tebu di wilayah Yogyakarta yang secara umum telah berkembang pasca sistem liberalisasi 1870 M,  pada dasarnya juga telah dimulai pada 1860-an M. Hal itu bersamaan dengan mulai intensifnya peran swasta menjelang diberlakukannya Undang-undang  Agraria. Oleh karena itu, di Yogyakarta sudah mulai berdiri dan berkembang beberapa pabrik gula, pemanfaatan lahan untuk menanam tebu, dan sistem irigasi atau pengairan untuk perkebunan. Oleh karena itu, sampai dengan tahun 1913 M  di pelosok  Yogyakarta tidak kurang telah berdiri 17 pabrik gula. Pabrik-pabrik gula tersebut telah tersebar di wilayah Bantul, Sleman, dan Adikarto (Kulon Progo). Salah satu pabrik gula tersebut yaitu Pabrik Gula Sewu Galur yang didirikan di wilayah Adikarto (Kulon Progo). Perusahaan itu menyewa tanah (Pakualaman ground) kepada keluarga bangsawan Pura Pakualaman.

Kondisi pabrik gula Sewugalur pada saat masih beroperasi tahun 1917 (Foto KITLV)

Pabrik gula Sewugalur merupakan peninggalan salah satu perusahaan Belanda, secara administratif  saat sekarang terletak di Desa Galur, Kecamatan Brosot, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pabrik itu didirikan pada tahun 1881 M, yaitu satu dekade pasca diberlakukannya kebijakan liberalisasi (1870). Pada dasarnya perusahaan itu dibangun, waktunya bersamaan  menjelang adanya krisis industri gula di  berbagai belahan dunia (1884 M – 1895 M). Akan tetapi,  masa krisis itu dapat dijalani dengan tetap melakukan proses pembangunan, produksi awal,  dan bahkan kemudian dapat recovery. Sebagai perseroan terbatas (PT) pabrik itu didirikan oleh beberapa orang  Belanda antara lain, E.J. Hoen, O.A.O. van der Berg, dan R.M.E. Raaff. Pada awalnya pabrik gula itu dengan modal 750.000 gulden.  Beberapa pengusaha itu  menyewa tanah-tanah dari para bangsawan Pakualaman  dan  menjadi aset utama pabrik gula Sewu Galur. Sewa tanah dengan dilakukan secara jangka panjang.  Lahan tanah yang disewa pabrik gula  pada tahun 1883 M kira-kira seluas 5.289 bahu (Margana,  Anonim, 2011).

Perumahan administratur pabrik gula Mr. Engelbert pada tahun 1917 (Foto KITLV)

Wilayah Sewu Galur merupakan dataran rendah yang memang cocok untuk tanaman padi, nilai, dan tebu. Pengairan di wilayah itu tidak menjadi persoalan karena berdekatan atau sisi sebelah barat Sungai Progo. Perlu diketahui bahwa Kabupaten Adikarto Pakualaman mempunyai luas wilayah kira-kira 4000 cacah (rumah tangga) atau 12.250 Km2 yang terbagi menjadi 56 desa. Perlu diketahui bahwa perkebunan tebu di Sewu Galur menghasilkan kira-kira 34 % atau kalau dikonversikan dalam mata uang Belanda adalah 50.400 gulden dari pajak tahunan. Kapasitas produksi pabrik pada akhir  abad ke-19 sekitar 70.000 sampai dengan 80.000 pikul (1 pikul = 61,8 Kg). Dengan demikian total hasil produksi gula pasir  di pabrik ini sekitar 4.326.000 Kg sampai 4.944.000 Kg. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pabrik gula Sewugalur  di Adikarto pada saat  itu  merupakan pabrik kelas menengah.

      Sebagai pabrik  swasta Sewugalur  agar hasilnya dapat lebih baik  maka  perusahaan melakukan pengawasan pekerjaan secara ketat. Oleh karena itu,  ada banyak pengawas dan administrator yang ditempatkan di lingkungan pabrik untuk menjalankan pekerjaannya. Akibat dari kondisi itu maka banyak fasilitas pabrik  yang diadakan untuk kelancaran usaha-usaha itu, antara lain jalur transportasi kereta api, irigasi, perumahan,  sekolahan, dan sarana hiburan yaitu societeit  vereneging (kamar bola) (Anonim, 2011). Jalur kereta api di samping untuk mengangkut komoditi dari Sewu Galur ke gudang pengiriman, juga untuk mengangkut para pegawai ke pusat kota.  Alat  transportasi kereta itu diberlakukan  menjadi sarana utama setelah transportasi tradisional (gerobak) tidak  dapat menjadi sarana yang mendukung secara maksimal.

       Pada paruh pertama abad ke-20 atau pada tahun 1930-an  dunia pada umumnya dan Hindia Belanda khususnya dilanda krisis ekonomi kembali, hal itu  berlangsung sampai pada tahun 1935 M. Kondisi krisis ekonomi juga berimbas bagi perusahaan atau industri gula yang ada di Jawa umumnya dan  di  wilayah Kasultanan Yogyakarta serta  Adikarto Pakualaman khususnya. Pabrik Gula Sewu Galur terkena imbas krisis ekonomi itu, sehingga mengakibatkan ketidakstabilan perusahaan. Akhirnya pabrik tersebut tidak sanggup lagi menopang jalannya roda perusahaan dan menyerahkan hak konversinya kembali secara keseluruhan kepada keluarga Pakualaman. Kondisi  pabrik pada akhirnya berhenti dan tanpa adanya aktivitas produksi. Tentu hal ini berbeda dengan beberapa pabrik gula di Yogyakarta lainnya yang beberapa pabrik tetap eksis untuk melakukan produksi gula. (Ign. Eka Hadiyanta dan Th. Sri Suharini – Staff BPCB DIY)

Daftar Pustaka

Anonim. 2011. Laporan Pendataan Bangunan Indis Bekas Perumahan Pabrik Gula Galur, Kulonprogo, Yogyakarta. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala  (sekarang BPCB) Yogyakarta.

Haryono, Anton. 2011. Sejarah Sosial Ekonomi: Teori Metodologi Penelitian dan Narasi Kehidupan. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Leirissa, R.Z. 2012. “Eropa Menemukan Asia Tenggara”. dalam Indonesia dalam Arus Sejarah .Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.

Margana, Sri. “Hibridity, Colonial Capitalism and Indigenous Resistance: The Casse of The Paku Alam in Central  Java”. Dalam Bosma, Ulbe, et.al. ed. Sugarlandia Revisted : Sugar and Colonialism in Asia and the Americas 1800 to 1940. Vol. 9. New York: Berghbahn Books.

Musadad. 2012. “Yogyakarta Satu Kota Dua Stasiun”, dalam Jurnal Widya Prabha. Diterbitkan oleh BPCB Yogyakarta. Hal. 36-43.

Niel, Robert van. 2003. Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta: LP3ES.

Suroyo, A.M. Djuliati.  2012. “Politik Eksploitasi Kolonial dan Perubahan Ekonomi di Indonesia”.dalam Indonesia dalam Arus Sejarah. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.

Suyatno. 2003. “Relevansi Studi Tanam Paksa Bagi Sejarah Ekonomi Indonesia”, dalam Niel, Robert van. 2003. Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta: LP3ES.