Kawasan Prambanan eksis dengan beberapa gugusan candi dari latar belakang agama Hindu dan Buddha yang letaknya saling berdekatan. Tentu hal ini bukanlah fenomena kesejarahan yang tanpa makna. Akan tetapi, fenomena itu dapat memberikan inspirasi kepada kita sekarang, bahwa damai dan harmoni dalam realita keberagaman pada dasarnya mempunyai pengalaman sejarah yang panjang. Kondisi itu dalam konteks kehidupan berbangsa dapat dimaknai sebagai kerukunan yang hadir secara alami dan mengalir dalam alam pikiran dan pola perilaku yang bisa diterima oleh segenap masyarakat. Lahir dan menguatnya kerukunan tidak dapat begitu saja hadir tanpa kondisi masyarakat yang berkeadilan, menjunjung kebenaran, tenggang rasa, dan saling menghormati.
Di dalam masyarakat yang sangat kompleks dan beragam saat ini ada fenomena sosial yang kadangkala paradoksal. Sering kali terjadi menyeruak ke permukaan yaitu adanya fenomena yang merusak tatanan kedamaian dan harmoni. Kondisi itu tentu kontraproduktif dengan berbagai prinsip tatanan sosial masyarakat yang kondusif dan tata tentrem yang menjadi idaman bersama, bahkan telah menjadi cita-cita dan diwujudkan bersama-sama sejak puluhan abad lalu. Apabila kita mengutip kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular masa Majapahit abad XIV Masehi ada prinsip Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa (beraneka ragam tetapi satu kesatuan tidak ada kebenaran yang mendua). Prinsip Bhineka Tunggal Ika ini menjadi pedoman hidup berbangsa dan pilihan rasional logis masyarakat Indonesia saat ini yang kondisinya sangat majemuk. Tampaknya ada kesinambungan di antara para protagonis kehidupan yang berkeadaban, bahwa damai dan harmoni merupakan kondisi yang diidamkan dan pilihan bijak dalam masyarakat yang majemuk atau multikultur pada masa klasik hingga abad teknologi dewasa ini. Oleh karena itu, semua berkepentingan untuk menolak berbagai hal yang dapat mencabik-cabik kedamaian dan rasa nyaman tenteram masyarakat. Damai dan harmoni adalah pilihan bijak bagi manusia yang mempunyai entitas budaya kehidupan dan ingin menjadikan manusia semakin rukun dan menampakkan wajah manusiawi (humanis). Spiral kekerasan, kebencian, dan intoleransi harus diputus karena akan menjadikan sumber lahirnya kondisi tidak kondusif bahkan keresahan yang melahirkan konflik horisontal berkepanjangan. Pengalaman sejarah dan fenomena budaya kita sudah selayaknya menjadi tempat untuk belajar dan merefleksi diri. Terkait hal itu tidak salah apabila kita mengutip pendapat Cicero, bahwa “tidak mau belajar dari sejarah akan menjadi kanak-kanak selamanya.”