Aktivitas melukis dan membuat sketsa bersama oleh para perupa di kawasan Candi Prambanan dilakukan bukanlah tanpa alasan. Mereka datang menggoreskan cat di atas kanvas dan mencoretkan tinta ataupun warna hitam di atas kanvas maupun kertas adalah untuk mengabadikan mahakarya peradaban yang berdiri megah dan kokoh. Melukis dan membuat sketsa bersama-sama merupakan bagian dari cara melakukan niti laku terhadap mahakarya peradaban. Secara reflektif niti laku para perupa tidak hanya berwujud laku fisik lahiriah, tetapi juga melibatkan ekspresi laku batiniah yang akan melahirkan sisi artisitik, estetik, dan mempunyai kedalaman makna.c Dalam konteks pelestarian cagar budaya dan tata kelola pengembangan serta pemanfaatan Warisan Budaya Dunia Prambanan, maka rangkaian peristiwa melukis bersama merupakan proses merajut oase budaya yang harus diperkuat dan dilakukan secara berkelanjutan. Mengingat aktivitas itu belum dilakukan secara berkesinambungan dan masih menjadi sesuatu yang ensidental dan langka. Persepsi dan interpretasi pelukis tentang candi menjadi sesuatu yang tidak terduga, mempunyai keunikan, dan mengesankan. Objek candi dihadirkan kembali di atas kanvas dan kertas menjadi karya seni yang menarik dan unik. Seolah hasil karya para pelukis itu mewakili imajinasi, perasaan bahkan kegelisahan yang dikonfigurasikan dengan wujud dan rupa secara bebas.

Karya lukisan dengan objek kompleks percandian dan lingkungannya tentu kental dengan sifat subjektivitas pelukis, baik dalam menentukan sudut pandang, pewarnaan, goresan, maupun mengekspresikan karya lukisannya. Objek sama kadangkala memberikan penafsirannya berbeda pula. Sifat subjektivitas itulah yang menarik untuk secara bebas diterjemahkan dan diinterpretasikan, bahkan menurut orang per orang tentu akan menghadirkan pandangan dan persepsi yang berbeda pula.  Aspek seni dan keindahan dapat menghadirkan apresiasi, bahkan sebagaimana pendapat RM. Sosrokartono dalam dialognya dengan Ir. Sukarno (1932), dapat menjadi pelunak rasa benci kepada sesama dan akhirnya bisa menghadirkan kebahagiaan. Kebahagiaan diawali dan akan terwujud dengan cara bagaimana kita dapat mengekspresikan kreativitas karya estetik dengan spirit kebudayaan dan kemanusiaan. Rupa, goresan, guratan, dan ragam hias yang diekspresikan dalam bentuk tertentu, dapat menginspirasi serta menjadi daya ubah konkret dalam proses yang berperadaban.

Masa lampau selalu menawarkan wahana belajar, di banyak warisan budaya kita, baik Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Borobudur, dan masih banyak yang lain bahwa dalam proses kehidupannya telah mengalami keterputusan peradaban. Terbukti di pusat-pusat peradaban masa klasik yang pada zamannya mempunyai kekuatan literasi verbal akhirnya bergeser dengan munculnya berbagai tradisi lisan ataupun foklor untuk memaknai realita jejak peradaban yang telah ada sebelumnya. Fakta lain menunjukkan bahwa sebagai artefak masa lalu yang dahulu ada, berfungsi, kemudian ditemukan kembali berupa reruntuhan yang sudah tidak dimanfaatkan lagi oleh masyarakat pendukungnya. Akhirnya, bukti-bukti arkeologi itu ditemukan, diidentifikasi kembali, dan diekspose kepada publik oleh arkeolog dan indiolog yang mempunyai perhatian dengan artefak kita.  Apa yang dapat dikerjakan para pelaku budaya pada saat sekarang? Tentu harus mau berkomitmen dan meniti laku di “jalan kebudayaan”, yaitu mencintai dan memahami candi bukan sebagai artefak mati saja. Memahami harus sampai menyentuh kepada apa yang tersurat, tersirat, dan disimbolkan dalam berbagai bentuk dan ragam hias. Memaknai Prambanan dalam alur proses kehidupan sebagaimana para cendekiawan dan artisan dahulu adalah mau berproses secara substantif, seperti dikatakan Mudji Sutrisno, S.J. ada pada posisi ruh budaya yang memuliakan kehidupan. Mengingat candi apabila dilihat dengan mata budi dan mata hati akan tergelar berbagai nilai estetika yang dapat memberi tuntunan kehidupan yang inspiratif dan mencerahkan.

Jalan kebudayaan itulah yang harus menjiwai berbagai laku yang akhirnya membentuk atmosfer pembelajaran di Prambanan. Dinamika berkesenian dan jalan berkebudayaan dalam konteks luas tentu akan menjadi denyut nadi dan nafas yang selaras dengan eksistensi Prambanan sebagai hasil mahakarya peradaban yang penuh pesona. Manusia adalah subjek kehidupan yang mampu berekspresi melalui proses memberi makna hidup dan kemampuannya untuk menyadari kebudayaan sebagai laku tindakan yang membuahkan karya-karya budaya. Mereka semua bukanlah objek dan penonton yang berdiri dalam ruang hampa. Akan tetapi, mereka berproses menjadi subjek dinamis pelaku kebudayaan yang disebut sebagai the signifying creatures atau homo significans (Sutrisno, 2014). Wajah kebudayaan masa klasik diharapkan menjadi inspirsasi, sumber kreativitas aktual, nafas hidup, bagian intuisi serta spirit laku budaya manusia dan institusi yang berinteraksi di kawasan lindung budaya.